Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli - Desember 2013.

(1)

INTISARI

Asma merupakan penyakit kronis dengan jumlah penderita sekitar 300 juta individu di seluruh dunia dengan prevalensi yang terus meningkat selama 20 tahun terakhir. Prevalensi asma pada anak cukup tinggi sehingga membutuhkan perhatian serius. Selama proses terapi dengan obat, ada kemungkinan terjadi drug related problems (DRPs) yang pada pasien anak sangat mungkin terjadi karena fungsi fisiologis tubuh yang belum berjalan normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi DRPs pada pasien anak yang dirawat inap dengan diagnosis asma.

Penelitian ini termasuk non eksperimental deskriptif dengan rancangan case series. Data diperoleh dengan pendekatan retrospektif dari lembar rekam medis pasien anak usia ≤ 12 tahun dengan diagnosis asma yang menjalani perawatan di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan metode SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) untuk mengevaluasi DRPs. Hasil disajikan dalam bentuk tabel dan diagram disertai pembahasan.

Terdapat 25 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemui DRPs efek samping obat 100%, obat tidak dibutuhkan 64%, dosis kurang 56%, dosis berlebih 16%, dan membutuhkan tambahan obat 4%.

Kata kunci: drug related problems, asma, pasien anak, terapi farmakologis, rawat inap


(2)

ABSTRACT

Asthma is a chronic disease with an estimated 300 million individuals affected worldwide andits prevalence has increased over the past 20 years. The prevalence rate of asthma is highest in children and need serious concern. Drug Related Problems (DRPs) can occur during drug therapy especially in pediatrics whose physiological function have not been as normal as adults. The aims of this study is to identify DRPs in pediatrics with asthma.

This study is a non-experimental descriptive with case series design. Data collection was done retrospectively on medical record of hospitalized asthma patient age 12 years and younger in RS RK Charitas Palembang during period July-December 2013. The data obtained then were analyzed descriptively using SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) method and the result present in tables and diagrams followed by discussion.

There are 25 cases who met the inclusion criteria. The DRPs that found in this study consist of 100% adverse drug reaction, 64% unnecessary drug, 56% dosage too low, 16% dosage too high, and 4% need additional drug therapy.

Key word: drug related problems, asthma, pediatrics, drug therapy, hospitalization


(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ANAK DENGAN ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RS RK CHARITAS

PALEMBANG PERIODE JULI - DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Adelia Desti Endah Sari NIM: 118114121

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014


(4)

ii

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ANAK DENGAN ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RS RK CHARITAS

PALEMBANG PERIODE JULI - DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Adelia Desti Endah Sari NIM: 118114121

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

Persetujuan Pembimbing

EVALUASI DRAG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ANAK

DENGAN ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RS RK CHARITAS

PALEMBANG PERIODE JULI - DESEMBEII2013

Skripsi yang diajukan oleh: Adelia Desti Endah Sari

NIM: 118114121

telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama

ftq

Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. tan ggat . ..2.1. -. ?.1. :.. ..'L2.!.{.

llt


(6)

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecil ini bagi

Allah Bapa di Surga, Yesus Kristus, dan Bunda Maria Bapak, ibu serta adik-adikku

Sahabat-sahabatku serta

Almamaterku....


(8)

(9)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Anak dengan Asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang Periode Juli - Desember 2013” sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung baik berupa moral, materiil maupun spiritual. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Sr. M. Paulina FCh., selaku Ketua Yayasan Charitas yang telah memberikan izin dan bantuan untuk melakukan penelitian.

2. Prof.dr. Hardi Darmawan, MPH&TM, FRSTM selaku Direktur Utama RS RK Charitas Palembang yang memberikan izin untuk melakukan penelitian di RS RK Charitas Palembang.

3. Sr. M. Silvestra FCh., Ibu Yogia Simanjuntak dan seluruh staff bagian Rekam Medis RS RK Charitas Palembang yang telah membantu dalam proses penelusuran dan pencarian rekam medis

4. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi atas


(10)

viii

perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan, dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

6. Ibu Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

7. Bapak Dominikus Suparno dan Ibu Monica Tarminah yang tercinta, atas kasih sayang, doa, dukungan, semangat, dan pengertian serta berbagai bantuan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Adik-adikku tersayang,Vicentia Septiana, Vicenti Septiani, dan Raimundus Brilian Danu, yang telah menjadi inspirasi, memberikan keceriaan, dan terus memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

9. Sahabat yang selalu mendukung dari jauh, Elis, Destrie, Lili, Stefani, Budi, Roebel, Hendra, Harry, Anggiat, yang senantiasa memberikan dukungan tiada henti bagi penulis.

10.Teman-teman seperjuangan #DeRealPrincesses, Lulik, Jeje, dan Anes, untuk semangat,dukungan, kerjasama, bantuan, dan informasi yang selalu di bagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

11.Sahabat sekaligus tetangga setia, Renata Sri Yuliani, Fransiska Yonita, dan Seravina Maria, terima kasih untuk tawa dan semangat selama pengerjaan skripsi ini.


(11)

ix

12.Teman-teman sepermainan, Bintang, Ester, Andung, Caesar, Henzu, Gomes, Alex, Nino, Rigel, Handy, Levina, Betzy, Leo, Tina, Asri, Desi, Rosi, dll, untuk semangat bermain yang tak pernah padam.

13.Teman-teman FSM C 2011, FKK B 2011, dan seluruh angkatan 2011, untuk kebersamaan dan semua kisah yang telah kita lalui.

14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut serta membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian

Yogyakarta, 21 Januari 2015

Penulis


(12)

(13)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis ... 5

b. Manfaat Praktis ... 5

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus ... 5


(14)

xii BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

A. Asma ... 6

B. Terapi Asma ... 12

C. Pasien Anak ... 14

D. Drug Related Problems ... 14

E. Keterangan Empiris ... 17

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 18

B. Variabel Penelitian ... 18

C. Definisi Operasional... 19

D. Subjek Penelitian ... 21

E. Bahan Penelitian... 21

F. Instrumen penelitian ... 21

G. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 22

H. Tata Cara Penelitian 1. Persiapan ... 22

2. Analisis Situasi ... 22

3. Pengumpulan Data ... 22

4. Analisis Data ... 23

I. Tata Cara Analisis Hasil... 24

J. Keterbatasan Penelitian ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien ... 27

B. Pola Pengobatan ... 29

C. Evaluasi Drug Related Problems ... 37

D. Rangkuman Evaluasi Drug Relaed Problems ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(15)

xiii

BIOGRAFI PENULIS ... 112


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Klasifikasi asma menurut derajat serangan ... 11 Tabel II. Profil penggunan obat pada pasien asma anak di Instalasi

Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode

Juli-Desember 2013 ... 29 Tabel III. Penggunaan obat yang bekerja pada sistem pernapasan pada

pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK

Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 ... 30 Tabel IV. Penggunaan kortikosteroid pada pasien anak dengan asma di

Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode

Juli-Desember 2013 ... 33 Tabel V. Penggunaan vitamin dan mineral pada pasien anak dengan

asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013 ... 33 Tabel VI. Penggunaan obat antiinfeksi pada pasien anak dengan asma

di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode

Juli-Desember 2013 ... 34 Tabel VII. Penggunaan obat alergi dan sistem imun pada pasien anak

dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas


(17)

xv

Tabel VIII. Penggunaan obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS

RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 ... 36 Tabel IX Penggunaan obat berdasarkan rute pemberian pada pasien

anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas

Palembang periode Juli-Desember 2013 ... 37 Tabel X. Gambaran DRPs pada pasien asma anak di instalasi rawat

inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 38 Tabel XI. Kejadian DRPs efek samping obat pada pasien anak dengan

asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013 ... 41 Tabel XII. Kejadian DRPs dosis kurang pada pasien anak dengan asma

di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode

Juli-Desember 2013 ... 43 Tabel XIII. Kejadian DRPs obat tidak dibutuhkan pada pasien anak

dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas

Palembang periode Juli-Desember 2013 ... 45 Tabel XIV. Kejadian DRPs dosis berlebih pada pasien anak dengan asma

di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode

Juli-Desember 2013 ... 46 Tabel XV. Hasil Evaluasi Drug Related Problems(DRPs) ... 47


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme umum reaksi hipersensitivitas tipe I ... 7 Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma ... 8 Gambar 3. Ilustrasi kondisi patologis bronkus normal dibandingkan

dengan bronkus asma dan airway remodeling ... 10 Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit ... 13 Gambar 5. Skema pemilihan subjek penelitian di RS RK Charitas

Palembang ... 23 Gambar 6. Distribusi pasien berdasarkan usia pada pasien asma anak di

Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode

Juli-Desember 2013 ... 27 Gambar 7. Distribusi pasien asma anak berdasarkan jenis kelamin pada

pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Evaluasi kasus Drug Related Problems ... 58 Lampiran 2. Permohonan izin penelitian dan pengambilan data ... 108 Lampiran 3. Izin penelitian dan pengambilan data di RS RK Charitas

Palembang ... 109 Lampiran 4. Surat keterangan telah melakukan penelitian ... 110


(20)

xviii

INTISARI

Asma merupakan penyakit kronis dengan jumlah penderita sekitar 300 juta individu di seluruh dunia dengan prevalensi yang terus meningkat selama 20 tahun terakhir. Prevalensi asma pada anak cukup tinggi sehingga membutuhkan perhatian serius. Selama proses terapi dengan obat, ada kemungkinan ditemui drug related problems (DRPs) yang pada pasien anak sangat mungkin ditemui karena fungsi fisiologis tubuh yang belum berjalan normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi DRPs pada pasien anak yang dirawat inap dengan diagnosis asma.

