KEBIJAKAN REVOLUSI HIJAU PADA MASA ORDE

KEBIJAKAN REVOLUSI HIJAU PADA MASA ORDE BARU DAN DAMPAKNYA BAGI
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA

Makalah Untuk Mata Kuliah Sejarah Masyarakat Indonesia

Disusun oleh:
Alfathan Wira S. (1406576370)
Chintya (1406537501)
M. Ismail Hanif (1406569005)
Raditya Rahadian (1406537584)
Sayyid Ridha (1406612836)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015

i

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia telah menjalankan pemerintahannya selama 70 tahun.
Pergantian pemerintahan telah berjalan beberapa kali. Dimulai dari era pasca
kemerdekaan di tahun 1945, pemerintahan bergaya liberal di sekitar tahun 1950an dan pemerintahan demokrasi yang terpimpin tahun 1959 hingga 1965, Orde
Baru dengan masa pemerintahan terlama dengan 32 tahun masa jabatan, hingga
era reformasi yang saat ini kita rasakan. Berbagai kebijakan dari pemerintahan
yang berganti-ganti tersebut telah kita rasakan dan tentu menimbulkan dampak
yang positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat. Salah satu era
pemerintahan yang kenangannya masih membekas adalah era Orde Baru dibawah
kepemimpinan Soeharto, presiden kedua RI yang terkenal dengan julukan Bapak
Pembangunan. Beliau memimpin bangsa ini kurang lebih 32 tahun, waktu yang
tentu sangat lama. Era Orde Baru dikenal dengan masa pembangunannya.
Berbagai kebijakan dibentuk dan dibangun pada masa ini. Mulai dari bidang
infrastruktur, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya yang sampai saat ini
beberapa hasil pembangunan tersebut masih kita rasakan hingga saat ini.
Dalam masa kepemimpinan Soeharto yang berlangsung selama lebih dari
tiga puluh tahun, Indonesia mengalami masa-masa yang menurut masyarakat
secara umum merupakan masa pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan
ekonomi ini dirasakan sangat signifikan oleh masyarakat karena sebelumnya pada

tahun 1966 Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang luar biasa dimana inflasi
mencapai 650%. Adapun beberapa hal positif yang didapatkan dari pembangunan
ekonomi secara umum pada masa Orde Baru ini antara lain pertumbuhan
ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sektor pertanian.
Prestasi luar biasa yang diperoleh dari perkembangan sektor pertanian ini adalah
Indonesia bisa mengubah status dirinya dari Negara pengimpor beras terbesar di

1

dunia menjadi Negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai
swasembada pangan pada tahun 1980-an.
Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde baru saat
itu bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan pertumbuhan negara saja, akan
tetapi juga untuk kesejahteraan penduduk. Arah dan kebijakan ekonomi yang
ditempuh pemerintah Orde Baru diarahkan pada pembangunan di segala bidang
yang ada. Pelaksanaan pembangunan Orde Baru diimplementasikan kedalam
suatu program pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) yang disebut dengan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita dibagi ke dalam
beberapa periode yang jangka waktunya 5 tahun. Salah satu kebijakan
pembangunan Orde Baru adalah pembangunan bidang pertanian. Hal ini

disebabkan karena sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian. Kebijakan pengembangan pertanian itu dinamakan dengan kebijakan
Revolusi Hijau yang akan dibahas pada makalah ini, dengan studi kasus daerah
Klaten pada awal Repelita I.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang diterapkannya kebijakan Revolusi Hijau oleh
pemerintah Orde Baru?
2. Bagaimana pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari kebijakan Revolusi Hijau?
3. Apa dampak yang ditimbulkan dari kebijakan Revolusi Hijau bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat pada masa Orde Baru?
1.3 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Masyarakat Indonesia yang diajarkan oleh Siswantari, S.S., M.Hum.
Selain itu makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi bagaimana
kebijakan Revolusi Hijau dalam membangun pertanian bangsa Indonesia yang
dijalankan di masa pemerintahan Orde baru dan dampak yang ditimbulkan bagi
masyarakat terutama para petani.
2

