Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009 - USD Repository

  

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ASMA

BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI

YOGYAKARTA BULAN JANUARI-DESEMBER 2009

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh :

  Yuniar Handayani NIM : 068114077

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ASMA

BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI

YOGYAKARTA BULAN JANUARI-DESEMBER 2009

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh :

  Yuniar Handayani NIM : 068114077

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  segala perkara dapat kutanggung di dalam DIA yang memberi kekuatan kepadaku (Filipi 4:13)

  Kupersembahan karyaku ini untuk: Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria Kedua orang tuaku Kakak dan Adikku tercinta dan almamaterku...

  

PRAKATA

  Puji dan syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan lindungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009” ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain:

  1. Tuhan Yesus Kristus yang Maha Baik atas segala berkat dan semangat-Nya dan Bunda Maria atas kebaikan, semangat, dan kekuatan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. atas bimbingannya selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

  3. Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk penulis sehingga dapat melakukan penelitian ini.

  4. Ibu dr. Luciana Kuswibawati M.Kes. selaku dosen pembimbing atas dukungan, arahan, serta semangat yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

  5. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku dosen penguji skripsi atas dukungan, arahan, kritik, dan masukan serta semangat yang diberikan kepada penulis.

  6. Ibu Maria Wisnu Donowati, M. Si., Apt. selaku dosen penguji skripsi atas dukungan, arahan, kritik, dan masukan serta semangat yang diberikan kepada penulis.

  7. Kepala beserta staf Bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit) dan Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta atas bantuan dan dukungannya.

  8. Seluruh pasien asma bronkial di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang secara tidak langsung telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

  9. Segenap dosen pengajar, staf sekretariatan serta laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

  10. Kedua orangtuaku Slamet Widodo, S. Pd. dan Khristina Wuryani yang dengan tulus ikhlas memberikan dukungan berupa kasih sayang, nasehat maupun materi dalam setiap langkah hidup penulis.

  11. Kakak dan adikku, Febrina Widya Hesti dan Yustina Tyas Kurniawati, atas dukungan dan suka duka yang dijalani bersama dalam setiap langkah hidup penulis.

  12. Alexander Arie, atas editannya, kasih sayang, dukungan dan semangat yang sangat berharga untuk penulis.

  13. Seluruh keluarga yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu atas dukungan, kasih sayang dan doanya.

  14. Teman-temanku kost “Lovely” Melia, Satya, Pia, Yenita, Sisca, dan Aga yang telah memberi semangat dan bantuan pada penulis.

  15. Seluruh teman-teman Farmasi angkatan ‘06 pada umumnya dan teman-teman FKK A’06 pada khususnya atas kebersamaan yang telah dilalui bersama.

  16. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis.

  Semoga Tuhan Yang Maha Baik memberikan berkat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca.

  Yogyakarta, 19 Agustus 2010 Penulis

  

INTISARI

  Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang melibatkan banyak sel dan komponennya. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Pengobatan asma bronkial cenderung bersifat mencegah, mengurangi gejala dan berlangsung dalam periode yang cukup lama sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs).

  Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data rekam medis pasien asma bronkial yang kemudian dianalisis dengan metode subjective, objective, assessment, plan (SOAP) dengan menggunakan pustaka MIMS Indonesia edisi 7 tahun 2007/2008, Informasi Spesialite Obat Indonesia volume 43-2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) 2000, Drug Information Handbook (DIH) edisi 14, dan Drug Interaction Facts (DIF).

  Kasus asma bronkial di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari- Desember 2009 sebanyak 32 kasus. Prosentase umur terbesar pada umur 12<n

  ≤65 tahun yaitu 60%, dengan jenis kelamin perempuan yaitu 68,75%. Pada pola pengobatan asma bronkial terdapat 9 kelas terapi dengan penggunaan obat terbanyak yaitu obat sistem pernapasan sebesar 100% diikuti gizi dan darah sebesar 96,9%. Hasil evaluasi menunjukkan kejadian DRPs adverse drug reaction (ADR) dan interaksi obat sebesar 31,25%.

  Kata kunci : asma bronkial, drug related problems (DRPs)

  

ABSTRACT

  Asthma was a chronic inflammation interference of respiratory track which involve many cells and its components. Asthma is the big ten causes of death and illness in Indonesia. The medical treatment of bronchial asthma is tend to restrain, reduce the indication and it is for quite long duration thus need therapy evaluation which expected can help patient to get optimal medical treatment to avoid Drug Related Problems (DRPs).

