REPRESENTASI SOSIAL TENTANG METROSEKSUAL (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah Usia Dewasa Awal di Yogyakarta) SKRIPSI

  

REPRESENTASI SOSIAL TENTANG METROSEKSUAL

(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah

Usia Dewasa Awal di Yogyakarta)

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

  Program Studi Psikologi Oleh:

  Nyoman Trisna Aryanata NIM: 059114061

  

Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

  

2010

  MOTTO

"I think that somehow, we learn who we really are

and then live with that decision"

  • Eleanor Roosevelt

  Skripsi ini kupersembahkan untuk Bapak, Ibu, dan Kakak-kakakku yang kukasihi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 22 September 2009 Penulis

  Nyoman Trisna Aryanata

  

ABSTRAK

Nyoman Trisna Aryanata (2010). Representasi sosial tentang metroseksual

(studi deskriptif pada masyarakat kelas menengah usia dewasa awal di

Yogyakarta). Yogyakarta: Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi; Universitas

Sanata Dharma.

  Perhatian lebih pada penampilan fisik yang ditunjukkan oleh kalangan metroseksual menunjukkan ketidaksinambungan dengan konstruksi gender yang berlaku di Indonesia. Kehadiran mereka yang ‘unik’ mengindikasikan perubahan sosial dalam konstruksi gender di Indonesia. Meski demikian, penelitian yang dijumpai masih menggunakan perspektif metroseksual yang diadopsi dari penelitian agen pemasaran, dengan mengambil komunitas metroseksual sebagai pusat penelitian. Belum ditemukan jawaban mengenai bagaimana masyarakat di Yogyakarta mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang metroseksual serta posisi kalangan metroseksual di tengah-tengah mereka. Representasi Sosial dengan anchoring dan objectifiication di dalamnya dapat membantu untuk memahami keberadaan kalangan metroseksual dalam sudut pandangan masyarakat di Yogyakarta, terkait dengan keberadaan metroseksual di kota Yogyakarta.

  Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner terbuka dan wawancara semi-terstruktur pada 34 responden di Yogyakarta dan berusia 21-36 tahun. Pengetahuan tentang metroseksual diperoleh dari media massa dan direpresentasikan sebagai pria, berada di kota, serta diasosiasikan dengan istilah- istilah yang berorientasi pada penampilan, yakni harum, bersih, rapi, gay,

  

fashionable, dan modis. Objectification mereka tentang metroseksual adalah pria

  yang sangat memperhatikan penampilan, kaya, berada di kota, dan perilakunya tidak sesuai dengan idealisasi pria. Perhatian lebih pada penampilan dianggap tidak wajar untuk dilakukan para pria pada keseharian, terkecuali apabila hal tersebut menjadi tuntutan pekerjaan. Hal ini turut memberikan implikasi bahwa pria dianggap ideal apabila tidak melakukan hal-hal yang melekat pada wanita.

  Kata kunci: metroseksual, representasi sosial, kota, media massa, gender

  

ABSTRACT

Nyoman Trisna Aryanata (2010). Social representation of metrosexual

(descriptive study of the early adulthood middle class people of Yogyakarta).

Yogyakarta: Faculty of Psychology; Department of Psychology; Sanata

Dharma University.

  The extra attention to physical appearance among the metrosexual men indicates a disharmony to the gender stereotypes in Yogyakarta. Their 'unique' presence leads to an indication of changes in the gender construction. However, researches on the topic of Metrosexual tend to use the perspectives taken from the marketing agents by putting metrosexual community as the central of the research. How the society of Yogyakarta constructed their knowledge of metrosexual and the positioning of the metrosexuals among them have not yet been answered. Social representation with its anchoring and objectification helps to comprehend the existence of the metrosexual based on the point of view of the society of Yogyakarta, regarding to their existence in the city of Yogyakarta.

  The research was carried out by using open-questionnaires and semi- structured interview to 34 respondents located in Yogyakarta, aged 21 to 36. Knowledge of the metrosexuals is gained from the mass media and being represented as a term for men, as a phenomenon in the city, and associated with physical performance terms, such as fragrant, clean, tidy, gay, fashionable, and modist. The dominant attitude toward the metrosexuals is ambivalent attitude. Their objectifications of the metrosexuals are male who pays extra attention to the physical appearance, rich, living in the city, and tend to show immoderate behavior of the male’s idealization. Extra attention to physical appearance isn’t considered as a proper behavior to be performed by men for daily life, while acceptance is given only if it’s required by their occupation. This situation implicates that men are considered ideal when they don’t perform characteristics adhered to women.