BAB II

ISI
2.1 Latar Belakang Diterapkannya Kebijakan Revolusi Hijau Oleh Pemerintah
Orde Baru
Istilah Revolusi Hijau sempat sangat populer di Indonesia khususnya masa
Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Bangsa ini dengan semangat
pembangunan terus menerus memunculkan kebijakan yang erat kaitannya dengan
pembangunan. Salah satunya adalah Revolusi Hijau ini. Revolusi hijau sering
dikenal dengan revolusi agraria adalah suatu perubahan cara bercocok tanam dari
cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas
pertanian. Munculnya Revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah
kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat
pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan
pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian
bibit unggul dalam bidang pertanian.
Revolusi Hijau lahir dari gagasan hasil penelitian dan tulisan Thomas
Robert Malthus pada tahun 1766-1834 yang mengemukakan bahwa masalah
kemiskinan adalah masalah yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Gagasan
tentang Revolusi Hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert
Malthus (1766-1834) yang berpendapat bahwa “Kemiskinan dan kemelaratan
adalah masalah yang dihadapi manusia yang disebabkan oleh tidak seimbangnya

pertumbuhan penduduk dengan peningkatan produksi pertanian.”
Terjadinya Perang Dunia I telah menghancurkan banyak lahan pertanian di
negara-negara Eropa yang mengancam produksi pangan. Untuk mengatasi
masalah tersebut, para pengusaha Amerika berupaya mengembangkan pertanian
untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan melaksanakan penelitian. Usaha
untuk mencukupi kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau tersebut disokong dan dipelopori oleh dua lembaga ilmiah,

3

yaitu Ford Foundation dan Rockefeller Foundation.1 Dalam penelitian tersebut
mencari berbagai varietas tanaman penghasil biji-bijian, terutama yang diproduksi
dalam jumlah yang sangat banyak (beras dan gandum). Di samping hal tersebut
yang juga mempengaruhi perkembangan Revolusi Hijau adalah perkembangan
teknologi alat-alat pertanian. Penggunaan alat-alat pertanian modern, seperti
mesin, bajak, alat penyemprot hama, mesin penggiling padi, dan pompa irigasi
merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan produksi pertanian.
Selanjutnya perkembangan Revolusi Hijau terjadi pada pasca-Perang
Dunia II. Perang tersebut menyebabkan di berbagai sendi kehidupan mengalami
kerusakan dan roda perekonomian hancur. Lahan-lahan pertanian menjadi hancur

yang akhirnya menyebabkan berkurangnya produksi pangan dunia. Dengan
hancurnya lahan-lahan pertanian tersebut, maka dilakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan produksi pertanian seperti pembukaan lahan-lahan pertanian baru,
mekanisasi pertanian, penggunaan pupuk-pupuk baru, dan mencari metode yang
tepat

untuk

memberantas hama tanaman.

Pada tahun

1962,

Rockefeller

Foundation bekerja sama dengan Ford Foundation mendirikan sebuah badan
penelitian

untuk


tanaman

padi

di

Filipina.

Badan

penelitian

ini

dinamakan International Rice Research Institute (IRRI) yang bertempat di Los
Banos, Filipina. Tujuan utama IRRI adalah untuk mencari cara meningkatkan
kesejahteraan petani, konsumen, serta lingkungannya.
IRRI telah menghasilkan suatu varietas padi baru yang hasilnya jauh lebih
baik daripada hasil varietas lokal di Asia. Varietas baru tersebut merupakan hasil

persilangan genetik antara varietas padi jangkung dari Indonesia yang bernama
Peta. Hasil persilangan tersebut diberi nama IR 8-288-3 (IR-8) dan di Indonesia
dikenal dengan sebutan padi PB-8.2 Perkembangan Revolusi Hijau semakin
meluas di dunia terutama pada daerah-daerah yang dahulunya merupakan daerah
sedang berkembang atau daerah yang selalu mengalami kekurangan akan hasil
1

Marliana, Evi. Revolusi Hijau dan Dampak Sosial Ekonomi di Kabupaten Klaten [pdf]

(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20156742-S%209501340_Revolusi%20Hijau%20dan.pdf) diakses
Kamis 5 November 2015 pukul 22.24.
2

Ibid

4

pertanian, seperti di India yang telah berhasil melipatgandakan panen gandumnya
dalam waktu enam tahun dan menjelang tahun 1970 sudah hampir dapat
memenuhi


kebutuhannya

sendiri.

