Studi Deskriptif Mengenai Schwartz's Values pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung.

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Schwartz’s Value pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung”. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana gambaran Schwartz’s value pada

komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan sampel pada penelitian ini berjumlah 224 orang Suku Papua yang berusia 20-39 tahun yang tinggal dan menetap di Kota Bandung.

Alat ukur yang digunakan adalah Potrait Value Questionnaire (PVQ) yang dikembangkan oleh Schwartz’s (1992) dan terdiri dari 40 item. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Data yang diperoleh berskala ordinal, selanjutnya diolah menggunakan Smallest Space Analysis (SSA) dengan program Hebrew University Data Analysis Package (HUDAP) dan SPSS 16.

Data diolah melalui tiga cara yaitu content, structure, dan hierarchy value. Dalam content dibahas kesepuluh values Schwartz’s yang berada dalam regionnya berdasarkan pemetaan SSA, walaupun ada beberapa item yang berada di region lain dan ternyata di dalam penelitian ini hanya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh region. Dalam structure dibahas tentang hubungan antar values Schwartz’s, dengan hubungan compatibilities atau conflict yang sebagian sesuai dengan teori Schwartz, tapi ada beberapa yang berbeda akibat dari pengaruh budaya Papua yang diyakini oleh responden. Hierarchy values pada penelitian ini adalah universalism, conformity, benevolence, security, tradition, self-direction, achievement, stimulation, hedonism, dan power value. Terdapat perbedaan hierarchy values pada strategi akulturasi dan lama menetap di Kota Bandung.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian values Schwartz pada responden dengan usia di tahap perkembangan yang lain seperti dewasa madya atau menggunakan responden dengan Subsuku Papua saja bukan suku Papua secara umum di Kota Bandung.


(2)

iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This research is entitled “A Descriptive Study about Schwartz’s Value in Early Adulthood of Papua at Bandung”. The purpose of this research is to find out the Schwartz’s Value towards the subject, in this case, early adulthood of Papua at Bandung. The selection of the sample using purposive sampling method and samples of this research consist of 224 Papua early adulthood, 20-39 years old who lived and stayed in Bandung.

Instrument used in this research is Portrait Value Questionnaire (PVQ), in which developed by Schwartz’s (1992). This research use survey method. These data were ordinal scale, then processed with Smallest Space Analysis (SSA) using program of Hebrew University Data Analysis Package (HUDAP) and SPSS 16

Data was processed in three ways : content, structure, and hierarchy’s value. Content contains the ten Schwartz’s values which inside its region base of SSA mapping, although there are several items which in other region and as for in this research, it can only be concluded into seven regions. In structure, there will be discuss about the relation among Schwartz’s values with the compatibilities or conflicts, but there are some differences output with theory of Schwartz caused by culture influences which are respondents believe. For the hierarchy’s values in this research is universalism, conformity, benevolence, security, tradition, self-direction, achievement, stimulation, hedonism, and power value. There are some differences of hierarchy’s values towards acculturation strategies and long stayed in Bandung.

The researchers submit suggestions for the next study are to do some research Schwartz’s value in respondent with other life span development like middle adulthood or using respondents with Subsuku Papua not generally in Bandung.


(3)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR BAGAN ……….. xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ………. 10

1.4 Kegunaan Penelitian ………... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ………. 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ………... 10


(4)

ix Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi ... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Values ………... 24

2.1.1Pengertian Values ………. 24

2.1.2Tipe Values ………... 25

2.1.3Dinamika dan Struktur Values ……….. 28

2.1.4Second Order Value Type ………. 33

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Values ……….. 35

2.1.5.1 Latar Belakang Sosial ……… 37

2.1.5.2Sikap dan Perilaku ……….. 38

2.1.5.3Agama ……….. 39

2.1.5.4Relasi Sosial ……… 39

2.1.6 Transmission Values ……….... 40

2.1.6.1Akulturasi dan Enkulturasi ……….. 40

2.1.6.2Strategi-Strategi Akulturasi ……….. 45

2.2Kebudayaan ……… 46

2.2.1 Definisi Kebudayaan ……….. 46

2.2.2 Tiga wujud Kebudayaan ………. 47

2.2.3 Unsur-unsur Kebudayaan ……….. 48

2.2.4 Elemen Budaya ………... 48

2.3Papua ………... 50


(5)

x Universitas Kristen Maranatha

2.3.2 Sumber Daya Manusia Papua ……….. 52

2.3.3 Perkembangan Kebudayaan Papua pada umumnya ………. 56

2.3.4 Sistem Politik Tradisional Papua ………. 56

2.3.5 Kebudayaan Papua ……… 57

2.4 Masa Dewasa Awal ……… 69

2.4.1 Definisi Masa Dewasa Awal ……….. 69

2.4.2 Ciri-Ciri Masa Dewasa Awal ………. 69

2.4.3 Tugas-Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal ……….. 72

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ………. 74

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ……… 74

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………... 75

3.3.1 Variabel Penelitian ………. 75

3.3.2 Definisi Operasional ………... 75

3.4 Alat Ukur ………... 77

3.4.1 Alat Ukur Schwartz Value ……….. 77

3.4.2 Prosedur Pengisian ………. 79

3.4.3 Sistem Penilaian ………. 79

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ………... 79

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ……….. 80

3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ………. 80


(6)

xi Universitas Kristen Maranatha

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ……….. 80

3.5.1 Populasi Sasaran ………... 80

3.5.2 Karakteristik Populasi ……….. 80

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ………. 81

3.6 Teknik Analisis Data ……….. 82

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ………... 83

4.1.1 Jenis Kelamin Responden ………... 83

4.1.2 Bahasa Sehari-hari Responden ………... 84

4.1.3 Pendidikan Responden ………... 84

4.1.4 Agama Responden ………... 85

4.1.5 Lama Menetap di Kota Bandung ………... 85

4.1.6 Transmisi Budaya Responden ………... 86

4.1.7 Strategi Akulturasi Responden ………... 87

4.2 Hasil Penelitian ………... 88

4.2.1 Content ………... 88

4.2.2 Structure ………... 91

4.2.3 Hierarchy ………... 92

4.3 Pembahasan ………... 93

4.3.2 Content ………... 94

4.3.3 Structure ………... 98


(7)

xii Universitas Kristen Maranatha BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……….. 103

5.2 Saran ………. 105

5.2.1 Saran Teoritis ……… 105

5.2.2 Saran Praktis ………. 105

DAFTAR PUSTAKA ………. 107

DAFTAR RUJUKAN ………. 108 LAMPIRAN


(8)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Bagan 2.1 Schwartz’s Model of Individual Level Motivation Types of Values Bagan 2.2 Vertical Transmisi Budaya dan Akulturasi