Penelitian ini termasuk non eksperimental deskriptif dengan rancangan case series. Data diperoleh dengan pendekatan retrospektif dari lembar rekam medis pasien anak usia ≤ 12 tahun dengan diagnosis asma yang menjalani perawatan di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan metode SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) untuk mengevaluasi DRPs. Hasil disajikan dalam bentuk tabel dan diagram disertai pembahasan.

Terdapat 25 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemui DRPs yang bersifat potensial meliputi 100% efek samping, 28% obat tidak dibutuhkan, dan 4% dosis berlebih, serta DRPs yang bersifat aktual meliputi 56% dosis kurang, 12% dosis berlebih, dan 4% membutuhkan tambahan obat.

Kata kunci: drug related problems, asma, pasien anak, terapi farmakologis, rawat inap


(21)

xix ABSTRACT

Asthma is a chronic disease with an estimated 300 million individuals affected worldwide andits prevalence has increased over the past 20 years. The prevalence rate of asthma is highest in children and need serious concern. Drug Related Problems (DRPs) can occur during drug therapy especially in pediatrics whose physiological function have not been as normal as adults. The aims of this study is to identify and evaluate DRPs in pediatrics hospitalized with asthma.

This study is a non-experimental descriptive with case series design. Data collection was done retrospectively on medical record of hospitalized asthma patient age 12 years and younger in RS RK Charitas Palembang during period July-December 2013. The data obtained then were analyzed descriptively using SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) method and the result present in tables and diagrams followed by discussion.

There are 25 cases who met the inclusion criteria. The DRPs that found in this study consist of potential DRPs including 100% adverse drug reaction, 28% unnecessary drug, and 4% dosage too high, and also actual DRPs including 56% dosage too low, 12% dosage too high, and 4% need additional drug therapy.

Key word: drug related problems, asthma, pediatrics, drug therapy, hospitalization


(22)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Asma merupakan masalah kesehatan global yang serius dengan jumlah penderita sekitar 300 juta individu di seluruh dunia. Prevalensi asma terus meningkat selama 20 tahun terakhir. Prevalensi asma paling tinggi di Amerika Serikat adalah pada anak usia 5-17 tahun, yaitu sebesar 9,6%. Asma merupakan penyakit kronis yang sangat umum dijumpai pada anak-anak dan merupakan faktor utama penyebab morbiditas akibat penyakit kronis serta menyebabkan peningkatan ketidakhadiran di sekolah, kunjungan ke unit gawat darurat, serta rawat inap (Global Initiative for Asthma, 2014; American Lung Association, 2006).

Asma termasuk dalam peringkat sepuluh besar penyakit tidak menular (PTM) penyebab pasien rawat inap rumah sakit di Indonesia (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012). Hasil survei asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar, menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4% (Baratawidjaja, Soebaryo, Kartasasmita, Suprihati, Sundaru, Siregar, dkk., 2006). Berdasar data-data tersebut, terlihat bahwa asma merupakan masalah kesehatan di masyarakat yang membutuhkan perhatian serius.


(23)

2

Apoteker memiliki peran dalam peningkatan kualitas hidup pasien melalui pelayanan kefarmasian, salah satunya melalui penyelesaian Drug Related Problems (DRPs). Secara sederhana yang dimaksud dengan DRPs adalah masalah yang terjadi selama proses terapi pengobatan yang memiliki potensi menghambat mencapai hasil terapi yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe, 2010; Cipolle, Strand, Morley, Ramsey, and Lamsam, 2004). Hasil penelitian Pratiwi, Ikawati dan Kusharwanti (2012) menemukan adanya pemberian obat dengan indikasi tidak perlu sebesar 18,18%, obat salah sebesar 4,54%, dosis terlalu tinggi sebesar 13,63%, interaksi obat sebesar 50%, dan ketidakpatuhan sebesar 4,54 % pada pasien anak dengan asma yang dirawat inap di RS Panti Rapih Yogyakarta. Berdasarkan penelitian tersebut, terlihat bahwa terdapat DRPs pada pasien asma anak rawat inap. DRPs sangat mungkin ditemui pada pasien anak karena kondisi fisiologi yang belum sempurna sehingga farmakokinetika obat tidak bisa disamakan dengan dewasa.

Prevalensi asma pada anak di Sumatera Selatan pada tahun 2013 sebesar 2,5% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Berdasarkan penelusuran peneliti, asma merupakan satu dari sepuluh besar penyakit pada pasien anak rawat inap di RS RK Charitas yang terletak di kota Palembang, Sumatera Selatan. Rumah Sakit RK Charitas Palembang merupakan rumah sakit swasta tertua di kota Palembang dan juga di Sumatera Selatan serta merupakan rumah sakit tipe B yang mampu menampung rujukan dari rumah sakit kabupaten.

Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian mengenai Drug Related Problems (DRPs) pada pasien anak dengan diagnosis asma di Instalasi Rawat


(24)

3

Inap RS RK Charitas Palembang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi DRPs pada pasien anak dengan diagnosis asma. Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi terkait kerasionalan penggunaan obat pada pasien asma anak yang dievaluasi dengan mengidentifikasi DRPs.

1. Rumusan Masalah

a. Seperti apa karakteristik pasien anak dengan diagnosis asma yang menjalani rawat inap di RS RK Charitas periode Juli-Desember 2013 meliputi jenis kelamin dan kelompok usia?

b. Seperti apa gambaran umum peresepan obat pada pasien anak dengan diagnosis asma meliputi jenis obat dan rute pemberian obat?

c. Apakah terdapat DRPs pada peresepan pasien anak dengan diagnosis asma?

2. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi DRPs pada pasien anak dengan diagnosis asma yang pernah dilakukan antara lain:

a. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009 yang dilakukan oleh Handayani (2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat DRP efek samping dan interaksi obat sebesar 31,35% pada pasien asma bronkial.


(25)

4

b. Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Asma Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2009 yang dilakukan oleh Hidayat dan Prasetyo (2012), dengan hasil 55% pasien mengalami DRP dengan jumlah 75 kejadian meliputi membutuhkan tambahan terapi obat sebesar 16,0%, obat tanpa indikasi dan duplikasi terapi sebesar 21,3%, obat salah sebesar 10,7%, dosis terlalu rendah sebesar 18,7%, interaksi obat sebesar 12,0% dan dosis terlalu tinggi sebesar 21,3%.

c. Kajian Drug Related Problems pada Pasien Anak dengan Infeksi Saluran Napas Bawah dan Asma Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode 1 Januari 2006 – 30 Juni 2006 yang dilakukan oleh Pratiwi, Ikawati dan Kusharwanti (2012). Hasil penelitian DRPs untuk pasien anak dengan infeksi saluran napas bawah adalah obat dengan indikasi yang tidak perlu sebesar 20%, obat yang salah sebesar 12,72 %, dosis terlalu rendah sebesar 7,27 %, dosis terlalu tinggi sebesar 21,81%, dan interaksi obat sebesar 12,72%. Hasil penelitian DRPs pasien anak dengan asma adalah obat dengan indikasi yang tidak perlu sebesar 18,18%, obat yang salah sebesar 4,54%, dosis terlalu tinggi sebesar 13,63%, interaksi obat sebesar 50%, dan ketidakpatuhan sebesar 4,54 %.

Penelitian mengenai Drug Related Problems (DRPs) pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang belum pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada subjek yang diteliti, periode penelitian, dan tempat penelitian.


