REPRESENTASI SOSIAL TENTANG representasi METROSEKSUAL

REPRESENTASI SOSIAL TENTANG METROSEKSUAL: Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah Usia Dewasa Awal

Di Yogyakarta 1

Nyoman Trisna Aryanata 2

Abstract

The extra attention to physical appearance among the metrosexual men indicates inconsistency to the gender stereotypes in Yogyakarta. Their 'unique' presence leads to indication of changes in the gender construction. However, researches on the topic of Metrosexual tend to use the perspectives taken from the marketing agents by putting metrosexual community as the central of the research. How the society of Yogyakarta constructed their knowledge of metrosexual and the positioning of the metrosexuals among them have not yet been answered. Social Representation with its anchoring and objectification helps to comprehend the existence of the metrosexual based on the point of view of the people of Yogyakarta, regarding to their existence in the city of Yogyakarta. The research was carried out by using open-questionnaires and semi-structured interview to 34 partisipants located in Yogyakarta, aged 21 to 3 6. Knowledge of ‘metrosexual’ was absorbed from the mass media and represented as a term for men, a phenomenon in the city, and associated with physical appearance terminologies, such as fragrant, clean, tidy, gay, fashionable, and modist. The concept of metrosexual was also associated with being gay. Their objectifications of the metrosexuals are male who pays extra attention to the physical

appearance, rich, living in the city, and tend to show immoderate behavior of male’s idealization. The dominant attitude toward the metrosexuals is ambivalent. Extra attention to

physical appearance isn’t considered as appropriate behavior to be performed by men for daily life, while acceptance is given only when it’s required by their occupations.

Keywords: metrosexuals, social representation, urban, mass media , gender

Pendahuluan

Memasuki pusat-pusat perbelanjaan dapat kita jumpai sejumlah gerai yang menyediakan pakaian khusus pria dalam berbagai model serta produk-produk perawatan tubuh bagi pria (yang umumnya diberi label ‘for men’). Produk-produk perawatan dan pelengkap penampilan bagi pria pun kita sudah tidak kalah lengkapnya dengan produk untuk wanita. Ini adalah sebagian dari observasi yang dapat kita saksikan dalam keseharian kita untuk menangkap keberadaan kalangan pria yang sangat memperhatikan penampilannya,

1 Paper ini bersumber dari skripsi ( undergraduate thesis) penulis dan telah dipublikasikan dalam buku ”Representasi Sosial: Seksualitas, Kesehatan, dan Identitas (Kumpulan Penelitian Psikologi)” (ISBN: 978-979- 1088-58-9). Berikut adalah penulisan referensi artikel ini yang mengacu pada APA:

Aryanata, N.T. (2010). Representasi sosial tentang metroseksual (Studi deskriptif pada masyarakat kelas menengah usia dewasa awal di Yogyakarta). Dalam C.S. Handayani (Ed.), Representasi sosial: Seksualitas, kesehatan, dan identitas (Kumpulan penelitian psikologi) (pp. 75-114). Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

2 Korespondensi: t.aryanata@gmail.com 2 Korespondensi: t.aryanata@gmail.com

Pria metroseksual pun dinyatakan telah menunjukkan keberadaannya di Yogyakarta. Harian Kompas Jogja mengulas mereka dalam tiga artikel terpisah yang berjudul “Spa Pun Mulai Menjamur” (2005), “Fitness, Menangkap Tren Pria Metroseksual” (2007), dan “Pria Metroseksual, Dari Esensi Ke Eksistensi” (2005). Kehadiran spa yang menjamur di Yogyakarta turut menjaring konsumen pria yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku pada pusat kebugaran tubuh ( fitness center ) yang dipenuhi oleh anak muda yang ingin memiliki penampilan fisik yang menarik. Kemunculan metroseksual pun tampak dalam media massa, dimana sejak tahun 2003 bermunculan majalah-majalah pria dengan porsi iklan produk perawatan tubuh pria dan berbagai tips memperhatikan penampilan bagi mereka yang cukup

dominan. Beberapa dari mereka yang terkenal adalah FHM, Men’s Health, dan Popular (Kartajaya et al., 2004).

Beberapa tulisan menjelaskan bahwa istilah metroseksual selalu dilekatkan pada pria. Pria metroseksual senantiasa dikatakan sebagai pria yang sangat memperhatikan dandanannya. Mereka bersedia meluangkan waktu secara khusus untuk melakukan perawatan ataupun membenahi penampilannya (Simpson, 1994; Simpson, 2002; Kartajaya et al., 2004).

Melihat pada kacamata konstruksi gender yang berlaku kini, perilaku pria yang sangat memperhatikan penampilannya ini merupakan hal yang tidak sejalan dengan apa yang umumnya dipandang sesuai untuk dilakukan oleh pria. Kegiatan merawat dan memperhatikan tubuh telah menjadi stereotip gender wanita. Pria senantiasa digambarkan (atau diharapkan) sebagai sosok yang lekat dengan aktivitas yang bernuansa kasar (misalnya berpetualang) dan sifat-sifat yang keras (misalnya agresif dan kurang emosional), dimana perilaku memperhatikan penampilan akan memberikan kesan feminin dengan nada negatif bagi mereka (Brannon, 1996).

Temuan dalam keseharian tersebut menunjukkan bahwa kalangan metroseksual ini telah tampak keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi, budaya yang dominan di Yogyakarta adalah budaya patriarki yang menempatkan nilai-nilai kemaskulinitasan yang melekat pada laki-laki sebagai hal yang lebih superior (Handayani, 2004). Hal ini menekankan adanya ketidaksinambungan antara budaya tersebut dengan fenomena pria metroseksual, dimana kalangan pria tersebut melakukan aktivitas bersolek yang identik dengan wanita. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus ingin melihat representasi ‘metroseksual’ bagi masyarakat Yogyakarta, khususnya terkait dengan Temuan dalam keseharian tersebut menunjukkan bahwa kalangan metroseksual ini telah tampak keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi, budaya yang dominan di Yogyakarta adalah budaya patriarki yang menempatkan nilai-nilai kemaskulinitasan yang melekat pada laki-laki sebagai hal yang lebih superior (Handayani, 2004). Hal ini menekankan adanya ketidaksinambungan antara budaya tersebut dengan fenomena pria metroseksual, dimana kalangan pria tersebut melakukan aktivitas bersolek yang identik dengan wanita. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus ingin melihat representasi ‘metroseksual’ bagi masyarakat Yogyakarta, khususnya terkait dengan