  Keywords: metrosexual, social representation, urban, mass media, gender

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Nyoman Trisna Aryanata Nomor Mahasiswa : 059114061

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

Representasi Sosial Tentang Metroseksual

(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah

Usia Dewasa Awal di Yogyakarta)

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 14 Januari 2010 Yang menyatakan (Nyoman Trisna Aryanata)

KATA PENGANTAR

  Berangkat dari rasa ingin tahu terhadap fenomena pria metroseksual, saya pun melakukan proses penelitian ini agar dapat lebih memahami fenomena tersebut, di samping sebagai pemenuhan syarat kelulusan. Dalam proses penyusunannya, saya bertemu dengan sejumlah pihak yang sangat membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada bagian ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak tersebut.

1. Ibu Christina Siwi Handayani adalah dosen pembimbing skripsi saya.

  Rasa terima kasih yang sangat besar saya berikan kepada beliau berkat bimbingannya yang luar biasa. Berkat beliau, pengalaman menyusun skripsi ini menjadi proses yang sangat inspiratif sembari mengintegrasikan potongan-potongan ilmu yang saya peroleh selama perkuliahan. Arigatou

  sensei...

  2. Ibu Risa Permanadeli adalah sosok yang turut berperan besar dalam penelitian saya ini. Saya menganggap beliau sebagai “dosen pembimbing kedua”. Terima kasih telah memperkenalkan RepSos kepada saya dan teman-teman, serta masukan yang diberikan. Ini memberikan saya sebuah pandangan baru dalam melihat diri dan lingkungan saya.

  3. Ibu Maria Laksmi Antasari adalah dosen pembimbing akademik saya yang dengan setia mendampingi, memberikan masukan dan dorongan, serta ‘sentilan’ bagi saya dan teman-teman. Terima kasih banyak atas bimbingan dan senyumnya yang selalu menyejukkan hati.

  4. Orang tua dan kakak-kakak saya yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya. Peran mereka selalu di belakang layar, tetapi sangat besar efeknya pada kelancaran penyusunan skripsi saya. I love you all.

  5. Teman-teman satu bimbingan dengan Ibu Siwi, baik yang RepSos maupun non-RepSos. Terima kasih telah menjadi teman diskusi penelitian dan menjadikan proses penyusunan skripsi ini sangat menyenangkan. Aku

  nggak akan pernah melupakan Taman Cemara kita . Semoga jejak kita

  sebagai kelompok diskusi skripsi dapat mengilhami teman-teman yang lainnya.

  6. Teman-teman Kontrakan Aksi 2005 (dan penghuni-penghuni tidak tetapnya). Kalian adalah teman-teman terbaik yang pernah aku temui. Aku akan selalu mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan untuk kalian. Hidupku akan sangat berbeda bila tidak bertemu kalian.

  7. Ucie, Joana, Rindi, dan Raniy. Kalian adalah perempuan-perempuan yang hebat. Terima kasih telah menjadi teman berkeluh kesah dan berdiskusi yang centil, penuh canda, dan cerdas. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan untuk kalian.

  8. Ilmu yang saya peroleh selama perkuliahan sangat inspiratif dan mengubah diri saya. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan itu semua. Terima kasih atas keterbukaan dan dedikasi mengajarnya yang luar biasa.

9. Bantuan administratif selalu saya dapatkan dengan mudah dari Mas Muji,

  Mas Doni, Pak Gie, Bu Nani, dan Mas Gandung. Terima kasih banyak atas bantuannya dan kerendahhatiannya.

  10. Terdapat 34 orang yang memberikan sumbangan yang sangat besar bagi skripsi saya ini. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden penelitian saya.

  Yogyakarta, 14 Januari 2010 Penulis,

  Nyoman Trisna Aryanata

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ......................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................. iii HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................. vi ABSTRAK ................................................................................................ vii ABSTRACT .............................................................................................. viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............. ix KATA PENGANTAR ............................................................................... x DAFTAR ISI ............................................................................................. xiii DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvii DAFTAR DIAGRAM ............................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xix BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................

  1

  9 B. Rumusan Masalah ...................................................................

  9 C. Tujuan Penelitian .....................................................................

  10 D. Manfaat Penelitian ...................................................................

  10 1. Manfaat Teoritis ................................................................

  10 2. Manfaat Praktis ..................................................................

  BAB II. TINJAUAN TEORITIS ...............................................................

  11

  11 A. Profil Metroseksual .................................................................

  15 B. Gender Dan Ketimpangan Gender ..........................................

  15 1. Tinjauan Teoritis Konsep Gender .....................................

  18 2. Ketimpangan Gender Pada Pria ........................................

  22 C. Representasi Sosial ..................................................................

  22 1. Teori Representasi Sosial ..................................................

  26 2. Representasi Sosial Metroseksual .....................................

  D. Konteks Penelitian: Masyarakat Umum di Kota Yogyakarta Yang Berada Pada Tahap Dewasa Awal .............

  28

  28 1. Masyarakat Umum ............................................................

  32 2. Dewasa Awal .....................................................................

  33 E. Peta Konsep Penelitian ............................................................

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................

