HUBUNGAN ANTARA KUALITAS TIDUR DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF PADA REMAJA
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS TIDUR DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF PADA REMAJA
SKRIPSI Diajukan Untuk Menenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh : Rafael Danur Sanjaya NIM : 069114028
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Halaman Motto
Halaman Persembahan K arya ini kupersembahkan untuk : Allah Bapa Di Surga, Semua Orang yang T elah Berj asa Bagi H idupku
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS TIDUR DENGAN KECENDERUNGAN
BERPERILAKU AGRESIF PADA REMAJA
Rafael Danur Sanjaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dengankecenderungan berperilaku agresif pada siswa laki-laki. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada
hubungan negatif antara kualitas tidur dengan kecenderungan berperilaku agresif. Subyek dalam
penelitian ini berjumlah 83 siswa laki-laki di SMA PL Van Lith. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan model try out terpakai. Skala kualitas tidur merupakan adaptasi dari Pittsburgh Sleep Quality
Index, sedangkan untuk mengukur kecenderungan berperilaku agresif menggunakan skala Likert yang
disusun oleh peneliti. Koefisien reliabilitas dari skala kualitas tidur adalah 0.83, sedangkan untuk skala
kecenderungan berperilaku agresif adalah 0.944. Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa
subjek memiliki kualitas tidur yang baik, begitu pula dengan kecenderungan berperilaku agresif yang
rendah. Sedangkan dari hasil uji linearitas diketahui bahwa data penelitian tidak memenuhi asumsi
linearitas, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara kualitas tidur dengan
kecenderungan berperilaku agresif.Kata kunci : kualitas tidur, kecenderungan berperilaku agresif.
RELATIONSHIP OF SLEEP QUALITY AND THE TENDENCY TO
BEHAVE AGGRESSIVELY IN ADOLESCENT
Rafael Danur Sanjaya
ABSTRACT
This study aimed to determine the relationship between sleep quality with a tendency to behave aggressively in male students. Initial assumption of this study, if the subject has a good quality of sleep, the tendency to behave aggressively will tend to be low. Hypothesis in this study was that there is a negative relationship between the quality of sleep and the tendency to behave aggressively, with aggressive behavior as an independent variable and the tendency to behave aggressively as the dependent variable. The subjects of the study amounted to 83 male students in dormitory schools (SMA PL Van Lith). A method of data collection has been done with the model try out unused. Sleep quality scale was an adaptation of Pittsburgh Sleep Quality Index, while to measure the tendency to behave aggressively using Likert scale developed by the researchers. Sleep quality scale reliability coefficient of 0.83, while for the scale of the tendency to behave aggressively was 0944. Results obtained by stating that the subject has a good sleep quality, and low tendency to behave aggressively. While the linearity of the test results has been known that the study data did not meet the assumptions of linearity, so it could be said that there was no relationship between qualities of sleep and the tendency to behave aggressively.Keywords : Sleep quality, propensity to behave aggressively.
KATA PENGANTAR
Pujian dan rasa syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yesus Kristus atas
penyertaan yang diberikan selama pengerjaan skripsi. Penulis menyadari banyak
orang telah menjadi inspirasi selama pengerjaan skripsi. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa orang tersebut, yakni :
1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani. S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Prof. Dr. Augustinus Supratiknya selaku Dosen Pembimbing
Akademik semester I-VIII atas pendampingannya selama ini.
3. Henrietta PDADS, S.Psi, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas
pengertian, waktu, energi, pembelajaran, dan tentunya doa selama pengerjaan skripsi.
4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi atas pendidikan dan bimbingan selama
penulis menjalankan masa studi.
5. Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima
kasih atas bantuan selama masa kuliah dan selama pengerjaan skripsi.
6. Angkatan 2006. Keberadaan kalian membuat masa-masa kuliah menjadi
indah dan selalu kompak.
7. Keluargaku tercinta, khususnya pada kedua orangtua, mbak nunun dan mas
andre.8. My beloved friend , Fera Elsarina. Terima kasih atas smua waktumu.
9. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih pada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari keterbatasan dalam penelitian. Oleh karenanya, penulis
terbuka akan kritik, saran, dan informasi tambahan guna membuat penelitian ini
lebih baik.Yogyakarta,18 Agustus 2011 Rafael Danur Sanjaya
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN …………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………... iii
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………… v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………. vi
ABSTRAK ……………………………………………………………….. vii
ABSTRACT ……………………………………………………………….. viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………. ix
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xvii
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………… …………..
1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………………
1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………….
6 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………...
6 D. Manfaat Penelitian ……………………………………………….
7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………...............................
8
1. Tidur…………………………………………………………..
8 a. Pengertian tidur…………………………………………...
8
b. Tahap siklus tidur…………………………………………
11
c. Mekanisme tidur…………………………………………
15
d. Pola tidur normal…………………………………………
15
2. Kualitas Tidur…………………………………………………
18
3. Pengukuran Kualitas Tidur……………………………………
24 B. Kecenderungan Berperilaku Agresif……………………………..
28
1. Definisi Perilaku Agresif……………………………………
27 2. Teori-teori Agresi……………………………………………..
30 a. Teori bawaan.........................................................................
30 b. Teori lingkungan....................................................................
31 c. Teori kognisi………………………………………………..
33
3. Jenis Perilaku Agresi…………………………………………
33 4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif………………...
38 C. Karakteristik Remaja …………………………………………….
41 D. Hubungan Antara Kualitas Tidur Dengan Kecenderungan Berperilaku Agresif………………………………………………
43 E. Hipotesis.........................................................................................
47 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….
48 A. Jenis Penelitian …………………………………….................
48 B. Identifikasi Variabel Penelitian……………………………….
48
D. Subyek Penelitian ………………………………………….....
51 E. Metode Pengumpulan Data …………………………………...
51 F. Validitas dan Reliabilitas ……………………………………..
56 G. Metode Analisis Data…………………………………………
61 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………
62 A. Persiapan Penelitian…………………………………………...
62 B. Pelaksanaan Penelitian………………………………………...
64 C. Deskripsi Data Subyek………………………………………
65 D. Deskripsi Hasil Penelitian……………………………………..
65
1. Skala Kualitas Tidur………………………………………
65 2. Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif………………..
67 E. Analisis Data…………………………………………………..
68 F. Pembahasan...............................................................................
71 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….
79 A. Kesimpulan …………………………………………………...
79 B. Keterbatasan Penelitian………………………………………
79 C. Saran ……………………………………….............................
80 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
82 LAMPIRAN ………………………………………………………………..
87
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Sebaran item skala kualitas tidur…………………………………...52 Tabel 3.2 Blue Print Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif……………..
55 Tabel 3.3 Kisi- kisi Sebaran Item Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif.
56 Tabel 3.4 Hasil Seleksi Item………………………………………………….
59 Tabel 4.1 Deskripsi Data Subyek……………………………………………
65 Tabel 4.2 Deskripsi Global Score Keseluruhan Subyek……………………...
66 Tabel 4.3 Deskripsi Data Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif………..
67 Tabel 4.4 Uji Normalitas……………………………………………………...
68 Tabel 4.5 Uji Linearitas……………………………………………………….
69 Tabel 4.6 Uji Hipotesis……………………………………………………….
71
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Dinamika Hubungan Kualitas Tidur Dengan Kecenderungan Berperilaku Agresif……………………46 Scatter Plot
Gambar 4.1 ……………………………………………70
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif…………………..87 Lampiran 2 Skala Kualitas Tidur(Adaptasi)………………………………
87 Lampiran 3 Pittsburgh Sleep Quality Index.................................................
98 Lampiran 4 Data Penelitian Skala Kualitas Tidur………………………... 103
Lampiran 5 Data Penelitian Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif…. 107
Lampiran 6 Hasil Analisis Statistik………………………......................... 128
Lampiran 7 Surat Keterangan Penelitian dari Sekolah…………………… 134
Lampiran 8 Surat Keterangan dari Penerjemah…………………………... 135
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan suatu masa transisi dari kehidupan kanak-
kanak ke kehidupan orang dewasa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak banyak mengalami perubahan pada psikis dan fisiknya. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan (Soekanto, 2003), di sisi lain, remaja belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya (Monks, Knoers, & Haditono, 2001). Hal tersebut membawa dampak psikologis terutama berkaitan dengan adanya gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan-aturan dan norma- norma sosial yang berlaku.