Bagan 3.1 Rancangan Penelitian Bagan 4.1 Multidimensional Space


(9)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Potrait Value Questionnaire Tabel 3.2 Validitas Alat Ukur

Tabel 4.1 Pengelompokan Responden berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Pengelompokan Responden berdasarkan Bahasa Sehari-hari Tabel 4.3 Pengelompokan Responden berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.4 Pengelompokan Responden berdasarkan Agama

Tabel 4.5 Pengelompokan Responden berdasarkan Lama Menetap di Bandung Tabel 4.6 Pengelompokan Responden berdasarkan Transmisi Budaya

Tabel 4.7 Pengelompokan Responden berdasarkan Strategi Akulturasi Tabel 4.8 Content Area

Tabel 4.9 Korelasi antar Values


(10)

xv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Data Pribadi dan Data Penunjang Lampiran 2 Potrait Value Questionnaire

Lampiran 3 Tabel Validitas dan Reliabilitas Lampiran 4 Tabel Frekuensi

Lampiran 5 Tabel Crosstab Data Penunjang Lampiran 6 Surat Persetujuan


(11)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang terdiri dari daratan dan lautan yang luas dimana terdapat berbagai provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setiap provinsi memiliki sumber daya alam dan kebudayaan yang beranekaragam keunikannya. Keunikan yang terdapat disetiap provinsi terlihat dari adat istiadat dan kebudayaan yang khas dan berbeda satu sama lainnya. Meskipun kegiatan budaya dan maknanya sama namun cara melakukan kegiatan itu berbeda sehingga menghasilkan suatu ciri khas di setiap provinsi.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat (http://duniabaca.com, 30 November 2011).

Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Papua adalah salah satu provinsi yang terluas di Indonesia yang memiliki keanekaragaman adat istiadat serta kebudayaan, dimana setiap suku Papua mempunyai ciri khas tersendiri. Pulau Papua terdiri dari dua provinsi yaitu Papua dan Papua Nugini (http://www.fatawisata.com, 28 Mei 2011). Papua terdiri dari ± 270 suku asli yang dapat diwakilkan dengan lima suku asli utama di Papua yaitu suku Dani, suku Asmat, suku Yali, suku Sentani dan suku Korowai, dengan


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha bahasa yang berbeda-beda pula. Selain penduduk suku asli terdapat juga penduduk yang berasal dari daerah-daerah lain seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Suku minoritas yang terdapat di Papua yaitu suku Jawa dan Tionghoa (http://www.lestariweb.com, 29 Mei 2011). Mereka berada di Papua sebagai Pegawai Negeri, ABRI, Pengusaha, Pedagang, Transmigran dan sebagainya. Ada juga yang berasal dari luar Indonesia, misalnya Amerika, Perancis, Jerman dan lain-lain yang berada di Papua sebagai Missionaris dan Turis (http://www.dprp.go.id, 29 Mei 2011).

Mayoritas penduduk di Papua memeluk agama Kristen. Penduduk bagian utara, barat, dan timur kebanyakan memeluk agama Kristen Protestan, sedangkan penduduk bagian selatan dan sebagian pedalaman Enarotali (daerah Timika) memeluk agama Krsiten Katolik. Selain agama Kristen, sebagian penduduk asli terutama daerah Fak Fak dan kepulauan Raja Ampat Sorong menganut agama Islam. Agama Islam dan Hindu kebanyakan hanya terdapat di kota, sedangkan daerah-daerah pedalaman pada umumnya beragama Kristen. Perkembangan dan perubahan daerah juga membawa perubahan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kerukunan dan toleransi beragama yang cukup baik di kalangan masyarakat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan di bidang keagamaan di daerah ini. Dengan masuknya agama ke dalam masyarakat Papua membuat lunturnya beberapa budaya yang bertentangan dengan ajaran agama seperti pesta

adat “Bayar Kepala” telah diubah cara melakukan ritual adatnya

(http://www.dprp.go.id, 29 Mei 2011). Pesta adat “Bayar Kepala” dilakukan bila terdapat kerabat dari salah satu suku dibunuh oleh kerabat suku lain, untuk


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha membayar kematian kerabat maka kerabat suku lain itu harus menyerahkan kepalanya untuk dipotong oleh suku yang dirugikan. Namun cara ini sudah tidak digunakan kembali dan diganti dengan membayar secara materi (emas atau babi). Hal itu dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak.

Masyarakat Papua menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung komunikasi. Di Papua setiap daerah memiliki bahasa suku masing-masing, mereka akan menggunakan bahasa sukunya apabila berada dalam wilayah suku sendiri. Namun bila dengan suku lain mereka akan menggunakan bahasa Indonesia untuk berbicara karena disetiap suku memiliki kosa kata dan susunan yang berbeda.

Dengan adanya perbedaan bahasa di Papua dan ditambah lagi terdapatnya beberapa suku pendatang sangat memengaruhi keberadaan budaya Papua karena kebanyakan masyarakat Papua menikah dengan suku pendatang sehingga kebudayaan Papua itu kurang dapat diwariskan secara langsung kepada anak dan mengalami perubahan kualitas budaya Papua itu sendiri (http://oase.kompas.com, 28 Mei 2011). Seiring berjalannya waktu beberapa masyarakat Papua mulai mengikuti kemajuan teknologi sehingga hal itu berdampak pula pada perubahan cara berpikir mereka terhadap budaya yang telah dimiliki.

Bagi masyarakat Papua, kebudayaan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan memberikan penghormatan bagi leluhur dan alam semesta. Masyarakat Papua selalu menganggap tanah sebagai “IBU’ yang mana tanah itu memberikan perlindungan atau memberikan makan dan menganggap sungai sebagai “air susu” yang mengalirkan air kehidupan bagi masyarakat. Selain itu, masyarakat Papua


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha memiliki ungkapan budaya seperti Nai hawolok, Nai hawolok, Nai hawolok (Damai Negeriku, damai tanahku, tenteram alamku), arti ungkapan itu yaitu masyarakat Papua sesungguhnya bukan saja mengundang Tuhan, namun arwah para leluhur dan semua manusia yang hidup untuk segera datang membela, melindungi, dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Ada juga ungkapan

budaya “Hoo” yang artinya terbinanya rasa keadilan dan tidak berat sebelah

terhadap salah satu pihak (www.depbud.com, 8 Juni 2011).

Masyarakat Papua memiliki nilai yang tertanam sejak kecil dimana nilai-nilai itu didapatkan atau diwariskan baik dari orangtua, orang dewasa lain dan teman sebaya yang sebudaya kemudian penerapan nilai-nilai ini dapat dipengaruhi oleh orang dewasa lain dan teman sebaya yang tidak sebudaya dimana hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya interaksi yang terus-menerus sehingga dapat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai seseorang.

