Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy Pada Pria Homoseksual Dewasa Awal di "X" Bandung.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy Pada Pria Homoseksual Dewasa Awal Di “X” Bandung. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui gambaran mengenai status intimacy pada pria homoseksual dewasa awal di “X” Bandung. Pemilihan sampel menggunakan teknik snowball sampling dengan sampel sebanyak 14 orang. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei.

Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori dari Jacob L. Orlofsky, terdiri dari 74 item. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas, diperoleh hasil validitas sebesar 0.301 sampai 0.915 dan reliabilitas sebesar 0.751. Data diolah secara deskriptif dengan menggunakan program SPSS 14.0, melalui distribusi frekuensi dan tabulasi silang faktor yang memengaruhi.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, diketahui bahwa 42,85% pria homoseksual dewasa awal di “X” Bandung berada pada status stereotype, 21,42% pria homoseksual berada pada status intimate, kemudian pria homoseksual yang berada pada status pre-intimate berjumlah 14,28% dan pria homoseksual yang berada pada status isolate terdapat 14,28% serta 7,14% pria homoseksual berada pada status pseudointimate. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pria homoseksual dewasa awal di “X” Bandung berada pada status stereotype. Artinya, sebagian besar pria homoseksual dewasa awal di “X” Bandung tidak memiliki ikatan yang kuat dengan pasangannya serta memiliki hubungan dalam jangka waktu yang singkat dengan pasangan, memiliki komunikasi yang minim dengan pasangan dan jarang mendiskusikan permasalahan dengan pasangan.

Peneliti mengajukan saran bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan atau pun melanjutkan penelitian ini dengan responden yang lebih banyak untuk mendapatkan gambaran yang lebih umum tentang status intimacy pada pria homoseksual di Bandung. Serta mengembangkan penelitian mengenai faktor yang memengaruhi pencapaian status intimacy, yaitu ego identity. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi para pria homoseksual lainnya untuk mengenal diri mereka sebagai pria homoseksual dan dalam melakukan penyesuaian diri baik dengan lingkungan maupun dengan pasangannya.


(2)

ABSTRACT

This study titled Descriptive Study About Intimacy Status Of Young Adult Homosexual Men At “X” Bandung. This research has conducted to know the description of all the homosexual men intimacy status at “X” Bandung. Selection of the sample using snowball sampling technique with sample numbered 14 people. The design used in this research is descriptive method with survey techniques.

A measurement tool used in this research is a questionnaire developed by the researcher based on Jacob L. Orlofsky’s theory, it consists of 74 items. Based on validity and reliability testing, the validity of the results obtained for 0.301 to 0.915 and 0.751 for reliability. The data are processed descriptively through frequency distribution and cross tabulation using SPSS 14.0.

Based on statistical data processing, it’s known that 42,85% of young adult homosexual men at “X” Bandung are in stereotype status, 21,42% young adult homosexual men are in intimate status, and then homosexual men in pre-inimate status total is 14,28% and homosexual men on isolate status there are 14,28% and 7,14% homosexual men are in pseudointimate status. In conclusion, most of young adult homosexual men at “X” Bandung has a stereotype status. It means, that the most of young adult homosexual men at “X” Bandung didn’t have a strong bond with their partner and just have a short time relationship with their partner, has a minimal communication with their partner and rarely discuss their problems with partner.

The suggestion is for the next researcher to develop or continue this research with more respondents to obtain a more overview about intimacy status of homosexual men in Bandung. And develop research on influencing factors to achieving intimacy status, especially about ego identity. In addition, the results of this study can be used as information for homosexual men to get know them self as homosexual men and the adjustment in their environment and with their partner.


(3)

DAFTAR ISI

COVER……….i

LEMBAR PENGESAHAN………ii

LEMBAR ORISINALITAS LAPORAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ………..…………1

1.2Identifikasi Masalah ………...……...….14 1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ………...……...14

1.3.1 Maksud Penelitian ………..………...…...…..14

1.3.2 Tujuan Penelitian ………….………...………...14

1.4Kegunaan Penelitian ………..15

1.4.1Kegunaan Teoritis ………15


(4)

1.5 Kerangka Pikir………...16

1.6Asumsi………...………24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Intimacy ……….………...………...26

2.1.1 Konsep Intimacy ……….…….……...26

2.1.2 Pembentukan Intimacy ………...………...……...……....28

2.1.3Aspek-aspek yang terdapat dalam intimacy………...…32

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Intimacy…….…………34

2.2 Homoseksual………..41

2.2.1 Definisi Homoseksual ………...……..….………41

2.2.2 Terjadinya Homoseksual ………...….………..42

2.2.3 Sikap dan Perilaku Homoseksual (Dari Sudut Pandang Psikologi Perkembangan Santrock, 2002)……….53

2.3 Psikologi Perkembangan (Dewasa Awal)………...………57

2.3.1 Ciri-ciri Masa Dewasa Awal…………...……...………...57

2.3.2 Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal………..58 2.3.3 Keintiman / Intimacy (Dalam Sudut Pandang Psikologi Perkembangan Santrock, 2002)……….59

2.3.3.1 Identitas dan Keintiman……….59 2.3.3.2 Gaya Interkasi Yang Intim……….60

2.3.3.3 Tingkat Kematangan Hubungan………61


(5)

2.4.1 Status Identitas………71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan dan Prosedur Penelitian……….…………...74

3.2Bagan Prosedur Penelitian………...……….………...74

3.3Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Operasional...74

3.3.1 Variabel Penelitian………..………...74

3.3.2 Definisi Operasional………...……….…………..75

3.4 Alat Ukur………..………...…...…..77

3.4.1 Alat Ukur Status Intimacy………...77

3.4.2 Data Penunjang………..…..88

3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………...89

3.5.1 Validitas Alat Ukur………..89

3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur………...90

3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel...91

3.6.1 Populasi Sasaran...91

3.6.2 Karakteristik Sampel...91

3.6.3 Teknik Penarikan Sampel...91

3.7 Teknik Analisis Data...91

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden………..93


(6)

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Pasangan………94 4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Berpacaran……..94 4.2 Gambaran Umum Hasil Penelitian………...95

4.2.1 Status Intimacy………95

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian………95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……….130

5.2 Saran………135

5.2.1 Saran Teoretis……….135 5.2.2 Saran Praktis………...135

DAFTAR PUSTAKA………...……..137

DAFTAR RUJUKAN………...……….139


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pembentukan Status Intimacy………30

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Status Intimacy………..79

Tabel 3.2 Skor Jawaban……….87

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia………...93

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Pasangan………...94

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Berpacaran………94


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 23 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ... 74


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Profile ”X” ... 1-L Lampiran 2. Alat Ukur Status Intimacy ... 3-L Lampiran 3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 20-L Lampiran 4. Data Primer ... 23-L Lampiran 5. Hasil Olah Data Utama: Status Intimacy ... 26-L Lampiran 6. Data Penunjang ... 28-L Lampiran 7. Data Penunjang Faktor ... 43-L Lampiran 8. Tabulasi Silang Silang Status Intimacy dengan Gambaran Umum

Responden ... 49-L Lampiran 9. Tabulasi Silang Status Intimacy dengan Subaspek... 50-L Lampiran 10. Tabulasi Silang Antara Faktor yang Berpengaruh Dengan Status

Intimacy ... 53-L Lampiran 11. Tabulasi Silang Status Intimacy dengan Indikator ... 54-L


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Homoseksual masih merupakan hal yang dianggap tidak lazim oleh masyarakat di Indonesia dan tidak banyak orang yang mau mengakui bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Hal ini karena di Indonesia masih banyak pertentangan mengenai keadaan mereka, baik itu secara agama maupun budaya.