  This is non experimental study with descriptive evaluative plan which have retrospective characteristic. The data collection done by collect the medical record data of patient with bronchial asthma, and analyzed by subjective, objective,

  th

assessment, plan (SOAP) using MIMS Indonesia 7 edition (2007/2008),

  Informasi Spesialite Obat Indonesia volume 43-2008, Informatorium Obat

  th

  Nasional Indonesia (IONI) 2000, Drug Information Handbook (DIH) 14 edition, and Drug Interaction Facts (DIF).

  Bronchial asthma cases in Panti Rini Hospital during January-December 2009 were 32 cases. The biggest percentage age of 12<n ≤65 is 60% with 68,75% is woman. The medical treatment pattern of bronchial asthma has 9 therapy classes, the highest was respiratory drugs (100%) and nutrition and blood (96,9%). The evaluation result shows DRPs adverse drug reaction (ADR) and drug interaction 31,25%.

  Key words: bronchial asthma, Drug Related Problems (DRPs)

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ii

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii HALAMAN PENGESAHAN iv

  HALAMAN PERSEMBAHAN v

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vii PRAKATA viii

  INTISARI xi

  ABSTRACT

  xii DAFTAR ISI xiii

  DAFTAR TABEL xvii

  DAFTAR GAMBAR xviii

  DAFTAR LAMPIRAN xix

  BAB I. PENGANTAR

  1 A. Latar Belakang

  1

  1. Perumusan Masalah

  3

  2. Keaslian Penelitian

  4

  3. Manfaat Penelitian

  4

  a. Manfaat Teoritis

  4

  b. Manfaat Praktis

  4

  4. Tujuan Penelitian 5 xiii

  xiv

  d. Penatalaksanaan Terapi Asma Pada Anak

  a. Tujuan Terapi

  16

  b. Sasaran Terapi

  17

  c. Strategi Terapi

  17

  24

  7. Penatalaksanaan Terapi Asma

  25 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

  26 A. Jenis dan Rancangan Penelitian

  26 B. Definisi Operasional

  26 C. Subjek Penelitian

  28 D. Bahan Penelitian

  28 E. Lokasi Penelitian

  28

  16

  15

  1. Tujuan Umum

  7

  5

  2. Tujuan Khusus

  5 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

  6 A. Drug Related Problems (DRPs)

  6 B. Asma Bronkial (Asma)

  7

  1. Definisi

  2. Etiologi

  6. Pembagian Asma Secara Klinis

  8

  3. Patofisiologi

  9

  4. Gejala dan Tanda

  12

  5. Diagnosis

  13

8. Keterangan Empiris

F. Jalannya Penelitian

  28

  1. Persiapan

  28

  2. Pengumpulan data

  29

  3. Analisis data

  29

  4. Pembahasan kasus

  29 G. Tata Cara Analisis Hasil

  30 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

  33 A. Karakteristik Pasien

  33

  1. Distribusi Umur

  33

  2. Distribusi Jenis Kelamin

  35

  3. Diagnosis

  36 B. Pola Pengobatan

  36

  1. Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna

  38

  2. Obat untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler

  39

  3. Obat yang bekerja pada sistem pernapasan

  40

  4. Obat yang digunakan untuk infeksi

  43

  5. Obat yang bekerja sebagai analgesik

  44

  6. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat

  45

  7. Obat-obat hormonal

  46

  8. Obat yang mempengaruhi gizi dan darah

  47

  9. Anestetik

  48 C. Kajian Drug Related Problem (DRPs)

  49

  1. Efek Obat Merugikan (adverse drug reaction)

  49 xv xvi

  2. Dosis obat berlebihan

  51

  3. Perlu tambahan obat

  51

  4. Tidak butuh obat

  52

  5. Pemilihan obat salah

  52

  6. Dosis terlalu rendah

  52 D. Rangkuman Pembahasan

  52 BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

  53 B. Saran

  54 DAFTAR PUSTAKA

  55 LAMPIRAN

  58 BIOGRAFI PENULIS 125

  

DAFTAR TABEL

  Tabel I. Klasifikasi Asma Secara Klinis

  15 Tabel II. Karakteristik Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Diagnosis di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  36 Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari- Desember 2009

  36 Tabel IV. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Saluran Cerna yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari- Desember 2009