Kartajaya et al. (2004) juga telah melakukan sebuah penelitian yang menemukan karakteristik pria metroseksual di beberapa kota besar di Indonesia (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Meskipun demikian, penelitiannya belum memberikan kita gambaran keberadaan mereka dalam konteks sosial dimana kalangan metroseksual itu berada. Penelitian-penelitian yang terkait dengan metroseksual masih banyak berada dalam lingkup ekonomi, dimana metroseksual dilihat sebagai sebuah komoditas, seperti yang dilakukan oleh Kartajaya dan Euro RSCG (Kartajaya et al., 2004). Dalam hal ini, kalangan metroseksual dipandang sebagai kalangan pria yang gemar menggunakan produk perawatan tubuh sehingga memberikan peluang pasar baru yang cukup besar. Selain itu, definisi pria metroseksual pun masih menggunakan pengulasan yang dipergunakan oleh media massa di Barat. Oleh karena itu, studi ini juga diharapkan akan menemukan sebuah pemaknaan metroseksual dalam perspektif masyarakat umum di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Tinjauan Teoritis

Metroseksual Secara etimologis, istilah “metroseksual” merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata, yakni “metropolitan” dan “sexual”. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (University of Oxford, 2005) dan Encar ta Webster’s College Dictionary (Bloomsbury Publishing, 2005), kata “metropolitan” memiliki pengertian yang mengacu pada ibukota atau kota besar. Sementara itu, ka ta ‘sexual’ memiliki makna yang lebih

beragam. Istilah ini mengacu pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu sendiri. Akan teta pi, ketika digabungkan menjadi “metrosexual”, istilah tersebut kemudian dijelaskan sebagai pria heteroseksual yang berusia muda, tinggal di kota, dan memiliki beragam. Istilah ini mengacu pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu sendiri. Akan teta pi, ketika digabungkan menjadi “metrosexual”, istilah tersebut kemudian dijelaskan sebagai pria heteroseksual yang berusia muda, tinggal di kota, dan memiliki

Penelitian pertama tentang metroseksual dilakukan pertama kali oleh MarkPlus&Co, sebuah lembaga pemasaran, pada tahun 2003. Penelitian mereka merupakan adopsi dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Euro RSCG, sebuah biro periklanan yang berbasis di New York. Meskipun demikian, ulasan pertama di Indonesia mengenai metroseksual diangkat pertama kali oleh koran Kompas edisi 31 Agustus 2003 dalam artikel yang berjudul

“Dunia Masa Kini: Metroseksual!” (Kartajaya et al., 2004). Pendefinisian istilah metroseksual dalam Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan Kartajaya et al., (2004), dalam beberapa artikel di harian Kompas, serta dalam riset yang dilakukan oleh Euro RSCG senantiasa bermuara pada pendefinisian yang ditulis oleh Mark Simpson pada harian Independent (1994) di Inggris dan dalam artikelnya di www.salon.com pada tahun 2002. Menurutnya, untuk menentukan apakah seseorang merupakan metroseksual adalah cukup dengan melihatnya karena mereka sangat memperhatikan penampilannya. Dalam

artikelnya yang berjudul “Meet The Metrosexuals” (2002), Simpson mengacu istilah ‘metrosexual’ (atau ‘metroseksual’ dalam bahasa Indonesia) pada pria yang memiliki kemampuan finansial untuk mengkonsumsi berbagai produk (“... best shops ”) maupun jasa (“... clubs, gyms, and hairdresser ”) yang dapat menunjang kebutuhannya akan perhatian pada penampilan. Kalangan ini juga dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau memiliki akses yang mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana. Jenis pekerjaan yang mereka geluti pun cukup bervariasi, mulai dari model, resepsionis, profesional media, musisi populer, olahragawan, serta berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan cantiknya serta memiliki akses ke produk-produk mahal.

Euro RSCG memandang metroseksual sebagai sebuah bagian dari keberhasilan feminisme, khususnya dalam dunia kerja. Dalam pandangan mereka, hal ini dikarenakan telah masuknya wanita ke dalam berbagai sektor publik sehingga menimbulkan interaksi yang lebih intens antara wanita dan pria, meski metroseksual bukan merupakan ide utama dalam pergerakan perempuan. Para pria tersebut pun dipandang menjadi semakin mengenal sisi wanita, bahkan melakukan kebiasaan perilaku yang selama ini menjadi stereotip wanita (Kartajaya et al., 2004).

Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai metroseksual ketika ia pertama kali mengulas m ereka, yang diutarakannya dalam artikel berjudul “ Metrosexual? That rings a bell.... ” (2003). Istilah ‘metrosexual’ merupakan istilah yang disebutkan dengan Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai metroseksual ketika ia pertama kali mengulas m ereka, yang diutarakannya dalam artikel berjudul “ Metrosexual? That rings a bell.... ” (2003). Istilah ‘metrosexual’ merupakan istilah yang disebutkan dengan

Penjelasan mengenai metroseksual di atas menunjukkan adanya ketidaksinambungan dalam pemaknaan metroseksual, baik yang dilontarkan oleh Simpson maupun yang dinyatakan oleh EuroRSCG (secara tidak langsung juga termasuk MarkPlus&Co). Dalam satu sisi, metroseksual digambarkan sebagai sebuah sebutan satir pada pria yang mempercantik dirinya, yang biasanya hidup di perkotaan. Di sisi lain, metroseksual juga dilihat sebagai wujud keberhasilan feminisme Barat (Wibowo, dalam Adlin, 2006). Ketika melihat pada asal-muasal metroseksual itu sendiri, kedua pihak tersebut juga memiliki pandangan yang berbeda. Wibowo (dalam Adlin, 2006) memaparkan bahwa Mark Simpson melihat metroseksual sebagai bentukan glossy magazines (majalah gaya hidup pria) dan komodifikasi pria dalam berbagai produk perawatan tubuh. Sementara itu, Euro RSCG melihat metroseksual sebagai hasil dari gerakan feminisme dan lingkungan pekerjaan. Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa metroseksual berada dalam lingkungan perkotaan. Dari berbagai pandangan tersebut, metroseksual kemudian disimpulkan melalui dua tolok ukur yang utama. Pertama, pria metroseksual dapat dicirikan secara visual. Ia berpenampilan rapi dan menarik, yang dilakukan melalui konsumsi mereka akan produk- produk yang menjaga penampilan. Kedua, pria metroseksual bertempat tinggal di kota besar. Kategori-kategori lainnya selain kedua hal tersebut di atas dipandang sebagai variasi dalam menjelaskan pria metroseksual.

