Kompetensi interpersonal anak tuna netra di sekolah luar biasa bagian A - USD Repository

  

KOMPETENSI INTERPERSONAL ANAK TUNA NETRA

DI SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN A

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Aurelia Tyas Reneng Ayomi

  

NIM : 049114037

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  Do your best and let God take care of the rest Cita-cita mendekat sejauh kaki mengayuh Impian kian melekat seakrab tekad dibangun Masa depan tergenggam erat Sehasrat hati bertekun….

  Teruntuk kedua orangtuaku…

Yang telah menghujani aku dengan cinta yang tak berujung…

Atas doa dan pengharapan yang tiada putus-putusnya… Semoga persembahan kecil ini mampu membalut luka dan membasuh perih….

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana

kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh anak-anak tuna netra. Kompetensi

interpersonal dalam penelitian ini adalah kemampuan dalam melakukan hubungan

interpersonal secara efektif, yang terdiri dari kemampuan melakukan inisiatif,

kemampuan untuk membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan

memberikan dukungan emosional serta kemampuan mengatasi konflik.

  Subyek dalam penelitian ini adalah anak tuna netra, berjumlah tiga orang,

berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 10 dan 11 tahun dan duduk di bangku

kelas 3 dan 4 di salah satu Sekolah Luar Biasa bagian A di kota Yogyakarta.

Penelitian menggunakan observasi natural dengan peneliti sebagai partisipan.

Selain itu, peneliti menggunakan satu orang pengamat tambahan untuk membantu

menjaga obyektivitas dan validitas data penelitian.

  Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak semua subyek

mempunyai kompetensi interpersonal yang sama. Meski secara umum mampu,

tetapi ternyata ada ketidakmampuan yang dimiliki oleh subyek. Dalam hal ini

terutama ketidakmampuan subyek untuk membuka diri dan berikutnya adalah

ketidakmampuan subyek mengatasi konflik ketika berhubungan dengan orang

lain.

  Kata kunci : kompetensi interpersonal, tuna netra, SLB A

  ABSTRACT This research was designed to find out and to illustrate the interpersonal

competencies of the blind children. In this research, interpersonal competencies

consisted of ability to take an initiative, ability to open himself among others,

ability to act assertively, ability to give emotional support for others, and ability

inresolving conflict.

  The subject of this research were three male, blind children of 10-11 year

old. They studied at elementary school for disabled children called “SLB A”. This

research used naturalistic observation with researcher as participant. Researcher

was helped by the additional observer to assist the research and to ensuring the

objectivity and validity of the data.

  The conclusion says each subject has differences in his own interpersonal

competencies. There are two main differences, i.e ability of each subject to open

himself to others and their ability to deal with conflict with the others. Key words : interpersonal competencies, blind children, “SLB A”

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

  Skripsi ini merupakan perjalanan penulis dalam menuntut ilmu, yang telah mengajarkan kepada penulis arti sebuah perjuangan dan kesabaran. Semoga apa yang penulis tuliskan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan penelitian ini. Penulis berterima kasih kepada :

  1. Tuhan Yesus Kristus, atas kesempatan hidup, belajar, dan bekerja. Terima kasih untuk semua yang diberikan. Aku akan mengingat janjiku pada-Mu.

  2. Orang tua penulis, alm. Bapak Ignatius Iswahono dan Ibu Ignatia In Prihati yang tiada putusnya mendukung dan menyemangati penulis hingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk kasih sayang dan doa yang selalu bisa memberi pengharapan baru bagi penulis.

  3. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas berbagai bekal ilmu pengetahuan maupun kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam mengurus berbagai perijinan selama penulis melaksanakan penelitian.

  4. Romo Dr. A. Priyono Marwan, SJ selaku dosen pembimbing skripsi.

  5.

  6. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas segala bimbingan yang telah diberikan selama penulis menimba ilmu di Fakultas Psikologi. Terimakasih pula atas kepercayaan dan nasehat yang telah diberikan.

  7. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi., M.Si atas bimbingan dan diskusinya, terutama dalam metodologi penelitian skripsi. Penulis akan selalu ingat saran Ibu...

  8. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si. Terima kasih telah memberi kesempatan kepada penulis untuk bekerja bersama di Divisi Konseling Fakultas Psikologi. Pengalaman membangun sesuatu yang baru, teman baru, dan semangat baru... Diskusi-diskusi bersama Ibu selalu mengasyikan..

  9. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S selaku dosen penguji skripsi.