(26)

5

Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRP pada pasien dengan diagnosis asma yang menjalani rawat inap.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan sumber pembelajaran mengenai DRPs pada pasien anak dengan asma. b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi RS RK Charitas Palembang untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada pasien anak dengan asma.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengevaluasi drug related problems (DRPs) pada pengobatan pasien asma anak. 2. Tujuan Khusus

a. Memberi gambaran karakteristik pasien anak dengan asma.

b. Memberi gambaran pola peresepan obat pada pasien anak dengan asma. c. Memberi gambaran drug related problems (DRPs) pada peresepan pasien


(27)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Asma

Asma merupakan penyakit heterogen yang umumnya dicirikan dengan adanya inflamasi kronis jalan napas yang ditegaskan lebih lanjut dengan adanya riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada, dan batuk yang berbeda-beda intensitasnya serta terjadi dari waktu ke waktu, bersamaan dengan variabel keterbatasan aliran udara ekspirasi (Global Initiative for Asthma, 2014). Gejala dan keterbatasan aliran udara ini bersifat reversibel (Global Initiative for Asthma, 2014; Kelly and Sorkness, 2008). Asma biasanya berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap rangsangan langsung maupun tak langsung serta inflamasi kronis jalan napas (Kelly and Sorkness, 2008).

Faktor yang dapat mempengaruhi asma secara umum adalah faktor host/inang dan faktor lingkungan (Global Initiative for Asthma, 2014). Faktor inang yang mempengaruhi perkembangan asma meliputi genetik asma, alergi, hiperresponsivitas jalan napas, obesitas, ras, dan jenis kelamin (Global Initiative for Asthma, 2012; Graham and Gordon, 2008). Faktor lingkungan berupa alergen yang berasal dari dalam maupun luar ruangan, infeksi, asap rokok, polusi udara, dan diet turut mempengaruhi perkembangan asma (Global Initiative for Asthma, 2012; Graham and Gordon, 2008; Kelly and Sorkness, 2008).

Asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dicirikan dengan adanya keterlibatan sel TH2 dan IgE (Bogaert, Tournoy, Naessens, and Grooten,


(28)

2009). Reaksi hipersensitivitas adalah adanya reaksi berlebih tubuh terhadap antigen. Comb dan Gell membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe (Janeway, 2001). Asma merupakan salah satu contoh manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang bersifat anafilaksis lokal, artinya reaksi hanya terjadi pada jaringan atau organ spesifik dan umumnya diturunkan, disebut sebagai atopi. Paparan alergen pertama kali akan menyebabkan aktivasi sel TH2 dan menstimulasi sel B untuk memproduksi IgE. IgE akan membentuk ikatan dengan reseptor Fc pada sel mast maupun basofil, yang disebut sensitisasi (Abbas, Lichtman, and Pillai, 2007). Paparan alergen selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya crosslinking pada ikatan IgE yang akan mengaktivasi sel mast. Degranulasi sel mast memicu pelepasan mediator dari sel mast yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot halus, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan vasodilatasi (Kindt, Osborne, and Goldsby, 2006).

. Gambar 1. Mekanisme umum reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Abbas, Lichtman, and Pillai, 2007)


(29)

8

Patofisiologi asma secara umum dibagi menjadi 2, yaitu inflamasi dan airway remodelling. Berdasarkan derajat inflamasinya, asma dibagi menjadi inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut terdiri dari reaksi asma tipe cepat dan reaksi asma tipe lambat. Pada reaksi asma tipe cepat, alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan mediatorseperti histamin, protease, leukotrin, prostaglandin, dan PAF (platelete activating factor) yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi. Reaksi asma tipe lambat timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil, dan makrofag. Pada inflamasi kronik berbagai sel terlibat dan teraktivasi, antara lain limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus (Kelly and Sorkness, 2008; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)


(30)

Proses inflamasi pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan yang menghasilkan perbaikan dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, diferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, dan kelenjar mukus (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).


(31)

10

Gambar 3. Ilustrasi kondisi patologis bronkus normal dibandingkan dengan bronkus asma akibat inflamasi dan airway remodeling

(Kelly and Sorkness, 2008)

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit, maupun pola keterbatasan aliran udara. GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Berbeda dengan GINA, Pedoman Nasional Asma Anak (2003) membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas diluar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang (Supriyatno, 2005).

Pasien asma yang datang ke rumah sakit umumnya merupakan pasien yang sedang mengalami eksaserbasi atau yang lebih umum disebut sebagai


(32)

serangan asma/asma akut. Berdasarkan tingkat keparahan serangannya, asma diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel I. Klasifikasi asma menurut derajat serangan (Global Initiative for Asthma, 2012)

Parameter Klinis, Fungsi

Faal Paru, Laboratorium

Klasifikasi Asma

Ringan Sedang Berat Ancaman Henti Napas Sesak napas berjalan berbicara

bayi: tangis pendek dan lemah, sulit makan

istirahat bayi: tidak mau makan/minum

Posisi dapat berbaring duduk duduk membungkuk

Bicara satu kalimat beberapa kata kata demi kata

Kesadaran mungkin gelisah biasanya gelisah biasanya gelisah gelisah, kesdaran menurun

Sianosis tidak ada tidak ada ada nyata

Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi

nyaring, sepanjang ekspirasi  inspirasi

sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sulit/tidak terdengar Penggunaan otot batu respiratorik

biasanya tidak biasanya ya ya gerakan paradok-torako-abdominal

Retraksi dangkal, retraksi interkostal

sedang, ditambah retraksi suprasternal

dalam, ditambah napas cuping hidung

dangkal/hilang

Frekuensi napas

takipnea takipnea takipnea bradipnea

pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar usia frekuensi napas normal per menit

< 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun 6-8 tahun < 60 < 50 < 40 < 30

Frekuensi nadi normal takikardi takikardi bradikardi

pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak usia frekuensi nadi normal per menit

2-12 bulan 1-5 tahun 6-8 tahun < 160 < 120 < 110 Pulsus paradoxus

tidak ada (< 10 mmHg)

ada (10-20 mmHg) ada (> 20 mmHg) tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

FEV1 pra

bronkodilator >60% 40-60% < 40% pasca

bronkodilator >80% 60-80%

< 60%, respon < 2 jam

SaO2% >95% 91-95% ≤ 90% PaO2 normal >60 mmHg < 60 mmHg PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg >45 mmHg


(33)

12

B.Terapi Asma

Tujuan utama terapi asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien asma sehingga pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa adanya hambatan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2007).

Sasaran terapi asma yaitu gejala asma, bronkokonstriksi, inflamasi saluran napas, obstruksi jalan napas, serta frekuensi dan keparahan asma (Bollmeier and Prosser, 2009; Jansen and Killian, 2006).

Terapi non farmakologi utama yang harus diberikan pada pasien asma adalah edukasi disertai dengan melatih pasien untuk melakukan manajemen asma (Global Initiative for Asthma, 2012; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Pada umumnya terapi asma secara farmakologi dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan tujuan terapinya, yaitu:

1. Controller medications, yaitu obat-obatan yang digunakan untuk pemeliharan. Obat pada kategori ini bekerja dengan mengurangi inflamasi pada jalan napas, mengurangi gejala, serta mengurangi risiko terjadinya serangan. Kortikosteroid inhalasi, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama, dan antihistamin generasi kedua merupakan contoh obat kategori ini.

2. Reliever medications, yaitu obat-obatan yang digunakan untuk meredakan gejala, termasuk perburukan maupun serangan asma. Obat kategori ini juga direkomendasikan untuk pencegahan bronkokonstriksi karena aktivitas fisik. Contoh obat kategori ini antara lain agonis beta-2 kerja cepat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, dan aminofilin.

(Global Initiative for Asthma, 2012, Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).


(34)

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

Dirawat di ICU

Bila tidak perbaikan selama 6-12 jam Pulang

Bila APE >60% prediksi/terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak Perbaikan Perbaikan

Dirawat di ICU

Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik Kortikosteroid IV

Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV

Aminofilin drip

Mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik Dirawat di RS

Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip  Terapi oksigen

pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi Pantau APE, saturasi O2,

nadi, kadar teofilin Pulang

Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2

 Membutuhkan kortikosteroid oral  Edukasi pasien

- Memakasi obat yang benar

- Ikuti rencana

pengobatan selanjutnya

Respons buruk dalam 1 jam  Risiko tinggi distress

Pemeriksaan fisik berat, gelisah dan kesadaran menurun  APE < 30%

PaCO2 <45 mmHg, PaO2<60mmHg

 Respons tidak sempurna

Risiko tinggi distress Pemeriksaan fisik gejala

ringan-sedang APE >50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan

Respons baik

Respons baik dan stabil dalam 60 menit  Pemeriksaan fisik normal APE > 70% prediksi/nilai

terbaik

Penilaian ulang setelah 1 jam

Pemeriksaan fisik, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Pengobatan Awal

 Oksigenasi dengan anul nasal

Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam atau agonis beta-2 injeksi (terbutalin 0,5 mL subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 mL subkutan

 Kortikosteroid sistemik: - Serangan asma berat

- Tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator - Dalam kortikosteroid oral

Serangan Asma Mengancam Jiwa Serangan Asma Sedang/Berat

Serangan Asma Ringan

Penilaian awal Riwayat dan pemeriksaan fisik

(auskultasi, otot bantu napas, denyut, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), dan


(35)

14

Tatalaksana terhadap serangan dan perawatan asma di fasilitas pelayanan kesehatan yaitu dengan terlebih dulu menilai tanda vital dan fisik pasien untuk menentukan tingkat keparahan serangan sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai berdasarkan derajat serangannya (Global Initiative for Asthma, 2012; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

C.Pasien Anak

Kesehatan anak merupakan aspek penting dalam kehidupan anak karena mereka dapat mengembangkan dan mewujudkan potensi, memenuhi kebutuhan mereka, dan mengembangkan kapasitas yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan baik secara biologis, fisik, dan lingkungan sosial (National Research Council and Institute of Medicine, 2004).