  34

  34 A. Pendekatan Penelitian ..............................................................

  35 B. Responden Penelitian ..............................................................

  36 C. Batasan Istilah .........................................................................

  36 2. Makna Metroseksual .........................................................

  36 3. Sikap Terhadap Metroseksual ...........................................

  36 4. Sumber Informasi Metroseksual .......................................

  37 5. Masyarakat ........................................................................

  37 D. Metode Pengumpulan Data .....................................................

  37 1. Kuesioner Terbuka ............................................................

  40 2. Wawacara Semi-terstruktur ...............................................

  42 E. Teknik Analisis Dan Interpretasi Data ....................................

  43 1. Kuesioner Terbuka ............................................................

  44 2. Wawancara Semi-terstruktur .............................................

  45 F. Keabsahan Data .......................................................................

  BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN .......................

  47

  47 A. Pelaksanaan Penelitian ............................................................

  47 1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ......................................

  49 2. Latar Belakang Responden ................................................

  53 B. Hasil Penelitian ........................................................................

  54 1. Kategorisasi dan Tabulasi Respon ....................................

  64 2. Sumber Informasi Metroseksual .......................................

  65 3. Sikap Terhadap Metroseksual ...........................................

  77 C. Pembahasan .............................................................................

  80 1. “Metroseksual adalah cowok-cowok yang dandan” .........

  82 2. Sumber Informasi “Metroseksual” ....................................

  85 3. Metroseksual Sebagai Kalangan yang Tidak Lazim .........

  4. Ambivalensi Kedudukan Pria Metroseksual Dalam Masyarakat .............................................................

  86 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................

  94

  94 A. Kesimpulan ..............................................................................

  96 B. Saran ........................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

  98

  

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lokasi Pengambilan Data ............................................................

  50 Tabel 2a. Usia Responden .........................................................................

  50 Tabel 2b. Kategorisasi Usia Responden ....................................................

  51 Tabel 3. Tabulasi Berdasarkan Jenis Kelamin ..........................................

  51 Tabel 4. Pekerjaan Responden ..................................................................

  51 Tabel 5. Daerah Asal Responden ..............................................................

  52 Tabel 6. Masa Tinggal di Yogyakarta .......................................................

  52 Tabel 7. Pengeluaran Bulanan ...................................................................

  52 Tabel 8. Kategorisasi Respon ....................................................................

  55 Tabel 9. Rekapitulasi Respon Terbanyak ..................................................

  58 Tabel 10. Prosentase Prioritas Kata ...........................................................

  61 Tabel 11. Daftar Sumber Pengetahuan “Metroseksual” ............................

  64 Tabel 12. Sikap Responden Terhadap Metroseksual ................................

  65 Tabel 13. Respon Ketidaklaziman Pada Responden yang Bersikap Ambivalen .................................................................

  67 Tabel 14. Contoh Tanggapan Ambivalen Responden ...............................

  72

  

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Peta Konsep Penelitian .............................................................

  33 Bagan 2. Kalangan Dewasa Awal Kelas Menengah yang Bersikap Setuju Terhadap Pria Metroseksual ..........................

  92 Bagan 3. Kalangan Dewasa Awal Kelas Menengah yang Bersikap Ambivalen Terhadap Pria Metroseksual ..................

  93

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Kuesioner Terbuka ................................................................ 103 Lampiran 2. Tabulasi Seluruh Respon Kata Pada

  Tiap-tiap Responden ............................................................ 105 Lampiran 3. Rekapitulasi Jumlah Seluruh Respon Kata ........................... 113 Lampiran 4. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 1 .............................. 115 Lampiran 5. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 2 ............................... 117 Lampiran 6. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 3 ............................... 119 Lampiran 7. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 4 ............................... 121 Lampiran 8. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 5 ............................... 123 Lampiran 9. Rekapitulasi Jumlah Respon Prioritas 1 s/d 5 ....................... 127 Lampiran 10. Jumlah & Prosentase Respon Prioritas

  Kata Per Kategori ................................................................. 129 Lampiran 11. Tabulasi Arti 5 Kata Prioritas 1 s/d 5 ................................. 130 Lampiran 12. Transkrip Wawancara ......................................................... 134

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masyarakat perkotaan kontemporer, fenomena metroseksual menjadi sebuah hal yang telah populer, terutama pada medio tahun 2003-2005. Kartajaya, Yuswohady, Madyani, Christynar, dan Indrio (2004) mengulas

  secara lugas fenomena ini dalam buku mereka yang berjudul “Metrosexuals in Venus”. Jika kita memasuki pusat-pusat perbelanjaan, dapat kita jumpai sejumlah gerai yang menyediakan pakaian khusus pria dalam berbagai model serta produk-produk perawatan tubuh “for men”. Kartajaya et al. (2004) menyebutkan bahwa perusahaan kosmetik ini dulu hanya menghasilkan produk wanita. Akan tetapi, kini koleksi mereka telah semakin lengkap, mulai dari

  scrub, shaving gel (gel pencukur), moisturizer (pelembab wajah), dan lotion

  (krim untuk tubuh), disediakan lengkap khusus bagi kaum adam yang menginginkan penampilan yang menarik.