Data Kepolisian Polda DIY menunjukkan tindakan pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan para remaja khususnya oleh pelajar setiap tahun mengalami peningkatan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Candra, 2010). Hal itu tercermin dari banyaknya remaja yang terlibat tawuran, mencoret-coret tembok, pelecehan seksual sampai dengan penyalahgunaan narkoba.
Ketegangan-ketegangan yang dialami remaja kadang-kadang tidak terselesaikan dengan baik yang kemudian menjadi konflik berkepanjangan.
Ketidakmampuan remaja dalam mengantisipasi konflik akan menyebabkan perasaan gagal yang mengarah pada frustasi. Bentuk reaksi yang terjadi akibat frustasi diantaranya perilaku kekerasan yang dilakukan untuk menyakiti diri atau orang lain, yang sering disebut agresi (Koeswara, 1988). Frustasi selalu dihubungkan dengan keadaan emosi yang tidak menyenangkan bagi remaja. Untuk mendapatkan kondisi emosional yang menyenangkan dan meraih tujuan yang ingin dicapainya, remaja kemudian melarikan diri dari masalah yang dihadapinya dengan cara menyalahkan orang lain dan memilih cara yang singkat untuk menyelesaikan masalah dan akibat yang lebih parah adalah remaja mengembangkan perilaku yang dapat merugikan orang lain seperti memfitnah, menyebar gosip, bolos sekolah, suka mencoret-coret dinding, berkelahi, suka memarahi orang dan lain sebagainya.
Menurut Miller (1941), frustasi akan menyebabkan berbagai kecenderungan. Salah satu kecenderungan itu adalah kecenderungan untuk berperilaku agresif. Miller juga menambahkan, walaupun kecenderungan itu adalah sebuah perilaku non-agresif namun jika keadaan frustasi yang dialami oleh seseorang meningkat dan kecenderungan akan alternatif lain melemah, maka kecenderungan untuk berperilaku agresif akan meningkat.
Agresif menurut Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1998) adalah lain atau objek-objek lain. Secara garis besar, para pakar psikologi sosial menyatakan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang menyakiti orang lain (Sears, Freedman, & Peplau, 1991). Terjadinya perilaku agresif dapat dipicu oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu ataupun distimulasi oleh kondisi yang memancing respon emosi yang tidak menyenangkan. Menurut Stuart & Sundeen (dalam Nashori, 2004 ), faktor penyebab remaja berperilaku agresif terdiri dari faktor predisposisi (biologis, psikologis, sosial budaya, situasional dan spiritual), sedangkan faktor presipitasi perilaku agresif adalah faktor yang berasal dari diri individu sendiri (internal) dan faktor yang berasal dari lingkungan (eksternal).
Tinjauan secara mendalam terhadap perilaku agresif menunjukkan bahwa kecenderungan berperilaku agresif dapat dipengaruhi oleh kondisi biologis dan psikologis. Salah satu hal yang paling berpengaruh dialami setiap hari adalah adalah kualitas tidur seseorang. Kualitas tidur yang buruk akan sangat mengganggu kinerja tubuh, terutama fungsi tubuh. Maas (2002) mengatakan bahwa tidur yang tidak memadai dengan kualitas tidur yang tidak baik dapat mengakibatkan stress, meningkatkan kecemasaan, kesulitan berkonsentrasi, depresi menurunnya kemampuan menangani tugas kompleks, menurunnya poduktivitas, dan kehilangan kemampuan memecahkan masalah serta sangat rentan berpengaruh terhadap kestabilan emosi.
Tidur merupakan suatu keadaan di mana kesadaran seseorang akan biasa dalam mengatur fungsi pencernaan, aktivitas jantung dan pembuluh darah, serta fungsi kekebalan, dalam memberikan energi pada tubuh dan dalam pemrosesan kognitif termasuk dalam penyimpanan, penataan, dan pembacaan informasi yang disimpan dalam otak, serta perolehan informasi saat terjaga (Maas, 2002). Tidur yang cukup diidentifikasikan sebagai jumlah waktu yang penting agar tubuh dapat berfungsi dengan baik sepanjang hari.
Banyak remaja ataupun orang dewasa tidak mendapat waktu tidur yang cukup. Jika dibiarkan terjadi secara terus-menerus, keadaan ini akan berdampak pada terganggunya pembentukan memori, hilangnya perhatian dan konsentrasi serta tidak stabilnya emosi (Wolfson & Carskadon, 1998).