Pada pasien anak, fungsi fisiologis tubuh tidak sama dengan pasien dewasa sehingga farmakokinetika obat pada kelompok pasien anak tidak dapat disamakan dengan pasien dewasa. Kelompok pasien anak memerlukan penyesuaian dosis supaya farmakokinetika obat berjalan baik dan diperoleh efek terapi yang diharapkan (Food and Drug Administration, 1998).

D.Drug Related Problems

Drug related problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan terjadi pada pasien dalam proses terapi dengan menggunakan obat yang secara aktual maupun potensial menghambat hasil terapi yang diinginkan


(36)

(Pharmaceutical Care Network Europe, 2010; Cipolle, et al., 2004). DRP aktual adalah masalah yang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien, sedangkan DRP potensial adalah masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan pasien (Cipolle, et al., 2004).

DRPs dibagi menjadi beberapa kategori yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut:

a. Obat tidak dibutuhkan dapat disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang sesuai dengan obat yang diberikan, menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang lebih cocok mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain, penyalahgunaan obat.

b. Membutuhkan terapi obat tambahan dapat disebabkan oleh munculnya kondisi baru selain penyakit utama yang membutuhkan terapi, diperlukan terapi obat yang bersifat preventif untuk mencegah risiko perkembangan keparahan kondisi, kondisi medis yang membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis maupun efek tambahan.

c. Obat kurang efektif disebabkan oleh kondisi medis sukar disembuhkan dengan obat tersebut, bentuk sediaan obat tidak sesuai, kondisi medis yang tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan, dan produk obat yang diberikan bukan yang paling efektif untuk mengatasi indikasi penyakit.


(37)

16

d. Dosis kurang umumnya disebabkan karena dosis terlalu rendah untuk dapat menimbulkan respon yang diharapkan, interval pemberian kurang untuk menimbulkan respon yang diinginkan, durasi terapi obat terlalu pendek untuk dapat menghasilkan respon, serta interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif.

e. Efek samping obat dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor risikonya, regimen dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang diberikan menyebabkan alergi, dan obat yang diberikan dikontraindikasikan karena faktor risikonya.

f. Dosis berlebih disebabkan oleh dosis obat yang diberikan terlalu tinggi, dosis obat dinaikkan terlalu cepat, frekuensi pemberian obat terlalu pendek, durasi terapi pengobatan terlalu panjang, serta interaksi obat yang menyebabkan terjadinya reaksi toksisitas.

g. Ketidakpatuhan pasien umumnya disebabkan karena pasien tidak memahami aturan pemakaian, pasien lebih suka tidak menggunakan obat, pasien lupa untuk menggunakan obat, obat terlalu mahal bagi pasien, pasien tidak dapat menelan obat atau menggunakan obat sendiri secara tepat, dan obat tidak tersedia bagi pasien.

(Cipolle, et al., 2004).


(38)

E.Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai DRPs pada pengobatan pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013.


(39)

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 merupakan penelitian observasional deskriptif dengan rancangan case series dan pengambilan data yang bersifat retrospektif.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional karena dilakukan penggalian informasi secara sederhana melalui sumber data yang telah tersedia yaitu rekam medis pasien (World Health Organization, 2001). Penelitian deskriptif dilakukan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data, serta tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis (Arikunto, 2006; World Health Organization, 2001). Case series merupakan kumpulan dari kasus yang sama dengan suatu kondisi dalam periode waktu tertentu yang kemudian dievaluasi dan dideskripsikan hasil klinisnya (Strom and Kimmel, 2006). Penelitian ini dilakukan dengan data retrospektif karena data diperoleh melalui penelusuran dokumen terdahulu, yaitu lembar rekam medis pasien anak dengan asma.

B.Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah pola peresepan dan DRPs pada pasien anak dengan diagnosis asma.


(40)

C.Definisi Operasional

1. Pola pengobatan merupakan terapi farmakologis yang diterima subjek penelitian selama dirawat di instalasi rawat inap anak RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 meliputi jenis obat dan rute penggunaan obat.

2. DRPs yang dikaji pada penelitian ini meliputi 6 kategori, yaitu obat tidak dibutuhkan, membutuhkan obat tambahan, obat kurang efektif, dosis kurang, dosis berlebih, dan efek samping obat.

3. DRPs yang ditemui dikelompokkan berdasarkan jenisnya yaitu aktual dan potensial. DRPs aktual merupakan masalah yang terjadi selama terapi pengobatan yang diterima pasien yang dilihat dari data-data yang tertera pada rekam medis. DRPs potensial merupakan masalah yang dimungkinkan terjadi selama terapi pengobatan yang diterima pasien yang dapat diketahui dari berbagai literatur penunjang berkaitan dengan pengobatan yang diterima pasien.

4. Evaluasi DRPs adalah penilaian mengenai permasalahan yang timbul selama penggunaan obat pada pasien anak dengan diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 dengan menggunakan metode SOAP (subjective, objective, assessment, plan) menggunakan acuan Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009), Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003), Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


(41)

20

1023/MENKES/SK/XI/2008 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008), Global Strategy for Asthma Management and Prevention (Global Initiative for Asthma, 2012), Pocket Book of Hospital Care for Children (World Health Organization 2013), Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma (National Asthma Education and Preventive Program, 2007), British Guideline on the Management of Asthma (British Thoracic Society, 2012). Acuan utama yang digunakan sebagai dasar evaluasi pada penelitian ini adalah acuan lokal (Indonesia) yang kemudian disesuaikan lebih lanjut dengan acuan internasional/global.

Metode SOAP merupakan suatu strategi dalam analisis catatan medis berdasarkan masalah kesehatan pasien. Metode ini terdiri dari 4 elemen, yaitu: subjective (S): berisi informasi subjektif dalam rekam medis; objective (O): berisi data yang dimasukkan ke dalam catatan kesehatan seperti beberapa hasil tes, prosedur dan evaluasi; data ini dapat berupa tanda vital, temuan pemeriksaan fisik, hasil X-ray, ECG, dan lain-lain; obat juga termasuk dalam informasi objektif; assessment (A): mengacu pada informasi subjektif dan objektif yang harus digunakan untuk mengembangkan rencana terapi; plan (P): mencakup semua rekomendasi selama analisis, menetapkan perubahan obat dan strategi yang dipilih, tujuan yang akan dicapai dan parameter yang harus dipantau (Becerra, Martinez, Bohorquez, Guevara, and Ramirez, 2012). Pada penelitian ini bagian plan diganti menjadi recommendation karena penelitian ini menggunakan pendekatan secara retrospektif sehingga analisis yang dilakukan bertujuan untuk memberikan rekomendasi atas masalah yang terjadi.


(42)

D.Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah kasus pasien anak dengan diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu kasus dengan usia pasien ≤ 12 tahun dengan diagnosis asma yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 dan menerima terapi farmakologis. Kriteria eksklusi dari penelitian ini yaitu kasus pasien asma anak dengan penyakit penyerta, seperti TB paru, bronkitis, dan pneumonia, serta rekam medis pasien asma anak rawat inap yang kurang lengkap dan sulit terbaca.

E.Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar rekam medis rawat inap pasien anak dengan diagnosis asma di RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah form yang digunakan saat proses pengambilan data dari lembar rekam medis pasien anak dengan asma yang dirawat inap di RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013. Form ini memuat informasi subjektif dan objektif selama pasien menjalani rawat inap.


(43)

22

G.Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 8 sampai 18 Juli 2014 di Bagian Rekam Medis RS RK Charitas Palembang Jalan Jendral Sudirman No. 1054 Palembang, Sumatera Selatan.

H.Tata Cara Penelitian

1. Persiapan

Pada tahap ini dilakukan survei jumlah pasien asma anak yang menjalani rawat inap di RS RK Charitas Palembang pada tahun 2013 kemudian dilakukan pengurusan izin untuk melakukan penelitian di RS RK Charitas Palembang. 2. Analisis Situasi

Pada tahap ini dilakukan pemastian apakah data yang diambil telah memadai untuk dilakukan evaluasi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan data yang diambil dari beberapa kasus kemudian dilakukan evaluasi atas data tersebut. 3. Pengumpulan Data

a. Penelusuran data

Proses ini dilakukan dengan melihat print out dari bagian rekam medis RS RK Charitas Palembang yang selanjutnya dilakukan penelusuran berdasarkan nomor rekam medis pasien asma anak periode Juli-Desember 2013. Berdasarkan hasil print out dari bagian rekam medis, terdapat 37 rekam medis asma pada pasien anak, namun hanya ditemukan 33 lembar rekam medis. Dari 33 rekam medis asma anak yang ada, 25 kasus memenuhi kriteria inklusi sementara sisanya


(44)

merupakan kasus asma dengan penyakit penyerta lainnya maupun rekam medis dengan data kurang lengkap.