  38 Tabel V. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Saluran Sistem Kardiovaskuler yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  39 Tabel VI. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem Pernapasan yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  40 Tabel VII. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat untuk Infeksi yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  43 Tabel VIII. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat sebagai Analgesik yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  44 Tabel IX. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem Saraf Pusat yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  45 Tabel X. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat –Obat Hormonal yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  46 Tabel XI. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Mempengaruhi Gizi dan Darah yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  47 Tabel XII. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat Anestetik yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  48 Tabel XIII. Kejadian DRPs Adverse Drug Reaction dan Interaksi Obat pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  50

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma

  8 Gambar 2 Mekanisme terjadinya asma

  11 Gambar 3. Patofisiologi asma

  12 Gambar 4. Kapasitas dan volume paru-paru

  13 Gambar 5. Penatalaksanaan asma pada anak

  24 Gambar 6. Diagram Prosentase Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  33 Gambar 7. Diagram Prosentase Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari- Desember 2009

  35

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran I. Data dan Analisis DRPs Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

  60 Lampiran II. ABBREVIATIONS 125

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang

  melibatkan banyak sel dan komponennya (Kelly dan Sorkness, 2005). Asma merupakan sepuluh besar penyebab sakit dan kematian di Indonesia, salah satunya tergambar dari data studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema merupakan penyebab kematian ke-4 di Indonesia (5,6%). Prevalensi asma di seluruh Indonesia pada tahun 1995 adalah sebesar 13/1000. Angka ini lebih besar dibandingkan bronkitis kronik (11/1000) dan obstruksi paru (2/1000). Peningkatan penderita asma bronkial di Indonesia juga terlihat dari hasil penelitian pada anak usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner

  

International Study on Asthma and Allergy in Children (ISAAC) yang pada tahun

  1995 menunjukkan prevalensi asma 2,1%, pada tahun 2003 menunjukkan angka 5,2% (Anonim, 2007).

  Berdasarkan data di atas, sangat diperlukan suatu pengobatan efektif yang dapat mengurangi gejala-gejala yang menyertai penyakit asma dan dapat mencegah serangan asma. Peningkatan prevalensi serangan asma yang meningkat dapat terlihat dari meningkatnya angka kejadian asma rawat inap dan angka kematian. Penanganan yang tepat dan berhasil dapat memperkecil kematian karena asma bronkial, serta dapat memperbaiki kualitas hidup penderita. Di

  2 samping itu juga dapat memperkecil kegawatdaruratan yang diakibatkan oleh asma bronkial (Crockett, 1994).

  Terkait dengan proses penanganan yang memerlukan obat, dimungkinkan pula adanya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau dicurigai melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi bertentangan dengan hasil yang diinginkan atau dapat diartikan sebagai masalah- masalah yang berhubungan dengan obat (Cipolle, 1998).

  Pada pengobatan penyakit asma bronkial, meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Pada umumnya pengobatan asma bronkial cenderung bersifat mencegah, mengurangi gejala dan berlangsung dalam periode yang cukup lama sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari DRPs.

  Rumah sakit memiliki stratifikasi tersendiri, mulai dari rumah sakit yang mempunyai fasilitas pelayanan medik lengkap sampai pada kemampuan medik dasar. Rumah Sakit Umum Swasta Pratama adalah rumah sakit umum swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum setara dengan rumah sakit pemerintah kelas D, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar dengan kapasitas tempat tidur kurang dari 100. Salah satu rumah sakit tipe pratama adalah Rumah Sakit Panti Rini. Rumah Sakit Panti Rini memiliki pelayanan dasar, umum, dan gigi serta pelayanan medik

  3 spesialistik 4 dasar sesuai dengan standar minimal rumah sakit kelas pratama yaitu Spesialis Penyakit Dalam, Kebidanan dan Kandungan, Bedah dan Penyakit anak.

1. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.

  a. Bagaimanakah karakteristik pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009?

  b. Bagaimanakah pola pengobatan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009?

  c. Apakah terdapat Drug Related Problems (DRPs) seperti butuh obat (need

  for additional drug therapy ), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy),

  obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), dosis berlebih (dosage too high), munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat (adverse drug reaction), dan adanya interaksi obat (drug interaction) pada pasien asma di Rumah Sakit Panti Rini ?

2. Keaslian penelitian

  Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penelitian mengenai

  

Drug Related Problems (DRPs) pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

  Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai asma bronkial yang sudah ada membahas tentang pola pengobatan dan kajian profil peresepan.