Gender dan Ketimpangan Gender Istilah ‘gender’ dan ‘seks’ pada hakekatnya memiliki pemaknaan yang berbeda.

Oakley (dalam Kasiyan, 2008) menegaskan secara prinsip bahwa gender menunjuk pada kategori sosial, sedangkan seks mengacu pada kategori biologis. Hal yang senada juga disebutkan oleh Mosses (1996), dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin (seks) merupakan pemberian ( given ), yakni kelahiran kita sebagai pria dan wanita. Akan tetapi, jalan yang Oakley (dalam Kasiyan, 2008) menegaskan secara prinsip bahwa gender menunjuk pada kategori sosial, sedangkan seks mengacu pada kategori biologis. Hal yang senada juga disebutkan oleh Mosses (1996), dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin (seks) merupakan pemberian ( given ), yakni kelahiran kita sebagai pria dan wanita. Akan tetapi, jalan yang

Membahas gender akan membawa kita pada istilah stereotip gender dan peran gender. Peran gender dapat digambarkan sebagai sebuah ketentuan yang berlaku bagi pria dan wanita untuk memenuhi peran tertentu dalam masyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan gendernya. Dapat digambarkan bagaimana pria di Indonesia diharapkan untuk menjadi sosok yang kuat, bertanggung jawab, dan dapat memenuhi nafkah keluarganya (bila telah berkeluarga), sementara wanita diharapkan untuk menjadi sosok yang lemah lembut dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Stereotip gender merupakan berbagai hal yang dipercayai sebagai atribut psikologis serta aktivitas yang dianggap sesuai bagi pria dan wanita (Brannon, 1996; Megawangi, 1999; Handayani, 2004; Kasiyan, 2008; Nugroho, 2008). Anggapan mengenai pria sebagai sosok yang agresif, dominan, tidak memperhatikan penampilan, berpikir logis, dan sebagainya, merupakan sebagian dari berbagai stereotip yang melekat pada pria. Wanita pun seringkali disebut sebagai sosok yang lemah lembut, cerewet, suka memperhatikan penampilan, dan sebagainya (Rosenkrantz, dalam Brannon, 1996).

Stereotip gender dan peran gender ini secara ideologis maupun praktek juga menciptakan sebuah dinding yang tidak tipis antara pria dan wanita secara sosiokultural. Batasan mengenai hal yang pantas dan tidak pantas menjadi acuan dalam menilai pria dan wanita, yang menyangkut sikap, perilaku, dan penampilan yang diarahkan bagi pria dan wanita dalam interaksi sosial (Brannon, 1996). Pleck (dalam Courtenay, 2000) juga menjelaskan bahwa cara berpikir dan berperilaku pria dan wanita bukan disebabkan oleh identitas jenis kelamin yang dimiliki tetapi karena konstruksi femininitas pada wanita dan maskulinitas pada laki-laki. Hal ini pun menyebabkan dikotomi pria dan wanita tidak hanya terbatas pada ciri biologis mereka, tetapi juga termasuk aspek psikososialnya. Wilayah wanita pun menjadi tidak dapat dimasuki dengan mudah oleh pria, demikian pula sebaliknya, dengan konsekuensi kesan abnormal apabila dilanggar

Dalam kehidupan sosial, pria memiliki tuntutan sosiokultural yang tidak ringan, dimana mereka dituntut untuk tetap mempertahankan kemaskulinitasannya. Oleh karena adanya serangkaian stereotip maskulinitas pria yang seringkali berkonotasi positif, maka pria menempati posisi di wilayah publik yang sifatnya produktif dalam hierarki pembagian kerja secara seksual, dimana kemudian pekerjaan-pekerjaan ini dipandang lebih terhormat (Kasiyan, 2008). Dapat dicontohkan pada posisi pemimpin di berbagai institusi sosial, seperti Dalam kehidupan sosial, pria memiliki tuntutan sosiokultural yang tidak ringan, dimana mereka dituntut untuk tetap mempertahankan kemaskulinitasannya. Oleh karena adanya serangkaian stereotip maskulinitas pria yang seringkali berkonotasi positif, maka pria menempati posisi di wilayah publik yang sifatnya produktif dalam hierarki pembagian kerja secara seksual, dimana kemudian pekerjaan-pekerjaan ini dipandang lebih terhormat (Kasiyan, 2008). Dapat dicontohkan pada posisi pemimpin di berbagai institusi sosial, seperti

Ketika kita membahas kesetaraan gender, asumsinya adalah terdapat kesempatan yang sama bagi pria maupun wanita untuk merambah domain satu sama lain dan apresiasi bagi kemampuan mereka. Spirit dasar konsep feminisme adalah menempatkan pria dan wanita setara sebagai manusia yang lengkap dengan nilai yang dilekatkan (Kasiyan, 2008). Dalam kenyataan yang terjadi, meski pria telah berhasil merambah sejumlah ruang yang menjadi stereotip wanita, masih terdapat tuntutan yang kuat pada pria untuk mempertahankan kemaskulinitasannya dalam berbagai segi. Dalam kondisi apapun, pria tetap diharapkan untuk selalu menunjukkan ciri-ciri yang sejalan dengan stereotip gendernya.

Representasi Sosial dan “ Metroseksual ” Dalam pandangan representasi sosial, kondisi psikologis seseorang merupakan produk sosial yang akan menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam lingkungan yang sama. Suatu dinamika psikologis individu terhadap suatu fenomena hanya dapat dipahami apabila dilihat sebagai hal yang disatukan oleh kondisi historis, kultural dan makrososial (Wagner, Duveen, Farr, Jovchelovitch, Lorenzi-Cioldi, Marková, dan Rose, 1999; Walmsley, 2004). Penjelasan ini turut menunjukkan bahwa representasi sosial merupakan seperangkat konsep, pernyataan, ataupun penjelasan yang berasal dari kehidupan sehari-hari pada masyarakat dan hanya mungkin terjadi karena adanya proses komunikasi terus-menerus antar anggota dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Melalui representasi sosial, masyarakat memperoleh pengetahuan akan bagaimana perilaku mereka diarahkan dalam menanggapi suatu obyek representasi serta bagaimana mereka menjelaskan obyek tersebut (Moscovici, 2001).