Sebagai suatu negara, Indonesia menganggap bahwa arketipe keluarga inti (suami, istri, anak, dan ayah) dijadikan model bagi sebuah bangsa (Boellstroff, 2005 dalam jurnal Antropologi Indonesia, 2006). Hal tersebut tentu bertentangan dengan maraknya kaum homoseksual yang kini mulai berani menunjukkan identitas diri mereka, dan bahkan beberapa diantara mereka sudah banyak yang mengambil langkah lebih maju yaitu melegalkan hubungan mereka dengan menikah meskipun mereka harus bersusah payah ke luar negeri.

Di beberapa kota Indonesia sudah cukup banyak kaum homoseksual, baik pria maupun wanita yang mulai berani menunjukkan identitas dirinya sebagai gay dan lesbi. Hasil survei YPKN (Yayasan Pelangi Kasih Nusantara) yaitu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseksual menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di kota Jakarta. Sedangkan GAYa Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homoseksual. Angka-angka itu belum


(11)

termasuk kaum homoseksual di kota-kota besar. Prof. Dede Oetomo yang merupakan ketua dari Yayasan GAYa Nusantara memperkirakan bahwa jumlah kaum homoseksual di Indonesia mencapai 1% dari jumlah penduduk di Indonesia (www.e-psikologi.com, 2009, tanggal 10 Oktober 2011)

Kaum homoseksual di Bandung pada tahun 2008 mencapai 17.000 orang dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat setiap tahun selalu terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Koordinator Himpunan yang bergerak di bidang kesehatan man have sex with man (MSM) Abiasa Bandung, Ronnie mengatakan bahwa saat ini sudah banyak pria gay yang mau terbuka dan berani untuk mengakui bahwa dirinya homoseksual. Namun yang tertutup pun jumlahnya masih sangat banyak. Adanya kelompok gay yang masih tertutup disebabkan karena masyarakat Indonesia belum dapat membuka tangan untuk mengakui keberadaan kaum homoseksual (www.pikiran-rakyat.com, 2008, tanggal 10 Oktober 2011).

Pada dasarnya agama dan budaya di Indonesia masih sangat menentang mengenai keberadaan kaum homoseksual ini. Masyarakat Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat yang religious menganggap bahwa dalam pandangan agama apapun homoseksual merupakan sebuah penyimpangan. Pada tahun 2003 lalu pasangan homoseksual di Indonesia yang berasal dari Jogjakarta dan Belanda meresmikan hubungannya melalui pernikahan di Belanda dan kemudian kembali ke Indonesia untuk merayakan syukuran di Jogjakarta. Hal ini membuat masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat Jogjakarta tercengang, melihat pada masa itu masih belum banyak kaum homoseksual yang berani menunjukkan


(12)

identitas dirinya secara terang-terangan di depan umum (www.arsip.gatra.com, GATRA, Edisi 46, 2003).

Perkawinan sepasang pria homoseksual ini dianggap menjadi bentuk keberanian kaum homoseksual dalam mengekspresikan diri. Tetapi tidaklah mudah bagi para kaum homoseksual yang lainnya untuk menunjukkan identitas diri mereka di depan umum. Jangankan di masyarakat, banyak keluarga yang tidak menerima keberadaan anak mereka sebagai homoseksual. Seringkali pandangan sinis, judgemental, prasangka, dan penolakan mentah-mentah dari keluarga pun membuat mereka ragu dan bimbang untuk menunjukkan identitas diri mereka di tengah masyarakat.

Banyak dari para kaum homoseksual menginginkan pemerintah di Indonesia melegalkan hubungan sesama jenis ini secara hukum sehingga keinginan mereka untuk menikah dengan sesama jenis dapat tercapai (www.arsip.gatra.com, GATRA, Edisi 46, 2003). Pada akhirnya hal ini menyinggung pada tugas perkembangan manusia secara umum, terutama pada usia dewasa awal. Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa ini adalah mulai membangun hubungan cinta dengan pasangan, kemudian menikah, membentuk sebuah keluarga, serta memainkan peran sebagai “suami

-istri” hingga peran sebagai “orangtua-anak” (Hurlock, 1980). Sebelum seseorang

memasuki jenjang pernikahan, tentu butuh waktu bagi dia dan pasangannya untuk saling mengenal satu sama lain dalam hubungan berpacaran. Demikian pula sama halnya dengan pria homoseksual. Mereka juga memiliki keinginan untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan mereka yang salah satunya adalah menikah


(13)

dan memiliki sebuah keluarga. Beberapa pria homoseksual yang ditemui di Bandung, mengatakan bahwa mereka tetap ingin mempertahankan dan melanjutkan hubungan mereka dengan sesama pria homoseksual meskipun belum ada hukum di Indonesia yang melegalkan hal tersebut. Namun, beberapa dari mereka yang saat ini sedang menjalani hubungan dengan sesama pria homoseksual, ada yang tetap memutuskan untuk menikah dengan lawan jenis, karena mereka masih memikirkan keinginan keluarga mereka agar mereka menikah dan membangun sebuah keluarga yang normal. Mereka juga memikirkan pandangan masyarakat bahwa laki-laki harus menikah dengan perempuan. Masih banyak juga di antara mereka yang merasa bahwa dunia gay yang mereka jalani ini adalah jalan yang salah baik secara agama maupun norma masyarakat di Indonesia. Dengan pemikiran mereka mengenai pandangan norma dan agama di masyarakat Indonesia tentu bisa menjadi faktor yang menghambat mereka untuk mencapai suatu keintiman yang dalam dengan pasangannya. Bahkan mungkin hal ini dapat membuat mereka memperjuangkan hak mereka dan semakin memberanikan diri untuk menunjukkan identitas mereka sebagai homoseksual di lingkungannya.

Menarik untuk melihat bagaimana kedekatan dan keintiman dalam hubungan yang dijalani oleh pria homoseksual karena secara umum sifat pria yang biasanya ditemui adalah sifat yang cuek, mudah terpancing emosi, lebih sering mempertahankan ego masing-masing, sulit untuk sabar, dan terkadang sulit untuk mengekspresikan perasaan mereka kepada pasangan. Bagaimana jika dua orang yang memiliki semua sifat ini dijadikan satu. Tentu menarik melihat apakah


(14)

mereka dapat mencapai suatu hubungan yang dekat dan dapat menjalani hubungan yang intim dengan pasangannya. Berbeda dengan pasangan wanita homoseksual / lesbi yang pada dasarnya memiliki sifat feminim, yaitu penyayang, sabar, penuh perhatian, mau mengerti satu sama lain, dapat menunjukkan rasa sayang dan peduli tanpa merasa gengsi / malu karena pada dasarnya secara umum seperti itulah sifat wanita. Tentu lebih mudah bagi mereka untuk mendapatkan kedekatan dengan pasangan dan menjalani hubungan yang intim dengan pasangannya. Meskipun demikian, tetap perlu diperhitungkan kembali faktor kepribadian dan faktor lain dalam mencapai suatu hubungan yang intim dalam suatu hubungan baik itu heteroseksual maupun homoseksual.

Menyinggung masalah perkembangan, salah satu teori psikosoial dari Erik Erikson mengatakan bahwa ada 8 tahap perkembangan yang akan dilalui oleh manusia, salah satunya adalah tahap perkembangan Intimacy vs Isolate yang akan dilalui oleh manusia pada usia dewasa awal. Teori ini memandang bahwa perkembangan intimacy dan pembentukan suatu keadaan intim dari hubungan interpersonal sangatlah penting pada masa dewasa awal. Kesuksesan dari tugas perkembangan tahap ini tercermin dari individu yang membentuk hubungan yang intim. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam berkomitmen untuk mempertahankan hubungan yang intim/dekat (contohnya seperti pernikahan dan persahabatan) dan terlihat juga dari karakteristik hubungan ini yang terlihat dari kedekatan dan komunikasi yang tinggi. Kegagalan dalam tugas perkembangan ini terlihat dari ketidakmampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang intim. (Orlofsky dalam Marcia, 1993)


(15)

Intimacy adalah kualitas interaksi antar individu, tetapi—dari sudut pandang teori Erikson—juga bisa dianggap sebagai kapasitas individual. Menurut Erikson, individu dengan kapasitas untuk intimacy “dapat membuat dirinya komitmen terhadap hubungan konkrit dan kemitraan, dan untuk mengembangkan kekuatan etik untuk taat terhadap komitmen tersebut meskipun membutuhkan

beberapa pengorbanan dan kompromi” (Erikson dalam Marcia, 1993). Intimacy

melibatkan keterbukaan dan saling berbagi, serta sebuah kepercayaan yang mutual (Erikson dalam Marcia, 1993).