Filipina

telah

berhasil

mengatasi

ketergantungannya pada beras impor, bahkan akhir tahun 1960-an telah menjadi
eksportir beras. Hal tersebut telah mendasari pemerintah Orde Baru untuk
menerapkan kebijakan Revolusi Hijau dan menimbulkan optimisme bahwa
Revolusi Hijau dapat menghasilkan cukup banyak pangan untuk memberi makan
kepada penduduk sampai waktu yang lebih lama. Produksi hasil pertanian
mengalami peningkatan yang cukup melimpah. Apalagi di era Orde Lama
ekonomi sangat terpuruk sekali sehingga menuntut pemerintan Orde Baru untuk

mencari jalan bagaimana memulihkan kembali perekonomian Indonesia.
Kebijakan Revolusi Hijau termasuk ke dalam Repelita I yang dimulai
pada tahun 1969. Tujuan Repelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan di tahap berikutnya. Titik
berat pembangunan diletakkan pada pembangunan bidang pertanian sesuai
dengan tujuan mendobrak keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan
bidang pertanian karena sebagian besar penduduk masih hidup dari pertanian.
2.2 Pelaksanaan Revolusi Hijau dan Hasil yang Dicapai: Studi Kasus Kabupaten
Klaten tahun 1968-1969
Sebagai suatu penemuan baru, Revolusi Hijau tentu harus di ujicoba
terlebih dahulu sebelum dilaksanakan di seluruh Indonesia. Percobaan yang
pertama dilakukan adalah di daerah Klaten Jawa Tengah. Klaten dianggap sebagai
daerah yang cukup potensial untuk diujicobakan bagi pelaksanaan Revolusi
Hijau. Penerapan Revolusi Hijau di Klaten dijalankan oleh gerakan yang disebut
Bimbingan Masyarakat (Bimas) Tani Makmur. Bimas adalah program nasional
untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Bimas
memperkenalkan penggunaan benih PB-8 yang disebar di areal seluas 13.134 Ha.
Pelaksanaan Bimas tersebut dipimpin oleh seorang ahli pertanian dari Jerman
barat, Dr. Smith yang didampingi oleh Dinas Pertanian setempat. Mereka
5


memberi penyuluhan kepada para petani tentang cara bertani yang baik dan cara
penggunaan alat-alat pertanian secara efektif. Gerakan Bimas berintikan tiga
komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha
Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya
dukungan kredit dan infrastruktur. Revolusi Hijau mendasarkan diri pada empat
pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia
secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme
pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas.
Proyek yang pertama ditangani adalah rehabilitasi jaringan irigasi termasuk
pengendalian banjir yang meliputi ratusan ribu hektar persawahan dalam upaya
mencapai swasembada beras. Program ini juga diikuti dengan program Bimas
dengan memberikan kepada petani sarana pupuk melalui pembangunan pabrikpabrik pupuk urea seperti di Palembang, Cikampek, dan Kalimantan Timur. 3
Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil
tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam
setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak
mungkin terjadi.
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk
menggalakan revolusi hijau, diantaranya adalah dengan upaya:
1. Intensifikasi Pertanian, yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan

menerapkan formula pancausaha tani (pengolahan tanah, pemilihan bibit
unggul, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama).
2. Ekstensifikasi Pertanian, yaitu upaya memperluas lahan tanah yang dapat

ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus
menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu

lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan

3

Setyohadi, Tuk. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Rajawali
Corporation.

6

karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa,
mencegah penurunan pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian, merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber

daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta
daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di
daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan
dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
Hasil-hasil dari penerapan Revolusi Hijau dapat dikatakan cukup berhasil.
Beberapa hasil positif yang dirinci dari penerapan Revolusi Hijau adalah:
a. Memberikan lapangan kerja bagi para petani maupun buruh pertanian
b. Daerah yang tadinya hanya dapat memproduksi secara terbatas dan hanya
untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakatnya dapat menikmati hasil
yang lebih baik karena revolusi hijau.
c. Kekurangan bahan pangan dapat teratasi.
d. Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia
terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang
beralih usaha ke sektor agrobisnis.
e. Meningkatkan produktivitas tanaman pangan.
f. Peningkatan produksi pangan menyebabkan kebutuhan primer masyarakat
industri menjadi terpenuhi.
g. Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
h. Kualitas tanaman pangan semakin meningkat.
2.3 Dampak Sosial Ekonomi Bagi Masyarakat Klaten Akibat Kebijakan
Revolusi Hijau
Revolusi hijau yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto di masa Pelita
I dan II memang menimbulkan hasil yang begitu memuaskan. Kebijakan revolusi
hijau pun menuai hasilnya dengan produksi beras yang sangat melimpah.
Produksi pangan mengalami kenaikan ketika program intensifikasi khusus (insus)
dilaksanakan pada tahun 1980. Hasilnya, Indonesia mampu mencapai tingkat
7