  Penelitian-penelitian mengenai asma yang pernah dilakukan antara lain:

  4

  a. Anitawati (1996) mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial untuk Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Selama Tahun 1998”.

  b. Kusuma (1998) mengenai “Kajian Pola Peresepan Obat Asma yang Diberikan pada Pasien Asma Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002”.

  c. Nugraha (2002) mengenai “Pola Peresepan Obat Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2006”.

  d. Chinthia (2002) mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 1999-2001”.

  e. Gibson (2002) mengenai “Kajian Peresepan Pasien Dewasa Asma Bronkial Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yaogyakarta Tahun 2000”.

  f. Wibowo (2003) mengenai “Kajian Profil Peresepan Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali Tahun 2005”.

3. Manfaat Penelitian

  a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi sumber informasi dan evaluasi pengobatan pada pasien asma bronkial.

  b. Manfaat praktis

  5 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi, dan referensi untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya para penderita asma bronkial di instalasi rawat inap.

B. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terjadinya Drug Related

  

Problems (DRPs) pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009.

  2. Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

  a. karakteristik pasien asma bronkial,

  b. pola pengobatan pasien asma bronkial,

  c. potensial kejadian Drug Related Problems yang mungkin terjadi pada pasien asma bronkial yang meliputi: 1) membutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), 2) obat yang tidak dibutuhkan (unnecessary therapy), 3) pemilihan obat salah (wrong drug), 4) dosis terlalu rendah (dose too low), 5) efek obat merugikan (adverse drug reaction), 6) dosis terlalu tinggi (dose too high), di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Drug Related Problems (DRPs) Asuhan kefarmasian membutuhkan kemampuan dari pelaku farmasi untuk

  mengidentifikasi masalah DRPs guna peningkatan kualitas hidup pasien (Kelly dan Sorkness, 2005). Masalah-masalah dalam kajian DRPs menurut Cipolle, Strand dan Morley (1998) antara lain: 1. membutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), jika kondisi baru yang membutuhkan obat, kondisi kronis yang membutukan kelanjutan terapi obat, kondisi yang membutuhkan kombinasi obat, dan kondisi yang mempunyai risiko kejadian efek samping dan membutuhkan obat untuk pencegahannya. 2. tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), jika obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi pada saat itu, pemakaian obat kombinasi yang seharusnya tidak diperlukan, dan meminum obat dengan tujuan untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindarkan.

  3. obat salah (wrong drug), jika obat yang diberikan kepada pasien tidak efektif (kurang sesuai dengan indikasinya), obat tersebut efektif tetapi ekonomis, pasien mempunyai alergi terhadap obat tersebut, obat yang diberikan mempunyai kontraindikasi dengan obat lain yang dibutuhkan, dan antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien.

  7 4. pasien mendapat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low), jika dosis obat tersebut terlalu rendah untuk memberikan efek, dan interval dosis tidak cukup. 5. pasien mendapat dosis obat yang berlebih (dosage too high), jika dosis obat terlalu tinggi untuk memberikan efek.

  6. munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat (adverse drug

  reaction ) dan adanya interaksi obat (drug interaction), jika ada alergi, ada

  faktor risiko, ada interakis dengan obat lain, dan hasil laboratorium berubah akibat penggunaan obat.

  7. ketidaktaatan pasien pada penggunaan obat yang diresepkan (uncompliance), jika pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, terjadi medication error (peresepan, penyerahan obat dan monitoring pasien), ketidaktaatan pasien, pasien tidak membeli obat yang disarankan karena mahal, pasien tidak menggunakan obat karena ketidaktahuan cara pemakaian obat, pasien tidak menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan produk obat yang dianjurkan. Dokumentasi mengenai pasien mutlak diperlukan dalam mendefinisikan tujuan terapi dan menghindari terjadinya DRPs (Kelly dan Sorkness, 2005).

B. Asma Bronkial (Asma)

1. Definisi

  The National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP)

  mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang

  8 melibatkan peran banyak sel dan komponennya, yaitu sel mast, eosinofil, T- limfosit, makrofag, neutrofil, dan sel-sel epitel (Kelly dan Sorkness, 2005).

  Gangguan ini menyebabkan penyempitan jalan napas yang menyebabkan terjadinya kesulitan bernapas (Neal, 2002).

  Pada individu yang rentan, inflamasi ditunjukkan dengan adanya mengi, kesulitan bernafas, dada terasa sesak, dan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari atau dini hari. Hal tersebut terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering terjadi reversibel baik secara spontan maupun sebagai hasil terapi (Kelly dan Sorkness, 2005).