Terdapat banyak perbedaan antara tiap suku asli Papua, namun dibalik perbedaan itu memiliki makna yang sama yaitu menjaga keseimbangan antara manusia, alam dan leluhur. Terdapat beberapa upacara adat masyarakat Papua yaitu upacara kematian, upacara kelahiran, upacara kedewasaan dan upacara perkawinan. Setiap suku asli Papua memiliki keempat upacara tersebut, yang membedakannya yaitu penyebutan nama upacara dan cara melakukan upacara itu, namun tetap memiliki makna yang sama. Masyarakat Papua juga memiliki tradisi memakan pinang/menginang (Semprolgebro). Tradisi ini selalu terdapat pada upacara kelahiran, upacara perkawinan dan ritual adat lainnya. Masyarakat Papua mengganggap tradisi Semprolgebro ini sebagai alat membangun persaudaraan,


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha sarana komunikasi, bahan dialog dan diskusi, menjamu tamu, serta mengambil keputusan dalam adat. Tradisi menginang ini sangat membantu perekonomian masyarakat Papua terutama mama-mama (ibu rumah tangga) karena harga jual pinang dan kapur cukup menambah uang belanja. (www.kompas.com, 7 Juni 2011).

Kebudayaan Papua didasari oleh nilai-nilai yang telah terbentuk dan dianut masyarakat Papua dari jaman nenek moyang sampai sekarang. Nilai-nilai yang mendasari masyarakat Papua untuk bertingkahlaku dikenal dengan sebutan values. Values terbentuk melalui proses transmisi yang hampir sama seperti proses terbentuknya belief, yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang benar/salah, baik/buruk, maupun dikehendaki/tidak dikehendaki. Dalam belief, diasumsikan memiliki cognitive, affective dan behavioral components (Rokeach, 1968). Values merupakan konsep atau kepercayaan yang mengarahkan pada keadaan akhir atau tingkah laku yang diinginkan, hakikat dari sesuatu spesifik, pedoman untuk menyelesaikan tingkah laku dan kejadian-kejadian serta disusun berdasarkan kepentingan yang relatif (Schwartz & Bilsky,1987,1990). Di dalam values terdapat sepuluh tipe yaitu benevolence, conformity, tradition, security, power, achievement, stimulation, self direction, universalism dan hedonism (Schwartz, 2001).

Nilai-nilai budaya Papua tercermin dari berbagai tradisi yang diturunkan dari tradisi orangtua dan dewasa lain yang sebudaya dapat terlihat dalam pesta bakar batu, masyarakat Papua dapat mengeluarkan uang yang banyak dan tidak bekerja selama berhari-hari hanya untuk dapat mengadakan pesta ini karena bagi mereka


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha makna pesta ini adalah untuk mengucapkan rasa syukur melalui kegembiraan (hedonism value). Selain itu, masyarakat Papua menjalankan upacara adat maupun pesta adat sebagai suatu kewajiban untuk menjaga dan menghormati adat istiadat (tradition value). Sedangkan saat masyarakat Papua ini berada di Kota bandung, mereka mengalami akulturasi dengan budaya lain yang lebih beranekaragam sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai-nilai budaya yang telah mereka pegang sejak berada di Papua. Nilai-nilai ini dapat terlihat saat berada di Kota Bandung, sudah tidak ada orang dewasa Papua yang sebudaya untuk mengurus mereka melainkan orang dewasa yang berbeda budaya (Sunda) yang mengurus dan mengatur kehidupan mereka sehingga mereka sangat patuh dan menghargai orang dewasa tersebut (conformity value). Saat berada di Kota Bandung, mereka jarang melakukan adat tradisi budaya Papua namun untuk mengingatkan mereka berasal dari Papua, mereka selalu membawa barang-barang seperti koteka, tifa atau benda-benda lain yang dapat mewakilkan diri mereka (tradition value).

Dari hasil wawancara dengan Alex (Pengurus IMAPA, 2011) terungkap bahwa masyarakat Papua banyak yang bermigrasi ke kota-kota besar untuk melanjutkan pendidikan strata atau mencari pekerjaan. Salah satu kota yang menjadi tujuan masyarakat Papua adalah kota Bandung. Di kota Bandung ini terdapat komunitas/perkumpulan masyarakat Papua yang terdiri dari remaja sampai dewasa awal. Meskipun telah tinggal di kota Bandung, mereka tetap ingat budaya-budaya Papua walaupun untuk pelaksanaan beberapa budaya tidak dapat dilakukan di kota ini karena membutuhkan ketua adat sebagai pelaksana ritual


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha adat tersebut. Didapatkan juga bahwa rata-rata masyarakat Papua yang datang ke kota Bandung mengemban misi pemerintah Papua yaitu melanjutkan pendidikan strata yang dibiayai oleh pemerintah dan setelah selesai menempuh perkuliahan, mereka diharapkan dapat membantu membangun dan memajukan di Provinsi Papua. Kemudian rata-rata mahasiswa Papua yang mengenyam pendidikan strata di kota Bandung berusia lebih dari 21 tahun yang menurut teori perkembangan (Santrock 2004) bahwa usia 20 tahun telah memasuki tahap dewasa awal. Pada tahap perkembangan usia dewasa awal ini, seseorang diharapkan telah mampu menentukan value dan belief yang dianutnya (Santrock, 2004), sehingga masyarakat Papua yang berada di kota Bandung dapat memandang dan menilai value budaya Papua.

Melalui wawancara yang dilakukan peneliti dengan salah seorang pengurus Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) di kota Bandung, diketahui bahwa saat ini masyarakat Papua di kota Bandung tetap berusaha untuk menjalankan beberapa tradisi budaya walaupun hanya yang sederhana saja. Hal ini dikarenakan terdapat bermacam-macam suku Papua di kota Bandung sehingga mereka harus memilih tradisi budaya yang dikenal oleh seluruh masyarakat Papua di sini. Menurut pengurus IMAPA, dalam kenyataannya yang selalu melakukan tradisi maupun adat istiadat Papua yaitu kebanyakan orang tua sedangkan orang-orang muda sudah kurang tertarik menjalankan tradisi yang mereka miliki karena tradisi yang dilakukan sangatlah rumit dan membosankan sehingga banyak orang muda yang menghindari acara-acara adat tersebut.