  Pria metroseksual pun dinyatakan telah menunjukkan keberadaannya di Yogyakarta. Harian Kompas Jogja mengulas mereka dalam tiga artikel terpisah yang berjudul “Spa Pun Mulai Menjamur” (2005), “Fitness, Menangkap Tren Pria Metroseksual” (2007), dan “Pria Metroseksual, Dari Esensi Ke Eksistensi” (2005). Kehadiran spa yang menjamur di Yogyakarta turut menjaring konsumen pria yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku pada pusat kebugaran tubuh (fitness center) yang dipenuhi oleh anak muda yang ingin memiliki penampilan fisik yang menarik. Kemunculan metroseksual pun tampak dalam media massa, dimana sejak tahun 2003 bermunculan majalah- majalah pria dengan porsi iklan produk perawatan tubuh pria dan berbagai tips memperhatikan penampilan bagi mereka yang cukup dominan. Beberapa dari mereka yang terkenal adalah FHM, Men’s Health, dan Popular (Kartajaya et al., 2004).

  Beberapa tulisan menjelaskan bahwa istilah metroseksual selalu dilekatkan pada pria. Pria metroseksual senantiasa dikatakan sebagai pria yang

  

dandy atau pria yang sangat memperhatikan dandanannya (Simpson, 1994;

  Simpson, 2002; Kartajaya et al., 2004). Mereka bersedia meluangkan waktu secara khusus untuk melakukan perawatan ataupun membenahi penampilannya. Mereka umumnya klimis, dandy, dan paling peduli dengan yang namanya penampilan (Kartajaya et al., 2004). Jika kita melihat dalam kacamata kontruksi gender, perilaku semacam ini menjadi sebuah bentuk perilaku yang tidak sejalan dengan apa yang dianggap sesuai untuk dilakukan oleh pria. Penelitian Rosenkrantz (dalam Brannon, 1996) mengkonfirmasi hal ini, dimana ia menemukan persepsi stereotip gender yang kuat pada mahasiswa. Ketika para mahasiswa tersebut (baik pria dan wanita) diminta untuk menyebutkan sifat-sifat yang membedakan kedua jenis kelamin, salah satu hal yang mereka pasangkan pada sosok wanita adalah sifat ‘interested in

own appearance’ dan sifat ‘not conceited about appearance’ pada pria.

  Dengan kata lain, perilaku merawat dan memperhatikan tubuh telah menjadi stereotip gender pada pihak wanita. Pria senantiasa digambarkan (atau diharapkan) sebagai sosok yang lekat dengan aktivitas yang bernuansa kasar (misalnya adventurous dan skilled in business) dan sifat-sifat yang keras (misalnya aggressive, ambitious, unemotional), dimana perilaku memberi perhatian pada penampilan akan memberikan kesan feminin dengan nada yang negatif (Brannon, 1996).

  Konstruksi gender yang saat ini berlaku secara umum di Indonesia adalah pria dan wanita dianggap memiliki atribut kepribadian yang berlawanan. Pria harus bersifat maskulin sedangkan wanita harus bersifat feminin; peran pria di sektor publik sedangkan peran wanita di sektor domestik-privat. Hal ini dapat dilihat dalam ciri-ciri ideal wanita dan pria Jawa dalam novel sejarah karangan Promoedya Ananta Toer yang berjudul “Rumah Kaca” (2009) dan “Bumi Manusia” (2006). Wanita Jawa yang ideal dijelaskan sebagai wanita yang pandai bersolek dan bersopan-santun, luwes dalam pergaulan, setiap saat sedia membantu dan menolong orang, serta terampil di depan umum dan di rumah (Toer, 2009). Dalam kenyataan masyarakat Jawa sehari-hari, masih sangat dikenal peran yang hanya melekat pada wanita yaitu masak, manak, dan macak (catatan lapangan 10 Agustus 2009). Masak adalah tugas wanita di dapur, manak adalah tugas wanita untuk melahirkan anak, dan

  

macak adalah tugas wanita harus bisa dandan. Sementara itu, pria dianggap

  ideal apabila memenuhi syarat-syarat yang mengekspresikan kekuasaan dan kekuatan maskulin dimana mereka memiliki wisma (rumah), wanita, turangga (kuda), kukila (burung), dan curiga (keris) (Toer, 2006). Dalam kenyataan masyarakat sehari-hari, peran yang melekat pada pria adalah minum, medok, dan madat (catatan lapangan 10 Agustus 2009).