  Gambar 1. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma (Adam, 2005)

2. Etiologi

  Penyebab asma belum diketahui secara pasti. Asma merupakan penyakit kompleks dengan faktor genetik dan faktor lingkungan yang ikut berperan di dalam menyebabkan terjadinya asma. Faktor pemicu asma adalah:

  a. atopy (hipersensitivitas),

  b. zat allergen, misalnya: asap, debu, bulu binatang, serbuk sari,

  c. obat-obat tertentu, misalnya: NSAID (ibuprofen, aspirin),

  9 d. infeksi bakteri dan virus pada saluran pernapasan,

  e. olahraga, f.kelelahan dan stress,

  g. lingkungan : cuaca dingin, h. pekerjaan (Kelly dan Sorkness, 2005).

3. Patofisiologi

  Karakteristik utama asma adalah obstruksi jalan udara yang terkait dengan bronkospasmus, edema, hipersekresi, Bronchial Hiperresponsive (BHR), dan inflamasi jalan udara (Kelly dan Sorkness, 2005). Selama serangan pasien mengalami mengi dan kesulitan bernapas akibat bronkospasme, edema mukosa dan pembentukan mukus. Bronchial Hiperresponsive (BHR) disebabkan oleh:

  a. kontraksi otot polos (bronkokonstriksi),

  b. hipersekresi mukus, c. edema mukosa (William and Self, 2002).

  Munculnya inflamasi saluran napas pada penderita asma melibatkan sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia (histamin, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik (sitokinin dan kemotaxin). Inflamasi terjadi apabila timbul respons berlebihan pada saluran napas penderita asma, sehingga cenderung terjadi penyempitan saluran napas yang diakibatkan oleh respon alergi, iritan, infeksi virus dan beban fisik. Hal tersebut juga mengakibatkan edema, peningkatan produksi mukus, keluarnya sel inflamasi pada saluran napas dan sel epitel mengalami kerusakan (Nelson, 2006).

  10 Gambar 2. Mekanisme terjadinya asma (Kelly dan Sorkness, 2005)

  Reaksi alergi fase awal dimulai dengan adanya alergen yang terhirup dan menyebabkan aktivasi sel yang akan menghasilkan antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen. Aktivasi yang cepat dari sel mast dan makrofag pada saluran napas akan membebaskan mediator proinflamasi seperti histamin dan eikosanoid yang menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mukus, vasodilatasi dan eksudasi plasma pada saluran napas sehingga menyebabkan kebocoran plasma protein yang kemudian menginduksi terjadinya penebalan dan pembengkakan saluran napas serta penyempitan lumen yang disertai dengan sulitnya pengeluaran mukus (Kelly dan Sorkness, 2005).

  Reaksi inflamasi fase akhir pada penderita asma terjadi selama 6 sampai 9 jam setelah serangan alergen dan melibatkan aktivasi eosinofil, limfosit-T, basofil, neutrofil, dan makrofag. Eosinofil akan bermigrasi ke dalam saluran napas dan

  11 membebaskan mediator inflamasi berupa leukotrien dan protein granul, mediator sitotoksik, dan sitokin. Adanya aktivasi limfosit-T menyebabkan pembebasan sitokin dari sel T-helper tipe 2 (Th2) yang akan memperantarai inflamasi alergik (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13). Sebaliknya sel T-helper tipe 1 (Th1) menghasilkan IL-2 dan interferon gamma yang penting untuk mekanisme pertahanan selular. Adanya inflamasi asmatik alergik dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sel Th1 dan Th2 (Kelly dan Sorkness, 2005).

  Degranulasi sel mast sebagai respon terhadap alergen mengakibatkan pembebasan mediator seperti histamin, faktor kemotaksis, eosinofil dan neutrofil, leukotrien C4, D4, dan E4, prostaglandin dan faktor pengaktivasi platelet (PAF). Histamin mampu menginduksi konstriksi otot polos dan bronkospasme dan berperan dalam edema mukosa dan sekresi mukus sedangkan makrofag alveolar akan membebaskan sejumlah mediator inflamasi termasuk PAF, leukotrien B4, C4, dan D4. Adanya produksi faktor kemotaktik neutrofil dan eosinofil dapat memperkuat proses inflamasi (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, Kusnandar, 2008).

  Jalur 5-lipooksigenase dari asam pemecahan asam arakhidonat berhubungan dengan produksi leukotrien. Leukotrien C4, D4, dan E4 (sistenil leukotrien) merupakan penyusun zat reaksi lambat anafilaksis (slow-reacting substance of

  

anaphylaxis, SRS-A). Leukotrien ini akan dibebaskan selama proses inflamasi di

  paru-paru dan dapat menyebabkan bronkokonstriksi, sekresi mukus, permeabilitas mikrovaskular dan edema jalan udara (Sukandar dkk, 2008).