swasembada beras dan berhenti mengimpor beras pada tahun 1984. Padahal, pada
tahun 1977 dan 1979 Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia.
Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif dalam pengadaan pangan. Hal
ini berarti Indonesia telah dapat mengatasi masalah pangan. Namun kebijakan
revolusi hijau tersebut menimbulkan pengaruh yang kontradiksi dengan
kehidupan masyarakat saat itu, terutama petani yang berkaitan langsung dengan
kebijakan tersebut.
Pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan revolusi hijau itu dengan
cara membimbing para petani menjalankan pertanian sesuai dengan kehendak
pemerintah. Sebagai penyalur informasinya dibentuk organisasi bimbingan
massal (Bimas) yang melibatkan semua level pemerintahan dari pusat sampai
desa. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-kelompok tani yang berfungsi untuk
menjalankan instruksi di lapangan. Perannya sama seperti prajurit di medan
perang, yaitu petani tidak boleh mengambil keputusan soal produksi. Pemerintah
akan memutuskan jenis benih apa yang akan digunakan, berapa lama waktu
tanam, jenis pupuk, pestisida, dan lain-lain. Kemudian, petani tinggal
melaksanakan apa yang diinstruksikan, setelah diberikan penyuluhan oleh
lembaga-lembaga penyuluhan yang dibentuk oleh Departemen Pertanian. Kalau
ada petani yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis
lain, maka aparat keamanan akan "mengamankan"-nya.
Namun demikian, tak jarang terjadi di lapangan, metode ini dirasakan
menjadi semacam pemaksaan dari penguasa kepada rakyatnya. Dalam
kepemimpinannya, Soeharto sering menggunakan kekerasan sebagai alat untuk
memecahkan masalah. Apabila terdapat kelompok masyarakat yang menolak
gagasan pembangunan ataupun melakukan perlawanan, security approach pun
dilakukan,

dengan

segera

kelompok

tersebut

mendapat

tuduhan

anti

pembangunan, melawan negara, PKI, anti Pancasila dan sederet stigma politik
lainnya. Tetapi hal tersebut justru menimbulkan dampak negatif, yaitu membuat
masyarakat terbiasa dengan doktrin-doktrin ekonomi-sosial-politik, membuat
masyarakat kita menjadi tidak kreatif. Kebanyakan dari masyarakat awam lebih
8

suka mendapatkan instruksi yang jelas dan diberi arahan untuk mencapai target
apa.
Revolusi hijau di Klaten berdampak kepada kepemilikan tanah pertanian,
yang tadinya adalah kepemilikan komunal berubah menjadi kepemilikan individu.
Proses perubahan terjadi karena perkembangan teknologi baru dan meningkatnya
jumlah penduduk sehingga nilai tanah semakin tinggi sehingga menimbulkan jual
beli tanah karena meluasnya sistem bagi hasil dan sewa menyewa tanah.
Kepemilikan tanah hanya dikuasai beberapa orang saja. Dari situ terjadilah
ketimpangan antara pemilik tanah dengan petani penggarap, karena kepemilikan
tanah disesuaikan menurut struktur sosial yang ada di masyarakat desa. Hal itu
akan mempengaruhi para petani kecil dan rakyat yang kurang memiliki sehingga
kepemilikan tanah menjadi timpang. Dari kenyataan tersebut ternyata
memunculkan buruh tani dan petani miskin di Klaten.
Ketimpangan kepemilikan tanah yang dijelaskan sebelumnya juga
berpengaruh terhadap nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat Klaten.
Hal itu ditandai dengan merenggangnya hubungan patron-client dalam
masyarakat desa. Perwujudan sistem patron-client dalam pertanian adalah patron
sebagai pemilik sawah, sedangkan client disini yaitu: 1) anggota keluarga,
memperoleh ½ hingga ¼ dalam setiap hasil panen, 2) tetangga dan kerabat dekat
memperoleh ¼ hingga 1/6, dan 3) orang satu desa memperoleh 1/10. Pembagian
tersebut semakin lama memberatkan pemilik sawah karena menimbulkan
kerugian. Dengan masuknya teknologi baru di pertanian menjadikan produksi
lebih komersil. Keadaan tersebut mengakibatkan semakin banyak pemilik yang
melepaskan diri dari sistem patron-client itu. Di masa lalu para patron memikul
kewajiban moral untuk mendistribusikan kesejahteraan kepada client-nya.
Dengan diperkenalkannya teknologi padi baru, petani dirangsang untuk berpikir
secara komersial. Prinsip saling tolong menolong antara patron dan client pun
mulai ditinggalkan.
Sementara di bidang ekonomi, kebijakan revolusi hijau juga memberikan
dampak yang cukup berarti. Revolusi hijau telah meningkatkan pendapatan petani
9