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha Bila mengikuti acara adat, orang muda biasanya dipaksa oleh orang tua untuk mengikuti dan menggunakan pakaian adat seperti Koteka. Namun pada kenyataannya orang muda tetap saja menggunakan pakaian kasual karena mereka merasa malu bila menggunakan pakaian adat (Koteka) tersebut. Menurut pengurus IMAPA, terdapat beberapa tradisi yang tidak cocok lagi untuk dilakukan dalam kehidupan keseharian seperti bila ada istri yang tidak mengikuti kata suami ataupun selingkuh maka kepala istri itu harus dipenggal sebagai bukti bahwa suami memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari seorang istri.

Tradisi yang sering dilakukan selama di kota Bandung lebih ke arah pesta dan senang-senang saja seperti menari tarian Yospan dan berbagai tarian lainnya. Tarian Yospan itu sendiri telah mengalami perubahan, pada tarian itu telah dimodifikasi dengan tarian modern. Hal ini terjadi karena adanya perubahan dari wilayah Papua itu sendiri, penyebabnya yaitu percampuran dari para pendatang sehingga masyarakat Papua mengubah bagian-bagian dari tarian yang sulit. Namun tetap masih ada masyarakat Papua yang melakukan tarian Yospan sesuai dengan yang asli.

Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia, terdapat beraneka ragam suku dan budaya yang dibawa oleh pendatang. Oleh karena itu, nilai budaya yang tertanam pada masyarakat Papua di kota Bandung dipengaruhi oleh interaksi dengan budaya yang beraneka ragam. Dari hasil survei awal yang dilakukan kepada 20 orang anggota komunitas Papua usia dewasa awal di kota Bandung, diketahui bahwa 4 orang responden (20%) mengaku mengenal, memahami, dan masih mengikuti adat istiadat budaya suku Papua; 7 orang


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha responden (35%) mengaku cukup mengenal dan memahami adat istiadat budaya suku Papua; 9 orang responden (45%) mengaku sekadar mengenal dan mengetahui adat istiadat budaya suku Papua. Dari hasil survei awal juga didapatkan bahwa responden menyukai adat istiadat budaya Papua yang bermakna kebersamaan diantara masyarakat Papua karena dengan adanya kebersamaan itu membuat mereka merasakan kekeluargaan yang erat. Hasil survei awal juga menunjukkan gambaran bahwa komunitas Papua di Kota Bandung lebih sering menggunakan bahasa Indonesia untuk dapat berkomunikasi dengan suku lain dan mereka juga berusaha untuk bergaul suku lain seperti Sunda, Batak, Jawa, dan Tionghoa agar mereka tidak terlalu merasa sebagai komunitas yang minoritas dari suku yang lain. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui schwartz’s values pada komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui mengenai gambaran Schwartz’s Values pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai Schwartz’s Values pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran mengenai content, structure dan hierarchy yang dikaitkan dengan faktor eksternal dan internal yang berpengaruh pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Lintas Budaya, khususnya mengenai Schwartz’s Values pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung.

2. Untuk memberikan informasi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian mengenai values komunitas Papua.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada masyarakat Suku Papua mengenai gambaran values yang ada pada komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Kota Bandung sebagai masukan dalam upaya menyikapi masalah yang timbul akibat akulturasi dengan budaya setempat.

2. Memberikan gambaran bagi Organisasi Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) di Kota Bandung sebagai organisasi yang menaungi mahasiswa Suku Papua di kota Bandung, tentang values yang dimiliki oleh anggota organisasinya yang berguna untuk mengembangkan


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian Budaya Papua.

1.5 Kerangka Pemikiran

Dewasa awal merupakan masa dimana seseorang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan mengharuskan dirinya untuk berkecimpung dengan masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa-masa dewasa adalah waktu yang paling lama dalam rentang hidup yang ditandai dengan pembagiannya menjadi tiga fase yaitu; masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa dewasa lanjut (usia lanjut). Rentang usia dewasa awal antara 20-39 tahun. Menjadi dewasa berarti seseorang mampu untuk menentukan values dan beliefs yang dianutnya sendiri (Santrock, 2004).

Masyarakat merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat dan budaya tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat ini membentuk suatu komunitas terdiri dari individu yang merasa memiliki identitas dan budaya yang sama yaitu komunitas suku Papua.

Menurut Ki Hajar Dewantara (Abu Ahmadi,2002:50) kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Kemudian Edward Burnett Tylor, mengartikan kebudayaan sebagai


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha keseluruhan kompleks pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan, dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat (Soekanto, 2000:172).

Kebudayaan pada setiap suku memiliki nilai atau values yang mendasari pelaksanaan atau perwujudan budaya dalam bentuk tingkah laku. Values merupakan beliefs mengenai hal yang diinginkan atau tidak diinginkan dan mempunyai fungsi motivasional. Fungsi motivasional yang dimaksud adalah fungsi langsung dari nilai untuk mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari dan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar seseorang (Rokeach, 1973; Schwartz 1994).

Belief disini seperti tipe belief lainnya yang diasumsikan memiliki cognitive, affective, dan behavioral components (Rokeach, 1968). Komponen pertama adalah cognitive, yaitu muncul dalam bentuk pemikiran atau pemahaman tentang value mengenai baik atau buruk, diinginkan atau tidak diinginkan, mengenai suatu objek atau kejadian yang ada disekitar orang yang bersangkutan. Komponen yang kedua adalah affective, yaitu value yang awalnya hanya berupa pemahaman mulai menjadi suatu penghayatan tentang suatu objek atau kejadian, seperti suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Komponen yang terakhir yaitu behavior, komponen ini adalah komponen yang sudah semakin mendalam. Behavior ini muncul dalam bentuk tingkah laku sesuai dengan values yang dianut.

Values adalah konsep atau kepercayaan yang mengarahkan pada keadaan akhir atau tingkah laku yang diinginkan, hakikat dari sesuatu spesifik, pedoman untuk menyelesaikan tingkah laku dan kejadian-kejadian serta disusun


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha berdasarkan kepentingan yang relatif (Schwartz & Bilsky,1987,1990). Values terdiri dari 10 tipe values, yaitu benevolence, conformity, tradition, security, power, achievement, stimulation, self-direction, universalism dan hedonism (Schwartz, 2001).

Dari sepuluh tipe values yang ada, dapat dilihat content dari masing-masing tipe yaitu penyebaran values dan identifikasi region atau bidang yang nantinya akan dihasilkan dalam bentuk pemetaan (multidimensional space). Kesepuluh values akan membentuk suatu dinamika yang nantinya menghasilkan structure values, baik itu berupa compatibility (kecocokan) atau conflict (pertentangan) antara value yang satu dengan yang lain dimana hasilnya akan menggambarkan ciri khas dari suatu kebudayaan tertentu. Setelah itu dari sepuluh values yang ada, disusun secara hirarki berdasarkan kepentingan relatif (Schwartz dan Bilzky, 1987,1990).