  12 Proses inflamasi eksudatif dan pengikisan sel epitel ke dalam lumen saluran napas dapat merusak transport mukosiliar sehingga kelenjar bronkus menjadi berukuran besar dan sel goblet meningkat baik ukuran maupun jumlahnya dan menunjukkan suatu peningkatan produksi mukus. Mukus yang dikeluarkan oleh penderita asma cenderung mempunyai viskositas yang tinggi (Sukandar dkk, 2008).

  Gambar 3. Patofisiologi asma (Kelly dan Sorkness, 2005)

4. Gejala dan Tanda

  Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma antara lain:

  a. mengi pada saat menghirup napas,

  b. riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi berulang dan napas tersengal-sengal, c. hambatan pernapasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari,

  d. adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur terhadap alergen dan perubahan musim, dan e. terbangun malam-malam dengan gejala-gejala seperti di atas (Ikawati, 2006).

  13

5. Diagnosis

  Udara yang berada di paru-paru dibagi menjadi empat kompartemen, yaitu volume tidal, volume inspirasi cadangan, volume ekspirasi cadangan, dan volume residu. Total dari keempat komponen biasanya disebut kapasitas total paru-paru.

  Gambar 4. Kapasitas dan volume paru-paru (Kelly dan Sorkness, 2005) Diagnosis asma biasanya didasarkan pada simptom pasien, riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium untuk mengukur fungsi paru.

  Faktor-faktor yang memicu terjadinya simptom antara lain adanya kegiatan, udara dingin, dan paparan terhadap alergen, dimana faktor-faktor tersebut tidak dapat diidentifikasi secara lebih jelas (Anonim, 2009).

a. Spirometri

  Spirometri dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75% (Anonim, 2007).

  14 Selain itu, spirometri dapat mengetahui reversibilitas asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu (Anonim, 2007).

  b. Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)

  Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter) dapat mengukur fungsi paru yang

  ditunjukkan dengan arus puncak ekspirasi (APE). Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% dari nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa reversibilitas yang ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20% (Anonim, 2007).

  c. Provokasi bronkus Provokasi bronkus disebut juga bronkoprovokasi yang digunakan untuk mengidentifikasikan karakteristik hiperresponsif jalan udara pada pasien yang melakukan inhalasi aerosol kimia, yang disebut agonis bronko-spastik, dimana zat tersebut merupakan pemicu reaksi hiperresponsif. Zat kimia yang sering digunakan adalah histamin dan metakolin (Anonim, 2009).

  15

d. Tes Lain

  Tes-tes ini mungkin dapat dilakukan untuk mengeksklusi penyakit lain dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi yang lebih buruk dari kondisi asmatik. Tes tersebut antara lain:

  1) foto dada: pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelaktasis dan lain-lain;

  2) foto sinus paranalis diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat adanya sinusitis; 3) pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma; 4) pemeriksaan sputum: sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik. Selain itu, pemeriksaan ini untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot-Leyden dan

  spiral Curschmann ;

  5) tes alergi, yaitu dengan tes kulit atau dengan pengukuran antibodi dalam darah. Terkadang dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis jika asma disebabkan alergi, atau secara spesifik disebabkan oleh alergen (Anonim, 2009).

  16

6. Pembagian Asma Secara Klinis

  Tabel I. Klasifikasi asma secara klinis

  Classify Severity : Clinincal Features Before Treatment Medications Required to Maintain Long-Term Control or Adequate Control Symptoms/Day PEF or FEV Daily Medications 1 Symptoms/Night PEF Variability STEP 4 Continual

≤ 60%  Preferred treatment:

  Severe Frequent >30%

  • High-dose inhaled corticosteroids AND

  Persistent

  • agonist, And, ifneeded
  • Long-acting inhaled β
  • 2<
  • Corticosteroid tablets or syrup long term (2 mg/kg/day, generally do not exceed 60 mg/day). (Make a repeat attempts to reduce systemic corticosteroids and maintain control with high-dose inhaled corticosteroids)

  STEP 3 Daily &gt;60%-&lt;80%  Preferred treatment:

  

Moderate &gt;1 night/week &gt;30% inhaled corticosteroids and long-acting

  • Low-to-medium

  Persistent inhaled -agonist β 2

   Alternative treatment (listed alphabetically)