Dalam proses representasi sosial terdapat dua konsep sentral, yakni anchoring dan objectification . Objectification merupakan sebuah proses menerjemahkan ide-ide dan konsep- konsep abstrak, dalam hal ini adalah metroseksual, ke dalam sebuah gambaran konkrit (Moscovici, 1984). Dijelaskan lebih lanjut oleh Wagner, et al., (1999) bahwa suatu kelompok sosial dalam komunikasi di dalamnya mengembangkan interpretasi mereka sendiri terhadap suatu fenomena yang tidak dikenal atau baru. Anchoring merupakan proses dimana individu mengaitkan suatu ide atau objek ke dalam konteks maupun makna yang familiar bagi mereka. Anchoring kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses sosial yang meletakkan individu ke dalam konteks sosialnya serta ke dalam tradisi kultural kelompoknya (masyarakatnya). Wujud representasi tersebut pun kemudian dapat dilihat, antara lain melalui pemaknaan dan sikap sosial mereka terhadap objek representasi tersebut (Billig, Condor, Edwards, Gane, Middleton, dan Radley, 1988; Moscovici, 2001).

Sikap dalam representasi sosial disebut sebagai ‘sikap sosial’, yakni suatu hasil konstruksi dan evaluasi terhadap suatu objek pikiran. Sikap ini disebut ‘sosial’ karena dalam pembentukannya, individu akan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan sosialnya, sekaligus juga ia akan membaginya pada anggota kelompok yang lain, atau bahkan ia terpengaruh oleh anggota kelompoknya (Wagner et al., 1999). Oleh karena itu, sikap masyarakat terhadap metroseksual merupakan bagian dari representasi mereka terhadap metroseksual.

Konteks Penelitian Dalam masyarakat Jawa dijumpai suatu filosofi yang menjelaskan pentingnya berpakaian. Hal ini tampak dalam tradisi ngadi salira, ngadi busana (Purwadi, 2007). Ungkapan tersebut mengungkapkan maksud bahwa jiwa dan raga perlu diberi perhatian khusus agar mendapat penghormatan yang layak dari pihak lain. Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa dalam pergaulan sehari-hari penampilan seseorang ternyata sebagian ditentukan oleh cara berpakaian. Cara berpakaian menjadi bagian dari cara seseorang menempatkan diri dalam lingkungannya, sesuai dengan situasi dan kondisi. Pria dan wanita dipandang perlu untuk memperhatikan penampilannya melalui cara berpakaian, dimana hal ini dapat menunjukkan sifat tabiat seseorang, baik dalam tindak laku sehari-hari, tata krama, selera, maupun pandangan hidupnya (Purwadi, 2007).

Di dalam masyarakat Jawa juga terdapat suatu pandangan yang melekatkan kegiatan memperhatikan penampilan sebagai hal yang hanya dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini Di dalam masyarakat Jawa juga terdapat suatu pandangan yang melekatkan kegiatan memperhatikan penampilan sebagai hal yang hanya dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini

Hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan yang diberikan di atas adalah bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai kegiatan memperhatikan penampilan. Pertama, memperhatikan penampilan merupakan hal yang sepatutnya dilakukan oleh pria dan wanita sebagai bagian dari usaha untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan serta diperlukan dalam menjaga keselarasan hubungan dengan orang lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Pandangan yang kedua menempatkan kegiatan memperhatikan penampilan alias berdandan sebagai hal yang wajib untuk dilakukan atau mampu untuk dilakukan oleh para wanita. Kalangan pria tidak dipandang sesuai untuk memiliki perhatian yang penuh pada usaha menjaga penampilan.

Dalam penelitian ini, subyek yang diperoleh adalah kalangan masyarakat yang berusia antara 21-36 tahun, dimana subyek dalam rentang usia tersebut berada pada tahap perkembangan dewasa awal (Santrock, 2002). Hal yang serupa berlaku pula di Indonesia, dimana batas usia individu yang telah dinyatakan dewasa adalah 21 tahun. Dinyatakan bahwa pada usia ini seseorang telah dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa tergantung pada orang tuanya (Monks, Knoers, dan Haditono, 2002).

Pada usia dewasa awal ini, individu dinyatakan telah mengkonstruksikan dirinya sebagai bagian dari suatu masyarakat sekaligus juga melakukan peranannya di dalam lingkungan sosialnya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ia telah mempunyai tanggung jawab terhadap perilakunya, termasuk sanksi sosial dari perilakunya. Hal ini juga disebabkan karena ia telah melalui suatu tahap transisi dimana ia bertemu dengan lingkungan sosial yang lebih luas (norma, nilai, peran) dan akhirnya mencapai kestabilan acuan diri dalam lingkungan sosialnya (Monks et al., 2002; Santrock, 2002; Carr, 2009).

Metode

Penelitian ini mencoba menggali data yang dicari secara ‘grounded’ dan menganalisis data secara kualitatif. Akan tetapi, untuk mempermudah membaca data dan menemukan representasi yang muncul, maka data kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan disajikan secara kuantitatif. Paradigma representasi sosial digunakan dalam penelitian ini karena meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga pemahaman dan sikap sosial individu dapat dilihat sesuai dengan konteks sosial budayanya. Bahasa menjadi aspek penting dalam penelitian ini. Bahasa sebagai unsur fundamental dari komunikasi, interpretasi, dan pemahaman manusia dalam rangka memberi arti pada dunia sosial dengan cara mengekspresikan pembentukan makna tersebut pada diri kita sendiri dan orang lain secara linguistik. Melalui bahasa, suatu makna dalam perilaku manusia dapat dilihat secara kognitif, afektif, maupun normatif (Handayani, 2002; Smith, 2009). Oleh karena itu, bahasa melalui kata-kata yang dikumpulkan dalam penelitian ini menjadi aspek penting dalam memahami representasi sosial masyarakat umum tentang metroseksual.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Penelitian ini mengkaji representasi sosial tentang metroseksual pada masyarakat umum yang diungkap melalui sikap dan makna yang mereka miliki tentang metroseksual, dimana sikap dan makna ini sebagai pengetahuan yang mereka miliki bersama.

2. Makna metroseksual bagi masyarakat adalah segala sesuatu yang dipersepsikan, dipahami, dan dirasakan oleh masyarakat tentang mestroseksual.

3. Sikap terhadap metroseksual adalah kecenderungan berperilaku masyarakat, baik positif maupun negatif, terhadap “metroseksual” berdasarkan pengetahuan sosial yang mereka miliki mengenai “metroseksual”.