  Dapat dilihat bahwa kegiatan bersolek atau memperhatikan penampilan menjadi ciri yang melekat secara khusus pada wanita, dan bukan pada pria. Meskipun demikian, kenyataan tertentu dalam kultur masyarakat Jawa juga memberi ruang bagi sifat feminin sekaligus sifat memperhatikan penampilan pada pria (Pemberton, 2003). Wujud pria yang menunjukkan ciri feminin ini dapat dilihat secara cukup menonjol dalam tradisi Gemblak di Jawa Timur dan Bissu pada masyarakat Bugis, bahkan mereka memiliki kedudukan yang tergolong penting dalam masyarakatnya. Sosok gemblak adalah sosok pria berusia kurang dari 15 tahun yang memiliki paras cantik dan dia menjadi peliharaan warok yang dalam hal ini merupakan tokoh sentral dalam kesenian Reog, yang memiliki kesaktian tertentu (Ranggasutrasna, 1999). Sosok Bissu adalah seorang pria yang memiliki peranan memimpin upacara adat di suku Bugis, dimana dalam penampilan kesehariannya selalu membawa sebuah badi (semacam keris) sekaligus ia juga bersolek dan mengenakan bunga di rambutnya (Graham, 2002). Dengan kata lain, sosok Bissu adalah sosok pria yang halus sekaligus kuat tetapi bersolek dan menggunakan atribut bunga yang biasanya melekat pada wanita, tetapi secara kultural dia memiliki posisi penting dalam masyarakat sebagai pemimpin upacara adat.

  Dengan demikian, terdapat dua bentuk konstruksi yang berbeda mengenai pria di dalam masyarakat ini. Konstruksi yang pertama hanya melekatkan pria dengan karakter maskulin yang identik dengan keris, kuda, rumah, wanita dan badi. Sedangkan konstruksi yang kedua melekatkan pria dengan karakter feminin yang identik dengan kehalusan dan kecantikan yang terekspresi dalam atribut bunga dan kegiatan bersolek.

  Oleh karena itu, untuk memahami posisi pria metroseksual dalam masyarakat ini kita tidak bisa lepas dari konteks sosial yang dimiliki masyarakat ini mengenai pria dalam bentuk konstruksi gender yang ada. Dengan memperhitungkan konteks sosial masyakarat diharapkan dapat memberikan pemahaman yang proporsional mengenai pria metroseksual dalam keberadaannya di tengah masyarakat.

  Karsidi (2007) menyebutkan adanya tiga hal besar yang menimbulkan perubahan besar bagi kehidupan manusia, yaitu (1) demokratisasi, (2) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi komunikasi dan informasi, dan (3) globalisasi. Media massa menjadi sebuah contoh yang sesuai untuk menggambarkan ketiga hal tersebut. Kita ketahui bersama bahwa media massa merupakan salah satu bentuk teknologi informasi-komunikasi.

  Keberadaan istilah “metroseksual” sendiri tidak lepas dari media massa, dimana istilah ini muncul dalam sebuah artikel di internet, yang kemudian menyebar luas di berbagai media massa lainnya. Kekuatan media, sebagai bagian dari globalisasi, pun membawa istilah ini ke Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam berbagai ulasan media lokal mengenai metroseksual. Terdapat sejumlah majalah yang mengkhususkan diri pada pria-pria yang mereka sebut “metroseksual” (Kartajaya et al., 2004), berbagai iklan yang menayangkan produk dengan label ‘for men’, serta koran nasional yang menampilkan artikel yang berkaitan dengan metroseksual. Hal ini lah yang turut mendorong popularitas istilah ini dalam masyarakat. Adanya berbagai ulasan di media massa pun mendorong pembentukan pemikiran atau opini tersendiri dalam masyarakat mengenai istilah “metroseksual”, meski pun mereka belum menjumpai secara langsung kalangan metroseksual tersebut. Hal ini pun secara tidak langsung dapat membentuk konstruksi pengetahuan mereka tentang orang-orang yang disebut sebagai “metroseksual”, maupun dalam memberikan kesempatan akan keberadaan mereka di tengah masyarakat.

  Wibowo (dalam Adlin, 2006) menyebutkan bahwa berbagai tulisan mengenai metroseksual menyatakan bahwa konsep tersebut pertama kali muncul di surat kabar Independent di Inggris pada tahun 1994 yang ditulis oleh Mark Simpson. Sebuah penelitian bertajuk “The Future Study of Men in

  

Indonesia” dilakukan oleh MarkPlus&Co (dalam Kartajaya et al., 2004),

  sebuah lembaga konsultan pemasaran, telah menemukan gambaran pria kelas A++ ke atas di Jabotabek. Mereka pun menyebutkan bahwa kalangan pria ini merupakan pria metroseksual. Penelitian ini ternyata mengadopsi penelitian serupa yang dilakukan oleh sebuah agensi konsultan komunikasi pemasaran di Amerika Serikat, Euro RSCG Worldwide, dimana lembaga tersebut juga mengacu pada konsep metroseksual yang dijelaskan oleh Mark Simpson.