  • Increase inhaled corticosteroids within medium-dose range OR
  • Low-to medium-dose inhaled cortiosteroids and either leukotriene modifier or theophylline If needed (particullary in patient with recuring severe exacerbations):

   Preferred treatment:

  • Increase inhaled corticosteroids within medium-dose range and add long-acting inhaled -agonist β
  • 2  Alternative treatment (listed alphabetic
  • Increase inhaled corticosteroids within medium-dose range and add either leukotriene modifier or theophylline

  STEP 2 &gt;2 week but &lt; 1x/day

≥80%  Preferred treatment:

  Mild &gt;2 nights/month 20-30%

  • Low dose inhaled corticosteroids

  Persistent  Alternative treatment (listed alphabetically): cromolyn, leukotriene modifier, nedocromil, OR sustained release theophylline to serum concentration of 5-15 mcg/mL

  STEP 1 ≤ 2 days/week ≥80%  No daily medication needed

  Mild &lt; 20% ≤ 2 nights/month

   Severe exacerbation may occur, separated by long periods or Intermitten normal lung function and no symptom. A course of systemic corticosteroids is recommended

  β 2 Relief All  Intensity of treatment will depend on severity of exacerbation; up to 3 treatments at 20-minute intervals or a

  Quick

 Short-acting bronchodilator: 2-4 puffs short-acting inhaled -agonist as needed for symptoms.

  Patient single nebulizer treatment as needed. Course of systemic corticosteroids may be needed.

  • agonist &gt; 2 times a week in intermittent asthma (daily, or increasing use in persistent

   Use of short-acting 2 β asthma) may indicate the need to initiate (increase) long-term-control therapy.

  ↓ STEP DOWN ↑ STEP UP

Review treatment every 1 to 6 months; a gradual stepwise If control is not maintained, consider step up. First, review

reduction in treatment may be possible patient medication technique, adherence, and environmental

control.

  Goals of Therapy: Asthma Control  Minimal or no chronic symptoms day or night  Maintain (near) normal pulmonary function

  • agonist

   Minimal or no exacerbations  Minimal use of short-acting inhaled 2 β  No limitations on activities; no school/work missed  Minimal or no adverse effects from medications

  Note  The stepwise approach in meant to assist, no replace, the clinical decision making required to meet individual patient needs. is %

   Classify severity: assign patient to most severe step in which any feature occurs (PEF is % of personal best; FEV 1 predicted).

  

 Gain control as quickly as possible (consider a short course of systemic corticosteroids); then step down to the least medication

necessary to maintain control

  • agonist. Over reliance on short-acting inhaled -agonist (e.g., use of short-acting

   Minimize use of short-acting inhaled 2 2 β β

inhaled -agonist everyday, increasing use or lack of expected effect, or use of approximately one canister a month even if not

2 β using it everyday) indicates inadequate control of asthma and the need to initiate or intensity long-term control therapy.

  

 Provide education on self-management and controlling environmental factors that make asthma worse (e.g., allergens and

irritant).

 Refer to an asthma specialist if there are difficult controlling asthma or if step 4 care is required. Referral may be considered if

step 3 care is required.

  (Kelly dan Sorkness, 2005)

  17

7. Penatalaksanaan Terapi Asma

  a. Tujuan terapi Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu juga, dilakukan untuk menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan fungsi paru seoptimal mungkin, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara irreversibel serta mencegah kematian karena asma (Mangunnegoro, 2006).

  b. Sasaran Terapi Sasaran dari penatalaksanaan asma meliputi gejala asma, bronkokonstriksi, peradangan saluran napas, obstruksi jalan napas oleh mukus serta frekuensi dan keparahannya (William and Self, 2002).

  c. Strategi Terapi

1) Terapi Non Farmakologis

  Edukasi pasien dan menghindari penyebab asma merupakan manajemen strategi asma untuk setiap pasien. Edukasi pasien bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma, meningkatkan kemampuan dalam penatalaksanaan dan pengontrolan asma. Kunci topik edukasi meliputi: pengetahuan dasar tentang asma (termasuk mengenali simptom dan tindakan yang dilakukan jika simptom berkembang), aturan pengobatan, cara penggunaan alat inhalasi yang tepat, saran untuk menghindari alergen, dan kegunaan dari pengobatan sendiri. Penting untuk

  18 melibatkan keluarga pasien dalam edukasi ini karena keluarga pasien juga ikut berperan serta dalam proses terapi pasien tersebut (Anonim, 2009).