Sepuluh tipe value tersebut dapat membentuk suatu kelompok berdasarkan kesamaan tujuan dalam setiap single value. Kelompok tersebut dinamakan second order value type (SOVT) yang terdiri atas SOVT openness to change (stimulation & self direction value), SOVT conservation (conformity, tradition, security value), SOVT self-transcedence (universalism & benevolence value) dan SOVT self-enhancement (power dan achievement value) (Schwartz, 1984:14).

SOVT openness to change (stimulation & self direction value) adalah belief yang menganggap penting minat intelekual dan emosional dalam arah yang tidak dapat diprediksi atau keterbukaan untuk berubah. Single value yang terkait adalah stimulation value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha ketertarikan atau kesukaan pada sesuatu yang baru atau tantangan dalam hidup; merujuk pada kehidupan yang berwarna (ada perubahan-perubahan dalam hidup) dan kehidupan yang penuh kegembiraan; serta self-direction value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan pemikiran dan tindakan yang bebas dalam memilih, menciptakan atau menyelidiki; merujuk pada kebebasan, memilih tujuan sendiri, dan keinginan keras.

SOVT conservation (conformity, tradition, security value) adalah belief yang menganggap penting hubungan dekat dengan orang lain, institusi, tradisi dan kepatuhan. Single value yang terkait adalah conformity value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan pengendalian diri dari tindakan yang dapat membahayakan orang lain atau ekspektasi sosial; biasanya ditunjukkan dengan perilaku disiplin diri, patuh, sopan, menghargai orang yang lebih tua; tradition value, yaitu sejauh mana individu mengutamakan perilaku yang mengarah pada rasa hormat dan penerimaan bahwa budaya atau agama mempengaruhi individu; menunjuk pada sikap yang hangat, respek pada budaya, kesalehan, dan bisa menempatkan diri dalam bermasyarakat; serta security value, yaitu sejauh mana keyakinan individu menggambarkan betapa pentingnya rasa aman dalam diri maupun lingkungan; value ini menunjuk pada aturan bermasyarakat, keamanan dalam keluarga, dan keamanan Negara.

SOVT self-transcedence (universalism & benevolence value) adalah belief yang mementingkan peningkatan kesejahteraan orang lain dan lingkungan sekitar. Single value yang terkait adalah universalism value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan penghargaan atau perlindungan terhadap kesejahteraan


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha semua orang dan alam; merujuk pada kesamaan, perdamaian dunia, keindahan bumi, bersatu dengan alam, dan kebijaksanaan; serta benevolence value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan perilaku untuk memperhatikan atau meningkatan kesejahteraan orang-orang terdekat; ditunjukkan dengan perilaku menolong, memaafkan, loyal, jujur, bertanggungjawab dan setia kawan.

SOVT self-enhancement (power dan achievement value) adalah belief yang mementingkan peningkatan minat personal bahkan dengan mengorbankan orang lain. Single value yang terkait adalah power value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan perilaku yang mengarah pada pencapaian status sosial atau dominasi atas orang-orang atau sumber daya; value ini menunjuk pada social power, kekayaan, otoritas, pengakuan oleh orang banyak; serta achievement value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan kesuksesan pribadi dengan memperlihatkan kompetensi menurut standar sosial; mengarah kepada kesuksesan, ambisi, kemampuan dan yang berpengaruh.

Value yang terakhir adalah hedonism value, yaitu sejauh mana keyakinan individu mengutamakan kesenangan atau sensasi yang memuaskan indra; merujuk kepada kesenangan dan menikmati hidup; termasuk dalam dua wilayah SOVT, yaitu SOVT openness to change dan SOVT self-enhancement karena Hedonism merupakan value yang memfokuskan pada diri, seperti achievement dan power value, juga value yang mengekspresikan motivasi yang menantang seperti stimulation dan self-direction value.

Nilai-nilai ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kehidupan manusia sebagai individu yang bermasyarakat dan berbudaya. Dalam bermasyarakat


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha individu selalu dilingkupi oleh kebiasaan dan aturan. Kebiasaan-kebiasaan ini tentu saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini seringkali disebut sebagai tradisi. Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan turun temurun dalam suatu masyarakat, merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas meliputi segala aspek dalam kehidupan. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang menyebabkan terbentuknya suatu kebudayaan.

Dalam kebudayaan masyarakat Papua terdapat nilai-nilai yang tidak bisa lepas begitu saja. Beberapa tradisi yang mengandung kesepuluh values terdapat di dalam masyarakat Papua adalah ungkapan Bye asyopder ma kadaun, yaitu seorang pemimpin adat harus menjadi pelindung dan tumpuan harapan masyarakat dalam kesejahteraan dan ketentraman (security value) sehingga membuat setiap masyarakat patuh akan apa yang dikatakan oleh ketua adat (conformity value). Untuk menghormati kebersamaan dan ungkapan saling memaafkan antar masyarakat Papua (benevolence value) maka dilakukan pesta bakar batu yaitu suatu upacara yang dilakukan sebagi bukti perdamaian setelah terjadi perang antar suku (universalism value). Selain itu, masyarakat Papua mulai melakukan beberapa perubahan gerakan tari Yospan sehingga tarian ini lebih mudah untuk dilakukan dalam suatu upacara adat (self-direction value). Di Papua, ketua adat (ame) memiliki kontrol dan mendominasi semua hal yang terjadi dalam masyarakat baik dalam melakukan upacara adat ataupun dalam pengambilan keputusan (power value) sehingga apapun yang dikatakan oleh ame tidak boleh dilanggar. Beberapa masyarakat Papua masih membuat patung bis sebagai penghormatan bagi leluhur (tradition value) walaupun terkadang patung-patung


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha dijual kepada wisatawan asing untuk menambah penghasilan sehari-hari. Menggunakan tarian adat untuk mencari dana dan membangun tempat ibadah (achievement value) seperti tarian adat Tejalu Met’o. Terdapat beberapa suku asli Papua yang melakukan perang dan membunuh musuhnya (stimulation value), yang kemudian mayatnya dibawa ke kampung untuk dipotong dan dibagikan kepada seluruh masyarakat untuk dimakan bersama, dan diadakan pesta dengan cara menyanyikan lagu kematian (hedonism value) dan kepala mayat itu dipenggal.