Gambar 5. Skema pemilihan subjek penelitian di RS RK Charitas Palembang

b. Pengambilan data

Proses ini dilakukan dengan menyalin data yang ada di lembar rekam medis pasien asma anak rawat inap di RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013 meliputi identitas pasien, diagnosis, keluhan utama, tanggal rawat, riwayat penyakit dan penggunaan obat, status keluar, hasil pemeriksaan, catatan keperawatan dan perkembangan pasien, serta terapi farmakologis yang diberikan pada pasien. Informasi mengenai terapi farmakologis dalam penelitian ini disajikan dalam nama generik.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk diagram dan tabel.


(45)

24

I. Tata Cara Analisis Hasil

1. Karakteristik pasien

a. Distribusi pasien anak berdasarkan kelompok umur dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu infant (< 1 tahun), balita (1-5 tahun) dan anak-anak (6-12 tahun) dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kelompok umur per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

b. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan, dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kelompok jenis kelamin per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

2. Pola pengobatan

a. Persentase jenis obat yang diberikan pada pengobatan asma diperoleh dengan menghitung jumlah kasus yang mendapat jenis obat tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

Penggunaan obat pada pasien dikelompokkan menurut kelas terapi berdasarkan MIMS Indonesia.

b. Persentase rute pemberian obat yang diberikan pada pengobatan asma diperoleh dengan menghitung jumlah kasus yang mendapat rute obat tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%. Adapun rute pemberian obat dibagi menjadi 2, yaitu enteral dan parenteral.

3. Evaluasi DRPs dilakukan dengan menggunakan metode SOAP. Bagian subjective (S) berisi informasi jenis kelamin, usia, diagnosis, keluhan utama, status alergi, riwayat penyakit dan penggunaan obat, tanggal rawat, serta status


(46)

keluar. Bagian objective (O) memaparkan data pemeriksaan fisik, laboratorium, tanda vital dan tata laksana obat yang diberikan pada pasien selama perawatan. Bagian assessment (A) menjabarkan penilaian adanya DRPs pada pasien, kemudian rekomendasi selanjutnya dijelaskan di bagian plan (P)/recommendation.

4. DRPs dirangkum dengan mengelompokkan kasus ke dalam enam kategori (obat tidak dibutuhkan, membutuhkan obat tambahan, dosis kurang, dosis berlebih, obat kurang efektif, dan efek samping obat) yang kemudian dihitung persentase temuan DRPs dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kategori DRPs per jumlah keseluruhan kasus DRP dikali 100%.

J. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah evaluasi DRPs yang dilakukan hanya berdasarkan data yang tertera di lembar rekam medis karena tidak dilakukan konfirmasi ke dokter penulis resep, perawat, maupun apoteker setempat. Pada penelitian retrospektif, perkembangan dan kondisi pasien sebenarnya yang berkaitan dengan analisis DRPs tidak dapat diamati lebih lanjut. Konfirmasi ke dokter, perawat, maupun apoteker tidak dapat dilakukan karena sulit mendapatkan akses untuk melakukan konfirmasi. Tidak adanya konfirmasi ke tenaga kesehatan ini menyebabkan analisis DRPs terbatas pada data yang tertera dalam lembar rekam medis saja tanpa mengetahui alasan maupun tujuan pemilihan terapi oleh tenaga kesehatan lain tersebut. Analisis DRPs sebaiknya dilakukan dengan menggunakan konfirmasi kepada tenaga kesehatan lain agar tidak terjadi


(47)

26

perbedaan pandangan dalam penilaian DRPs. Keterbatasan lain yaitu kesulitan dalam membaca rekam medis yang disebabkan oleh tulisan yang kurang jelas terbaca dan adanya rekam medis yang kurang lengkap mencantumkan informasi yang dibutuhkan peneliti.


(48)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Karakteristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan usia

Pasien asma anak yang diteliti dikelompokkan menjadi infant (< 1 tahun), balita (1-5 tahun), dan anak (6-12 tahun). Distribusi pasien asma anak berdasarkan kategori usia dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Distribusi pasien berdasarkan usia pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013 (n=25)

Gambar 6 menunjukkan bahwa pasien anak yang dirawat inap didominasi oleh pasien usia 1-5 tahun sebanyak 64%, diikuti dengan 20% anak usia 6-12 tahun, dan 16% kelompok pasien usia < 1 tahun. Pada dasarnya asma dapat menyerang berbagai usia, namun secara prinsip asma merupakan penyakit pediatrik. Pada umumnya asma terjadi pada 5 tahun awal kehidupan dan 50%

16%

64% 20%

Infant (< 1 tahun) Balita (1-5 tahun) Anak (6-12 tahun)


(49)

28

anak memiliki gejala asma sejak usia 2 tahun (Kelly and Sorkness, 2008). Pada usia dini, asma dapat disebabkan oleh atopi maupun adanya infeksi virus (Global Initiative for Asthma, 2014).

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Gambar 7. Distribusi pasien anak dengan asmaberdasarkan jenis kelamin pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013 (n=25)

Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan ada 60% pasien anak laki-laki dan 40% pasien anak perempuan yang dapat dilihat pada gambar 7. Onset terjadinya asma lebih cepat pada laki-laki daripada perempuan (Global Initiative for Asthma, 2014). Anak laki-laki dengan usia kurang dari 10 tahun lebih banyak terserang asma daripada pada perempuan, selama masa remaja tingkat kejadiannya hampir sama, dan pada usia lanjut kejadian ini akan lebih tinggi pada wanita (American Lung Association, 2006).

60% 40%

Laki-Laki Perempuan


(50)

29

B. Pola Pengobatan 1. Jenis Obat

Gambaran umum distribusi penggunaan obat pada pasien asma rawat inap berdasarkan kelas terapi menurut MIMS Indonesia disajikan pada Tabel II. Penggunaan obat terbanyak adalah kelas terapi obat yang bekerja pada sistem pernapasan, vitamin dan mineral, dan kortikosteroid.

Tabel II. Profil penggunan obat pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013

Kelas Terapi Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Sistem pernapasan 25 100

Kortikosteroid 25 100

Vitamin dan mineral 25 100

Antiinfeksi 20 80

Sistem saraf pusat 5 20

Alergi dan sistem imun 2 8

Sistem gastrointestinal dan hepatobilier 3 12

a. Sistem pernapasan

Obat saluran pernapasan merupakan terapi utama dalam pengobatan pasien asma anak dengan indikasi untuk meredakan gejala maupun gangguan pada saluran pernapasan (Handayani, 2010). Obat yang bekerja pada sistem pernapasan yang digunakan pada penelitian ini yaitu golongan preparat antiasma dan PPOK serta obat batuk dan pilek. Preparat antiasma dan PPOK yang digunakan dalam penelitian ini adalah salbutamol, teofilin, aminofilin, kombinasi salbutamol dan ipratropium bromida serta kombinasi salbutamol dan guaifenesin. Salbutamol merupakan beta-2 adrenergik kerja cepat yang berfungsi sebagai


(51)

30

bronkodilator yang dapat memperbaiki jalan napas sehingga gejala sesak napas dapat berkurang (Kelly and Sorkness, 2008; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Mekanisme kerja beta-2 agonis yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan mucociliary clearance, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Aminofilin dan teofilin juga dapat berfungsi sebagai bronkodilator. Aminofilin intravena dapat digunakan pada tata laksana serangan asma berat dengan memperhatikan dosis awal dan dosis rumatan (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009). Konsentrasi teofilin dalam darah harus diperhitungkan untuk menghindari toksisitas akibat penggunaan teofilin dan garamnya (aminofilin) karena kedua obat ini memiliki indeks terapi yang sempit. Toksisitas akibat penggunaan obat ini dapat dihindari dengan pemberian dosis yang tepat dan pemantauan kadar teofilin darah.

Antikolinergik merupakan bronkodilator yang efektif walaupun tidak seefektif beta-2 adrenergik kerja cepat. Mekanisme dari obat antikolinergik adalah menghambat secara kompetitif pada reseptor muskarinik M3 sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi dan pengurangan volume sputum (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010; Kelly and Sorkness, 2008). Bronkodilator juga dapat meningkatkan cough clearance melalui peningkatan aliran udara ekspirasi (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010). Antikolinergik yang digunakan dalam penelitian ini adalah ipratoprium bromida.