Melalui definisi intimacy yang disampaikan diatas, mampukah pasangan pria homoseksual berkomitmen dengan pasangannya, dimana hal tersebut membutuhkan pengorbanan dan kompromi. Sedangkan di sisi lain kaum homoseksual terutama gay dikenal sebagai individu yang mudah berganti pasangan. Banyak dari hubungan mereka yang tidak bertahan lama dan tidak sedikit dari mereka yang menjalani hubungan yang bertahan satu malam saja.

Menurut sebuah riset di University of Urbana-Champaign (2000), hubungan asmara antara pasangan dengan jenis kelamin sama (gay atau lesbi) ternyata memiliki kesamaan dengan pasangan heteroseks (pria-wanita) dalam hal keterikatan dan komitmen (www.igama.org). Dibandingkan individu yang telah menikah, kaum gay atau lesbian yang terikat mengaku lebih puas dengan hubungan mereka. Akan tetapi hal ini tidak terjadi di Indonesia, karena kaum homoseksual di Indonesia pada umumnya belum berpikir untuk menikah dengan sesama jenis. Bagi mereka yang terpenting adalah mendapatkan kepuasan dalam bercinta dan tidak terusik. Ada beberapa dari mereka yang kembali menjalani


(16)

kehidupan sebagai pria heteroseksual, banyak pula yang terus melanjutkan status mereka sebagai pria homoseksual.

Diskusi intimacy seringkali berfokus pada hubungan pernikahan, tapi ternyata intimacy dapat mewarnai setiap hubungan yang melibatkan komitmen emosional antar orang dewasa, tidak hanya mereka yang terikat oleh hubungan pernikahan. Seperti pernyataan Whitbourne dan Weinstock (1979, dalam Marcia 1993) bahwa, ”berbagai tipe hubungan mungkin bisa disebut intim: persahabatan karib antara orang dengan jenis kelamin berlawanan atau sama, hubungan antara orang tua dan muda, hubungan homoseksual dan heteroseksual yang belum disetujui hukum, dan setiap hubungan yang terjadi selama seseorang mengarungi

masa dewasa”. Oleh karena itu, intimacy adalah hal penting yang perlu

diperhatikan selama hidup dan dapat mengkarakteristikkan banyak tipe hubungan dengan durasi dan keterlibatan yang berbeda-beda, yang fokusnya kali ini adalah hubungan pria homoseksual.

Intimacy terdiri dari dua aspek, yaitu komitmen dan kedalaman relasi. Individu dengan kapasitas intimacy tertentu dapat berkomitmen dengan dirinya sendiri terhadap relasi yang konkrit dengan pasangan serta mengembangkan kemampuan untuk berkomitmen dengan pengorbanan yang signifikan dan pengertian terhadap pasangan (Erikson, 1963, menurut Orlofsky dalam Marcia, 1993). Komitmen meliputi adanya perhatian dan kasih sayang, perspective taking, kekuasaan dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat-minat pribadi, dan penerimaan terhadap keterpisahan dengan pasangan. Sedangkan kedalaman


(17)

relasi meliputi komunikasi dan pengetahuan akan sifat-sifat pasangannya (Orlofsky & Roades, 1993 dalam Marcia, 1993)

Melalui kedua aspek tersebut, didapat lima status intimacy, yaitu intimate, pre-intimate, pseudointimate, stereotype, dan isolate. Dari kelima status tersebut, intimate dan isolate menjadi kutub yang berlawanan. Intimate merupakan kemampuan individu untuk membentuk suatu relasi secara mendalam, dalam jangka waktu yang panjang, bertahan lama, dan disertai komitmen terhadap pasangannya. Sedangkan isolate adalah status intimacy ketika individu memandang bahwa intimacy merupakan ancaman untuk identitas diri mereka. Individu menarik diri dari relasi sosialnya dan hanya bergaul dengan orang-orang tertentu yang biasa berinteraksi dengannya. Mereka juga dapat menginginkan adanya hubungan, namun merasa tidak nyaman akan hubungan tersebut, tidak atraktif, sehingga seseorang tidak tertarik kepada mereka. Pre-intimate dalam status intimacy, merupakan kemampuan individu untuk memiliki suatu relasi yang mendalam dengan pasangannya, namun tidak disertai dengan komitmen. Pada status pseudointimate dalam derajat ini, individu menunjukkan hubungan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, namun kurang terbuka dalam berkomunikasi dan kurang keterlibatan emosi secara mendalam. Ia masih mampu untuk berkomitmen walaupun terbatas, dengan kedalaman relasi yang dangkal. Sedangkan pada status stereotype individu tidak memiliki ikatan yang kuat dengan pasangannya. Hal ini terlihat dari komunikasi yang minim dengan pasangan, hubungan yang singkat dengan pasangan, dan jarang mendiskusikan


(18)

permasalahan dengan pasangan. Derajat komunikasi dan kedekatannya berada pada taraf yang rendah (Orlofsky, dalam Marcia, 1993).

Di kota Bandung terdapat tempat dimana pria homoseksual sering berkumpul. Biasanya mereka banyak ditemui di tempat-tempat umum seperti tempat makan, café, bar ataupun diskotik tertentu yang dari dulu sudah dikenal menjadi tempat berkumpul mereka. Di Bandung terdapat salah satu tempat

makan, yaitu tempat “X” yang cukup terkenal karena banyaknya homoseksual

baik pria maupun wanita yang berkumpul di sana terutama pada malam Minggu. Mereka sering berkumpul di sana untuk bertemu dengan teman-teman mereka.

Bagi mereka, tempat “X” tidak hanya menjadi tempat berkumpul dan makan

bersama saja, tetapi banyak juga yang “mengincar” atau mencari pria ataupun wanita sesama homoseksual untuk menambah teman ataupun hanya untuk “mencuci mata” saja. Seperti yang dikatakan oleh seseorang dalam forum LGBT

Indonesia (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual) bahwa tempat makan “X’ ini

paling banyak ditemui pria dan wanita homoseksual, yaitu sekitar 85%. Mereka ada yang duduk bergerombol dan ada juga yang datang hanya dengan pasangannya (www.lgbtindonesia.org).

Dalam survei awal yang peneliti lakukan pada 10 pria homoseksual di tempat “X” Bandung diketahui bahwa sebagian besar dari mereka berada pada status isolate (40%), kemudian 20% pseudointimate, 20% status stereotype, 10% status intimate, dan 10% status pre-intimate. Yang berada pada status isolate diketahui bahwa aspek komitmen mereka sebagian besar berada pada derajat yang rendah, dan mereka memiliki aspek kedalaman relasi yang rendah. Sebagian dari


(19)

mereka (pria homoseksual status isolate) memiliki subaspek yang tinggi dalam aspek komitmen, yaitu subaspek penerimaan terhadap keterpisahan pasangan. Hal ini dapat menggambarkan bahwa mereka menarik diri dari relasi sosial. Ketidakmampuan mereka untuk berelasi sosial dan rendahnya komitmen mereka serta kurang mendalamnya relasi diantara mereka membuat mereka lebih menyukai terpisah / tidak terikat dengan pasangan. Namun pada mereka yang menunjukkan derajat yang rendah pada subaspek penerimaan terhadap keterpisahan pasangan, dapat dilihat bahwa individu ini tetap menginginkan adanya hubungan, tetapi mereka tidak nyaman dengan dengan hubungan tersebut. Mereka yang kurang yakin akan identitas dirinya akan berusaha mencari rasa aman dari figur pasangannya dan hal ini dapat membuatnya tidak dapat menerima keterpisahan dengan pasangan.