  Metroseksual dijelaskan sebagai:

  

“... laki-laki yang memiliki sifat-sfat tipikal berikut ini. Mereka umumnya

hidup di kota besar, berduit, dengan gaya hidup urban yang royal dan hedonis.

Mereka “genit” minta ampun karena pesolek tulen dan paling suka merawat

diri. Karena itu mereka intens mengikuti perkembangan fesyen terkini di

majalah-majalah mode pria seperti Maxim atau FHM (For Him Magazine).

  

Mereka umumnya klimis, dandy, dan paling peduli dengan yang namanya

penampilan...” (Kartajaya et al., 2004).

  Dengan meletakkan pria metroseksual sebagai komunitas khusus, maka ulasan tersebut menjadi kurang komprehensif. Hal ini dikarenakan ulasan tersebut tidak melihat kondisi sosiokultural dalam masyarakat yang memberikan ruang bagi keberadaan metroseksual. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelurusan pada masyarakat umum demi mendapatkan suatu gambaran akan representasi keberadaan mereka (metroseksual) di tengah masyarakat. Pria metroseksual pun dilihat melalui sudut pandang masyarakat dimana mereka berada sehingga kalangan metroseksual ini pun dilihat sebagai bagian dari masyarakat tersebut. Dengan mendapatkan gambaran posisi mereka di tengah masyarakat maka diharapkan penelitian ini memberi kontribusi pada usaha untuk meminimalisir bias gender dalam masyarakat.

  Kartajaya et al. (2004) telah melakukan sebuah penelitian yang menemukan karakteristik pria metroseksual di beberapa kota besar di Indonesia (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Meskipun demikian, penelitiannya belum memberikan kita gambaran keberadaan mereka dalam konteks sosial dimana kalangan metroseksual itu berada. Penelitian-penelitian yang terkait dengan metroseksual masih banyak berada dalam lingkup ekonomi, dimana metroseksual dilihat sebagai sebuah komoditas, seperti yang dilakukan oleh Kartajaya dan Euro RSCG. Dalam hal ini, kalangan metroseksual dipandang sebagai kalangan pria yang gemar menggunakan produk perawatan tubuh sehingga memberikan peluang pasar baru yang cukup besar. Selain itu, definisi pria metroseksual pun masih menggunakan pengulasan yang dipergunakan oleh media massa di Barat. Oleh karena itu, studi ini juga diharapkan akan menemukan sebuah pemaknaan metroseksual dalam perspektif masyarakat umum di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

  Yogyakarta menjadi lokasi dimana penelitian ini dilaksanakan. Terdapat dua alasan mengapa Yogyakarta menjadi lokasi yang dipilih. Pertama, artikel dengan topik Metroseksual di harian Kompas Jogja menunjukkan bahwa fenomena kalangan metroseksual ini telah terjadi di Yogyakarta. Dengan kata lain, kalangan metroseksual ini telah menunjukkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Kedua, terkait dengan gender, budaya yang dominan di Yogyakarta adalah budaya patriarki, seperti yang pada umumnya terjadi di Jawa (Handayani, 2004). Budaya ini menempatkan nilai-nilai maskulinitas yang melekat pada laki-laki sebagai hal yang lebih superior. Hal ini menekankan adanya ketidaksinambungan antara budaya tersebut dengan fenomena pria metroseksual, dimana kalangan pria metroseksual tersebut melakukan aktivitas bersolek yang identik dengan wanita. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus ingin melihat keberadaan ‘metroseksual’ dalam konstruksi gender yang berlaku di masyarakat Yogyakarta. Dalam hal ini, hendak ditemukan konstruksi gender seperti apa yang memberikan ruang bagi keberadaan kalangan metroseksual tersebut.

  Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang tidak hanya melihat kalangan metroseksual berdasarkan konstruksi gender yang hanya melihat sosok pria sebagai sosok yang tidak sesuai untuk melakukan aktivitas feminin.

  B. Rumusan Masalah

  Demi memberikan suatu gambaran akan pemaknaan metroseksual dalam diri masyarakat, maka hendak dijawab berbagai permasalahan berikut:

  1. Sumber-sumber informasi apa sajakah yang memberi kontribusi pada pemahaman tentang konsep metroseksual muncul dalam masyarakat di Yogyakarta? masyarakat di Yogyakarta memaknai dan

  2. Bagaimanakah mengkonstruksikan pengetahuan tentang ‘metroseksual’ ?

  3. Bagaimanakah posisi kalangan metroseksual dalam konstruksi gender di Yogyakarta?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: mengetahui sumber-sumber informasi mengenai

1. Untuk “metroseksual”.

  2. Menemukan representasi sosial “metroseksual” dalam sudut pandang masyarakat Yogyakarta serta berdasarkan latar belakang masyarakat tersebut terkait dengan konstruksi konsep metroseksual di tengah- tengah mereka.