Value juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, dan status sosial. Pendidikan turut mempengaruhi values mahasiswa, menurut penelitian (Kohn & Schooler, 1983; Prince-Gibson & Schwartz, 1998) menyatakan pendidikan berkorelasi positif dengan self-direction value dan stimulation value serta mempunyai korelasi negatif dengan conformity value dan traditional value (Berry,1999: 533). Penelitian (Roccos & Schwartz, 1997; Schwartz & Husmans, 1995) menyatakan bahwa agama turut berperan dalam pembentukan values, semakin besar komitmen pada agama maka semakin memprioritaskan traditional value (Berry, 1999: 534). Jenis kelamin berpengaruh dalam pembentukan values, tipe values yang dimiliki laki-laki lebih mengarah pada achievement value, power value, hedonism value, self-direction value, stimulation value, sedangkan pada perempuan, tipe values yang dimiliki lebih mengarah pada benevolence value, dan security value. Individu usia muda akan


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha lebih menunjukkan value keterbukaan dibandingkan dengan individu yang usianya lebih tua (Feather, 1975; Rokeach, 1973 dalam Schwartz, 2001: 533).

Faktor eksternal meliputi proses transmission, yang merupakan proses pada suatu budaya yang mengajarkan pembawaan perilaku yang sesuai kepada para anggotanya. Transmisi budaya terbagi menjadi tiga berdasarkan sumbernya, yaitu: Vertical Transmission (orang tua), Oblique Transmission (orang dewasa atau lembaga lain) dan Horizontal Transmission (teman sebaya) (Cavali-Sforza dan Feldman dalam Berry, 1999). Proses transmisi budaya di atas dapat berasal dari budaya sendiri maupun berasal dari budaya lain yang juga akan terjadi proses enkulturasi dan akulturasi serta sosialisasi. Enkulturasi adalah proses yang memungkinkan kelompok memasukkan individu ke dalam budayanya sehingga memungkinkan individu membawa perilaku sesuai harapan budaya. Sebaliknya, akulturasi adalah perubahan budaya dan psikologis karena pertemuan dengan orang berbudaya lain yang memperlihatkan perilaku yang berbeda.

Transmisi vertikal dapat berupa transmisi enkulturasi dan sosialisasi khusus dalam kehidupan sehari-hari dengan orang tua, seperti pola asuh. Orang tua mewariskan nilai, keterampilan, motif budaya, keyakinan dan sebagainya kepada anak dan cucu mereka. Transmisi oblique dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah transmisi oblique yang berasal dari kebudayaan itu sendiri (berasal dari kebudayaan yang sama), yang kedua adalah transmisi oblique yang berasal dari kebudayaan lain (berasal dari kebudayaan yang berbeda). Transmisi oblique yang berasal dari kebudayaan yang sama (budaya Papua) terbentuk melalui orang dewasa lain dengan proses enkulturasi dan sosialisasi sejak lahir


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha sampai dewasa, misalnya orang dewasa lain dan saudara yang sebudaya. Transmisi oblique yang berasal dari kebudayaan lain melalui orang dewasa lain akan terbentuk melalui proses akulturasi dan resosialisasi khusus yaitu interaksi dengan orang lain yang berasal dari luar budaya Papua, misalnya dari tokoh masyarakat yang berasal dari budaya lain , atau orang dewasa lain yang berasal dari budaya lain.

Transmisi horizontal adalah pemindahan value yang terjadi melalui enkulturasi dan sosialisasi dengan teman sebaya, misalnya dari teman sebaya yang sebudaya. Transmisi horizontal bisa juga terbentuk melalui proses akulturasi dan resosialisasi khusus yaitu interaksi dengan orang lain yang berasal dari luar budaya Papua. Ini bisa terjadi melalui interaksi komunitas Papua usia dewasa awal dengan teman sebaya yang berasal dari suku lain (Berry, 1999 : 33).

Terdapat empat strategi akulturasi, yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi. Asimilasi terjadi ketika individu yang mengalami akulturasi tidak ingin memelihara budaya dan jati diri dan melakukan interaksi sehari-hari dengan masyarakat dominan, misalnya komunitas suku Papua usia dewasa awal yang bergaul dengan orang yang berasal dari budaya lain dan ia melupakan budayanya. Kemudian separasi terjadi bila suatu nilai yang ditempatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang dan suatu keinginan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, misalnya komunitas suku Papua usia dewasa awal yang menganggap sukunya sendiri yang paling benar dan bagus sehingga ia tidak ingin bergaul dengan orang yang berasal dari budaya lain. Sementara itu, integrasi adalah adanya minat terhadap keduanya baik memelihara budaya asal dan melaksanakan


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha interaksi dengan orang lain, misalnya komunitas suku Papua usia dewasa awal yang tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Papua dan ia juga tetap berinteraksi dengan orang yang berasal dari suku yang berbeda dan tetap menghormati budaya yang berbeda. Strategi terakhir, marjinalisasi adalah suatu minat yang kecil dalam pelestarian budaya dan sedikit minat melakukan hubungan dengan orang lain karena alasan pengucilan atau diskriminasi sehingga ia akan menjadi individu yang takut untuk bergaul dan lebih memilih untuk sendiri (Berry, 1999: 542).

Proses transmisi budaya juga terjadi pada komunitas Papua yang berusia dewasa awal di kota Bandung, aktif melakukan kegiatan baik dalam lingkungan maupun pendidikan. Mereka beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan maupun perubahan yang berasal dari dalam diri dan value yang mendasari mereka mungkin saja berubah akibat proses adaptasi ini. Komunitas Papua juga mengalami transmisi budaya dengan enkulturasi berupa penurunan budaya dari orang tua, orang dewasa lain serta teman sebaya yang berasal dari budaya Papua. Enkulturasi terjadi ketika mereka masih tinggal di Papua. Setelah mereka menetap di Bandung, mereka pun mengalami akulturasi dari budaya setempat yang berasal dari orang dewasa lain atau teman sebaya di lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kegiatan mereka. Selain itu mereka juga mengalami sosialisasi dari proses belajar yang terjadi dari interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada value yang mereka anut.

Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memungkinkan terjadinya multikulturasi budaya. Multikulturasi adalah suatu


(31)

21

Universitas Kristen Maranatha kondisi sosial politik yang di dalamnya individu dapat mengembangkan dirinya sendiri baik dengan cara menerima dan mengembangkan identitas budaya yang terdapat dalam dirinya maupun dengan menerima segala karakteristik dari berbagai kelompok budaya dan berhubungan serta berpartisipasi dengan seluruh kelompok budaya dalam lingkungan masayarakat yang luas. (Berry, 1992: 375). Dengan kata lain masyarakat Papua di kota Bandung tidak hanya berinteraksi dengan budaya Sunda saja, tetapi juga dengan budaya-budaya lain yang dibawa oleh pendatang yang kemudian menetap di Kota Bandung.