Pria homoseksual yang berada pada status pseudointimate (20%) menunjukkan kedalaman relasi yang kurang mendalam dan komitmen yang cukup tinggi. Diketahui bahwa dalam aspek komitmen terdapat derajat yang bervariasi pada masing-masing subaspeknya, yaitu tingginya subaspek perhatian dan kasih sayang, dan subaspek perspective taking. Pada subaspek kekuasaan dan pengambilan keputusan, dan subaspek mempertahankan minat pribadi menunjukkan derajat yang rendah. Sedangkan dalam subaspek penerimaan terhadap keterpisahan pasangan terdapat responden yang menunjukkan derajat yang tinggi muapun responden yang menunjukkan derajat yang rendah. Dalam aspek kedalaman relasi, pria homoseksual status pseudointimate menunjukkan derajat yang rendah pada kedua subaspek, yaitu sub aspek komunikasi, dan


(20)

subaspek pengetahuan akan sifat-sifat pasangan. Adanya beberapa subaspek yang tinggi dalam aspek komitmen membuat mereka mampu untuk berkomitmen dan menjalani hubungan dalam jangka waktu tertentu. Kemampuan mereka untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang serta kemampuan mereka untuk memahami dan menghargai sudut pandang pasangan dapat membuat hubungan mereka bertahan. Namun rendahnya kedalaman relasi dalam hubungan mereka membuat mereka kurang dapat menjalin kedekatan dengan pasangannya, sehingga mereka hanya mencapai status pseudointimate.

Pada pria homoseksual status stereotype (20%) diketahui bahwa mereka memiliki derajat komitmen yang rendah dan relasi yang kurang mendalam. Jika dilihat dari aspek komitmen, terlihat bahwa sebagian besar subaspek pada pria homoseksual stereotype menunjukkan derajat yang rendah. Namun ada perbedaan derajat dalam subaspek mempertahankan minat pribadi yaitu 50% berada pada derajat yang tinggi, dan 50% berada pada derajat yang rendah. Dilihat dari rendahnya sebagian besar sub aspek dalam aspek komitmen menunjukkan bahwa terdapat ikatan dan keseriusan yang kurang kuat dalam hubungan mereka. Kedalaman relasi mereka yang kurang mendalam terlihat dari kurangnya komunikasi dalam hubungan mereka dan kurangnya pengetahuan mereka akan sifat-sifat pasangan. Hal ini membuat mereka kurang dapat mempertahankan hubungan karena mereka kurang memahami dan mengenal lebih jauh tentang pasangan mereka.

Selanjutnya pada pria homoseksual status pre-intimate (10%) diketahui bahwa mereka memiliki komitmen yang rendah dan kedalaman relasi yang tinggi.


(21)

Hal ini terlihat dari rendahnya sebagian besar sub aspek dalam aspek komitmen mereka. Namun yang membedakan dengan status stereotype adalah, mereka menunjukkan derajat yang tinggi pada aspek kedalaman relasi. Mereka mampu memiliki keterbukaan dalam berkomunikasi, mengenal sifat-sifat pasangan mereka, saling menjaga, dan menghormati. Namun, terdapat konflik mengenai komitmen, dan ketidaksiapan untuk berhubungan lebih serius (terlihat dari rendahnya sebagian besar aspek komitmen).

Kemudian pria homoseksual yang berada pada status intimate (10%) diketahui bahwa ia menunjukkan derajat yang tinggi dalam aspek komitmen dan aspek kedalaman relasi. Hal ini menunjukkan bahwa ia mampu membentuk suatu relasi secara mendalam dengan pasangannya dalam jangka waktu yang panjang, bertahan lama, dan disertai komitmen terhadap pasangannya. Jika dilihat, meskipun pria homoseksual status intimate menunjukkan derajat yang tinggi dalam aspek-aspeknya, namun tetap terdapat derajat yang rendah dalam beberapa subaspek tertentu. Dalam survei awal diketahui subaspek perhatian dan kasih sayang pria homoseksual ini menunjukkan derajat yang rendah.

Berdasarkan hasil survei tersebut dapat dilihat bahwa kedua aspek yang ada dalam intimacy, yaitu komitmen dan kedalaman relasi pada masing-masing status intimacy berbeda-beda. Pria homoseksual yang berada pada status intimate menunjukkan derajat yang tinggi pada kedua aspek. Lalu pria homoseksual dengan status pre-intimate menunjukkan derajat komitmen yang rendah tetapi memiliki relasi yang mendalam. Kemudian pria homoseksual dengan status pseudointimate menunjukkan derajat yang tinggi pada komitmen tetapi memiliki


(22)

relasi yang kurang mendalam. Sedangkan pria homoseksual status stereotype menunjukkan derajat komitmen yang rendah dan kedalaman relasi yang kurang mendalam. Pria homoseksual status isolate diketahui memiliki komitmen yang rendah dan kedalaman relasinya tidak mendalam. Pria homoseksual dengan status isolate memiliki aspek kedalaman relasi yang hampir sama derajatnya dengan stereotype, namun yang membedakan adalah pria homoseksual status isolate memiliki kedalaman relasi yang tidak mendalam dalam hubungannya, sedangkan pria homoseksual status stereotype memiliki kedalaman relasi dalam hubungannya, namun kurang mendalam.

Jumlah dari subaspek yang tinggi maupun yang rendah pada masing-masing aspek dapat menentukan letak status intimacy mereka. Beberapa dari mereka, terutama pada pria homoseksual status isolate cenderung dipengaruhi oleh faktor ego identity atau identitas diri mereka sebagai homoseksual. Jika mereka belum dapat menerima dirinya sebagai homoseksual dan masih mencari jati dirinya, mereka cenderung akan menutup diri dari relasi sosial. Sehingga hal ini dapat memengaruhi pencapaian status intimacy mereka (Orlofsky, dalam Marcia 1993).

Kepribadian merupakan faktor yang dapat berpengaruh dalam pencapaian status intimacy. Kepribadian yang terbuka (ekstrovert) dapat membentuk persahabatan yang dalam dan hubungan cinta yang dikarakteristikkan dengan derajat komunikasi personal dan saling memahami yang tinggi yang dapat menggambarkan hubungan dalam status intimate maupun pre-intimate. Sedangkan status isolate mewakili penggambaran berlawanan dari kecemasan


(23)

interpersonal dan penarikan diri. Sedangkan pada status pseudointimate dan stereotype digambarkan sebagai individu yang memiliki gaya interpersonal yang aktif tapi dangkal dalam memahami pasangannya.

Beberapa faktor lain ikut memengaruhi pencapaian status intimacy pria homoseksual. Identitas diri mereka yang sebagian besar tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia tentu memengaruhi pencapaian status intimacy mereka. Belum lagi faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi pencapaian status intimacy mereka seperti faktor kepribadian, perkembangan emosi, identitas diri. Sehubungan dengan itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika terbentuknya status intimacy pada pria homoseksual.

1.2 Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini ingin diketahui seperti apakah gambaran status intimacy pada pria homoseksual di “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai status intimacy pada pria homoseksual di “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika status intimacy pada pria homoseksual di “X” Bandung dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh.