  10. Kepala Yayasan dan Kepala Sekolah, Sekolah Luar Biasa A “Yakketunis” Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di dalam lingkungan Sekolah Luar Biasa A “Yakketunis”.

  11. Suster-suster PMY, Hellen Keller Indonesia (Suster Magda, Suster Emil, Suster Anas, Suster Yovita, serta adikku Rosa) atas kesediaannya untuk berdiskusi dan menerima penulis serta meminjamkan buku-bukunya.

  12. Ik, Mb’ Pin, dan keluarga besar di Temanggung. Terimakasih banyak… 13.

  Segenap dosen fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

  14. Adik-adik yang telah menjadi subyek penelitian. Terima kasih atas kebersamaan dan kenangan indah bersama kalian…

  15. Adikku, Kristoforus Aring Sulistyo. Terimakasih atas bantuan, doa dan dukungannya ya… Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.

  Lanjutkan cita-citamu untuk menjadi wartawan.. Aku mendukungmu!! Untuk Aldo, Enno, Nia, Nino, Anin, dan Salva. Makasih ya udah membuatku selalu tersenyum... Ata, makasih pinjeman laptopnya…

  16. Fanni Anindyati ’04. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku.

  Terima kasih udah mau dengerin keluh kesahku, mau mendampingi di saat-saat terberat dalam hidupku dan selalu memberi dukungan bagiku.

  17. Teman-teman seperjuanganku, Indra, Lusi, Ruri, Dita, Mita, Yaya, Ocha, Yoyok, Krisna, Sronggot, terimakasih atas kebersamaan dan kenangan- kenangan indah yang kalian torehkan di hati penulis. Susi, untuk kebersamaan kita di ruang baca. Mietha, untuk catatan observasinya… 18. Teman-teman asisten konselor Divisi Konseling Fakultas Psikologi. Tidak ada pekerjaan yang sulit dan membosankan. Terima kasih untuk dukungan, bantuan, pengertian, dan kerjasama selama kita bekerja bersama. Aku senang bekerja dan mengisi hari bersama kalian. Verty dan Raniy, aku akan selalu ingat diskusi-diskusi kecil kita di ruang konseling. Puput, makasih pinjeman laptopnya. Mas Yudhi, Sumar, makasih udah dengerin curhatku dan makasih editannya. Wira dan Karen, makasih untuk kerjasamanya. Untuk semuanya, terimakasih udah menjadi teman, saudara, dan rekan kerja. Terima kasih untuk pengertian dan kebijaksanaannya. Aku belajar banyak bersama kalian.

  19. Mbak Margaretta D. R. Sari ’03, terima kasih untuk diskusi dan bantuannya selama aku mengerjakan skripsi ini.

  20. Mas Gandung dan Mbak Nanik yang telah membantu penulis dalam melancarkan kebingungan dalam urusan-urusan administrasi. Mas Doni di Ruang Baca, terima kasih sudah membantu penulis dengan meminjamkan buku-buku yang dibutuhkan guna penyusunan skripsi ini. Mas Muji & Pak Gie, tetep semangat & terima kasih.

  21. B, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup kita..

  Seandainya aku masih bisa memilih..

  22. Untuk teman-teman Psikologi ’04, tetep semangat ya… Penulis tidak akan melupakan saat-saat indah bersama kalian.

  23. Untuk Petrus Dedy Prasetyo. Terimakasih atas perhatian dan pengertianmu. Terima kasih pernah menorehkan kenangan indah di hati penulis. Percaya, semua akan indah pada waktunya…

  Penulis

  DAFTAR ISI Halaman

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN...........……………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.………………..................... iii HALAMAN MOTTO.........................……………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………….. v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.....……………... vi ABSTRAK......................................................................…................... vii ABSTRACT…………..............………………………………………. viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……... ix KATA PENGANTAR.......……………………………………………. x DAFTAR ISI…………………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL…………………………………………………….... xvii BAB I. (PENDAHULUAN) …………………………………………....

  1 A. Latar Belakang………..……………………………………..

  1 B. Rumusan Masalah…………………………………………..

  6 C. Tujuan Penelitian……………………………………………

  6 D. Manfaat Penelitian……………………………………..……

  7 BAB II. (TINJAUAN PUSTAKA) …………………………………….

  8 A. Kompetensi Interpersonal…………………………………...

  8 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal…………………...

  8

  2.

  9 Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal………………...

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Inter- personal…………………………………………………. 13 B.

  15 Tuna Netra…………………………………………………..

  1.

  15 Pengertian Tuna Netra…………………………………..

  2.