Untuk menjelaskan kerangka pemikiran di atas maka dibuatlah bagan kerangka pikir sebagai berikut :


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1. Kerangka Pikir

Oblique Transmission Dari orang dewasa lain 1. Enkulturasi umum

(Media, Universitas, Keluarga, Masyarakat) 2. Sosialisasi Khusus

Vertical Transmission 1. Enkulturasi umum

dari orang tua (Penanaman nilai) 2. Sosialisasi khusus dari

orang tua (Pola Asuh)

Oblique Transmission Dari orang dewasa lain 1. Akulturasi umum (Media

massa,

Universitas,Masyarakat) 2. Resosialisasi Khusus

Komunitas Suku Papua Usia Dewasa

Awal di Kota Bandung Horizontal Transmission

1. Enkulturasi umum dari Teman sebaya

2. Sosialisasi Khusus

Horizontal Transmission 1. Akulturasi umum dari

Teman sebaya 2. Resosialisasi Khusus

SCHWARTZ’S VALUES 1. Benevolence 2. Conformity 3. Tradition 4. Security 5. Power 6. Achievement 7. Hedonism 8. Stimulation 9. Self-direction 10.Universalism Faktor Internal 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Suku 5. Agama 6. Status Sosial


(33)

23

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

1. Schwartz’s Values bersifat universal sehingga dapat diteliti pada setiap budaya, termasuk budaya Suku Papua.

2. Pembentukan values pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di Bandung dipengaruhi oleh proses transmisi yaitu faktor internal (usia, jenis kelamin, agama, suku, dan pendidikan) dan faktor eksternal (vertical, horizontal dan oblique transmission).

3. Terjadi proses transmisi budaya pada Komunitas Suku Papua Usia Dewasa Awal di kota Bandung.

4. Komunitas Papua Usia Dewasa Awal di kota Bandung memiliki sepuluh Schwartz’s values yang sama dengan kebudayaan lainnya tetapi berbeda dalam derajat kepentingannya yaitu traditional value, hedonism value, benevolence value, conformity value, universalism value, stimulation value, self-direction value, achievement value, power value, security value.


(34)

105

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data Potrait Value Questionnaire dan data penunjang dari 224 orang komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kesepuluh region Schwartz’s Value hanya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh region, yaitu achievement, hedonism, power, self direction, benevolence, universalism, dan security sedangkan tiga single value lainnya yaitu conformity, tradition, dan stimulation bergabung dengan region single value yang lain. Hal ini kurang sesuai dengan teori dasar value dari Schwartz’s namun berdasarkan artikel Basic Human Values yang ditulis oleh Schwartz (2006) bahwa ditemukan di beberapa Negara tidak semua region value dapat teridentifikasi atau region value yang teridentifikasi kurang dari sepuluh.

2. Teridentifikasi hubungan yang compatibilities antar values, yaitu values dengan hubungan positif dan letak region bersebelahan atau berada dalam satu region, kedua single value dengan hubungan compatibility ada yang berada pada satu SOVT yang sama namun ada pula yang tidak berada pada satu SOVT yang sama. Tidak teridentifikasi hubungan yang conflict karena values yang saling berseberangan sekalipun ternyata memiliki hubungan yang positif dengan korelasi yang rendah yaitu Universalism


(35)

106

Universitas Kristen Maranatha dan Power; Achievement dan Benevolence; serta Self-direction dan Security values.

3. Kesepuluh Schwartz’s values komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung dari posisi teratas sampai posisi terbawah secara berurutan adalah universalism value, conformity value, benevolence value, security value, tradition value, self-direction value, achievement value, stimulation value, hedonism value, dan power value.

4. Terdapat perbedaan hierarchy value berdasarkan lama menetap di Kota Bandung, yang mana respoden yang telah menetap selama 6-10 tahun lebih mendahulukan self-direction dibandingkan dengan responden yang baru menetap 0-1,5 tahun dan 2-5 tahun. Hal ini terjadi dikarenakan responden yang telah menetap lama telah terbebas dari ikatan Pemerintah Papua untuk bersekolah sehingga mereka dapat lebih berpikir bebas mencari hal yang sesuai dengan diri mereka. Kemudian responden yang menetap 0-1,5 tahun lebih mendahulukan achievement value dibandingkan dengan responden yang menetap 2-5 tahun dan 6-10 tahun. Hal ini terjadi dikarenakan responden 0-1,5 tahun lebih mengutamakan pendidikan saat ini dibandingkan responden yang telah cukup lama tinggal di Kota Bandung.

5. Terdapat perbedaan hierarchy value berdasarkan strategi akulturasi, responden yang menggunakan strategi asimilasi tidak mengganggap penting tradition value yang ada dalam dirinya. Hal ini dapat terjadi karena responden merupakan salah satu komunitas yang minoritas


(36)

107

Universitas Kristen Maranatha sehingga responden berusaha untuk meleburkan diri dalam lingkungan yang baru dimana terdapat bermacam-macam suku didalamnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukan sebelumnya, peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu :

5.2.1 Saran Teoritis

 Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengumpulkan terlebih dahulu hal-hal yang berhubungan dengan budaya suku Papua agar pembahasan yang dilakukan dapat maksimal.

Penelitian berikutnya disarankan untuk menggunakan sample budaya Papua yang lebih spesifik seperti meneliti Subsuku Papua dikarenakan terlalu sulit untuk mengeneralisasikan tradisi yang ada di Papua.

5.2.1 Saran Praktis

 Melalui Ikatan Mahasiswa Papua Kota Bandung untuk menyampaikan kepada masyarakat Suku Papua mengenai gambaran values pada komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung agar mereka dapat mudah beradaptasi, memahami serta menyikapi masalah yang timbul sebagai akibat akulturasi dengan budaya setempat, seperti mengadakan acara yang mengundang berbagai kelompok budaya di Kota Bandung sehingga dapat bertukar budaya satu sama lainnya.

 Kepada Ikatan Mahasiswa Papua Kota Bandung, sebagai organisasi yang menaungi masyarakat Papua di Bandung untuk mempertimbangkan


(37)

108

Universitas Kristen Maranatha kegiatan-kegiatan yang dapat mempertahankan nilai-nilai budaya Papua yang telah ada seperti rutin mengadakan acara-acara yang berhubungan dengan tradisi-tradisi budaya Papua.


(38)

109

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., Dasen, P. R. 1992. Cross-cultural Psychology. New York : Cambridge University Press.

Gulö, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.

Koentjaraningrat, Prof., Dr. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat, Prof., Dr. 1993. Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Rokeach, M. 1968. Beliefs, Attitude and Values. San Fransisco : Jossey Bass. Santrock, John.W. 2004. Life Span Development. New York: Mc Graw Hills inc. Snedecor GW & Cochran WG. 1967. Statistical Methods 6th ed, Ames, IA: Iowa

State University Press.