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  a. Sumbangan pengayaan psikologi sosial dan representasi sosial masyarakat terkait dengan tema metroseksual dan kegunaannya dalam melihat permasalahan psikologis di sekitarnya, khususnya karena ruang pencarian di dalamnya yang masih luas.

  b. Memberikan gambaran akan kehadiran metroseksual dalam perspektif masyarakat Indonesia dan memahami kondisi psikososial masyarakat yang memberikan ruang bagi keberadaan metroseksual.

  2. Manfaat Praktis Memberikan pemahaman tentang posisi pria metroseksual dalam masyarakat untuk memberi kontribusi pada usaha meminimalisir bias gender dalam masyarakat.

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Profil Metroseksual

  “Metroseksual” merupakan sebuah istilah yang kini tidak asing lagi kita dengar. Mengacu pada istilah aslinya yang dalam bahasa Inggris, secara etimologis, metrosexual merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata, yakni ‘metropolitan’ dan ‘sexual’. Menurut Oxford Advanced Learner’s

  Dictionary (University of Oxford, 2005) dan Encarta Webster’s College Dictionary 2nd Edition (Bloomsbury Publishing, 2005), ‘metropolitan’

  memiliki pengertian yang mengacu pada ibukota atau kota besar. Sementara itu, kata ‘sexual’ memiliki makna yang lebih beragam. Istilah ini mengacu pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu sendiri. Dengan kata lain, kedua istilah ini memiliki fungsi sebagai kata benda (noun) yang pemakaiannya dipasangkan dengan kata lain untuk memperoleh arti yang lebih spesifik. Akan tetapi, dalam kedua kamus tersebut, ketika kata

  ‘sexual’ dan ‘metropolitan’ digabungkan ke dalam kata ‘metrosexual’

  ternyata memiliki pemaknaan tersendiri. Metrosexual dijelaskan sebagai pria heteroseksual yang berusia muda, tinggal di kota, dan memiliki ketertarikan pada fashion dan shopping (kegiatan berbelanja) serta memperhatikan penampilan mereka.

  Penelitian pertama tentang metroseksual dilakukan pertama kali oleh MarkPlus&Co, sebuah lembaga pemasaran, pada tahun 2003. Penelitian mereka merupakan adopsi dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Euro RSCG. Riset paling terkemuka sejak lahirnya gejala metroseksual dilakukan tahun 2003 oleh Euro RSCG, sebuah biro periklanan ternama yang berbasis di New York. Meskipun demikian, ulasan pertama di Indonesia mengenai metroseksual diangkat pertama kali oleh koran Kompas edisi 31 Agustus 2003 dalam artikel yang berjudul “Dunia Masa Kini: Metroseksual!” (Kartajaya et al., 2004).

  Pendefinisian istilah metroseksual dalam Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan Kartajaya et al., (2004), dalam beberapa artikel di harian Kompas, serta dalam riset yang dilakukan oleh Euro RSCG senantiasa bermuara pada pendefinisian yang ditulis oleh Mark Simpson pada harian Independent (1994) di Inggris dan dalam artikelnya di www.salon.com pada tahun 2002.

  Menurutnya, untuk menentukan apakah seseorang merupakan metroseksual adalah cukup dengan melihatnya karena mereka sangat memperhatikan penampilannya. Metroseksual dijelaskan dalam pernyataan berikut:

  

The typical metrosexual is a young man with money to spend, living in or

within easy reach of a metropolis -- because that's where all the best shops,

clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or

bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as

his own love object and pleasure as his sexual preference. Particular

professions, such as modeling, waiting tables, media, pop music and,

nowadays, sport, seem to attract them but, truth be told, like male vanity

products and herpes, they're pretty much everywhere.

  (Simpson, www.salon.com, 22 Juli 2002). Penjelasan bernada satir oleh Simpson tersebut menunjukkan bagaimana metroseksual menjadi sebuah istilah yang mengacu pada pria yang memiliki kemampuan finansial untuk mengkonsumsi berbagai produk

  (“...best shops”) maupun jasa (“...clubs, gyms, and hairdresser”) yang dapat menunjang kebutuhannya akan perhatian pada penampilan. Kalangan ini juga dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau memiliki akses yang mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana. Jenis pekerjaan yang mereka geluti pun cukup bervariasi. Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan Kartajaya et al., (2004) menyebutkan bahwa pekerjaan mereka mulai dari model, resepsionis, profesional media, musisi populer, olahragawan, bahkan berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan cantiknya serta memiliki akses ke produk-produk mahal.

  MarkPlus&Co dan Euro RSCG memandang metroseksual sebagai sebuah bagian dari keberhasilan feminisme, khususnya dalam dunia kerja.