Bahkan kurang tidur membuat seseorang lesu, mudah marah hingga tertekan (Chaplin, 2002).
SMA Van Lith merupakan sebuah sekolah menengah yang mewajibkan semua siswanya tinggal dalam lingkup asrama yang disediakan oleh sekolah. Hal ini dikarenakan sebagai salah satu pembentuk karakter dari siswa-siswanya. Korban perilaku agresif juga bermunculan dari lingkup asrama-asrama pendidikan, seperti kasus terbunuhnya siswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Sekolah Tinggi Pelayaran Indonesia (STPI) (Windoro, 2008). Hal ini tentunya akan menimbulkan opini publik bahwa ternyata hampir di semua institusi pendidikan yang menggunakan sistem asrama sangat rawan dengan kekerasan–terutama yang ekses negatif dari proses penanaman karakter dan pembentukan identitas kolektif yang eksklusif–yang nantinya membedakan lulusannya dengan lulusan institusi pendidikan umum lainnya, di mana selama menempuh pendidikan, siswanya diharuskan tinggal di asrama, dengan aturan-aturan yang sedemikian ketat. Demikian halnya dengan kehidupan atau hubungan antara siswa senior dan yunior. Dengan kondisi kehidupan di asrama maka posisi siswa senior menjadi semakin penting dalam kehidupan para siswa junior. Kondisi yang demikian membuat penyelewengan kekuasaan oleh para siswa senior semakin besar (resiko/bahaya menjadi sasaran sesama siswa memang kurang mendapat perhatian). Hal ini, tanpa disengaja akan menciptakan “kebrutalan” dalam kehidupan dalam asrama sangat rawan dengan tindak kekerasan siswa senior terhadap siswa yunior. Sisi lain dari kehidupan asrama tersebut memunculkan ide untuk melakukan penelitian dalam lingkup asrama, yakni secara khusus SMA Van Lith, yang merupakan sekolah berasrama.
Penelitian yang mengungkap hubungan antara tidur dengan perilaku agresif pernah diungkapkan. Disebutkan bahwa perilaku agresif pada remaja sangat signifikan dipengaruhi oleh bagaimana remaja tersebut tidur. Hal ini dikarenakan gangguan tidur dan kekurangan tidur akan membuat seorang remaja mengalami ketidakstabilan emosi yang berakibat pada munculnya kecenderungan untuk melakukan perilaku agresif (Haynes, Bootzin, Smith,
Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa kualitas tidur yang buruk akan berdampak pada banyak hal, terutama menjadi stimulus pemicu kecenderungan berperilaku agresif. Oleh karena itu, penulis memiliki ketertarikan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dengan kecenderungan berperilaku agresif pada remaja dalam lingkup asrama.
B. RUMUSAN MASALAH Apakah ada hubungan antara kualitas tidur dengan kecenderungan berperilaku agresif pada remaja dalam lingkup asrama?
C. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui hubungan antara kualitas tidur dengan kecenderungan berperilaku agresif pada remaja dalam lingkup asrama.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis Penelititan ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan menambah keberagaman penelitian dibidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan dan psikologi klinis.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan refleksi, evaluasi pengembangan dan peningkatan terhadap masyarakat/individu lain, khususnya remaja, terkait dengan kualitas tidur terhadap perilaku agresif.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Tidur
1. Tidur
a. Pengertian tidur
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisiologis. Tidur adalah suatu kegiatan relativif tanpa sadar yang penuh, yang merupakan kegiatan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan jasmaniah.
Beberapa ahli berpendapat bahwa tidur dinyakini dapat memulihkan tenaga karena tidur memberikan waktu untuk perbaikan dan penyembuhan system tubuh untuk periode keterjagaan berikutnya (Jenni & Dahl, 2008).