(52)

31

Guaifenesin umumnya digunakan sebagai ekspektoran. Guaifenesin menunjukkan manfaat dalam terapi hipersekresi mukus melalui penurunan sekresi mucin dan peningkatan mucociliary clearance (Seagrave, Albrecht, Hill, Rogers, and Salomon, 2012). Guaifenesin dapat menurunkan kekentalan mukus (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010).

Obat yang termasuk golongan obat batuk dan pilek menurut MIMS Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini adalah ambroksol HCl, bromheksin HCl, serta erdostein. Ambroksol dapat menstimulasi produksi surfaktan yang menyebabkan terjadinya penurunan adesifitas mukus (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010). Erdostein memiliki potensi dapat modulasi produksi mukus dan meningkatkan mucociliiary clearance (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010). Gambaran penggunaan obat yang bekerja pada sistem pernapasan dapat dilihat pada Tabel III.

Tabel III. Penggunaan obat yang bekerja pada sistem pernapasan pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Preparat antiasma dan PPOK

Salbutamol 22 88

Teofilin 6 24

Aminofilin 8 32

Kombinasi Salbutamol

dan Ipratropium Bromida 5 20

Kombinasi Salbutamol

dan Guaifenesin 7 28

Obat batuk dan pilek

Ambroksol HCl 7 28

Erdostein 3 12


(53)

32

b. Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada jalan napas. Obat golongan kortikosteroid umumnya diberikan saat pasien tidak menunjukkan perkembangan setelah pemberian beta-2 adrenergik kerja cepat saat serangan (Global Initiative for Asthma, 2014). Kortikosteroid merupakan agen antiinflamasi yang paling efektif dalam pengobatan asma. Kerja kortikosteroid dalam pengobatan asma antara lain dengan meningkatkan jumlah reseptor beta-2 adrenergik dan meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap stimulasi beta-2 adrenergik, mengurangi produksi dan hipersekresi mukus, mengurangi hipersensitivitas bronkus, dan mengurangi edema jalan napas (Kelly and Sorkness, 2008). Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk semua pasien asma akut parah yang tidak mengalami perbaikan setelah pemberian inhalasi beta-2 adrenergik, penggunaannya dapat dikombinasikan dengan bronkodilator lain (Kelly and Sorkness, 2008; Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Kortikosteroid yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah deksametason. Deksametason merupakan analog glukokortikoid yang memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif yang poten dengan efek samping penggunaan jangka panjang berupa obesitas, moon face, dan osteroporosis (Nugroho, 2011). Gambaran penggunaan obat kortikosteroid pada penelitian ini disajikan dalam tabel IV.


(54)

33

Tabel IV. Penggunaan kortikosteroid pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Kortikosteroid Deksametason 24 96

Metilprednisolon 3 12

Flutikason 3 12

Budenosid 2 8

Prednison 1 4

Triamsinolon 1 4

c. Vitamin dan mineral

Penggunaan vitamin dan mineral pada penelitian ini adalah 100% dari total kasus yang diteliti. Elektrolit dan mineral yang diberikan secara intravena banyak digunakan pada pasien asma anak karena bertujuan untuk mencegah dehidrasi pada pasien, sementara multivitamin berfungsi untuk pemeliharaan kondisi tubuh pasien. Distribusi penggunaan obat vitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel V.

Tabel V. Penggunaan vitamin dan mineral pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Elektrolit dan mineral KAEN 1B® 20 80

RL® 5 20

KAEN 3A® 1 4

Multivitamin Proza® 1 4


(55)

34

d. Antiinfeksi

Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi digunakan sebanyak 76% pada total kasus yang diteliti. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah antibiotik. Penggunaan antibiotik umumnya ditujukan untuk mencegah maupun mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Penggunaan antibiotik pada pasien asma anak tidak disarankan jika anak tidak mengalami demam (Global Initiative for Asthma, 2014; World Health Organization, 2013). Distribusi penggunaan obat antiinfeksi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel VI.

Tabel VI. Penggunaan obat antiinfeksi pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013 Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Penisilin Amoxicillin 1 4

Sefalosporin Ceftriaxon 6 24

Ceftazidim 2 8

Aminoglikosida Gentamisin 8 32

Amikasin 1 4

Makrolida Azitromisin 1 4

Spiramisin 3 12

Kloramfenikol Tiamfenikol 1 4

e. Sistem saraf pusat

Penggunaan obat sistem saraf pusat adalah sebanyak 20% pada kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan adalah parasetamol yang merupakan analgesik dan antipiretik. Parasetamol merupakan analgesik


(56)

35

dan antipiretik yang memiliki potensi yang mirip dengan NSAID, namun tidak memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi (Jozwiak-Bebenista and Nowak, 2014).

f. Alergi dan sistem imun

Antihistamin bekerja dengan menghambat aksi histamin pada reseptor histamin (Nugroho, 2011). Obat golongan antihistamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetirizin HCl yang umum digunakan pada pengobatan asma alergi (Nugroho, 2011) dan triprolidin yang keduanya merupakan H-1 blocker. Triprolidin merupakan antihistamin H-1 generasi pertama, sementara cetirizin merupakan generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya tidak digunakan pada pasien asma karena memiliki aksi antimuskarinik yang dapat menyebabkan efek mulut kering dan penggunaan obat ini dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan gejala penyempitan bronkus (Scoor, 2012; Balsamo, Lanata, and Egan, 2010; Camelo-Nunes, 2006). Distribusi penggunaan obat alergi dan sistem imun dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Penggunaan obat alergi dan sistem imun pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Antihistamin dan antialergi Triprolidin 1 4


(57)

36

g. Sistem gastrointestinal dan hepatobilier

Obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier digunakan sebanyak 12% pada kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan yaitu ranitidin yang termasuk dalam kelompok obat antasida, obat antirefluks dan ulserasi. Ranitidin merupakan H-2 blocker yang bekerja dengan menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H-2 pada sel parietal mukosa lambung (Nugroho, 2011). Umumnya obat golongan ini digunakan untuk pengobatan pada tukak peptik dan refluks gastrointestinal. L-Bio® merupakan digestan yang diindikasikan untuk memelihara kesehatan fungsi saluran pencernaan. Distribusi penggunaan obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier dapat dilihat pada tabel VIII.

Tabel VIII. Penggunaan obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas

Palembang periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Antasida, obat antirefluks,

dan ulserasi Ranitidin 2 8

Digestan L-Bio® 1 4

2. Rute Pemberian Obat

Gambaran umum penggunaan obat berdasarkan rute pemberian dapat dilihat pada tabel IX. Seluruh kasus dalam penelitian ini menggunakan obat dengan rute pemberian enteral maupun parenteral. Obat yang diberikan secara enteral yang diberikan dalam penelitian ini umumnya adalah obat yang bersifat


(58)

37

sebagai controller maupun obat untuk mengurangi gejala asma yang diberikan secara per oral. Obat parenteral digunakan karena kondisi pasien yang umumnya dirawat inap karena serangan asma sehingga pemberian oral sulit dilakukan. Obat parenteral diberikan karena dapat memberikan efek yang cepat. Rute parenteral intravena diberikan untuk merehidrasi pasien sehingga kebutuhan cairan pasien tercukupi. Obat diberikan secara inhalasi dengan tujuan agar lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal atau dihindarkan, dan ada beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003). Obat dengan rute inhalasi pada penelitian ini diberikan melalui nebulisasi.

Tabel IX. Penggunaan obat berdasarkan rute pemberian pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013 Rute Pemberian Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase (%)

Enteral 25 100

Parenteral 25 100

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

Identifikasi Drug Related Problems pada penelitian ini dilakukan dengan mengevaluasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan obat pada pasien asma anak di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013. Kasus yang dievaluasi kemudian dimasukkan dalam kategori DRPs yaitu butuh tambahan obat, obat tidak dibutuhkan, obat kurang efektif, dosis kurang, efek samping obat, dan dosis berlebih.


(59)

38

Analisis DRPs dilakukan dengan menggunakan data penggunaan obat dan catatan keperawatan pasien. DRPs yang didapati pada 25 kasus yang masuk dalam kriteria inklusi penelitian ini yaitu 100% efek samping obat, 56% dosis kurang, 28% obat tidak dibutuhkan, 16% dosis berlebih, dan 4% membutuhkan obat tambahan. Pada umumnya 1 kasus memiliki lebih dari 1 kejadian DRPs. Tabel X berikut menyajikan gambaran DRPs yang ditemui pada pasien asma anak.