  Dalam survei mereka, pria-pria yang menjadi responden menunjukkan penerimaan terhadap masuknya wanita ke dalam kehidupan mereka serta kenyamanan dalam mengekspresikan sisi feminin mereka. Dalam pandangan mereka, hal ini dikarenakan telah masuknya wanita ke dalam berbagai sektor publik sehingga menimbulkan interaksi yang lebih intens antara wanita dan pria, meski metroseksual bukanlah bagian dari hasrat dan politisasi gerakan perempuan. Para pria tersebut pun menjadi semakin mengenal sisi wanita, bahkan melakukan kebiasaan perilaku yang selama ini menjadi stereotip wanita (Kartajaya, 2004).

  Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai metroseksual ketika ia pertama kali mengulas mereka. Mark Simpson memberikan tanggapannya terhadap hasil penelitian Euro RSCG dalam artikelnya yang berjudul “Metrosexual? That rings a bell....” (2003). Istilah

  

‘metrosexual’ merupakan istilah yang disebutkan dengan tidak terlalu serius

  oleh Simpson ketika ia pertama kali menuliskannya. Metrosexual adalah terminologi yang digunakannya untuk menggambarkan dampak konsumerisme dan poliferasi media massa terhadap paham maskulinitas tradisional, yang termanifestasikan dalam berbagai glossy magazines (majalah gaya hidup pria kontemporer). Simpson memandang bahwa metroseksual adalah kalangan pria yang tidak lagi mengumpulkan uang untuk digunakan oleh pasangan wanita mereka. Peran ini tergantikan dengan pria- pria yang kini kurang yakin dalam identitasnya, sangat memperhatikan penampilan, yang kini menjadi impian bagi kalangan pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa ‘metrosexual’ merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Simpson dalam kritiknya terhadap konsumerisme yang dipacu oleh media massa pada kaum pria.

  Penjelasan mengenai metroseksual di atas menunjukkan bahwa meskipun berbagai penjelasan mengenai metroseksual pada akhirnya bermuara pada artikel Mark Simpson, ternyata terdapat ketidaksinambungan dalam pemaknaan metroseksual, baik yang dilontarkan oleh Simpson maupun yang dinyatakan oleh EuroRSCG (secara tidak langsung juga termasuk MarkPlus&Co). Dalam satu sisi, metroseksual digambarkan sebagai sebuah sebutan satir pada pria yang mempercantik dirinya, yang biasanya hidup di perkotaan. Di sisi lain, metroseksual juga dilihat sebagai sebuah fenomena sebagai wujud keberhasilan feminisme Barat (Wibowo, dalam Adlin, 2006). Ketika melihat pada asal-muasal metroseksual itu sendiri, kedua pihak tersebut juga memiliki pandangan yang berbeda. Wibowo (dalam Adlin, 2006) juga memaparkan bahwa Mark Simpson melihat metroseksual sebagai bentukan glossy magazines (majalah gaya hidup pria) dan komodifikasi pria dalam berbagai produk perawatan tubuh. Sementara itu, Euro RSCG melihat metroseksual sebagai hasil dari gerakan feminisme dan lingkungan pekerjaan.

  Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa metroseksual berada dalam lingkungan perkotaan. Dari berbagai pandangan tersebut, metroseksual kemudian disimpulkan melalui dua tolok ukur yang utama. Pertama, pria metroseksual dapat dicirikan secara visual. Ia berpenampilan rapi dan menarik walaupun bentuk-bentuk prakteknya berbeda tapi efek yang dihasilkannya sama (kesan rapi dan menarik). Kedua, pria metroseksual bertempat tinggal di kota besar. Kategori-kategori lainnya selain kedua hal tersebut di atas dipandang sebagai kategori yang bersifat tidak tetap dalam identitas pria metroseksual.

B. Gender dan Ketimpangan Gender

1. Tinjauan Teoritis Konsep Gender

  Secara biologis, manusia dapat dibedakan berdasarkan karakteristik fisiknya, yaitu pria dan wanita, yang kemudian disebut sebagai jenis kelamin (atau ‘sex’ dalam bahasa Inggris). Akan tetapi, gender tidak akan dapat dipahami sesederhana itu, dimana hanya dengan membedakan kategori seks, yaitu pria dan wanita (Handayani, 2004). Istilah “seks” dan “gender” pada hakekatnya memiliki pemaknaan yang berbeda. Oakley (dalam Kasiyan, 2008) menegaskan secara prinsip bahwa gender menunjuk pada kategori sosial, sedangkan seks mengacu pada kategori biologis. Hal yang senada juga disebutkan oleh Mosses (1996), dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin (seks) merupakan pemberian (given), yakni kelahiran kita sebagai pria dan wanita. Akan tetapi, jalan yang menjadikan kita feminin atau maskulin adalah atribut psikologis yang ditetapkan oleh kultur kita terhadap jenis kelamin kita.

  Dengan kata lain, gender merupakan sebuah konstruksi sosial.