  16 Klasifikasi Tuna Netra…………………………………..

  3.

  18 Karakteristik Anak Tuna Netra………………………….

  C.

  22 Sekolah Luar Biasa Bagian A……………………………….

  D.

  Kompetensi Interpersonal Tuna Netra di Sekolah Luar Biasa bagian A……………………………………………………..

  23 BAB III. (METODOLOGI PENELITIAN) …………………………….

  26 A.

  26 Desain Penelitian…………………………………………… B.

  27 Batasan Operasional………….……………………………..

  C.

  28 Subyek Penelitian…………………………………………… D.

  30 Metode Pengumpulan Data………………………………….

  E.

  33 Metode Pencatatan Data…………………………………….

  F.

  34 Analisis Data………………………………………………...

  G.

  35 Validitas dan Reliabilitas dalam Studi Kualitatif……………

BAB IV. (PELAKSANAAN, ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN) ……………………………………………

  38 A.

  38 Pelaksanaan Penelitian……………………………………… B.

  40 Hasil Penelitian……………………………………………… 1.

  41

  47 C. Pembahasan………………………………………………….

2. Analisis Hasil Penelitian Utama..……………………….

  63 BAB V. (KESIMPULAN DAN SARAN) ……………………………..

  70 A. Kesimpulan…………………………………………………. 70 B. Keterbatasan Hasil Penelitian……………………………….

  71 C. Saran………………………………………………………... 72 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………...........

  74 LAMPIRAN………………………………………………………….....

  77 Lamp 1 : Pedoman Observasi Lapangan ………………………

  78 Lamp 2 : Hasil Penelitian dan Koding…………………………

  83 Lamp 3 : Hasil Wawancara Cross-check.................................... 113 Lamp 4 : Kartu Data Observasi.……………………………….. 125 Lamp 6 : Kode Data dan Cara Membaca Kode Data………….. 146 DAFTAR TABEL Halaman

  Tabel 1. Deskripsi Perilaku yang Diamati……………………………

  32 Tabel 2. Data Demografi Subyek…………………………………….

  40 Tabel 3. Rangkuman Hasil Penelitian ………………………………

  63

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan yang paling menonjol pada anak-anak usia sekolah adalah

  perkembangan sosial karena pada masa ini anak mulai mengembangkan lingkup pergaulannya keluar rumah, yaitu ke lingkungan sosial yang lebih luas (Mulyati, 1997). Di masa ini, anak-anak mulai merasakan kepekaan terhadap orang lain di sekitar mereka (Sullivan dalam Santrock, 1995). Masa dimana anak-anak menjadi pribadi yang sosial dan harus menjalin hubungan dengan orang lain adalah tugas utama pada masa akhir kanak-kanak yaitu pada usia 6- 10 atau 12 tahun (Hurlock, 1978). Hurlock (1978) juga menambahkan bahwa anak-anak usia 6-12 tahun dituntut untuk bisa bersosialisasi dengan teman sebaya secara efektif, baik itu di sekolah ataupun di rumah. Hal tersebut merupakan keterampilan yang harus dimiliki pada masa kanak-kanak akhir.

  Kualitas dalam melakukan keterampilan bersosialisasi tersebut akan menentukan keberhasilan anak dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

  Kemampuan bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan orang lain itulah yang disebut sebagai kompetensi interpersonal.

  Spitzberg dan Cupach dalam Nashori (2000) mendefinisikan kompetensi interpersonal sebagai suatu kemampuan dalam melakukan hubungan yang efektif dapat ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Supratiknya (2000) menambahkan, hubungan antar pribadi ditentukan oleh kemampuan mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin disampaikan dan menciptakan kesan yang diinginkan.

  Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) mengemukakan lima aspek kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, dapat memberikan dukungan emosional, serta mampu mengatasi konflik.

  Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui lima aspek kompetensi interpersonal di antara anak tuna netra. Anak tuna netra adalah anak yang mengalami kelainan pada indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan (Pradopo, Soekini Ts., Suharto, Tobing, 1979).

  Anak tuna netra mempunyai keterbatasan dalam perkembangannya yaitu bahwa mereka menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi anak normal tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual (Pradopo, Soekini Ts., Suharto, Tobing, 1979). Tarsidi (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh manusia berasal dari indera penglihatan, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Sebagai konsekuensinya, bila seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan, maka kemampuan visualnya menjadi dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Hal ini didukung juga oleh penelitian Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa 80% informasi yg diterima orang berasal dari informasi visual, maka gangguan pada indera penglihatan membuat banyak sekali porsi informasi yang hilang ().