(24)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

Memberikan informasi mengenai status intimacy pria homoseksual bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan dan Klinis.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai status intimacy pada pria homoseksual.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi kepada pria homoseksual tentang status intimacy agar mereka dapat membina relasi dengan pasangan dengan mempertimbangkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

 Memberikan informasi kepada konselor atau psikolog mengenai status intimacy pada pria homoseksual agar konselor atau psikolog dapat mengetahui gambaran status intimacy pada pria homoseksual dan membantu pria homoseksual memahami hubungan yang mereka jalani dengan pasangannya dan mengarahkan mereka sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

 Memberikan informasi kepada keluarga, teman, atau kerabat pria homoseksual agar mereka dapat mendampingi serta mengarahkan pria homoseksual dalam menjalani suatu relasi / hubungan berpacaran dengan sesama pria homoseksual. Hal ini bertujuan agar pria homoseksual dapat mencapai status intimacy yang maksimal.


(25)

1.5 Kerangka Pikir

Pria homoseksual usia akhir belasan hingga usia akhir tiga puluhan termasuk dalam kategori usia dewasa awal. Pada tahap perkembangan dewasa awal ini pria homoseksual memiliki tugas perkembangan yang harus mereka lakukan, salah satunya ialah memilih pasangan dan memikirkan untuk menjalani hubungan yang serius hingga tahap membangun sebuah keluarga (Hurlock, 1980). Erikson pun (dalam Marcia, 1993) memandang bahwa perkembangan intimacy dan pembentukan suatu keadaan intim dari hubungan interpersonal sangatlah penting pada masa dewasa awal. Untuk memenuhi tugas perkembangan ini, diperlukan kemampuan pria homoseksual untuk berkomitmen dan mempertahankan hubungan yang intim / dekat dalam menjalani hubungan bersama dengan pasangan. Kemampuan pria homoseksual untuk dapat menjalani hubungan yang intim dengan pasangan pria homoseksualnya, akan memengaruhi keberhasilan tugas perkembangan berikutnya dan memengaruhi kebahagiaan dalam hidup hingga tahun-tahun akhir kehidupan.

Agama dan budaya di Indonesia sebagian besar sangat menentang keberadaan pria homoseksual. Hal ini membuat pria homoseksual yang ada di Indonesia sulit untuk menunjukkan keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat, terutama pada saat mereka bersama dengan pasangannya. Hal ini menjadi suatu hambatan bagi mereka untuk menjalani hubungan yang intim dan dekat dengan pasangannya tanpa merasa malu dan dipandang sinis oleh masyarakat. Dukungan keluarga juga menjadi salah satu faktor yang mendukung maupun menghambat pria homoseksual untuk menjalani hubungan yang terbuka


(26)

dengan pasangannya. Keluarga yang tidak mendukung keberadaan mereka sebagai pria homoseksual biasanya mereka memliki hubungan yang kurang serius dengan pasangannya dan kurang mampu mempertahankan hubungan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan memengaruhi pencapaian status intimacy pada pria homoseksual.

Intimacy merupakan kualitas interaksi antar individu, tapi—dari sudut pandang teori Erikson—juga dapat dianggap sebagai kapasitas individual. Menurut Erikson, pria homoseksual yang memiliki kapasitas untuk intimacy dapat berkomitmen dengan pasangannya meskipun membutuhkan beberapa pengorbanan dan kompromi seperti menerima keterpisahan terhadap pasangan yang melibatkan keterbukaan, saling berbagi, dan memiliki rasa kepercayaan yang timbal balik dalam hubungan (Erikson dalam Marcia, 1993).

Orlofsky (dalam Marcia, 1993) mengembangkan teori intimacy dari Erikson dimana pada tahap ini individu akan dikategorikan kedalam lima status intimacy, yaitu status intimate, pre-intimate, pseudointimate, stereotype, dan isolation. Pria homoseksual yang berada pada status intimate mampu membentuk suatu relasi secara mendalam dengan pasangan dalam jangka waktu yang panjang, bertahan lama, dan disertai komitmen terhadap pasangannya. Hubungan dengan pasangan pria homoseksual pada status pre-intimate menyerupai status intimate, tetapi pria homoseksual pada status pre-intimate tidak memiliki hubungan dalam jangka waktu yang lama dengan pasangannya. Pria homoseksual status pre-intimate mungkin mempunyai perasaan yang bertentangan tentang komitmen dan mencoba mengembangkan sebuah cinta yang bebas dari kewajiban serta


(27)

keterikatan. Pria homoseksual status pseudointimate telah memasuki suatu hubungan yang dapat dikatakan permanen tetapi memiliki kekurangan dalam hal kedekatan dan kedalaman hubungan. (contohnya kurang berbagi tentang perasaan; pandangannya tentang pasangan cenderung terbatas dan dangkal). Pria homoseksual yang berada pada status stereotype tidak memiliki ikatan yang kuat dengan pasangannya. Hal ini terlihat dari minimnya komunikasi dengan pasangan, memiliki hubungan dalam jangka waktu yang singkat, dan jarang mendiskusikan permasalahan dengan pasangan. Pria homoseksual status isolate menarik diri dari situasi sosial, kecuali dengan beberapa teman yang biasanya berinteraksi dengannya. Selain itu pria homoseksual yang memiliki tipe hubungan seperti ini juga dapat menginginkan adanya hubungan, namun mereka tidak nyaman akan hubungan tersebut, tidak atraktif, sehingga menyebabkan sesesorang tidak tertarik pada mereka.

Pencapaian status intimacy ini ditentukan oleh dua aspek, yaitu komitmen dan kedalaman relasi. Pria homoseksual yang memiliki komitmen dan kedalaman relasi yang tinggi akan dapat mencapai status intimate. Sedangkan pria homoseksual yang memiliki komitmen yang rendah dan tidak memiliki kedalaman relasi dengan pasangannya akan mencapai status isolate. Kemudian pada status pre-intimate, dapat dilihat dari pria honmoseksual yang memiliki komitmen yang rendah dan kedalaman relasi yang tinggi. Pada pria homoseksual yang berada pada status pseudointimate diketahui memiliki komitmen yang tinggi dan memiliki kedalaman relasi yang kurang mendalam. Sedangkan pada pria


(28)

homoseksual yang berada pada status stereotype memiliki komitmen yang rendah dan kedalaman relasi yang kurang mendalam juga.

Di dalam masing-masing aspek ini, terdapat subaspek yang mewarnai aspek-aspek dalam pencapaian status intimacy. Dalam aspek komitmen, terdapat subaspek perhatian dan kasih sayang, perspective taking, kekuasaan dan pengambilan keputusan, penerimaan terhadap keterpisahan pasangan, dan mempertahankan minat-minat pribadi. Sedangkan dalam aspek kedalam relasi terdapat subaspek komunikasi dan pengetahuan akan sifat-sifat pasangan. Banyaknya subaspek yang tinggi akan memungkinkan pria homoseksual mencapai status intimacy yang tinggi pula, demikian sebaliknya jika sebagian besar subaspek rendah maka pria homoseksual akan mencapai status intimacy yang rendah (status stereotype, status isolation).

Terdapat faktor yang berpengaruh dalam pencapaian status intimacy, yaitu faktor kepribadian, faktor perkembangan kognitif dan emosional, serta faktor ego identity (Orlofsky, dalam Marcia, 1993). Hubungan dekat dapat menstimulasi dengan kuat perasaan afeksi, ketergantungan, amarah, kecemburuan, dan seterusnya. Pria homoseksual yang terbuka dan tidak merasa terancam lebih mampu membangun dan mempertahankan kedekatan dalam hubungan. Mereka menyadari perasaan mereka, mempunyai insight terhadap reaksi mereka, dan dapat mengkonseptualisasikan perasaan mereka. Sebagai hasilnya, mereka dapat menyalurkan perasaan mereka dan mengkomunikasikannya dengan pasangan dengan cara yang dapat menguatkan hubungan, bukan malah merusak hubungan dengan pasangan. Hubungan dekat yang telah mereka bangun menyediakan


(29)

peluang lebih jauh terhadap perasaan-perasaan baru yang juga membutuhkan konseptualisasi. Oleh karena itu, proses yang berkembang dan sehat adalah dimana insight / kesadaran terhadap perasaan dan kebutuhan seseorang dapat ditingkatkan dengan berelasi ke orang lain, dan kapasitas untuk berelasi juga sebaliknya didukung oleh insight / kesadaran yang meningkat. Hal ini adalah pola yang diperkirakan mengkarakteristikkan pria homoseksual dengan status intimate dan pre-intimate yang memiliki kepribadian yang terbuka (ekstrovert)

Ketidaknyamanan pria homoseksual pada perasaan seseorang dapat mengarah pada penyangkalan defensive, atau pelepasan perasaan yang meledak-ledak kepada pasangan. Keduanya tidak dapat menambah kedekatan atau insight. Oleh karena itu, hal ini dapat mengarah pada gaya berelasi yang dibuat-buat dan dangkal, dimana masalah dan konflik interpersonal cenderung dihindari (hal ini ditemui pada pria homoseksual status pseudointimate dan stereotyped), atau bilamana terdapat ancaman dan ketidaknyamanan yang lebih besar dapat mengarah kepada penghindaran ekstrim yang terdapat pada pria homoseksual status isolate (introvert).