2) Terapi Farmakologis

  Secara garis besar, terapi yang digunakan untk mengobati asma dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu:

a) Reliever

  Obat golongan ini efektif untuk meringankan bronkokonstriksi akut dan hanya untuk untuk mengobati asma akut. Obat ini tidak memiliki efek dalam mencegah serangan akut atau mencegah inflamasi yang panjang. Pengobatan ini hanya digunakan saat terjadi serangan asma, dan tidak dapat digunakan secara terus-menerus (Wolf, 2004).

  Obat golongan reliever bekerja sebagai bronkodilator dan mengurangi simptom. Obat golongan ini terdiri dari inhalasi agonis

  2 kerja cepat,

  β antikolinergik, teofilin kerja singkat dan oral agonis

  2 kerja cepat (Anonim,

  β 2006).

  (1) Inhalasi agonis

  2 kerja cepat

  β Inhalasi agonis

  2 kerja cepat merupakan obat pilihan untuk

  β menghilangkan bronkospasme selama serangan asma dan digunakan sebelum melakukan latihan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Mekanisme kerja obat ini adalah menstimulasi reseptor yang

  2

  β menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilitas sel mast, dan menstimulasi otot skelet. Contoh obat golongan ini: salbutamol, terbutalin, fenoterol, repoterol dan pirbutrol (Anonim, 2007).

  19 Obat golongan ini hanya digunakan dalam dosis rendah dan sangat dibutuhkan. Penambahan dosis, khususnya pada penggunaan setiap hari menunjukkan keadaan asma tidak terkontrol dan memerlukan pengobatan yang baru. Efek samping dari penggunaan obat ini seperti tremor dan takikardi (Anonim, 2006). Perhatian penggunaan obat ini adalah toleransi yang dapat terjadi pada penggunaan simpatomimetik yang diperlama tapi penghentian sementara obat ini akan tetap mempertahankan efektifitas awalnya, hipokalemia, dan hiperglisemia (Anonim, 2007).

  (2) Antikolinergik Obat yang termasuk antikolinergik adalah bronkodilator, tetapi kerjanya tidak seefektif agonis

  2 kerja singkat, onsetnya lama dan

  β dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada saluran napas. Dapat menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal instrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Contoh obat golongan ini adalah ipratorium bromide dan tiotropium bromide (Mangunnegoro, 2006).

  Untuk dapat mencapai efek bronkodilator maksimal maka disarankan menggunakan kombinasi antikolinergik dan agonis

  2 kerja cepat sebagai

  β bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau serangan asma yang kurang memberikan respon dengan agonis

  2 kerja cepat saja. Efek

  β samping obat ini berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (Mangunnegoro, 2006). Penggunaan obat ini harus disertai perhatian pada pasien dengan

  20 kondisi berikut : glukoma sudut sempit, hiperplasia prostat, atau kerusakan saluran urin (tiotropium dapat memperparah tanda dan gejala) (Anonim, 2007). (3) Teofilin kerja singkat

  Teofilin kerja singkat dapat mengurangi simptom asma. Obat ini potensial menimbulkan efek samping, meskipun secara umum dapat dihindari dengan penyesuaian dosis dan monitoring (Anonim, 2006). Mekanisme kerja obat ini adalah akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter

  

esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Obat ini mempunyai

  perhatian untuk penyakit jantung, hipoksemia, penyakit hati, hipertensi, gagal jantung kongestif, pecandu alkohol, pasien lanjut usia dan bayi (Anonim, 2007). (4) Oral agonis kerja cepat

  2

  β Oral agonis

  2 kerja cepat cocok digunakan untuk beberapa pasien

  β yang tidak dapat menggunakan inhalasi. Walaupun penggunaan obat ini memiliki efek samping yang sangat besar (Anonim, 2006).

b) Controller

  Obat golongan ini mengurangi inflamasi bronkus dan memberikan kontrol jangka panjang terhadap asma dengan menurunkan frekuensi kekambuhan (Wolf, 2004).

  21

  Controller merupakan obat yang digunakan setiap hari yang

Dokumen yang terkait

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dengan diagnosis vertigo perifer di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

1 6 56

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.

3 13 142

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli - Desember 2013.

4 35 133

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli - Desember 2013.

0 1 133

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 - Juni 2013.

0 3 123

Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012 – Juni 2013.

0 2 171

Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012 – Juni 2013

0 12 169

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dengan diagnosis vertigo perifer di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

0 0 54

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 Juni 201

0 14 121

Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit - Ubaya Repository

0 0 1