  Untuk melakukan kompetensi interpersonal secara efektif, seorang anak harus bisa melakukan komunikasi yang baik, sedangkan komunikasi dapat berjalan dengan baik apabila anak dapat menginterpretasikan pesan visual yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan. Dengan demikian, anak-anak tuna netra dipandang kurang mempunyai kompetensi interpersonal disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam penggunaan indera penglihatan.

  Minat penelitian timbul dari kedekatan tempat tinggal peneliti dengan SLB A. Peneliti melihat keseharian mereka dari dekat, maka peneliti berempati pada anak-anak tuna netra dan ingin melakukan penelitian lebih lanjut agar dapat membantu tuna netra untuk lebih mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain, khususnya dengan lingkungan sekitarnya.

  Hal ini dikuatkan oleh wawancara peneliti dengan salah seorang pengasuh anak tuna netra di salah satu SLB A di kota Yogyakarta (14 Februari 2008).

  Beliau mengatakan anak tuna netra pada umumnya mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Mereka seringkali bertanya tentang sesuatu yang ingin mereka ketahui, bahkan dapat memaksakan sesuatu jika mereka ingin cenderung bersikap tertutup. Mereka seringkali menyendiri di salah satu sudut ruangan dan kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya. Anak-anak tuna netra terkadang juga kurang dapat bersikap asertif. Mereka cenderung bersikap diam, acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya sehingga kurang dapat memberikan dukungan emosional dengan akibat mereka menjadi kurang mampu mengatasi konflik dalam hubungan mereka dengan orang lain.

  Hal inilah yang menjadi masalah anak-anak tuna netra.

  Berkaitan dengan hal tersebut, maka kompetensi interpersonal sangat penting dimiliki oleh anak-anak tuna netra agar mereka dapat membina hubungan interpersonal yang baik, misalnya dapat menjalin persahabatan dengan teman-temannya, dapat berinteraksi dengan orang lain serta melanjutkan hidupnya dengan mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain.

  Salah satu faktor yang membuat kompetensi interpersonal dapat berkembang adalah apabila anak-anak melakukan interaksi atau kegiatan bersama-sama dengan teman-temannya, sedangkan salah satu tempat dimana seorang anak melakukan interaksi dengan teman-temannya adalah di lingkungan sekolah. Pada usia anak-anak, sekolah memberikan dampak yang penting dalam kompetensi karena anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dan melakukan kegiatan belajar di sekolah sehingga lingkungan sekolah memberikan andil yang besar dalam perkembangan sosial anak (Santrock, 1995).

  Sekolah mempunyai fungsi yang penting dalam meningkatkan keterampilan anak untuk melakukan interaksi. Sekolah menjadi tempat yang penting karena sekolah mempunyai peran dalam membimbing serta mengarahkan anak-anak didik mereka dalam bertindak dan berperilaku.

  Sekolah juga tidak hanya mengajarkan hal-hal yang berbau akademik saja tetapi juga mengajarkan bagaimana cara untuk bergaul, bersahabat, bekerja sama dalam kelompok dan berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Santrock (1995) menyatakan, relasi dengan teman-teman sebaya di sekolah juga dapat mendukung anak karena anak belajar berinteraksi dengan dunia sosial, bekerja sama, dan belajar mempunyai sahabat.

  Periode tahun sekolah dasar adalah tahun pertama seorang anak untuk mencapai suatu perubahan dari seorang “anak rumah” menjadi seorang “anak sekolah” dimana peran dan kewajiban-kewajiban baru mereka alami untuk yang pertama kali. Mereka berinteraksi dan mengembangkan hubungan dengan orang-orang baru yang penting lainnya, mengadopsi kelompok acuan baru, dan mengembangkan standard-standard baru untuk menilai diri mereka sendiri (Stipek dalam Santrock, 1995).