di Klaten. Mereka yang berhasil mengumpulkan modal dari keuntungan produksi
pertanian membuka usaha sampingan seperti membuka warung kecil. Selain itu
mereka dapat menambah konsumsi dan menutup biaya pendidikan bagi anak-anak
mereka. Dengan paket teknologi, biaya produksi memang bertambah. Namun,
tingkat produksi yang dihasilkan akan memberikan sisa keuntungan jauh lebih
besar daripada keuntungan dalam usaha pertanian tradisional. Peningkatan hasil
pertanian dapat dilihat dari bertambahnya luas panen setiap tahunnya. Pada tahun
1968 luas panen padi adalah 49.898 ha, tahun 1970 mencapai 52.916 ha, tahun
1975 mencapai 54.862 ha, dan tahun 1980 mencapai 62.859 ha.
Dengan meningkatnya hasil produksi pertanian kesejahteraan masyarakat
pun juga meningkat. Dilihat dari pendapatan per kapita Klaten berdasarkan dari
tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dan kepala keluarga, terlihat hasil pertanian
dari tahun 1976 hingga 1980 di tabel berikut
Tahun
1976
1978
1980

Pendapatan Hasil
Produksi
48.249.160
76.944.167
109.290.711

Produksi Pertanian
20.707.797
32.546.753
46.625.906

Pendapatan Per
Kapita (Rupiah)
46.773
72.299
100.607

Dilihat dari angka-angka tersebut produksi pertanian mengalami
peningkatan. Hingga tahun 1980 sektor pertanian masih memegang peranan
penting dalam menyumbang nilai bersih bagi pendapatan daerah. Namun terdapat
kecenderungan bahwa kenaikan pendapatan hanya dirasakan oleh para petani
kaya yang memiliki tanah luas karena sistem kepemilikan tanah di Klaten masih
timpang. Mereka yang memiliki tanah luas adalah orang-orang yang memegang
peranan penting di masyarakat. Terlihat dari ketidak seimbangan pembagian tanah
antara tanah bengkok dan tanah perseorangan.

10

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Revolusi Hijau sempat sangat populer di Indonesia khususnya masa Orde
Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Revolusi hijau adalah cara bercocok
tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan
produktivitas pertanian. Munculnya Revolusi Hijau adalah karena munculnya
masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang
sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Terdapat beberapa
upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menggalakan revolusi hijau,
diantaranya adalah dengan upaya intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian,
diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian. Hasil positif pun dicapai dari
kebijakan Revolusi Hijau, yaitu sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga
perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi
sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis. Bahkan Indonesia mampu
berswasembada pangan pada tahun 1984.
Kebijakan Revolusi Hijau pun menimbulkan dampak bagi kehidupan
masyarakat, terutama kaum petani. Pemerintah Orde Baru yang menjalankan
kebijakan Revolusi Hijau itu dengan cara membimbing para petani menjalankan
pertanian sesuai dengan kehendak pemerintah justru menjadikan petani menjadi tidak
kreatif. Selain itu kepemilikan tanah berubah dari kepemilikan komunal menjadi
kepemilikan individu akibat karena perkembangan teknologi baru dan meningkatnya
jumlah penduduk sehingga nilai tanah semakin tinggi. Ketimpangan kepemilikan
tanah juga berpengaruh terhadap nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat
yang ditandai dengan merenggangnya hubungan patron-client dalam masyarakat
desa. Walaupun terdapat dampak sosial yang kurang baik, Revolusi Hijau justru
berdampak baik bagi perekonomian dengan meningkatnya pendapatan perkapita dan
Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan sehingga menjadi negara
pengekspor beras.
11

DAFTAR PUSTAKA
Emerson, Donald K. Indonesia Beyond Soeharto. 2001. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2011. Sejarah Nasional
Indonesia VI. –cet.5- Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Setyohadi, Tuk. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Dari Masa Ke Masa. Jakarta:
Rajawali Corporation.
SUMBER REFERENSI
Marliana, Evi. Revolusi Hijau dan Dampak Sosial Ekonomi di Kabupaten Klaten
[pdf]
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20156742-S%209501340_Revolusi
%20Hijau%20dan.pdf) diakses Kamis 5 November 2015 pukul 22.24.
Rangkuti, Khairunnisa. Swasembada Beras Pada masa Orde Baru: Sebuah perspektif
dari

sisi

Enforcement

Negara

[web]

(http://www.kompasiana.com/nisarangkuti/swasembada-beras-pada-masaorde-baru-sebuah-perspektif-dari-sisi-enforcementnegara_5500ae248133116619fa7b90) diakses Kamis 5 November 2015 pukul
19.51.
http://www.pertanian.go.id/

12

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25