Tabel X. Gambaran DRPs pada pasien anak dengan asma di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013

No Jenis DRPs Nomor Kasus

(seperti lampiran)

Jumlah Kasus (n=25)

Persentase (%)

1 Efek samping obat semua kasus 25 100

2 Dosis kurang 2, 4, 5, 6. 7, 9, 11, 12,13,14, 15, 18, 19, 21

14 56

3 Obat tidak

dibutuhkan 5, 10, 15, 16,17, 24, 25

7 28

4 Dosis berlebih 5, 6, 16, 18 4 16

5 Membutuhkan obat

tambahan 25

1 4

6 Obat kurang efektif - 0 0

Catatan: Penilaian DRPs ini berdasarkan data yang tercantum di lembar rekam medis yang tidak dikonfirmasi dengan dokter penulis resep maupun perawat yang merawat pasien. Pembahasan lebih mendalam tiap kasus dapat dilihat di Lampiran

1. Efek Samping Obat

Efek samping obat dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor risikonya, regimen dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang diberikan menyebabkan alergi, dan obat yang diberikan dikontraindikasikan karena faktor risikonya. Pada penelitian ini semua kasus


(60)

39

(100%) mengalami DRPs kategori efek samping obat yang disebabkan karena adanya interaksi obat dan pemberian obat yang berisiko menyebabkan perburukan.

Pada semua kasus DRPs yang dievaluasi ditemui interaksi antara kortikosteroid dan salbutamol yang bersifat potensial. Kombinasi antara kortikosteroid dan salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia (Baxter, 2010). Penggunaan salbutamol tunggal dapat menyebabkan hipokalemia dan dapat meningkatkan risiko ini karena adanya obat yang mendeplesi kalium seperti kortikosteroid. Kombinasi kedua jenis obat ini memerlukan pemantauan khususnya dalam kadar kalium dalam serum. Kombinasi antara β2 agonis dan kortikosteroid dalam manajemen asma umumnya bersifat menguntungkan (Baxter, 2010).

Pada kasus 2, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 14, 16, 18, 21, dan 25 ditemui interaksi obat pada kombinasi antara kortikosteroid dan teofilin serta teofilin dan salbutamol yang dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi (Baxter, 2010). Jenis DRPs yang ditemui adalah potensial. Hipokalemia merupakan kondisi kadar kalium dalam serum < 3,5 mEq/L. Hipokalemia dicirikan dengan adanya perubahan pada fungsi otot dan kardiovaskuler karena adanya hiperpolarisasi membran dan gangguan kontraksi otot (Daly and Farrington, 2013). Depresi pernapasan karena gangguan parah pada otot skeletal dapat terjadi karena deplesi kalium parah (Schaefer and Wolford, 2005).

Teofilin dan kortikosteroid memainkan peranan penting dalam manajemen asma dan penggunaannya secara bersamaan umum dilakukan dan


(61)

40

memberikan keuntungan. Kedua obat ini dapat menyebabkan hipokalemia yang mungkin bersifat aditif. Pada pemakaian kedua obat ini perlu dipertimbangkan pemantauan berdasarkan tingkat keparahan pasien dan jumlah obat yang dapat menyebabkan deplesi kalium yang digunakan oleh pasien (Baxter, 2010).

Penggunaan secara bersamaan antara salbutamol dan teofilin merupakan pilihan yang cukup baik dalam manajemen asma, namun terdapat potensiasi terjadinya efek samping. Komplikasi yang paling serius yang ditimbulkan adalah hipokalemia dan takikardia (Baxter, 2010). Pemantauan kadar kalium juga diperlukan pada penggunaan kombinasi obat ini.

Pada kasus 6, 7, 12, 19, 21 dan 22 ditemui DRPs kategori efek samping obat yang bersifat potensial akibat pemberian mukolitik yang dapat memperburuk obstruksi jalan napas dan batuk, khususnya pada asma parah (Global Initiative for Asthma, 2011; Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003). Mukolitik pada umumnya digunakan sebagai pengencer dahak, namun tidak menunjukkan manfaat yang berarti pada penggunaan pada pasien asma bahkan cenderung menimbulkan perburukan (Rogers, 2002). Jenis DRPs yang ditemui adalah potensial. Pemantauan terhadap tanda vital dan kadar obat dalam darah pasien diperlukan untuk pencegahan maupun langkah awal pengatasan efek samping obat yang mungkin terjadi.


(62)

41

Tabel XI. Kejadian DRPs efek samping obat pada pasien anak dengan asma pada pasien asma anak di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

No. Kasus Assessment Jenis

DRPs Recommendation

Semua kasus Kombinasi antara kortikosteroid dan salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia (Baxter, 2010).

Potensial

Perlu dilakukan pemantauan kadar kalium

2, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 14, 16, 18, 21, 25

interaksi obat pada kombinasi antara kortikosteroid dan teofilin dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi (Baxter, 2010).

Potensial - Perlu dilakukan pemantauan kadar kalium

- Perlu dilakukan pemantauan denyut nadi

- Perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin darah

2, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 14, 16, 18, 21, 25

interaksi obat pada kombinasi antara salbutamol dan teofilin dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi (Baxter, 2010).

Potensial - Perlu dilakukan pemantauan kadar kalium

- Perlu dilakukan pemantauan denyut nadi

- Perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin darah

6, 7, 12, 19, 21, 22

pemberian mukolitik yang dapat memperburuk obstruksi jalan napas dan batuk, khususnya pada asma parah (Global Initiative for Asthma, 2011; Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Potensial Perlu dilakukan pemantauan respiration rate

2. Dosis Kurang

Pada penelitian ini terdapat 14 kasus yang memuat DRPs kategori dosis kurang yang bersifat aktual. DRPs kategori dosis kurang ini ditemui akibat dosis pemberian aminofilin dan kortikosteroid di bawah dosis terapi.

Aminofilin merupakan bentuk kompleks dari teofilin yang termasuk golongan metilsantin. Obat ini digunakan sebagai bronkodilator yang


(63)

42

umumnya diberikan secara parenteral pada serangan asma berat dengan dosis awal aminofilin 6-8 mg/kg BB diberikan selama 20-30 menit dan dosis rumatan 5mg/kg/6jam (World Health Organization, 2013; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Pemberian aminofilin dengan dosis kurang ditemui pada kasus 2, 5, 7, 9, 11, 13, 14, dan 21 yang dapat dilihat pada lampiran. Pemberian aminofilin dengan dosis kurang dapat menyebabkan onset obat ini akan semakin lama sehingga efek bronkodilatasi akan lebih lama terjadi. Aminofilin merupakan obat dengan indeks terapi sempit sehingga perlu hati-hati dalam pemberian dosis yang tepat.

Kortikosteroid efektif digunakan dalam manajemen asma karena dapat mengurangi inflamasi jalan napas. Pemberian kortikosteroid secara oral sama efektif dengan pemberian secara intravena. Kortikosteroid intravena dapat diberikan pada pasien dengan serangan berat atau tak mampu menelan dengan dosis pemberian 0,5-1 mg/kgBB/hari (Global Initiative for Asthma, 2014; BMJ Group, 2011; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Pemberian dosis kortikosteroid intravena yang kurang dari dosis terapi ditemui pada kasus 4, 5, 6, 7, 12, 13, 14, 15, 18, dan 19 yang dapat dilihat pada lampiran.


(64)

43

Tabel XII. Kejadian DRPs dosis kurang pada pasien anak dengan asma pada pasien asma anak di instalasi rawat inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation

2, 5, 7, 9, 11, 13, 14, 21

Pemberian aminofilin dengan dosis kurang.

Aktual - Perlu dilakukan penyesuaian dosis pemberian

aminofilin

- Perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin darah 4, 5, 6, 7, 12,

13, 14, 15, 18, 19

Pemberian dosis kortikosteroid intravena yang kurang dari dosis terapi.

Aktual Perlu dilakukan penyesuaian dosis pemberian

kortikosteroid

3. Obat Tidak Dibutuhkan

Obat tidak dibutuhkan dapat disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang sesuai dengan obat yang diberikan, menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang lebih cocok mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain, dan penyalahgunaan obat. Kategori DRPs obat tidak dibutuhkan ditemui pada 64% kasus pada penelitian ini.

Pada kasus nomor 5, 10, dan 15 ditemui penggunaan antibiotik yang kurang tepat. Antibiotik sebaiknya tidak diberikan secara rutin pada pasien asma tanpa demam. Antibiotik dapat diberikan pada pasien asma dengan demam atau adanya tanda pneumonia (Global Initiative for Asthma, 2014; World Health Organization, 2013). Demam merupakan tanda terjadinya infeksi mikroorganisme, sehingga pemberian antibiotik diindikasikan jika


(65)

44

pasien asma mengalami demam dan/atau pneumonia. Penggunaan antibotika yang kurang tepat ini dikhawatirkan dapat menimbulkan resistensi antibiotik. Pada kasus-kasus tersebut di atas, penggunaan antibiotik umumnya diberikan sejak hari pertama rawat inap dengan data tanda vital pasien menunjukkan suhu tubuh normal. Data tanda vital pasien pada hari perawatan selanjutnya umumnya kurang lengkap (dapat dilihat pada Lampiran), sehingga ada kemungkinan bahwa pasien mengalami demam namun tidak tercatat pada rekam medis. Kemungkinan lain yang juga dapat terjadi yaitu pasien mengalami demam dan menggunakan obat penurun panas tanpa dilakukan pencatatan penggunaan obat di rekam medis. Pemeriksaan tanda vital dan kultur bakteri dapat dilakukan untuk menegaskan perlunya penggunan antibiotik. Oleh karena itu, pemberian antibiotik yang termasuk kategori obat tidak dibutuhkan ini merupakan DRP yang bersifat potensial.