Tidur berasal dari bahasa latin "somnus" yang berarti alami periode pemulihan, keadaan fisiologi dari istirahat untuk tubuh dan pikiran (Erfandi, 2008). Beberapa teori-teori sirkadian tentang tidur (circadian theories of sleep) menyebutkan bahwa tidur bukan reaksi terhadap efek-efek disruptif bangun, tetapi sebagai akibat mekanisme timing internal 24-jam (circadian berarti “berlangsungnya kira-kira 1 hari”) ─artinya, manusia semuanya terprogram untuk tidur hari. Menurut teori ini, individun telah berevolusi untuk tidur dimalam hari, karena tidur melindungi kita dari kecelakaan dan predator di malam hari. Teori-teori sirkadian tentang tidur lebih difokuskan pada kapan kita tidur daripada fungsi tidur. Akan tetapi, salah satu versi ekstrem teori sirkadian mengatakan bahwa tidur tidak berperan dalam fungsi fisiologis tubuh yang efisien. Menurut teori ini, manusia zaman dahulu memiliki waktu yang cukup untuk mendapatkan makanan, minum, dan berproduksi selama siang hari, dan motivasi kuat mereka untuk tidur di malam hari berevolusi untuk menghemat sumber energi dan untuk membuat mereka terhindar terhadap kecelakaan (misalnya, predator) di kegelapan. Teori ini mengatakan bahwa tidur seperti perilaku reproduktif, dalam arti bahwa kita sangat termotivasi untuk melakukannya, tetapi kita tidak membutuhkannya agar tetap sehat (Pinel, 2009).
Evans, Gustavon, O'Connel, Orne, & Shor (1984) dengan pendekatan kognitif memandang tidur sebagai periode dimana otak lepas dari dunia eksternal dan menggunakan waktu off-line (bebas) tersebut untuk memilah pikiran dan mereorganisasi banyak jenis informasi yang masuk selama sehari. Menurut teori tersebut, otak seperti komputer dengan bank memori yang besar dan sejumlah program control. Sebagian dari program itu bersifat diturunkan pengalaman. Tidur, terutama tidur REM, adalah saat dimana otak menjadi off-line, mengisolasi dirinya sendiri dari jalur sensorik dan motorik. Dalam periode off-line tersebut berbagai bank memori dan file program dibuka dan dapat dimodifikasi serta direorganisasi berdasarkan pengalaman.
Crick dan Mitchison dalam pendekatan neurobiologist memandang tidur REM sebagai waktu dimana informasi yang palsu dan tidak berguna dikeluarkan dari memori (Atkinson, Smith, & Bem 2006). Menurut Prasadja (2009), tidur adalah sumber energi bagi otak.
Kantuk ringan pun sudah dapat mengganggu performa akademis maupun olahraga. Kurang tidur membuat seseorang lesu, mudah marah hingga tertekan. Tidur merupakan satu kondisi organisme ditandai dengan berkurangnya kesadaran yang jelas kelihatan, ketidakaktifan, proses-proses metabolik yang tertekan, dan
ketidakpekaan relatif terhadap rangsangan (Chaplin, 2002).
Tidur mempunyai fungsi restoratif, yaitu fungsi pemulihan kembali bagian-bagian tubuh yang lelah, merangsang pertumbuhan, serta pemeliharaan kesehatan tubuh. Proses tidur, jika diberi waktu yang cukup dan lingkungan yang tepat akan menghasilkan tenaga yang luar biasa. Lebih lanjut, tidur dapat memulihkan, meremajakan, dan memberikan energi bagi tubuh dan otak selain itu tidur yang baik Kurang tidur dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan kerusakan otak, bahkan kematian. Beberapa peneliti meyakini bahwa tidur REM menjalankan fungsi restoratif untuk otak, sedangkan tidur non-REM menjalankan fungsi restoratif untuk tubuh (Prasadja, 2004).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidur adalah suatu periode seseorang untuk pemulihan, mengistirahatkan tubuh dan pikiran serta merupakan satu kondisi organisme ditandai dengan berkurangnya kesadaran yang jelas, ketidakaktifan, proses proses metabolik yang tertekan, dan ketidakpekaan relatif terhadap rangsangan.
b. Tahap siklus tidur
Tidur merupakan aktivitas yang melibatkan susunan syaraf pusat, syaraf perifer, endokrin kardiovaskuler, respirasi dan muskuloskeleta. Pengaturan dan kontrol tidur tergantung dari hubungan antara dua mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk tidur atau bangun.
Reticular activating system (RAS) di batang otak atas diyakini mempunyai sel khusus dalam mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran (Pinel, 2005).
1) Tidur REM (rapid eye movement) Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial yang ditandai dengan mimpi yang bermacam-macam, otot-otot yang merengang, kecepatan jantung dan pernafasan tidak teratur (sering lebih cepat), perubahan tekanan darah, gerakan otot tidak teratur, gerakan mata cepat, pembebasan steroid, sekresi lambung meningkat dan ereksi penis pada pria. Saraf-saraf simpatetik bekerja selama tidur REM, diperkirakan terjadi proses penyimpanan secara mental yang digunakan sebagai pelajaran, adaptasi psikologis dan memori (Jenni & Dahl, 2008)). Pada tidur REM, otak bekerja sangat aktif dan metabolisme otak meningkat 20 %. Pada fase ini orang yang tidur agak susah dibangunkan atau spontan terbangun (Prasadja, 2004). 2) Tidur NREM Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam tidur gelombang pendek karena gelombang otak selama tidur NREM lebih lambat dari pada gelombang alpha dan beta pada orang yang sadar atau tidak dalam keadaan tidur. Tanda tidur REM adalah mimpi berkutrang, keadaan istirahat, tekanan darah dan kecepatan pernafasan turun, metabolisme turun dan gerakan mata lambat (Jenni & Dahl, 2008). Biasanya tidur pada malam hari itu adalah memulihkan kembali fungsi fisiologis. Pada umumnya, semua proses metabolisme mengacu pada tanda-tanda vital, metabolisme
turun dan aktivitas otot menurun (Prasadja, 2004).
Tidur NREM mempunyai empat tahap, yang pertama adalah tidur tahap I yang merupakan tahap transisi, berlangsung selama lima menit yang mana seseotrang beralih dari sadar mennjadi tidur. Seseorang merasa rileks, mata bergerak, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Gelombang alpha sewaktu seseorang masih sadar diganti dengan gelombang beta yang lebih lambat dan dapat dibangunkan dengan mudah. Selanjutnya tahap II merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh menurun. Mata masih bergerak, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas, suhu tubuh dan metabolisme menurun. Gelombang otak ditandai sleep spindles dengan dan gelombang K komplek yang berlangsung pendek dalam waktu 10-15 menit. Pada tahap ketiga kecepatan jantung, pernafasan serta proses berlanjut mengalami penurunan dan sulit dibangunkan. Gelombang otak menjadi lebih teratur dan terdapat penambahan gelombang delta yang lambat. Terakhir tahap IV, merupakan tahap tidur dalam, yang ditandai dengan predominasi gelombang delta yang melambat. Kecepatan jantung dan pernafasan turun, rileks, jarang bergerak dan sulit dibangunkan dan mengalami 4 sampai 6 kali siklus tidur dalam waktu 7-8 jam (Prasadja, 2004).
Kekurangan tidur REM lebih menjengkelkan dan tidak menyenangkan daripada kekurangan NREM. Culler dan Cohen (1979) dalam ”The Effect of One Night’s Sleep Loss on Moods and Memory in Normal Subjects
,” mengidentifikasi bahwa orang yang kehilangan tidur mengakibatkan orang tersebut kurang berintegrasi dengan baik dan kurang efektif, hal ini dapat dilihat dari tanda- tanda kebingungan, curiga dan gampang menyerah. Mereka terlihat khawatir, tak merasa aman, mudah marah, dan berpengaruh pada selera makannya serta menyebabkan orang mengalami banyak kerugian. Penelitian menunjukkan bahwa tidur nyenyak lebih penting dari (tidur) bermimpi. Tubuh mencoba mengembalikan keseimbangan normalnya diantara tahap-tahap tidur tersebut. Tidur dalam waktu delapan jam, seseorang akan berkali-kali mengalami tahap kenyenyakan. Jadi, bukan berarti ketika sudah memasuki tahap ke-3 dan ke-4 aka terus berlangsung hingga pagi.
c. Mekanisme tidur Tidur merupakan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf peripheral, endokrin, kardiovaskular, pernafasan dan muscular. Mekanisme tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga, dan yang lain menyebabkan tidur (Jenni & Dahl, 2008).