  Anak-anak tuna netra di Indonesia mencari ilmu di Sekolah Luar Biasa bagian A, atau yang kita kenal dengan SLB A. Sekolah Luar Biasa memberikan fasilitas yang cukup memadai bagi anak tuna netra. Guru-guru yang mengajar di Sekolah Luar Biasa telah dibekali keterampilan dan ilmu untuk mengajar dan membimbing anak dengan kebutuhan khusus, terutama

  Berkaitan dengan tujuan pendidikan, anak-anak tuna netra juga dapat mengembangkan keterampilan interpersonalnya dengan bersekolah karena mereka mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Sekolah Luar Biasa diharapkan dapat menciptakan kondisi dimana anak-anak tuna netra mampu melakukan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan kompetensi interpersonal mereka. Sekolah tersebut membiasakan anak-anak tuna netra untuk hidup berdampingan dengan orang lain sehingga memungkinkan mereka untuk lebih dapat mengembangkan kemampuan interpersonal, yaitu kemampuan untuk melakukan inisiatif, kemampuan untuk membuka diri, bersikap asertif, memberikan dukungan emosional kepada orang lain serta kemampuan mengatasi konflik. Oleh sebab itu penulis ingin mengetahui bagaimana kompetensi interpersonal yang dimiliki anak tuna netra yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa bagian A.

B. Rumusan Masalah

  Bagaimana kompetensi interpersonal yang dimiliki anak-anak tuna netra di Sekolah Luar Biasa bagian A ? C.

   Tujuan Penelitian

  Untuk menggambarkan dan mengetahui bagaimana kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh anak-anak tuna netra yang bersekolah di

D. Manfaat Penelitian

  1. Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia, tentang bagaimana mengelola dengan lebih baik anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, terutama anak- anak tuna netra yang berada di Sekolah Luar Biasa bagian A.

2. Penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai kompetensi interpersonal anak-anak tuna netra di Sekolah Luar Biasa bagian A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kompetensi Interpersonal

1. Pengertian Kompetensi Interpersonal

  Kompetensi menurut Purwadarminta dalam Anastasia (2004) adalah suatu kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dapat diukur dari tingkah laku. Kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dimiliki misalnya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sementara itu yang dimaksud dengan hubungan interpersonal menurut Kartono dalam Anastasia (2004) adalah hubungan antara individu-individu, dimana individu yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi.

  Spitzberg dan Cupach dalam Nashori (2000) mendefinisikan kompetensi interpersonal sebagai suatu kemampuan dalam melakukan hubungan interpersonal secara efektif. Kemampuan melakukan hubungan interpersonal yang efektif dapat ditandai dengan adanya karakteristik- karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Didalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan tentang perilaku non-verbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari dalam interaksi tersebut. Supratiknya (2000) menambahkan, hubungan antar pribadi ditentukan oleh kemampuan mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin disampaikan dan menciptakan kesan yang diinginkan.

2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal

  Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) mengemukakan lima aspek kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, serta kemampuan mengatasi konflik dalam berhubungan dengan orang lain.

a. Kemampuan untuk berinisiatif

  Menurut Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988), inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sediri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya. Perilaku yang mencerminkan kemampuan berinisiatif menurut

  Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) yaitu : (1) Mengenalkan diri pada orang baru yang ditemui, (2) Memulai percakapan dengan orang baru, (3) Menjadi orang yang menarik dan

b. Kemampuan untuk membuka diri

  Kartono dan Gulo dalam Nashori (2000) menyatakan bahwa pembukaan diri adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga dirinya dikenal oleh orang lain. Dalam pengungkapan diri, menurut Wrigthsman dan Deaux dalam Nashori (2000), seseorang mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian pada orang lain, sebagai suatu bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan terjadinya sharing.

  Dengan adanya pembukaan diri, terkadang seseorang akan menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembukaan diri merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan terhadap orang lain.

  Menurut Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988), contoh perilaku yang menunjukkan keterbukaan diri adalah : (1) Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengerti dirinya secara lebih mendalam, (2) Berani mengungkapkan diri secara pribadi tentang dirinya ketika berbicara dengan orang lain, (3) Berani mengungkapkan kepada teman-temannya bahwa dirinya merasa malu, (4) Membiarkan teman-teman mengetahui tentang dirinya yang sebenarnya. c.

  Kemampuan untuk bersikap asertif Dalam konteks komunikasi interpersonal, subyek seringkali harus mampu mengungkapkan ketidaksetujuan atas berbagai macam hal atau peristiwa yang tidak sesuai dengan pikirannya. Hal itu berarti diperlukan adanya asertivitas dalam diri orang tersebut.

  Menurut Perlman dan Cozby dalam Nashori (2003), asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaannya secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas.

  Diungkapkan pula oleh Calhoun dan Acocella dalam Nashori (2003) bahwa kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan atau menolak untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

  Jadi, kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas, meminta orang lain melakukan sesuatu, dan menolak melakukan hal yang tidak diinginkan tanpa melukai perasaan orang lain.