Keberanian dalam mengungkapkan hubungan mereka di masyarakat Indonesia merupakan faktor yang dapat membuat hubungan mereka mencapai tahap intimate dalam status intimacy mereka. Mereka menjadi lebih memiliki keberanian untuk terus menjalani hubungan yang masih dianggap tidak wajar di Indonesia sehingga mereka dapat mencapai tingkat komitmen dan kemungkinan untuk bertahan lama dalam jangka waktu yang panjang.


(30)

Faktor perkembangan kognitif dan perkembangan emosional saling berpengaruh terhadap kedalaman relasi dan komunikasi, yaitu kemampuan pria homoseksual untuk membuat konsep dan mengartikulasikan pengalaman emosional mereka. Kemampuan kognitif dalam mengkonseptualisasikan dan mengartikulasikan perasaan mereka akan memiliki pengaruh dalam hal komunikasi, yaitu saat pria homoseksual mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan mereka kepada pasangannya. Seseorang dengan status intimacy intimate dan pre-intimate memiliki skor yang tinggi pada affect cognition dibandingkan individu dengan status intimacy yang lainnya. Affect cognition merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan menjelaskan pengalaman emosi yang terjadi dalam hubungan pria homoseksual. Kemampuan kognitif dan afeksi ini dapat dilihat berdasarkan kemampuan pria homoseksual untuk mengkonseptualisasikan dan mengekspresikan pengalaman emosional mereka. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan aktifitas extroceptive dan introceptive pada pria homoseksual. Pria homoseksual yang memiliki kegiatan ekstroceptive dan introceptive yang seimbang mampu untuk terbuka dan mengekspresikan perasaan mereka kepada pasangan. Sedangkan pria homoseksual yang hanya tertuju pada kegiatan introceptive saja lebih tertuju pada diri sendiri serta menarik diri dari kontak dengan orang lain. Sedangkan individu yang hidup dengan kecenderungan aktifitas ekstroceptif saja cenderung aktif tapi dangkal dalam menjalani hubungan, dimana mereka tidak mau menjelajahi dan mengkomunikasikan perasaan mereka.


(31)

Menurut Orlofsky (dalam Marcia, 1993) status identitas yang berbeda-beda dapat mempengaruhi pencapaian status intimacy yang berberbeda-beda pula. Tercapainya identitas diri (identity achievement) saat seseorang telah menetapkan keputusannya dan ia telah melakukan eksplorasi atas keputusannya tersebut merupakan prasyarat sebelum tercapainya intimacy. Dalam ego identity, individu yang telah mencapai identity achievement telah mengetahui apa yang harus mereka lakukan dengan kehidupannya, sehingga identity achivement ini menjadi peluang bagi pria homoseksual untuk mencapai status intimate.

Menurut Erikson (1968, dalam Santrock, 2002) keberhasilan pria homoseksual untuk dapat mencapai status intimacy dipengaruhi oleh tahap perkembangan sebelumnya, yaitu identity vs identity confusion dimana pria homoseksual berhasil untuk menentukan dan menerima dirinya sebagai pria homoseksual pada masa remaja. Jika selama pembentukan masa identitas ini mereka tidak berhasil melaluinya, maka akan terjadi kekacauan identitas (identity confusion) dimana keadaan ini dapat menyebabkan mereka merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Apabila hal ini tidak segera teratasi, maka kemungkinan besar ketika mereka memasuki tahap perkembangan selanjutnya pada masa dewasa awal, yaitu intimacy vs isolation, maka mereka tidak mampu untuk membangun dan mempertahankan hubungan dekat.


(32)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Faktor Internal :

- Faktor Kepribadian

- Faktor Perkembangan kognitif dan Perkembangan emosi - Faktor Ego identity

Intimate

Pre-Intimate

Pseudo-intimate Pria homoseksual

dewasa awal

Stereotyped Status Intimacy

Isolate Faktor Eksternal :

- Agama - Budaya

- Norma Masyarakat - Dukungan Keluarga

- Komitmen - Kedalaman relasi


(33)

1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa :

a. Pria homoseksual akan melewati tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi, yaitu memilih pasangan yang pada akhirnya ditujukan untuk membentuk sebuah keluarga. Tetapi dalam masyarakat Indonesia, sulit bagi mereka untuk memilih pasangan homoseksualnya karena tidak sesuai dengan norma, budaya dan agama yang dianut di Indonesia.

b. Dalam menjalin sebuah hubungan dengan sesama pria homoseksual, akan ada penghayatan keintiman (intimacy) dalam hubungan tersebut, dimana intimacy merupakan kemampuan individu untuk membangun suatu hubungan yang intim / dekat dengan pasangan yang disertai komitmen dan keterbukaan dalam hubungan.

c. Terdapat dua aspek untuk mencapai status intimacy, yaitu komitmen dan kedalaman relasi yang kemudian akan memunculkan lima status intimacy, yaitu intimate, preintimate, pseudointimate, stereotyped, dan isolate.

d. Pencapaian status intimacy dipengaruhi oleh pencapaian tahap perkembangan sebelumnya, yaitu faktor ego identity.

e. Faktor kepribadian juga mempengaruhi pencapaian status intimacy, dimana kepribadian yang extrovert mampu terbuka dan tidak merasa terancam dan lebih mampu membangun serta mempertahankan kedekatan dalam hubungan. Sedangkan pria homoseksual yang merasa terancama dan tidak nyaman sehingga menutup diri (introvert) dapat mengarah kepada penghindaran ekstrim untuk menjalin sebuah hubungan.


(34)

f. Kemampuan kognitif afeksi yang merupakan kemampuan pria homoseksual untuk mengkonseptualisasikan perasaan dan kemudian menyampaikannya kepada pasangan menjadi faktor yang ikut menyertai dalam mencapai keintiman dalam hubungan mereka.


(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh suatu gambaran mengenai status intimacy pada pria homoseksual di “X” Bandung dengan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari pria homoseksual yang diteliti pada tempat “X” Bandung, sebagian besar berada pada status stereotype dan sisanya sebagian tersebar hampir secara merata pada status intimacy yang lainnya, yaitu 21,42% pria homoseksual berada pada status intimate, 14,28% pria homoseksual pada status pre-intimate, 14,28% pada status isolate, dan 7,14% berstatus pseudointiamte.

2. Pria homoseksual dengan status stereotype memiliki aspek komitmen yang rendah dan terdapat derajat yang bervariasi dalam setiap subaspeknya yang sebagian besar berada pada derajat yang rendah. Subaspek yang berada pada derajat yang rendah adalah kekuasaan dan pengambilan keputusan, subaspek perspective taking, subaspek perhatian dan kasih sayang, dan subaspek penerimaan keterpisahan pasangan. Sedangkan subaspek yang berada pada derajat yang tinggi adalah mempertahankan minat pribadi, sebagian besar dari mereka menunjukkan derajat yang tinggi.