4. Sumber informasi metroseksual adalah segala hal yang menjadi sumber bagi masyarakat dalam mengkonstruksikan pengetahuan mengenai metroseksual.

5. Yang dimaksud dengan ‘masyarakat’ dalam penelitian ini adalah kalangan masyarakat yang berusia 21-40 tahun dan bertempat tinggal di kota Yogyakarta.

Partisipan penelitian ini ditentukan secara purposive , yaitu pemilihan subyek berdasarkan kriteria tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Sulistyo, 2006). Kriteria yang digunakan adalah individu berusia antara 21-40 tahun, bertempat tinggal di kota Yogyakarta, dan tersebar di ruang publik ( mall dan café ) maupun ruang privat (kediaman partisipan).

Penelitian ini juga menggunakan kuesioner terbuka yang dilanjutkan dengan wawancara semi-terstruktur. Data dalam penelitian diperoleh melalui metode asosiasi bebas dengan menggunakan kuesioner terbuka yang dilanjutkan dengan wawancara. Pengambilan data dilakukan secara bertahap, dimana partisipan dikumpulkan satu per satu untuk kemudian dianalisa datanya, dan berhenti ketika tidak ditemukan lagi variasi yang berarti dalam data. Adapun wawancara yang dilakukan untuk memastikan peneliti memiliki pemahaman yang sama atas jawaban partisipan yang tercantum dalam kuesioner. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi metode yang dilakukan dengan cara memeriksa kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

Hasil Penelitian

Penelitian ini berhasil mengumpulkan 34 orang partisipan, baik di kediaman partisipan (19 orang) maupun di mall & café (15 orang), dimana terdiri dari 19 pria dan 16 perempuan. Pengambilan data dilakukan selama empat minggu, dalam periode 4 s/d 28 Mei 2009. Setelah pengisian kuesioner, partisipan kemudian diwawancarai di lokasi yang sama. Seluruh partisipan diperoleh di kota Yogyakarta dan berkediaman di kota Yogyakarta.

Latar Belakang Partisipan Sebagian besar partisipan berusia ≤ 26 tahun (70,6%). Selain itu, apabila dibandingkan dengan standar upah minimum D.I.Yogyakarta tahun 2009 yang sebesar

Rp700.000 (Sumber: Media Indonesia 27 November 2008), partisipan penelitian ini merupakan kalangan yang berada pada status ekonomi menengah. Hal ini ditunjukkan dari jumlah pengeluaran yang didominasi pada rentang Rp500.000-Rp1.000.000 (50%) dan berlanjut pada rentang pengeluaran berikutnya (dapat dilihat pada Tabel 1). Hanya satu partisipan saja yang memiliki pengeluaran dibawah Rp500.000. Tabel 1

Pengeluaran bulanan Pengeluaran (Rp)

Jumlah

Prosentase (%)

A (<500.000)

B (500.000 – 1000.000)

C (>1000.000 – 1500.000)

D (>1500.000 – 2000.000)

E (>2000.000)

Jumlah

Representasi Istilah ‘Metroseksual’ Representasi partisipan tentang ‘metroseksual’ diperoleh dari respon kata-kata yang diberikan dalam kuesioner. Seluruh kata ini dikumpulkan untuk kemudian dicari kategorisasi, prioritas, sekaligus respon yang terbanyak (kata-kata yang paling banyak disebutkan). Pengkategorian kata-kata didasarkan pada makna yang dituliskan partisipan dalam kuesioner. Berikut ini akan ditampilkan seluruh kata yang disebutkan partisipan beserta kategorisasi dan prosentasenya. Tabel 2

Kategorisasi respon Kategori

Sub

Kode Jml. Prosentase Kategori

Kata / Istilah

(%) Memperhatikan

35 40,23 penampilan &

Fashionable , modis, stylish ,

trendi, penampilan, high

perkembangan

performance , necis, style, up-to-

tren

date , nggaya, modern, klimis,

penampilan

beckham wannabe , perlente, dandan, salon, perawatan diri, gaul, atletis, maskulin, takut panas, open-minded, teratur, harum, rapi, bersih, putih, matching , seksi, manis, percaya diri, elegan, lifestyle , gaul, pergaulan

Ketidak- laziman

9 10,34 seksual sex , vulgar, pornografi, playboy, yang

Praktek “Seks”, pergaulan bebas, free

S3

tanpa batas, “keindahan”,

kurang

“hidup”

lazim Kesan

5 5,75 pria

Pretty boy , feminin, minder,

TW

jijay, homoseksual

yang tidak wajar

Gaya

G 6 6,90 hidup

Minuman, boros, obat-obatan,

dunia malam, hedonis, jaman

yang

edan

tidak lazim

Keuangan yang

17 20,69 berlebih

Kaya, esmut, bekerja, pekerja,

sekunder, mewah, terlihat tajir, kasta, glamor, mahal, uang, berduit, gadget, travel, makan malam, konsumerisme, baju

Berada di kota

Kota, uptown , perkembangan

global, modern, kota besar, budaya kota

Jenis kelamin

4 4,60 pria

Pria, cowok, lelaki, laki-laki

Berpendidikan, smart, mudah

GP

bergaul, pintar

Melalui tabel 2, dapat dilihat bahwa asosiasi yang dominan adalah pada kategori “memperhatikan penampilan & perkembangan tren penampilan” (40,23%), “ketidaklaziman” (21,84%) dan “keuangan yang berlebih” (20,69%). Hal ini menunjukkan bahwa bagi partisipan, hal yang paling menonjol dari metroseksual adalah aspek penampilan kalangan metroseksual. Terhadap metroseksual ini, partisipan juga memunculkan kata-kata yang berorientasi pada hal-hal yang tidak lazim atau tidak wajar. Terdapat tiga hal yang berkaitan dengan ketidaklaziman yang menjadi bagian dari penggambaran partisipan mengenai metroseksual, yakni melakukan praktek seksual yang tidak lazim (10,34%), perilaku pria yang tidak wajar (5,75%), dan memiliki gaya hidup yang tidak lazim (6,90%). Hal lain yang menonjol adalah kesan dari kalangan metroseksual sebagai kalangan yang memiliki kondisi keuangan yang berlebih, yang tampak dari gambaran mengenai kondisi keuangan maupun dalam penggunaan uang.

Pada tabel 3 berikut ini akan disajikan istilah-istilah yang memiliki respon terbanyak. Istilah-istilah yang memiliki makna yang sama digabungkan, termasuk jumlah partisipan yang menyebutkan istilah tersebut. Dari hasil ini kemudian diambil istilah-istilah yang memiliki respon terbanyak, dimana menghasilkan 12 istilah dengan respon terbanyak.

Tabel 3. Rekapitulasi respon terbanyak

Jumlah

Prosentase

Kode Kategori Kata/Istilah

Partisipan Respon (%)

P harum (wangi)

P rapi (tampil rapi)

P clean (bersih)

P fashionable

P dandan

P modis

S1 pria (lelaki, laki-laki, cowok)

TW gay (homoseksual)

U kaya (berduit, modal gede)

K budaya kota (kota, kota besar)

P gaul

P lifestyle (gaya hidup)

Keterangan: • Prosentase berdasarkan total partisipan (34 orang)

• Kata/istilah di dalam tanda kurung adalah kata/istilah lain yang disebutkan partisipan, yang memiliki arti yang sama dengan kata/istilah di luar tanda kurung

• Kode Kategori o P: memperhatikan penampilan & perkembangan tren penampilan

o S1: pria o S3: praktek seksual o TW: kesan tidak wajar o U: keuangan yang berlebih o K: kota

Prosentase respon pada tabel 3 menunjukkan kemampuan istilah-istilah tersebut dalam menggambarkan metroseksual. Artinya, semakin besar nilai prosentasenya maka semakin banyak pula partisipan yang menganggap bahwa istilah tersebut cukup penting untuk menggambarkan metroseksual. Pertanyaan pertama pada kuesioner merupakan pertanyaan yang terbuka dimana partisipan diminta untuk menyebutkan berbagai kata yang secara spontan terlintas dalam benak mereka dalam menanggapi istilah “metroseksual”. Respon yang diberikan merupakan pemahaman partisipan yang paling tersedia, dimana kemunculannya adalah tanpa proses refleksi. Hasil yang diperoleh adalah respon-respon dominan yang muncul, dimana dalam hal ini adalah kata-kata yang mengacu pada penampilan. Disusul kemudian respon kata yang mengacu pada pria, gay , dan kaya. Dengan Prosentase respon pada tabel 3 menunjukkan kemampuan istilah-istilah tersebut dalam menggambarkan metroseksual. Artinya, semakin besar nilai prosentasenya maka semakin banyak pula partisipan yang menganggap bahwa istilah tersebut cukup penting untuk menggambarkan metroseksual. Pertanyaan pertama pada kuesioner merupakan pertanyaan yang terbuka dimana partisipan diminta untuk menyebutkan berbagai kata yang secara spontan terlintas dalam benak mereka dalam menanggapi istilah “metroseksual”. Respon yang diberikan merupakan pemahaman partisipan yang paling tersedia, dimana kemunculannya adalah tanpa proses refleksi. Hasil yang diperoleh adalah respon-respon dominan yang muncul, dimana dalam hal ini adalah kata-kata yang mengacu pada penampilan. Disusul kemudian respon kata yang mengacu pada pria, gay , dan kaya. Dengan

Tahap berikutnya adalah melihat respon pada level kognitif kedua yang mengacu pada pertanyaan kedua dalam kuesioner. Pada pertanyaan kedua ini, partisipan diberi kesempatan untuk memilih kata-kata yang bagi mereka cukup penting untuk menggambarkan metroseksual. Dengan memberikan kesempatan memilih, maka partisipan pun meninggalkan level pertama (spontanitas) dalam menggambarkan metroseksual. Partisipan pun melakukan proses refleksi dalam pemilihan prioritas kata yang dipilihnya. Tabel 4

Prosentase prioritas kata Jumlah Prosentase Prosentase Prioritas

Kategori Respon

Respon

Memperhatikan

penampilan dan

50,00 61,76 50,00 55,88 58,82 perkembangan

tren penampilan

Ketidaklaziman:

Praktek

2,94 5,88 seksual yang

tidak lazim

Kesan pria

tidak wajar

Gaya hidup

5,88 2,94 11,76 5,88 5,88 yang tidak

lazim

Keuangan yang

Berada di kota

Gambaran positif 4 2,35

Keterangan: • Prosentase respon berdasarkan total respon • Prosentase prioritas berdasarkan total partisipan (34 orang)

Tabel 4 menunjukkan adanya variasi tingkat prosentase kategori dalam jawaban partisipan pada masing-masing tingkat prioritas (partisipan diminta untuk memilih kata dan meletakkannya dalam skala prioritas kata yang paling menggambarkan “metroseksual” Tabel 4 menunjukkan adanya variasi tingkat prosentase kategori dalam jawaban partisipan pada masing-masing tingkat prioritas (partisipan diminta untuk memilih kata dan meletakkannya dalam skala prioritas kata yang paling menggambarkan “metroseksual”

Perhatian pada penampilan menjadi representasi utama atau representasi terkuat dalam pandangan partisipan mengenai metroseksual (55,29%). Secara berurutan, posisi lima besar prosentase berikutnya adalah pada kategori keuangan yang berlebih (14,12%), praktek seksual yang tidak lazim (7,06%), gaya hidup yang tidak lazim (6,46%), dan kesan pria yang tidak wajar (5,88%). Adapun ketika tiap-tiap subkategori yang berada pada kategori ketidaklaziman digabungkan, akan diperoleh prosentase yang cukup besar, yaitu 19,41%. Dengan demikian, urutan kategori yang menempati posisi tiga besar pun menjadi kategori perhatian pada penampilan dan perkembangan tren penampilan, kategori ketidaklaziman, dan kategori keuangan yang berlebih. Perbandingan antara tabel 2, 3 dan 4 menunjukkan adanya konsistensi dari kekuatan tiga kategori tersebut dalam menjelaskan metroseksual.

Sumber Informasi Istilah “Metroseksual” Sumber informasi partisipan tentang metroseksual ditelusuri melalui kuesioner.