Tim Dosen. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(39)

110

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Ahie, Widya Novitri. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Schwartz’s Value pada Remaja Subsuku Dayak Salako di Kota Singkawang Kalimantan Barat. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Schwartz, Shalom. 2006. Basic Human Value : Theory, Measurement, and Application. The Hebrew University of Jerusalem.

Vivekananda, Ni Luh Ayu. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Value Schwartz pada Masyarakat Hindu Bali Usia Dewasa Madya di Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

http://www.depbud.com, diakses tanggal 8 Juni 2011 tentang Kebudayaan Papua. http://www.dprd.go.id, diakses tanggal 29 Mei 2011 tentang Papua.

http://oase.kompas.com, diakses tanggal 28 Mei 2011 tentang Perubahan Kebudayaan di Papua.

http://www.lestariweb.com, diakses tanggal 29 Mei 2011 tentang Suku Papua. http://www.syahroneiy.co.cc, diakses tanggal 21 Agustus 2010 tentang


(1)

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data Potrait Value Questionnaire dan data penunjang dari 224 orang komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kesepuluh region Schwartz’s Value hanya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh region, yaitu achievement, hedonism, power, self direction, benevolence, universalism, dan security sedangkan tiga single value lainnya yaitu conformity, tradition, dan stimulation bergabung dengan region single value yang lain. Hal ini kurang sesuai dengan teori dasar value dari Schwartz’s namun berdasarkan artikel Basic Human Values yang ditulis oleh Schwartz (2006) bahwa ditemukan di beberapa Negara tidak semua region value dapat teridentifikasi atau region value yang teridentifikasi kurang dari sepuluh.

2. Teridentifikasi hubungan yang compatibilities antar values, yaitu values dengan hubungan positif dan letak region bersebelahan atau berada dalam satu region, kedua single value dengan hubungan compatibility ada yang berada pada satu SOVT yang sama namun ada pula yang tidak berada pada satu SOVT yang sama. Tidak teridentifikasi hubungan yang conflict karena values yang saling berseberangan sekalipun ternyata memiliki hubungan yang positif dengan korelasi yang rendah yaitu Universalism


(2)

Universitas Kristen Maranatha

dan Power; Achievement dan Benevolence; serta Self-direction dan Security values.

3. Kesepuluh Schwartz’s values komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung dari posisi teratas sampai posisi terbawah secara berurutan adalah universalism value, conformity value, benevolence value, security value, tradition value, self-direction value, achievement value, stimulation value, hedonism value, dan power value.

4. Terdapat perbedaan hierarchy value berdasarkan lama menetap di Kota Bandung, yang mana respoden yang telah menetap selama 6-10 tahun lebih mendahulukan self-direction dibandingkan dengan responden yang baru menetap 0-1,5 tahun dan 2-5 tahun. Hal ini terjadi dikarenakan responden yang telah menetap lama telah terbebas dari ikatan Pemerintah Papua untuk bersekolah sehingga mereka dapat lebih berpikir bebas mencari hal yang sesuai dengan diri mereka. Kemudian responden yang menetap 0-1,5 tahun lebih mendahulukan achievement value dibandingkan dengan responden yang menetap 2-5 tahun dan 6-10 tahun. Hal ini terjadi dikarenakan responden 0-1,5 tahun lebih mengutamakan pendidikan saat ini dibandingkan responden yang telah cukup lama tinggal di Kota Bandung.

5. Terdapat perbedaan hierarchy value berdasarkan strategi akulturasi, responden yang menggunakan strategi asimilasi tidak mengganggap penting tradition value yang ada dalam dirinya. Hal ini dapat terjadi karena responden merupakan salah satu komunitas yang minoritas


(3)

Universitas Kristen Maranatha

sehingga responden berusaha untuk meleburkan diri dalam lingkungan yang baru dimana terdapat bermacam-macam suku didalamnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukan sebelumnya, peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu :

5.2.1 Saran Teoritis

 Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengumpulkan terlebih dahulu hal-hal yang berhubungan dengan budaya suku Papua agar pembahasan yang dilakukan dapat maksimal.

Penelitian berikutnya disarankan untuk menggunakan sample budaya Papua yang lebih spesifik seperti meneliti Subsuku Papua dikarenakan terlalu sulit untuk mengeneralisasikan tradisi yang ada di Papua.

5.2.1 Saran Praktis

 Melalui Ikatan Mahasiswa Papua Kota Bandung untuk menyampaikan kepada masyarakat Suku Papua mengenai gambaran values pada komunitas Suku Papua usia dewasa awal di Kota Bandung agar mereka dapat mudah beradaptasi, memahami serta menyikapi masalah yang timbul sebagai akibat akulturasi dengan budaya setempat, seperti mengadakan acara yang mengundang berbagai kelompok budaya di Kota Bandung sehingga dapat bertukar budaya satu sama lainnya.

 Kepada Ikatan Mahasiswa Papua Kota Bandung, sebagai organisasi yang menaungi masyarakat Papua di Bandung untuk mempertimbangkan


(4)

Universitas Kristen Maranatha

kegiatan-kegiatan yang dapat mempertahankan nilai-nilai budaya Papua yang telah ada seperti rutin mengadakan acara-acara yang berhubungan dengan tradisi-tradisi budaya Papua.


(5)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., Dasen, P. R. 1992. Cross-cultural Psychology. New York : Cambridge University Press.

Gulö, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.

Koentjaraningrat, Prof., Dr. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat, Prof., Dr. 1993. Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Rokeach, M. 1968. Beliefs, Attitude and Values. San Fransisco : Jossey Bass. Santrock, John.W. 2004. Life Span Development. New York: Mc Graw Hills inc. Snedecor GW & Cochran WG. 1967. Statistical Methods 6th ed, Ames, IA: Iowa

State University Press.

Tim Dosen. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(6)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Ahie, Widya Novitri. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Schwartz’s Value pada Remaja Subsuku Dayak Salako di Kota Singkawang Kalimantan Barat. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Schwartz, Shalom. 2006. Basic Human Value : Theory, Measurement, and Application. The Hebrew University of Jerusalem.

Vivekananda, Ni Luh Ayu. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Value Schwartz pada Masyarakat Hindu Bali Usia Dewasa Madya di Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

http://www.depbud.com, diakses tanggal 8 Juni 2011 tentang Kebudayaan Papua. http://www.dprd.go.id, diakses tanggal 29 Mei 2011 tentang Papua.

http://oase.kompas.com, diakses tanggal 28 Mei 2011 tentang Perubahan Kebudayaan di Papua.

http://www.lestariweb.com, diakses tanggal 29 Mei 2011 tentang Suku Papua. http://www.syahroneiy.co.cc, diakses tanggal 21 Agustus 2010 tentang