3. Aspek kedalaman relasi pria homoseksual status stereotype yang kurang mendalam terlihat dari subaspek komunikasi mereka yang tidak terlalu


(36)

tinggi dan sebagian besar dari mereka menunjukkan subaspek pengetahuan akan sifat-sifat pasangan yang cukup/sedang.

4. Faktor kepribadian cukup berpengaruh pada pencapaian status intimacy pria homoseksual status stereotype dengan tipe kepribadian ekstrovert yang aktif tetapi kurang memiliki kedalaman relasi dalam menjalani hubungan.

5. Sebagian pria homoseksual status stereotype menunjukkan status identitas moratorium dimana mereka belum dapat menerima diri mereka sebagai pria homoseksual dan keraguan mereka terhadap identitas diri mereka membuat mereka ragu terhadap hubungan mereka dengan pasangan. 6. Berikutnya dari pria homoseksual yang diteliti sebagian berada pada status

intimate, dimana sebagian besar subaspek dalam aspek komitmen menunjukkan derajat yang tinggi, yaitu subaspek perhatian kasih sayang, subaspek perspective taking, subaspek mempertahankan minat pribadi, dan subaspek penerimaan keterpisahan pasangan. Sedangkan dalam subaspek kekuasaan dan pengambilan keputusan sebagian besar menunjukkan derajat yang rendah.

7. Pada aspek kedalaman relasi pria homoseksual status intimate sebagian besar menunjukkan derajat yang tinggi pada kedua subaspeknya, yaitu komunikasi dan pengetahuan akan sifat-sifat pasangan.

8. Sebagian besar pria homoseksual status intimate memiliki kepribadian yang ekstrovert dimana keterbukaan mereka tehadap pasnagan


(37)

memungkinkan mereka untuk mencapai kedalaman relasi yang mendalam dan dapat menguatkan ikatan hubungan mereka dengan pasangan.

9. Sebagian pria homoseksual yang diteliti berada pada status pre-intimate dimana mereka memiliki aspek komitmen yang rendah dan terdapat derajat yang bervariasi dalam subaspeknya. Sebagian besar subaspeknya menunjukkan derajat yang rendah, yaitu subaspek perspective taking, subaspek kekuasaan dan pengambilan keputusan, dan subaspek penerimaan terhadap keterpisahan pasangan. Pada subaspek mempertahankan minat pribadi, mereka menunjukkan derajat yang tinggi, dan pada subaspek perhatian dan kasih sayang mereka menunjukkan derajat yang bervariasi, yaitu ada yang menunjukkan derajat yang tinggi, dan ada yang menunjukkan derajat yang rendah. Dalam aspek kedalaman relasi pria homoseksual status pre-intimate, sebagian besar menunjukkan derajat yang tinggi pada kedua subaspeknya.

10. Pria homoseksual dengan status pre-intimate menunjukkan tipe kepriabdian ekstrovert dimana memungkinkan mereka untuk dapat terbuka dan mengungkapkan perasaan mereka kepada pasangan yang dapat membuat mereka memiliki kedalaman relasi yang cukup mendalam kepada pasangan.

11. Semua pria homoseksual status pre-intimate dan sebagian besar pria homoseksual status intimate menunjukkan status identitas foreclosure, dimana mereka sudah dapat menerima diri mereka sebagai pria homoseksual, tetapi mereka juga masih ragu dengan identitas diri sebagai


(38)

pria homoseksual sehingga membuat mereka masih mempertimbangkan kelanjutan hubungan mereka dengan pasangannya

12. Sebagian pria homoseksual yang diteliti berikutnya berada pada status isolate. Sebagian pria homoseksual status isolate menunjukkan derajat yang rendah pada sebagian besar subaspek dalam aspek komitmen. Tetapi sebagian lagi menunjukkan bahwa sebagian subaspek pada aspek komitmen berada pada derajat yang tinggi, yaitu subaspek kekuasaan dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, dan penerimaan keterpisahan pasangan. Rendahnya aspek kedalaman relasi mempengaruhi juga subaspek yang berada pada aspek komitmen.

13. Semua pria homoseksual dengan status isolate menunjukkan tipe kepribadian yang introvert, dimana hal ini membuat kedalaman relasi mereka dengan pasangan menjadi kurang mendalam.

14. Semua pria homoseksual status isolate menunjukkan status identitas moratorium, dimana mereka bingung dan tidak yakin dengan identitas diri mereka sebagai pria homoseksual. Hal ini membuat mereka tidak yakin dengan hubungan yang sedang mereka jalani bersama dengan pasangannya dan mempengaruhi komitmen dan kedalaman relasi mereka yang rendah. 15. Sebagian kecil pria homoseksual yang diteliti berada pada status

pseudointimate. Pria homoseksual status pseudointimate menunjukkan bahwa sebagian sub aspek dalam aspek komitmen berada pada derajat yang rendah, yaitu sub aspek kekuasaan dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, dan penerimaan keterpisahan pasangan


(39)

yang disebabkan karena faktor ketergantungn responden terhadap pasangan sehingga membuat ia tidak mampu mengambil keputusan sendiri dan terpisah dari pasangan. Ketergantungan terhadap pasangan ini membuat ia menjadi mampu untuk menjalani hubungan dalam jangka waktu yang lama dan disertai dengan tingginya sub aspek perhatian kasih sayang dan perspective taking membuat ia mampu untuk memahami pasangannya dan mengenal pasangannya.

16. Pria homoseksual dengan status pseudointimate menunjukkan tipe kepribadian introvert dimana kepribadian mereka yang cenderung tertutup membuat mereka cenderung memiliki kedalaman relasi yang kurang mendalam.

17. Pria homoseksual dengan status pseudointimate menunjukkan status identitas achievement dimana ia sudah dapat menerima identitas diri sebagai pria homoseksual dan sudah yakin dengan hubungan yang ia jalani dengan pasangannya.

18. Status identitas yang tinggi (achievement) tidak menyertai pencapaian status intimacy yang tinggi pula (status intimate). Sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini, status ego identity pada pria homoseksual yang diteliti tidak menyertai pencapaian status intimacy. 19. Pria homoseksual dengan status intimate dan pre-intimate cenderung

memiliki faktor kognitif afeksi yang tinggi, dimana mereka mampu mengolah dan menunjukkan atau menyampaikan perasaannya kepada


(40)

pasangan. Hal ini memungkinkan mereka untuk memiliki kedalaman relasi yang mendalam.

20. Faktor kognitif afeksi yang tinggi juga ditemui pada sebagian pria homoseksual dengan status stereotype dan isolate. Namun terlihat bahwa kurang adanya pengaruh yang signifikan dalam faktor kognitif afeksi yang tinggi pada mereka.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

 Bagi peneliti selanjutnya, dapat diteliti lebih lanjut dengan responden yang lebih banyak untuk mendapatkan gambaran yang lebih umum mengenai status intimacy pada pria homoseksual.

 Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapain status intimacy, yaitu faktor-faktor ego identity, faktor kognitif afeksi, dan faktor kepribadian secara lebih mendalam.

5.2.2 Saran Praktis

 Bagi pria homoseksual di ”X” Bandung diharapkan dapat membina relasi dengan pasangan dengan mempertimbangkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

 Diharapkan melalui penelitian ini konselor atau psikolog yang memiliki klien pria homoseksual dapat memiliki gambaran mengenai status intimacy


(41)

pada pria homoseksual, sehingga dapat membantu pria homoseksual memahami hubungan yang mereka jalani dengan pasangannya dan mengarahkan mereka sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

 Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada keluarga, teman, atau kerabat pria homoseksual agar mereka dapat mendampingi serta mengarahkan pria homoseksual dalam menjalani suatu relasi / hubungan berpacaran dengan sesama pria homoseksual. Hal ini bertujuan agar pria homoseksual dapat mencapai status intimacy yang maksimal.