  Menurut Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988), asertivitas terlihat dalam kemampuan : (1) Mengatakan kepada teman cara/perlakuan yang tidak disenangi, (2) Mengatakan “tidak” ketika tidak mau melakukan hal yang tidak ingin dilakukan, (3) Mengatakan kepada teman bahwa mereka/dia telah melakukan hal yang membuatmu marah.

  d. Kemampuan memberikan dukungan emosional Perilaku yang menunjukkan dukungan emosional menurut

  Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) adalah: (1) Menjadi orang yang dapat mendengarkan keluh kesah ketika teman mempunyai persoalan, (2) Membantu teman untuk menguasai keadaan atau menguasai diri ketika mereka mempunyai persoalan dengan teman lain, (3) Dapat bersikap tulus dan memberikan perhatian kepada teman yang sedang kesusahan.

  e. Kemampuan dalam mengatasi konflik Johnson mengatakan bahwa konflik merupakan situasi yang ditandai oleh adanya tindakan salah satu pihak yang menghalangi, menghambat, dan mengganggu pihak lain (Supratiknya, 2000). Dalam situasi konflik terjadi empat kemungkinan, yaitu memutuskan untuk mengakhiri hubungan, mengharapkan keadaan membaik dengan sendirinya, menunggu masalah lebih memburuk, dan berusaha menyelesaikan permasalahan (Baron & Byrne, 1991). Apabila seseorang melakukan hal yang terakhir, berarti seseorang tersebut mempunyai kemampuan dalam mengatasi konflik. Termasuk kemampuan mengatasi konflik adalah menyambut atau merespon secara positif isyarat penyelesaian konflik yang disampaikan orang lain. Kemampuan mengatasi konflik itu diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang telah terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru.

  Menurut Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988), perilaku yang menunjukkan adanya kemampuan dalam mengatasi konflik adalah sebagai berikut : (1) Mau mengakui kesalahan dan mendengarkan saran untuk memperbaiki perbuatan yang kurang baik, (2) Dapat menekan perasaan marah sehingga tidak meledak-ledak ketika bertengkar dengan teman, (3) Mau mendengarkan keluhan dari teman dan tidak berusaha mencari pembenaran diri ketika perbuatan yang dilakukan benar-benar salah.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal

  Berbagai penelitian menemukan bahwa Kompetensi Interpersonal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kontak dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya, dan partisipasi sosial.

a. Interaksi anak dengan orang tua

  Menurut Hetherington dan Parke dalam Nashori (2000), kontak anak dengan orang tua banyak berpengaruh terhadap kompetensi mengatakan adanya kontak di antara orang tua dan anak menjadikan anak belajar dengan lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya.

  b.

  Interaksi anak dengan teman sebaya Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) mengatakan bahwa perilaku teman sebaya sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial. Mereka saling mempengaruhi satu sama lain selama melakukan interaksi bersama-sama.

  Lever dalam Hurlock (1980) mengatakan bahwa selama bermain dan berinteraksi dengan teman-teman, anak mengembangkan berbagai keterampilan sosial sehingga memungkinkan untuk menikmati keanggotaan dalam kelompok.

  Kramer dan Gottman menyatakan individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal (Nashori, 2000).

  c.

  Partisipasi sosial Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) menyatakan partisipasi sosial akan menjadikan anak mendapat kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosialnya.

  Hurlock (1997) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial akan lebih banyak berpeluang untuk mengasah keterampilan sosial yang dimiliki termasuk kompetensi interpersonalnya.

B. Tuna Netra

1. Pengertian Tuna Netra

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976) Tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra berarti mata. Tuna netra artinya rusak atau matanya luka atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya.

  White Conference (Widdjajantin dan Hitipeuw, 2006) menyebutkan bahwa seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian dari kedua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.

  Menurut DeMott (Widdjajantin dan Hitipeuw, 2006) istilah buta (blind) diberikan pada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang hanya memiliki persepsi cahaya.

  Istilah tuna netra dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan indera istilah “buta” pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian (sebelah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata itu tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

2. Klasifikasi Tuna Netra

  Anak dengan gangguan atau kerusakan penglihatan adalah anak yang mengalami kerusakan penglihatan sehingga dalam proses pendidikannya harus diajari dapat membaca dengan menggunakan alat bantu Braille atau dengan metode aural (menggunakan media tape yang dapat merekam dan didengar), Hadis (2006).

  Widdjajantin dan Hitipeuw (2006) mengklasifikasi tuna netra menjadi dua bagian, yaitu pembagian berdasarkan waktu kecacatan, dan yang kedua adalah berdasarkan kemampuan daya lihatnya.