Segala sumber yang disebutkan kemudian ditabulasi dan dikategorikan menurut jenisnya. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat dua sumber utama informasi partisipan akan metroseksual, yaitu media massa dan lingkungan pergaulannya. Baik dalam kategori media massa maupun secara keseluruhan, sumber informasi yang dominan bagi partisipan adalah televisi. Tabel 5

Daftar sumber i nformasi “metroseksual” Sumber

Jumlah Respon

Media massa: Televisi

Majalah, tabloid

Pergaulan

Keterangan: Prosentase berdasarkan total partisipan (34 orang)

Sikap Terhadap Metroseksual Sikap partisipan terhadap metroseksual tidak berujung pada sikap negatif (menolak atau tidak menyetujui) dan sikap positif (menerima atau menyetujui), namun ternyata partisipan menunjukkan sikap yang ambivalen (menerima sekaligus menolak) dan menerima. Berikut ini adalah tabulasi keseluruhan sikap partisipan terhadap (pria) metroseksual. Tabel 6

Sikap partisipan terhadap kalangan metroseksual

(menerima & menolak) Setuju/menerima

Keterangan : Prosentase berdasarkan jumlah total partisipan

Hasil pada tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan memunculkan sikap ambivalen dalam menanggapi metroseksual. Sikap ambivalen ini menunjukkan bahwa partisipan memunculkan dua bentuk sikap yang berbeda dalam menanggapi metroseksual, yaitu sikap menerima sekaligus menolak terhadap metroseksual.

Respon yang menunjukkan ketidaklaziman tentang metroseksual hanya terdapat pada partisipan yang memiliki sikap menerima sekaligus menolak (ambivalen). Artinya, terdapat kemungkinan bahwa sikap ambivalen partisipan terkait dengan penilaian mereka tentang ketidaklaziman metroseksual. Di sisi yang berseberangan, partisipan yang menunjukkan sikap setuju tidak memunculkan respon yang terkait dengan ketidaklaziman. Respon-respon mereka didominasi oleh respon kata yang berada pada kategori perhatian pada penampilan dan kategori keuangan yang berlebih. Dinamika sikap partisipan ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

Partisipan Ambivalen Partisipan yang bersikap ambivalen memunculkan respon ketidaklaziman dalam menanggapi metroseksual. Dalam hal ini, mereka menggambarkan kalangan metroseksual sebagai kalangan yang memiliki ciri-ciri perilaku yang terkait kategori ketidaklaziman tersebut. Penilaian terhadap metroseksual ini terutamanya ditujukan pada konteks dimana kalangan metroseksual ini berada terkait dengan perilakunya yang sangat memperhatikan penampilan. Di samping itu, partisipan juga mengaitkan kalangan metroseksual sebagai Partisipan Ambivalen Partisipan yang bersikap ambivalen memunculkan respon ketidaklaziman dalam menanggapi metroseksual. Dalam hal ini, mereka menggambarkan kalangan metroseksual sebagai kalangan yang memiliki ciri-ciri perilaku yang terkait kategori ketidaklaziman tersebut. Penilaian terhadap metroseksual ini terutamanya ditujukan pada konteks dimana kalangan metroseksual ini berada terkait dengan perilakunya yang sangat memperhatikan penampilan. Di samping itu, partisipan juga mengaitkan kalangan metroseksual sebagai

"… contohnya itu berganti -ganti pasangan atau berhubungan seks dengan yang bukan pasangannya… Jadi arahnya ke barat, terutama karena mungkin kan berganti-ganti pasangan itu sudah menjadi suatu hal yang wajar." (R4, 30th, pria, wiraswasta).

"ya sebagai orang awam, paling ya… kayak seks bebas itu. Pergaulan yang seperti itu…. Biasanya identik dengan kota…" (R21, 26th, pria, pegawai swasta).

Sebagian dari partisipan juga memiliki pandangan bahwa kalangan metroseksual merupakan kalangan yang memiliki gaya hidup yang tidak lazim. Yang dimaksud dengan gaya hidup tidak lazim di sini adalah gaya hidup yang berkaitan dengan dunia malam, seperti minum minuman keras, boros, dan hedonis.

"Iya dari behavior mereka misalnya mentingkan keinginan wants-nya misalnya kayak clubbing gitu. Misalnya juga beli barang-barang yang nggak sesuai dengan kebutuhan mereka” (R19, 21th, wanita, konselor).

"Ya kebanyakan mereka mengkonsumsi sih ya. Mereka tidak produktif, tapi mereka kebanyakan memakai barang. Misalnya mereka pake baju yang bermerk. Kalo nggak bermerk nggak mau… maksudnya merknya high end gitu. Pokoknya merk terkenal yang dengan budget yang nggak sedikit untuk membeli barang itu. Kemudian, mereka juga membeli barang-barang elektronik juga yang mahal- mahal. Atau mungkin… mereka sangat mementingkan, opo, gengsi." (R31, 26th, pria, mahasiswa).

Kalangan metroseksual digambarkan gemar mengkonsumsi berbagai hal di luar kebutuhan pokok. Kalangan metroseksual ini juga digambarkan sebagai kalangan yang sering berada di tempat-tempat hiburan malam serta hal-hal yang terkait dengan dunia malam. Seluruh hal ini pun dipandang mereka sebagai hal yang berlebihan, khususnya ketika hal tersebut dilakukan dalam intensitas yang sangat sering. Terdapat anggapan bahwa segala hal yang dikonsumsi kalangan metroseksual bukanlah hal pokok dalam hidup mereka, melainkan sebagai sarana untuk meningkatkan gengsi mereka. Hal ini semakin memberi tekanan mengenai posisi kalangan metroseksual, dimana gaya hidup mereka dilihat sebagai hal yang tidak sejalan dengan masyarakat umum.

Sebagian dari partisipan ini juga memberikan respon yang berkaitan dengan pandangan mengenai perilaku spesifik pria yang tidak lazim. Perilaku ini terkait dengan apa yang bagi mereka wajar untuk dilakukan oleh para pria. Hal ini dikaitkan dengan perhatian yang lebih pada penampilan yang ditunjukkan oleh para pria metroseksual.

"…tapi kalau sejauh yang diliat, kalo metroseksual pasti kan feminin. Cenderung feminin. Kalo yang feminin kan pasti banyak yang bilang gay,

homo, segala macem… Dandan kayak gitu kan biasanya yang ngelakuin cewek ya umumnya. Cuman kita kan ada juga cowok yang melakukannya juga, gitu lho." (R27, 24th, wanita, pegawai swasta).

"Aku ada temen yang setiap ada gaya rambut artis baru dia ikutin. Heran aja, spend money banyak untuk di salon buat gaya padahal belum kerja. Setiap ketemuan sama dia, ngomongin gaya rambut atau parfum ba ru." (R7, 23th, pria, pegawai swasta).