Parasetamol merupakan analgesik dan antipiretik (penurun panas). Indikasi utama pemberian antipiretik pada anak adalah jika suhu tubuh lebih dari 38,3oC (Sullivan, et al., 2011). Pemberian Parasetamol yang kurang sesuai dengan indikasi ditemui pada kasus nomor 16, 17, 24, dan 25. Pasien yang mengalami kenaikan suhu tubuh sebaiknya diberikan terapi non farmakologi terlebih dahulu, seperti kompres dan minum air putih, sebelum diberikan terapi farmakologi. Peningkatan suhu tubuh pada pasien mungkin terjadi akibat mekanisme fisiologis tubuh untuk melawan zat asing baik dari dalam maupun dari luar tubuh. Pemberian Parasetamol mugkin dilakukan karena pasien merasa kurang nyaman dengan peningkatan suhu tubuh yang


(66)

45

terjadi. Pemberian Parasetamol ini dapat dikategorikan sebagai DRP potensial.

Tabel XIII. Kejadian DRPs obat tidak dibutuhkan pada pasien anak dengan asma pada pasien asma anak di instalasi rawat inap

RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013

No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation

5, 10, 15 Penggunaan

antibiotik yang kurang tepat.

Potensial -Pertimbangkan penghentian penggunaan antibiotik

-Perlu dilakukan pemantauan suhu tubuh

16, 17, 24, 25 Penggunaan

Parasetamol kurang sesuai.

Potensial -Pertimbangkan penghentian penggunaan Parasetamol

-Pertimbangkan pemberian terapi non farmakologi

-Perlu dilakukan pemantauan suhu tubuh

4. Dosis Berlebih

Pada penelitian ini terdapat 4 kasus DRPs yang masuk dalam kategori dosis berlebih. Dosis berlebih yang ditemui dalam penelitian ini disebabkan karena dosis pemberian obat yang terlalu tinggi.

Pada kasus 6 ditemui pemberian deksametason dengan dosis yang berlebih. Dosis deksametason intravena yang tercatat diberikan pada pasien adalah 2 g, padahal dosis harian steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kg BB/hari. Hal ini mungkin terjadi akibat kesalahan penulisan dalam catatan penggunaan obat.

Pada kasus 5, 16 dan 18 ditemui DRP kategori dosis berlebih akibat pemberian teofilin dengan dosis melebihi dosis maksimal harian (> 10 mg/kgBB/hari). Pemberian teofilin dengan dosis berlebih dapat menyebabkan


(1)

107

KASUS 25

SUBJECTIVE

Usia/Jenis Kelamin: 4 tahun 11 bulan 28 hari/ L Tanggal Rawat : 27/09/2013 – 01/10/2013 Keluhan Utama : batuk, pilek, panas Diagnosis : asthma bronchiale

Status Keluar : sembuh, atas persetujuan

Alergi : - Riwayat Penyakit : - Riwayat Penggunan Obat:-

OBJECTIVE

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Vital Hasil Pemeriksaan Laboratorium

BB : 12 kg

Kesadaran : CM

P : 120 x/menit RR : 24 x/menit

SaO2 : -

Cyanosis : -

Suara Napas : Wheezing (-); Rhonki (-) Lainnya : Ro Tho: normal

Hemoglobin: 10,2 (12-18.5) Leukosit : 11,2 (4,5-15) Hematokrit: 31 (35-50) Trombosit: 220 (150-450) Eritrosit : 4,6 (1,4-3,4) LED/BSE/ESR: 31 Basofil : 0 (0-1)

Eosinofil: 0 (1-3) Neutrofil: 37 (54-62) Limfosit : 41 (25-30) Monosit : 22 (0-9)

Tanggal 27/09 28/09 29/09 30/09 01/10

Tanda Vital: T(oC)/P(x/menit)/RR(x/menit)

Normal: 36,1-37,8/<110/<40 37,6/120/24 36,8/116/30 37/-/- 37,3/-/- 36/100/22 Kondisi/Keluhan Pasien batuk, demam,

pilek

badan masih panas, sesak napas, batuk

berdahak badan masih hangat badan masih panas

tampak tenang, kondisi umum membaik

Tatalaksana Obat

Infus KAEN 1B 12 tts/mnt √ √ √ √ -

CeftriaxonIV + D5% 1 g √ √ √ √ -

Sirup Parasetamol 3x ½ cth √ √ √ √ -

6α-metilprednisolon 3x 4 mg - - - - √

Sirup Salbutamol sulfat 1 mg; Guaifenesin 50 mg 3x 4 mL

- - - - √

Pulv (ambroksol 1/5 tab; teofilin 40 mg) 3x1 - - √ √ √

ASSESSMENT


(2)

108

ketidakseimbangan elektrolit (British Thoracic Society, 2012).  pemberian cairan infus sudah tepat

- Antibiotik sebaiknya tidak diberikan secara rutin pada pasien asma tanpa demam. Antibiotik dapat diberikan pada pasien asma dengan demam atau adanya tanda pneumonia (World Health Organization, 2013)  pemberian CeftriaxonIV sudah tepat

- Indikasi utama pemberian antipiretik pada anak adalah jika suhu tubuh lebih dari 38,3oC (Sullivan, et al., 2011).  pemberian sirup Parasetamol kurang tepat Obat tidak dibutuhkan (potensial)

- Guaifenesin dapat meningkatkan mucocilliary clearance melalui penurunan produksi mucin (Seagrave, et al., 2012). - Dosis maksimal teofilin 10 mg/kgBB/hari (UKK Respirologi PDPI, 2009)  pemberian Teofilin sudah tepat

- Kombinasi antara kortikosteroid dan salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)

- Kortikosteroid dan aminofilin/teofilin keduanya dapat menyebabkan hipokalemia, yang mungkin bersifat aditif (Baxter, 2010).Efek samping obat

(potensial)

- Kombinasi salbutamol dan aminofilin/teofilin dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)

- Kondisi sesak napas pasien belum tertangani sejak awal, seharusnya diberikan SABA untuk mengurangi gejala tersebut Membutuhkan obat tambahan

PLAN/RECOMMENDATION

- Pertimbangkan penghentian terapi sirup Parasetamol

- Pertimbangkan pemberian tambahan terapi Neb. Salbutamol (SABA) - Perlu dilakukan pemantauan kadar kalium, denyut nadi dan kadar teofilin

- Perlu dilakukan pengukuran saturasi oksigen dan/atau FEV1 untuk mengetahui perbaikan/perburukan fungsi saluran napas - Beri minum air hangat untuk meredakan batuk

- Beri kompres jika badan panas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(4)

110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

112

BIOGRAFI PENULIS

Adelia Desti Endah Sari merupakan putri pertama dari empat

bersaudara dari pasangan Dominikus Suparno dan Monica

Tarminah yang dilahirkan di Palembang pada 16 Desember

1993. Penulis menjalani pendidikan di TK Xaverius 5

Palembang (1998-1999), SD Xaverius 5 Palembang

(1999-2005), SMPK Frater Xaverius 1 Palembang (2005-2008), SMA Xaverius 2

Palembang (2008-2011). Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2011-2014).

Semasa kuliah penulis cukup aktif di kegiatan pengabdian masyarakat Desa Mitra

tahun 2012 dan 2013 dengan berperan serta sebagai

volunteer

(Desa Mitra 2 tahun

2012), bendahara (Desa Mitra 3 tahun 2012) dan koordinator seksi acara (Desa

Mitra 1 dan 2 tahun 2013). Penulis juga pernah berperan serta sebagai seksi acara

dalam Seminar Nasional Menyongsong Penerapan SJSN 2014. Penulis aktif

bergabung dalam anggota Paduan Suara Fakultas (PSF) Veronica Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis merupakan Asisten

Praktikum Komunikasi Farmasi dan Praktikum Farmasi Komunitas pada tahun

2014.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Dokumen yang terkait

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

2 39 174

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015

8 22 167

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015.

0 2 167

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

1 17 174

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN 2015 Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Potensial Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2015.

1 6 19

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN ASMA DI INSTALASI RAWAT Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Potensial Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2015.

0 3 14

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RS “Y” Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

4 37 21

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

0 7 13

PENDAHULUAN Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

0 8 14

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli - Desember 2013.

4 35 133