  Ditinjau dari waktu terjadinya kecacatan, tuna netra dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Penderita tuna netra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman penglihatan.

  b. Penderita tuna netra sesudah lahir atau pada usia kecil, yakni penderita yang sudah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

  c. Penderita tuna netra pada usia sekolah atau pada masa remaja; kesan- kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam d. Penderita tuna netra pada usia dewasa, yaitu penderita dengan kesadaran yang dimiliki masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

  e. Penderita tuna netra dalam usia lanjut, yang sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

  Berdasarkan kemampuan daya lihatnya, tuna netra dapat digolongkan sebagai berikut : a. Penderita tuna netra ringan (defective vision / low vision), yakni mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan, seperti para penderita rabun, juling, dan myopi ringan. Mereka masih dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum atau masih mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dengan baik.

  b. Penderita tuna netra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan sebagian besar daya penglihatannya. Hanya dengan menggunakan kacamata pembesar mereka masi bisa mengikuti program pendidikan biasa atau masih mampu membaca tulisan-tulisan yang berhuruf tebal.

  c. Penderita tuna netra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat, atau oleh masyarakat disebut “buta”.

3. Karakteristik Anak Tuna Netra

  Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tuna netra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan berkembang anak tuna netra dibandingkan dengan kemungkinan berkembang yang dapat dimiliki oleh anak-anak yang awas. Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tuna netra menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi anak awas tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual. Karakteristik anak tuna netra menurut Widjajatin dan Hitipeuw (2006) antara lain :

a. Curiga terhadap orang lain

  Keterbatasan rangsangan visual menyebabkan anak tuna netra kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun akan terganggu. Tanpa usaha-usaha khusus, baik atas bantuan orang lain ataupun atas usaha sendiri seorang tuna netra tidak akan sekaligus tahu bahwa dihadapannya terletak sebuah benda, bahwa di dalam kelasnya terdapat berbagai macam barang, bahwa di halaman rumah terdapat tanaman bunga beraneka macam, bahwa ditilik dari roman mukanya, ibu guru sedang marah atau sedang menekan perasaan dan lain-lain.

  Pengalaman-pengalaman sehari-hari menunjukkan kepadanya bahwa tidak mudah baginya untuk menemukan sesuatu benda yang sedang dicarinya. Sering dialami kepalanya terbentur pada jendela, bertabrakan dengan orang lain, kakinya terperosok ke dalam lubang dan lain-lain pengalaman yang menimbulkan rasa sakit dan pahit dalam hati, menumbuhkan rasa kecewa dan rasa tidak senang namun tidak diketahuinya kepada siapa rasa tidak senang tersebut akan ditumpahkan.

  Perasaan-perasaan kecewa tersebut di atas yang diakibatkan oleh pengalaman sehari-hari mendorong anak tuna netra untuk selalu berhati-hati, baik terhadap keadaan maupun suasana setempat. Sikap berhati-hati yang berlebihan itulah yang dapat berkembang dan tumbuh menjadi sifat curiga kepada orang lain.

b. Perasaan mudah tersinggung

  Perasaan mudah tersinggung pada anak tuna netra dapat pula tumbuh disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterimanya, juga indera-indera lainnya yang kurang dapat berfungsi dengan baik.

  Pengalaman hidup sehari-hari yang selalu menumbuhkan perasaan kecewa menjadikannya seorang yang emosional. Segala senda gurau, tekanan-tekanan suara tertentu, tekanan atau singgungan fisik yang tidak disengaja dapat saja dijadikan penyebab perasaannya tersinggung. Perasaan mudah tersinggung ini akan merugikan dirinya sendiri, dan dengan demikian dapat merusak pribadinya, menjauhkan teman dari dirinya dan pada akhirnya keadaan tersebut akan membuatnya tidak bahagia dan putus asa.

  c.

  Ketergantungan yang berlebihan Ketergantungan adalah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung untuk mengharapkan pertolongan orang lain.

  Pada anak tuna netra, rasa ketergantungan yang berlebihan tumbuh disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum berusaha sepenuhnya dalam mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan mengharapkan pertolongan, atau disebabkan oleh rasa kasih saying yang berlebihan dari pihak lain dengan cara selalu memberikan pertolongan-pertolongan kepada anak tuna netra sehingga ia tidak dapat belajar suatu apapun.

  Memberikan pertolongan kepada anak tuna netra memang tidak salah, tetapi bila pertolongan tersebut diberikan terus menerus tanpa memberikan kesempatan kepada anak tuna netra untuk berbuat sesuatu, maka pertolongan tersebut telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan.

  d.

  Blindism

  Blindism merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan tuna netra dipandang mata, misalnya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, menggoyang-goyangkan badan dan sebagainya. Semua gerakan ini tidak terkontrol oleh tuna netra, sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.

  e.

  Rasa rendah diri Tuna netra selalu menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain yang normal. Hal ini disebabkan karena mereka selalu merasa diabaikan oleh orang di sekitarnya.

  f.

  Tangan ke depan dan badan agak membungkuk Tuna netra cenderung untuk agak membungkukkan badan dan tangan ke depan. Maksudnya adalah untuk melindungi badannya dari sentuhan benda atau terantuk benda yang tajam.

  g.

  Suka melamun Mata yang tidak berfungsi mengakibatkan tuna netra tidak dapat mengamati keadaan lingkungan, maka waktu yang kosong sering dipergunakan untuk melamun.

  h.

  Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek Fantasi sangat berkaitan dengan melamun. Lamunannya akan menimbulkan fantasi pada suatu obyek yang pernah diperhatikan dengan rabaannya. Fantasi ini cukup bermanfaat untuk perkembangan pendidikan tuna netra. Mudah berfantasi membuat guru menjadi netra sering mengaitkan fantasi dengan pengalaman sehari-hari, maka tak jarang tuna netra dapat menciptakan sebuah lagu atau puisi yang indah. i.

  Kritis Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan mereka dalam berfantasi mengakibatkan tuna netra sering bertanya pada hal-hal yang belum dimengerti sehingga mereka tidak salah dalam konsep. j.

  Pemberani Tuna netra akan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa ragu-ragu. Sikap ini terjadi apabila mereka mempunyai konsep dasar yang benar tentang gerak dan lingkungannnya sehingga kadang- kadang menimbulkan rasa cemas bagi orang lain yang melihat.

C. Sekolah Luar Biasa bagian A

  SLB A adalah singkatan dari Sekolah Luar Biasa Bagian A. Bagian A artinya untuk anak tuna netra. SLB A merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan berbentuk system unit-unit, karena di dalamnya bisa ditemukan jenjang pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak (disebut tingkat Persiapan), tingkat sekolah dasar (disebut tingkat Dasar), tingkat sekolah lanjutan (tingkat lanjutan), tingkat menengah umum (disebut tingkat Lanjutan). SLB A sekaligus merupakan bentuk segregasi (terpisah), karena netra. Keuntungan yang bisa didapat adalah perhatian guru lebih terfokus hanya pada satu jenis kelainan serta kebutuhan anak. Kelemahannya adalah anak kurang mengenal dunia atau lingkungan yang normal, yang akan dimasuki dalam kehidupannya kelak sebagai orang dewasa.

D. Kompetensi Interpersonal Tuna Netra di Sekolah Luar Biasa bagian A

  Purwadarminta dalam Anastasia (2004) mengatakan bahwa kompetensi adalah suatu kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dapat diukur dari tingkah laku. Kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dimiliki misalnya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sedangkan hubungan interpersonal menurut Kartono dalam Anastasia (2004) adalah hubungan antara individu-individu dimana individu tersebut saling mempengaruhi.

  Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan kompetensi interpersonal adalah suatu kemampuan atau kesanggupan individu untuk berhubungan dengan individu lain.

  Kemampuan tersebut terdiri dari kemampuan berinisiatif, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, serta kemampuan dalam mengatasi konflik.

  Tuna netra adalah seseorang yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Anak-anak usia 10-12 tahun mempunyai tugas perkembangan untuk dapat bersosialisasi dan tuna netra kurang mampu bekomunikasi secara efektif dikarenakan kekurangan yang dimiliki membuat anak tuna netra kurang dapat menanggapi rangsangan yang diberikan oleh orang lain.

  Kebutuhan anak-anak tuna netra untuk bersosialisasi dan berkomunikasi tersebut dapat diperoleh melalui jalur pendidikan karena dapat membantu anak-anak tuna netra dalam mengembangkan kemampuan dalam berkomunikasi maupun bersosialisasi. Pendidikan sangat penting dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus seperti anak tuna netra karena anak-anak tersebut memerlukan penanganan yang khusus juga untuk mempelajari sesuatu.

  Seseorang memerlukan tenaga, waktu dan juga pengalaman yang banyak untuk dapat membantu anak tuna netra menghadapi masalah dalam kehidupannya, khususnya dalam hal bersosialisasi.