Waktu tidur yang paling tepat adalah pada malam hari karena siang hari secara ilmiah digunakan untuk bekerja dan aktivitas. Tidur sangat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh seseorang. Selain itu, juga bisa merangsang daya asimilasi karena tidur terlalu lama akan menimbulkan tubuh menjadi loyo dan tidak bersemangat (Jenni & Dahl, 2008).
d. Pola tidur normal Tidur dengan pola yang teratur ternyata lebih penting jika dibandingkan dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Pada beberapa orang, mereka merasa cukup dengan tidur selama 5 jam saja pada tiap malamnya (Prasadja, 2004). Secara umum, durasi atau waktu tidur
1) Bayi Pada bayi yang baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari, pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit, 50% tidur NREM yang terbagi dalam 7 periode.
2) Toddler Kebutuhan tidur pada toddler menurun menjadi 10-12 jam sehari.
Sekitar 20-30 % adalah tidur REM, 3) Preschool Pada usia preschool biasanya memerlukan waktu tidur 11-12 jam semalam. Kenbanyakan pada usia ini tidak menyukai tidur, sehingga pada usia sekitar 4-5 tahun mengalami kekurangan tidur dan akan sakit jika kebutuhan tidurnya tidak terpenuhi. Sekitar 20% tidurnya adalah tidur REM. 4) Anak usia sekolah Pada anak usia sekolah tidur antara 8-12 jam semalam tanpa tidur siang. Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap malam. Tidur REM pada anak usia ini berkurang sekitar 20 %. 5) Adolesen Kebanyakan remaja memerlukan waktu tidur sekitar 8-10 jam tiap malamnya untuk mencegah terjadinya kelemahan dan kerentaan
REM. Pada remaja laki-laki akan mengalami Nocturnal Emission (orgasme dan mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari)yang biasanya kita kenal dengan istilah mimpi basah. 6) Dewasa muda Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif dan membutuhkan waktu tidur antara 7-8 jam salam semalam. Kurang lebih 20% tidur mereka adalah tidur REM. Dewaswa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan
aktifitas karena jarang sekali mereka tidur siang.
7) Dewasa tengah Pada masa ini mungkin akan mengalami insomnia atau sulit tidur, mungkin disebabkan oleh perubahan atau stress usia menengah.
Mereka biasanya tidur selama 6 -8 jam semalam.
8) Dewasa akhir Pada dewasa akhir kebutuhan akan tidurnya kurang dari 6 jam semalamnya. Periode tidur REM cenderung memendek sekitar 20- 25% dan tidur tahap IV mengalami penurunan.2. Kualitas Tidur
a. Definisi Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur, menurut American Psychiatric Association (Wavy, 2008), didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi. Buysse, Reynolds, Monk, et al (1989) berpendapat bahwa kualitas tidur merupakan sebuah fenomena yang kompleks, yang mempunyai beberapa dimensi. Beberapa dimensi tersebut adalah : 1) Kualitas tidur subjektif
Kualitas tidur subjektif, yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan persepsi tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam hari dan kepulasan tidur.
2) Masa laten tidur Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur atau tertidur.
Masa latensi tidur yang normal biasanya kurang dari 15 menit (Bussye, et al., 1989).
3) Durasi tidur Durasi tidur adalah lamanya tidur yang didapat pada malam hari.
Durasi tidur akan sangat dipengaruhi oleh masa perkembangan seseorang (Kozier & Barbara., 2008).
4) Kebiasaan efisiensi tidur Merupakan rasio antara waktu sebenarnya yang digunakan untuk
tidur dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur.
5) Gangguan tidur Gangguan tidur sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari berbagai gangguan fisik, mental dan spiritual. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain (Johanna & Jachens, 2004).6) Penggunaan obat-obat tidur Penggunaan obat tidur memiliki fungsi untuk membantu seseorang agar mudah untuk tertidur. Namun penggunaan obat-obatan tidur tidak sekedar membuat tidur nyenyak, tetapi juga memiliki efek samping diantaranya gangguan kesehatan kronis, depresi hingga kematian. Obat tidur akan menekan sistem pernafasan yang akan memperburuk masalah pernafasan saat tidur. Selain itu, obat- obatan tersebut juga bekerja pada sistem syaraf pusat sehingga mempengaruhi penilaian dan suasana hati serta meningkatkan resiko bunuh diri.
7) Disfungsi di siang hari Disfungsi di siang hari merupakan sebagian masalah yang ditimbulkan akibat tidur yang kurang maupun tidak baik. Sebagai contoh mengalami masalah saat berkendara di siang hari.
Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau efesiensi tidur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda adalah 80- 90% (Dement, 2001). Di sisi lain, Lai menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis (Wavy, 2008).
Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Hal tersebut dapat juga dikatakan bahwa memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua orang. Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasan laboraorium yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita.
Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, beta, teta dan delta (Guyton & Hall, 1997).
Nashori (2004) mendefinisikan kualitas tidur sebagai suatu tingkatan keadaan, dimana tidur yang berkualitas dapat menghasilkan kebugaran dan kesegaran pada saat bangun. Kekurangan kuantitas dan kualitas tidur dapat menurunkan atau merusak performansi seseorang secara umum dan keterjagaannya (Sawyer, 2004).
Bagi semua orang tidur merupakan bagian dari irama kehidupan. Tanpa tidur yang baik tubuh akan kehilangan kemampuan untuk mudah berubah. Selain itu, irama sikardian akan berpengaruh pada kualitas tidur, dimana irama sikardian yang terganggu akan berdapak besar pada terganggunya kualitas tidur. Demikian pula penggunaan obat secara negatif akan mempengaruhi pola tidur. Oleh karena itu, kualitas tidur merupaka sebuah fenomena yang kompleks, yang mempunyai beberapa dimensi. Beberapa dimensi tersebut adalah kualitas tidur subjektif, masa laten tidur, durasi tidur, kebiasaan efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat-obat tidur, dan disfungsi di siang hari (Buysse, Reynolds, Monk, et al 1989).
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa kualitas tidur ialah persepsi tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam hari dan kepulasan tidur, serta gangguan tidur yang dialami dan cara mengatasinya. Tidur yang baik akan memberikan efek yang baik pada kehidupan seseorang, baik secara fisik maupun mental. Bahkan telah dijelaskan pula diatas, keadaaan kurang tidur dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, menjaga kualitas tidur adalah suatu hal yang penting.
b. Dampak Kualitas Tidur
Setiap orang memiliki jumlah tidur yang berbeda-beda. Banyak yang menyatakan bahwa kualitas tidur jauh lebih penting dari pada jumlah waktu tidur. Beberapa orang bahkan mengabaikan waktu tidur dengan berbagai alasan. Namun beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa jumlah tidur yang optimal yang dibutuhkan seseorang adalah berkisar tujuh setengah sampai dengan sembilan jam sehari. Selain karena sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik, tidur juga mempengaruhi kondisi mental seseorang, tidur yang kurang dapat mempengaruhi suasana hati seseorang (Webb, 2001).
Tidur yang baik merupakan kunci untuk merasa nyaman dan bahagia. Tidur yang buruk, dapat mengakibatkan kelelahan, mudah tersinggung, mudah marah dan depresi klinis (Khaviri, 1999). Periode kekurangan tidur yang panjang, terkadang menyebabkan disorganisasi ego, halusinasi dan waham selain itu orang yang kekurangan tidur REM mungkin menunjukan sikap mudah tersinggung dan merasa kehilangan energi dan antusiasme (Kaplan & Sadock, 1997).
Menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah
1) Tanda fisik Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.
2) Tanda psikologis Menarik diri, apatis dan respon menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun.
3. Pengukuran Kualitas Tidur
Dalam penelitian ini, untuk mengukur kualitas tidur akan menggunakan skala adaptasi dari Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Buysse et al. mendesain suatu pengukuran kualitas tidur yang dikenal sebagai Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI ini kemudian dikembangkan oleh University of Pittsburgh untuk digunakan dalam berbagai penelitian.
Alasan pemilihan PSQI untuk mengukur kualitas tidur adalah dalam PSQI sangat mudah dimengerti dan digunakan, terutama bagi subyek memiliki beberapa perbedaan. Pertama adalah jangka waktu asesmen. Kebanyakan kuesioner kebiasaan tidur tidak menyebutkan jarak waktu yang jelas, sehingga membuat kesulitan dalam menentukan genaralisasi.
PSQI mengukur kualitas tidur selama sebulan yang telah lalu dari seseorang, sehingga secara berguna secara klinis dan informasi penelitian.