Perilaku yang sangat memperhatikan penampilan yang ditunjukkan oleh kalangan metroseksual memberi kesan feminin kepada mereka. Hal ini tidak lepas dari pandangan bahwa yang umumnya memberikan perhatian lebih pada penampilan adalah wanita. Oleh sebab itu, partisipan pun menganggap bahwa perilaku tersebut tidak wajar untuk dilakukan oleh para pria, dimana timbul kesan terhadap mereka sebagai orang yang feminin ataupun homoseksual.

Sikap ambivalen partisipan terhadap pria metroseksual ini lebih ditekankan pada perilaku mereka yang memberikan perhatian lebih pada penampilan. Hal ini tidak hanya terdapat pada partisipan yang memunculkan respon yang ada dalam kategori kesan pria yang tidak wajar, namun juga pada partisipan-partisipan lainnya yang menunjukkan ambivalensi. Partisipan dinyatakan memiliki sikap ambivalen karena ia tidak sepenuhnya menolak perilaku yang mementingkan penampilan yang dilakukan oleh pria metroseksual ini. Mereka masih memberikan permakluman akan perilaku tersebut tetapi dengan suatu batasan. Tabel berikut akan menampilkan beberapa tanggapan yang menunjukkan ambivalensi tersebut. Tabel 7

Tanggapan ambivalen partisipan Partisipan

Tanggapan

9 (26th, pria,

“40 persen sih ideal kalo profesinya menuntut itu.

pegawai swasta) Karena yang 60 persen ideal lainnya bukan dari penampilan fisik luar. 60 persen sifat dan

kepribadiannya ses uai yang diharapkan oleh umum.”

11 (36th, pria,

“Kalau melihat dari definisinya yang paham tentang itu

pengajar)

pantas-pantas aja sih asal nggak berlebihan dalam pantas-pantas aja sih asal nggak berlebihan dalam

nggak ideal... ideal bagiku yang bisa menempatkan diri ses uai gendernya di masyarakat...”

14 (26th,

“Saya nggak masalah kok dengan mereka. Sesukanya

wanita, pegawai aja kalo emang pekerjaannya butuh itu.” swasta)

“Kalo menurut saya sih agak berlebihan ya kalo cowok ampe metroseksual. Berlebihan aja, maksudnya kalo

saya tu ngeliat cowok metroseksual tuh malah nggak wajar kalo di keseharian.”

Partisipan memiliki penerimaan terhadap perilaku memperhatikan penampilan fisik yang dimiliki oleh pria metroseksual apabila aktivitas ini dilakukan dalam konteks pekerjaan. Mereka memandang bahwa perhatian pada penampilan fisik yang dilakukan oleh pria adalah wajar apabila profesi yang digeluti menuntut untuk hal itu. Penolakan diberikan apabila perilaku ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keseharian, pria diharapkan untuk tetap berperilaku seperti pria pada umumnya, yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Aktivitas memperhatikan penampilan dipandang mereka sebagai hal yang berlebihan untuk dilakukan oleh pria apabila terjadi di luar lingkungan yang secara khusus menuntut penampilan fisik yang menarik.

Partisipan Yang Menyetujui / Menerima Partisipan yang memiliki sikap menerima adalah partisipan yang sepenuhnya menerima perilaku memperhatikan penampilan yang ditunjukkan oleh pria metroseksual,

baik dalam lingkungan kerja maupun keseharian. Partisipan yang menunjukkan penerimaan sepenuhnya ini memiliki alasan personal dalam latar belakang sikapnya tersebut. Mereka memandang penampilan fisik sebagai hal yang perlu dijaga untuk membuat diri menjadi menarik, baik bagi pria maupun wanita.

“Y a nggak cowok nggak cewek, terutama cewek itu emang harus merawat diri dan menurutku metroseksual adalah orang yang bisa merawat diri

dan itu lah yang menjadi kelebihan dibandingkan cowok-cowok yang lain gitu. Masalah ideal atau tidak, menurutku pasti ideal karena dia memiliki kelebihan yang lainnya. Bisa merawat diri, tau gimana merawat wajah, ee, me- manage rambutnya seperti apa” (R25, 23th, pria, wiraswasta).

“Ya, mereka masuk ke cowok yang menurutku ideal. Ya mungkin dari fisik, apa ya, ya bersih kayak gitu. Fashionab le, kayak gitu” (R20, 23th, wanita,

pegawai swasta).

Penampilan fisik pria metroseksual dipandang sebagai hal yang menjadi daya tarik mereka. Menjaga penampilan memang identik dengan wanita, namun kini pria pun dianggap perlu untuk melakukannya. Terdapat pandangan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menjaga diri dan menunjukkan pembawaan yang pantas di muka umum melalui penampilan mereka. Penerimaan penuh diberikan bagi kalangan ini, termasuk ke dalam lingkungan terdekat partisipan. Penjelasan lebih lanjut diberikan partisipan mengenai alasan mereka menyukai kalangan metroseksual.

“...Karena, menurutku kalau cowok metroseksual itu pasti lebih menghargai dirinya sendiri ya. Dia bisa tampil lebih baik, bisa dinilai

orang mungkin lebih baik.” (R6, 24th, wanita, pegawai swasta).

“Kalo front line, orang yang dat eng tu pertama yang dilihat itu adalah kitanya terlebih dulu baru barangnya. Kalo kita bersih, kita rapi, kita wangi, orang pasti akan seneng masuk ke toko kita. Nggak perlu cakep bo,

gitu aja.” (R25, 23th, pria, wiraswasta).

“Ya dia bisa bersikap sopan. Sopan dia dengan gayanya yang seperti itu. Memikat lah pokoknya. Pokoknya bagus lah dia, keren, dia bisa ngobrol,

dia pinter.” (R34, 28th, wanita, pengajar).

Dapat dilihat bahwa ketertarikan partisipan terhadap kalangan metroseksual disebabkan oleh kesan menarik yang ditimbulkan dari penampilan pria metroseksual. Penampilan tersebut dinilai sebagai wujud penyesuaian pria metroseksual dalam menjalin relasi dengan orang lain dan memberikan kenyamanan bagi pihak yang berinteraksi dengan mereka. Dengan kata lain, menjaga penampilan dipandang sebagai bagian dari usaha untuk menjaga keselarasan dengan lingkungan. Hal ini lah yang memberi kesan positif bagi partisipan sehingga mereka pun merasa nyaman dan bersedia untuk berinteraksi dengan pria metroseksual.

Diskusi

Dokumen yang terkait

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN DI TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIK DALAM IKLAN SAMSUNG GALAXY S7 VERSI THE SMARTES7 ALWAYS KNOWS BEST)

132 481 19

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22