(42)

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Guilford, J.P. 1959. Psychometric Methods 2nd Edition. New York: Mc Graw-Hill Bool Company, Inc

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Penerbit Erlangga.

Kelly, Gary F. 1980. Sexuality: The Human Perspective. New York: Baron’s Educational series, Inc.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology A Step-By-Step Guide For Beginners. London : SAGE Publication

Marcia, J. E.; A. S. Waterman; D. R. Matteson; S. L. Archer; J. L. Orlofsky. 1993. Ego Identity: A Handbook for Psychological Research. New York: Springer-Verlag Inc.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi kelima. Jilid II. Jakarta: Erlangga

Siegel, Sidney. 1994. Statistic Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama


(43)

Hall, Calvin S., Gardner Lindsey. 1978. Psikologi Kepribadian I Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Diterjemahkan oleh Drs. Yustinus MSc. OFM. Disunting oleh Dr. A. Supratiknya. 1993. Jogjakrta : Kanisius


(44)

DAFTAR RUJUKAN

Kusumah, Cindy Indra, 2008. “Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy Dalam Berpacaran Pada Siswa/I Kelas 2 SMA “X” Di Kota Tasikmalaya”: Metode Penelitian Lanjutan

Nathania, Milka, 2008. “Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy Pada Pasangan Suami Istri Yang Memasuki Tahap Empty Nest Di Kota Bandung”: Metode Penelitian Lanjutan

Devina P., Melisa, 2009. “Suatu Studi Kasus Mengenai Derajat Resiliency Pada Penderita Rheumatic Fever di Rumah Sakit “X” Bandung”: Metode Penelitian Lanjutan

Boellstroff, 2005. Gay dan Lesbian Indonesia Serta Gagasan Nasionalisme. Jurnal Antropologi Indonesia. (Online). Vol.30, No.1 , 2006 (http://www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/2006/01/tom.pdf,

diakses September 2009)

Veronica, A. 27 Februari 2009. Definisi dan Proses Homoseksual (Online). (http://www.e-psikologi.com/epsi/Klinis_detail.asp?id=551, diakses tanggal 10 Oktober 2011)

Pikiran Rakyat, 15 Agustus 2008. Kaum Gay di Bandung Ada 17.000. (Online). (http://www.pikiran-rakyat.com/node/75401 diakses tanggal 10 Oktober 2011)

Gunadi, Hidayat. Mujib Rahmat,dkk. 26 September 2003. Jalan Berliku Kaum Homo Menuju Pelaminan. (online). GATRA, Edisi 46 ( http://arsip.gatra.com/2003-09-26/versi_cetak.php?id=31335 diakses tanggal 10 Oktober 2011)

Rachmadmt. 7 Februari 2009. Hasil Penelitian Tentang Komitmen Gay. (Online). (http://rachmadmt.wordpress.com/tag/malang-gay/ diakses September 2011)


(45)

Nasigoreng. 9 November 2011. Trip and Places. KFC Merdeka – Bandung (depan BIP). (Online). (http://lgbtindonesia.org/forum/viewtopic.php?f=37&t=444 diakses tanggal 16 Januari 2011)

______ 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha


(1)

pasangan. Hal ini memungkinkan mereka untuk memiliki kedalaman relasi yang mendalam.

20. Faktor kognitif afeksi yang tinggi juga ditemui pada sebagian pria homoseksual dengan status stereotype dan isolate. Namun terlihat bahwa kurang adanya pengaruh yang signifikan dalam faktor kognitif afeksi yang tinggi pada mereka.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

 Bagi peneliti selanjutnya, dapat diteliti lebih lanjut dengan responden yang lebih banyak untuk mendapatkan gambaran yang lebih umum mengenai status intimacy pada pria homoseksual.

 Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapain status intimacy, yaitu faktor-faktor

ego identity, faktor kognitif afeksi, dan faktor kepribadian secara lebih

mendalam.

5.2.2 Saran Praktis

 Bagi pria homoseksual di ”X” Bandung diharapkan dapat membina relasi dengan pasangan dengan mempertimbangkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

 Diharapkan melalui penelitian ini konselor atau psikolog yang memiliki klien pria homoseksual dapat memiliki gambaran mengenai status intimacy


(2)

136

Universitas Kristen Maranatha pada pria homoseksual, sehingga dapat membantu pria homoseksual memahami hubungan yang mereka jalani dengan pasangannya dan mengarahkan mereka sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

 Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada keluarga, teman, atau kerabat pria homoseksual agar mereka dapat mendampingi serta mengarahkan pria homoseksual dalam menjalani suatu relasi / hubungan berpacaran dengan sesama pria homoseksual. Hal ini bertujuan agar pria homoseksual dapat mencapai status intimacy yang maksimal.


(3)

137 Universitas Kristen Maranatha Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Guilford, J.P. 1959. Psychometric Methods 2nd Edition. New York: Mc Graw-Hill Bool Company, Inc

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Penerbit Erlangga.

Kelly, Gary F. 1980. Sexuality: The Human Perspective. New York: Baron’s Educational series, Inc.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology A Step-By-Step Guide For Beginners. London : SAGE Publication

Marcia, J. E.; A. S. Waterman; D. R. Matteson; S. L. Archer; J. L. Orlofsky. 1993.

Ego Identity: A Handbook for Psychological Research. New York:

Springer-Verlag Inc.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi kelima. Jilid II. Jakarta: Erlangga

Siegel, Sidney. 1994. Statistic Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama


(4)

138

Universitas Kristen Maranatha Hall, Calvin S., Gardner Lindsey. 1978. Psikologi Kepribadian I Teori-Teori

Psikodinamik (Klinis). Diterjemahkan oleh Drs. Yustinus MSc. OFM.


(5)

DAFTAR RUJUKAN

Kusumah, Cindy Indra, 2008. “Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy Dalam

Berpacaran Pada Siswa/I Kelas 2 SMA “X” Di Kota Tasikmalaya”: Metode

Penelitian Lanjutan

Nathania, Milka, 2008. “Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy Pada Pasangan

Suami Istri Yang Memasuki Tahap Empty Nest Di Kota Bandung”: Metode

Penelitian Lanjutan

Devina P., Melisa, 2009. “Suatu Studi Kasus Mengenai Derajat Resiliency Pada

Penderita Rheumatic Fever di Rumah Sakit “X” Bandung”: Metode Penelitian Lanjutan

Boellstroff, 2005. Gay dan Lesbian Indonesia Serta Gagasan Nasionalisme. Jurnal

Antropologi Indonesia. (Online). Vol.30, No.1 , 2006 (http://www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/2006/01/tom.pdf,

diakses September 2009)

Veronica, A. 27 Februari 2009. Definisi dan Proses Homoseksual (Online). (http://www.e-psikologi.com/epsi/Klinis_detail.asp?id=551, diakses tanggal 10 Oktober 2011)

Pikiran Rakyat, 15 Agustus 2008. Kaum Gay di Bandung Ada 17.000. (Online). (http://www.pikiran-rakyat.com/node/75401 diakses tanggal 10 Oktober 2011)

Gunadi, Hidayat. Mujib Rahmat,dkk. 26 September 2003. Jalan Berliku Kaum Homo

Menuju Pelaminan. (online). GATRA, Edisi 46 (

http://arsip.gatra.com/2003-09-26/versi_cetak.php?id=31335 diakses tanggal 10 Oktober 2011)

Rachmadmt. 7 Februari 2009. Hasil Penelitian Tentang Komitmen Gay. (Online). (http://rachmadmt.wordpress.com/tag/malang-gay/ diakses September 2011)


(6)

140

Universitas Kristen Maranatha Nasigoreng. 9 November 2011. Trip and Places. KFC Merdeka – Bandung (depan

BIP). (Online). (http://lgbtindonesia.org/forum/viewtopic.php?f=37&t=444

diakses tanggal 16 Januari 2011)

______ 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha