Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENGOBATAN PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS
DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2010– JUNI 2014
INTISARI
Penyakit HIV merupakan penyakit kronis dengan prevalensi yang meningkat tiap tahunnya. Selama 4 tahun terakhir, prevalensi HIV mencapai 35.000.000 orang di dunia dengan berbagai macam infeksi oportunistik salah satunya kandidiasis. Selama penatalaksanaan terapi, drug related problems (DRPs) dapat ditemui mengingat banyaknya obat-obatan yang dikonsumsi pasien HIV dengan kandidiasis dan rendahnya system imunitas tubuh mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi DRPs pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap.
Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan case series. Data diperoleh secara retrospektif berdasarkan rekam medis pasien dengan diagnosis HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap di RS Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014. Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluative dengan metode SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi DRPs. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk diagram dan tabel disertai pembahasan.
Terdapat 16 kasus yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dan ditemukan DRPs yang bersifat potensial 37,5% obat tidak diperlukan, 75% efek samping obat, 56,2% dosis obat terlalu tinggi, dan 31,2% dosis obat terlalu rendah sedangkan DRPs yang bersifat aktual meliputi 43,7% obat tidak diperlukan, 50% membutuhkan obat tambahan, 56,2% dosis obat terlalu tinggi, 31,2% efek samping obat, 12,5% dosis terlalu rendah dan 6,2% obat kurang efektif.
Kata kunci: drug related problems, HIV, kandidiasis, terapi farmakologis, rawat inap
(2)
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PADA PENGOBATAN PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS
DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2010– JUNI 2014
ABSTRACT
Human Immunodeficiency Virus is chronic infection and it prevalence has increased every year in the world. Over past last 4 years, HIV prevalence get up to 35.000.000 individuals in the world with many opportunistic infection including candidiasis. Drug Related Problems (DRPs) can occur during drug therapy especially in individual whose get many medicines with immunodeficiency condition. The aim of this study is to identify and evaluate DRPs in patients hospitalized with HIV infection and candidiasis.
This study is an observational with case series design. Data collection was done retrospectively on medical record of hospitalized HIV infection and candidiasis patients in RS PantiRapih Yogyakarta during January 2010-Juny 2014. The data obtained then were analyzed descriptively and evalutively using SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) method. The result present in diagrams and tables followed with discussion.
There are 16 cases who met the inclusion criteria. The DRPs that found in this study consist of potential DRPs including 37,5% unnecessary drug, 75% adverse drug reaction, 56,2% dosage too high, and 31,2% dosage too low, and also actual DRPs including 50% need additional drug, 56,2% dosage too high, 31,2% adverse drug reaction, 12,5% dosage too low, 6,2% less effective drug and 43,7% unnecessary drug.
(3)
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PADA PENGOBATAN PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS
DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Vincentia Ganesi Madita
NIM: 118114154
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
i
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PADA PENGOBATAN PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS
DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Vincentia Ganesi Madita
NIM: 118114154
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
(6)
(7)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kupersembahkanuntuk
Allah Bapa, TuhanYesus Kristus, dan Bunda Maria di surga
Keluargaku tersayang, Papa, Mama, Gabby, dan Evan
Yang teristimewa, Albert
Sahabat dan teman-temanku Serta Almamaterku…
(8)
(9)
vi PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, bimbingan dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pengobatan Pasien HIV dengan Kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Periode Januari 2010-Juni 2014” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) program studi Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan,
doa, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril, spiritual, maupun materiil.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Direktur Utama Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan
izin untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
2. Ibu Ir. Valentina Dwi Yuli Siswianti, M. Kes. Sebagai Direktur Pelayanan
Kesehatan dan Infrastruktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta.
3. Kepala Bidang Pengelola Pelayan Kesehatan Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di
(10)
vii
4. Kepala Instalasi Rekam Medis dan seluruh staff bagian Rekam Medis Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan izin dan bantuan dalam
proses analisis situasi sampai dengan pengambilan data.
5. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph. D., Apt. sebagai Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan kesabaran, motivasi, bimbingan dan saran yang membangun
selama proses penulisan skripsi.
6. Gregorius Widiartana dan Maria Lucia Lusi Nilawati, papa dan mama
tersayang, yang telah banyak memberikan kasih, doa, dukungan dan
semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7. Adik-adikku tersayang, Gabriella Leoda Benita dan Emmanuel Evan
Sebastian, yang telah memberikan inspirasi, kecerian, penghiburan, dan
motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.
8. Budhe-ku tersayang, Theresia Henny Puriwati, dan keluarga kecilku di
Semarang, Theodorus Sony Sudarmadi, Aquilina Ediana K., dan Emmanuel
Axel Muliadharma, yang tak henti-hentinya memberikan doa dan dukungan
kepada penulis.
9. Seseorang yang kuharap menjadi teman hidupku untuk selamanya, Gregorius
Albert Anky Wibowo, yang telah memberikan kasih sayang, dukungan,
bantuan,semangat dan kesabaran kepada penulis dari awal hingga akhir
penulisan skripsi.
10. Eyang Uti dan Eyang Akung tersayang, yang telah memberikan doa yang
(11)
viii
11. Sahabat-sahabatku, Valla Mareta Prameshwari dan Laksmi Nareshwari, yang
telah memberikan canda tawa dan semangat selama penulisan skripsi.
12. Sahabat-sahabat seperjuangan #DeRealPrincesses, Jessica Christy Sitio,
Adelia Desti Indah Sari, dan Caroline Lulik Tafsia, yang telah memberikan
semangat, dukungan, kerjasama, informasi, dan yang paling penting
keceriaan selama proses awal penyusunan skripsi hingga penyelesaian skripsi.
13. Teman-teman dekatku, Pascalis Nika Putri Winahyu, Marselina Crescentia
Tisera, Jessica Christy Sitio dan Gregoria Novalia Ambarani yang telah
banyak menemani, memberi semangat dan dukungan selama proses penulisan
skripsi.
14. Teman-teman FSM D 2011, FKK B 2011, dan seluruh angkatan 2011, yang
telah memberikan kebersamaan yang tak ternilai.
15. Semua pihak, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang ikut serta
memberikan bantuan sehingga penulisan skripsi dapat berjalan dengan lancar.
“Tidak adagading yang tak retak”, begitu pula dengan skripsi ini.Penulis
menyadari bahwa karya yang telah penulis selesaikan masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak pada
umumnya dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang kefarmasian.
Yogyakarta, 21 Juli 2015
(12)
(13)
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN...iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………...…...v
PRAKATA...vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...ix
DAFTAR ISI...x
DAFTAR TABEL...xiii
DAFTAR GAMBAR...xvi
DAFTAR LAMPIRAN...xvii
INTISARI...xviii
ABSTRACT...xix
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang...1
1. Rumusan Masalah...3
2. Keaslian Penelitian...4
3. Manfaat Penelitian...6
a. Manfaat Teoritis...6
(14)
xi
B. Tujuan Penelitian...6
1. Tujuan Umum...6
2. Tujuan Khusus...6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. HIV/AIDS...8
B. Penatalaksanaan Terapi...18
C. Drug Related Problems (DRPs)...24
D. Keterangan Empiris...25
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian...26
B. Variabel Penelitian...26
C. Definisi Operasional...27
D. Subjek Penelitian...28
E. Bahan Penelitian...29
F. Instrumen Penelitian...30
G. Lokasi Penelitian...30
H. Jalannya Penelitian...30
I. Tata Cara Analisis Hasil...32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisitik Pasien...35
B. Pola Pengobatan...40
(15)
xii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan...61
B. Saran...62
DAFTAR PUSTAKA...63
LAMPIRAN...66
(16)
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Stadium HIV/AIDS berdasarkan gejala klinis...9
Tabel II. Tingkat keparahan imunodefisiensi berdasarkan jumlah sel CD4...10
Tabel III. Kriteria stadium klinik dan jumlah CD4 untuk memulai ART...10
Tabel IV. Resiko transmisi HIV melalui hubungan vaginal tiap hubungan seksual...11
Tabel V. Resiko transmisi HIV melalui hubungan anal tiap hubungan seksual...11
Tabel VI. Pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer...20
Tabel VII. Regimen lini pertama ART………...21
Tabel VIII. Regimen lini pertama pada pasien yang belum pernah mendapat ART...21
Tabel IX. Pilihan terapi untuk kandidiasis pada pasien HIV...22
Tabel X. Lanjutan...23
Tabel XI. Cakupan masalah dalam Drug Related Problem...24
Tabel XII. Lanjutan...25
Tabel XIII. Pola pengobatan pasien berdasarkan kelas terapi obat...41
Tabel XIV. Penggunaan antiinfeksi pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...43
(17)
xiv
Tabel XV. Penggunaan obat yang bekerja pada sistem gastrointestinal dan
hepatobilier pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalansi
Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta periode Januari
2010-Juni 2014...45
Tabel XVI. Penggunaan obat yang bekerja pada sistem syaraf pusat pada
pasien HIV dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS
Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...46
Tabel XVII. Penggunaan obat vitamin dan mineral padapasien HIV dengan
kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...47
Tabel XVIII. Penggunaan obat lain-lain pada pasien HIV dengankandidiasis
di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta periode
Januari 2010-Juni 2014...48
Tabel XIX. Penggunaan obat berdasarkan rute pemberian pada pasien HIV
dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...49
Tabel XX. Gambaran DRPs pada pengobatan pasien HIV dengan
kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014...50
Tabel XXI. Kejadian DRPs obat yang tidak diperlukan pada pengobatan
pasien HIV dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS
(18)
xv
Tabel XXII. Kejadian DRPs membutuhkan obat tambahan pada pengobatan
pasien HIV dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS
Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...54
Tabel XXIII. Kejadian DRPs dosis obat terlalu tinggi pada pengobatan pasien
HIV dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti
Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...56
Tabel XXIV. Kejadian DRPs efek samping obat pada pengobatan pasien HIV
dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...58
Tabel XXV. Kejadian DRPs dosis obat terlalu rendah pada pengobatan
pasien HIV dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS
Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...60
Tabel XXVI. Kejadian DRPs obat kurang efektif pada pengobatan pasien HIV
dengan kandidiasis di Instalansi Rawat Inap RS Panti Rapih
(19)
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Human Immunodeficiency Virus...13
Gambar 2. Siklus hidup HIV di dalam sel inang...14
Gambar 3. Proses infeksi Candida albicans...18
Gambar 4. Skema pemilihan subjek penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014...29
Gambar 5. Diagram distribusi pasien berdasarkan kelompok umur...36
Gambar 6. Diagram distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin...37
Gambar 7. Diagram distribusi pasien berdasarkan stadium HIV...38
Gambar 8. Diagram distribusi pasien berdasarkan lokasi infeksi kandidiasis...39
(20)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Evaluasi kasus Drug Related Problems...67
Lampiran 2. Nilai rujukan pemeriksaan laboratorium Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta...118
Lampiran 3. Izin penelitian dan pengambilan data di Rumah Sakit Panti Rapih
(21)
xviii
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENGOBATAN PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS
DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2010– JUNI 2014
INTISARI
Penyakit HIV merupakan penyakit kronis dengan prevalensi yang meningkat tiap tahunnya. Selama 4 tahun terakhir, prevalensi HIV mencapai 35.000.000 orang di dunia dengan berbagai macam infeksi oportunistik salah satunya kandidiasis. Selama penatalaksanaan terapi, drug related problems (DRPs) dapat ditemui mengingat banyaknya obat-obatan yang dikonsumsi pasien HIV dengan kandidiasis dan rendahnya system imunitas tubuh mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi DRPs pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap.
Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan case series. Data diperoleh secara retrospektif berdasarkan rekam medis pasien dengan diagnosis HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap di RS Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014. Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluative dengan metode SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi DRPs. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk diagram dan tabel disertai pembahasan.
Terdapat 16 kasus yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dan ditemukan DRPs yang bersifat potensial 37,5% obat tidak diperlukan, 75% efek samping obat, 56,2% dosis obat terlalu tinggi, dan 31,2% dosis obat terlalu rendah sedangkan DRPs yang bersifat aktual meliputi 43,7% obat tidak diperlukan, 50% membutuhkan obat tambahan, 56,2% dosis obat terlalu tinggi, 31,2% efek samping obat, 12,5% dosis terlalu rendah dan 6,2% obat kurang efektif.
Kata kunci: drug related problems, HIV, kandidiasis, terapi farmakologis, rawat inap
(22)
xix
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PADA PENGOBATAN PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS
DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2010– JUNI 2014
ABSTRACT
Human Immunodeficiency Virus is chronic infection and it prevalence has increased every year in the world. Over past last 4 years, HIV prevalence get up to 35.000.000 individuals in the world with many opportunistic infection including candidiasis. Drug Related Problems (DRPs) can occur during drug therapy especially in individual whose get many medicines with immunodeficiency condition. The aim of this study is to identify and evaluate DRPs in patients hospitalized with HIV infection and candidiasis.
This study is an observational with case series design. Data collection was done retrospectively on medical record of hospitalized HIV infection and candidiasis patients in RS PantiRapih Yogyakarta during January 2010-Juny 2014. The data obtained then were analyzed descriptively and evalutively using SOAP (subjective, objective, assessment, plan/recommendation) method. The result present in diagrams and tables followed with discussion.
There are 16 cases who met the inclusion criteria. The DRPs that found in this study consist of potential DRPs including 37,5% unnecessary drug, 75% adverse drug reaction, 56,2% dosage too high, and 31,2% dosage too low, and also actual DRPs including 50% need additional drug, 56,2% dosage too high, 31,2% adverse drug reaction, 12,5% dosage too low, 6,2% less effective drug and 43,7% unnecessary drug.
(23)
1 BAB I PENGANTAR
A.Latar Belakang
Kandidiasis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh spesies Candida,
terutama C. albicans. Infeksi ini dapat terjadi hanya pada membran mukosa pasien
atau berkembang menjadi infeksi invasif. Patogenesis dan prognosis dari
kandidiasis dipengaruhi dua hal yaitu penyebaran infeksi dan status imun dari
pasien itu sendiri (Dabas, 2013).
Pasien HIV memiliki kondisi yang jauh lebih rentan dan lebih parah
dalam terpapar infeksi jamur sebagai salah satu infeksi oportunistik dimana
sebagian besar infeksi jamur oportunistik yang diderita pasien HIV adalah
kandidiasis.Infeksi ini dapat membatasi asupan makanan pada pasien HIV
sehingga menyebabkan penurunan berat badan dan berpotensi mengancam
kualitas hidup pasien (Shah, Chaturvedi, dan Pandya, 2014).
Prevalensi infeksi HIV di dunia terus meningkat tiap tahunnya. Pada
tahun 2010 dan 2011 sebanyak 68.000.000 orang terinfeksi HIV, angka kejadian
infeksi HIV kemudian meningkat menjadi 70.000.000 orang pada tahun 2012 dan
2013. Berdasarkan data terakhir pada tahun 2013, kawasan Asia dan Pasifik
menyumbang prevalensi infeksi HIV sebanyak 4.800.000 juta dengan 210.000
orang di antaranya adalah anak-anak, jumlah insidensi mencapai 350.000 orang,
dan angka kematian akibat AIDS mencapai 250.000 orang (World Health
(24)
Indonesia memiliki jumlah kumulatif infeksi HIV yang meningkat tajam
dari 7,195 orang pada tahun 2006 menjadi 76,876 orang pada tahun 2011
(Indonesian National AIDS Comission, 2012). Berdasarkan data statistika kasus
HIV/AIDS di Indonesia, pada bulan Januari 2014 sampai 30 Juni 2014 terdapat
15.534 orang terinfeksi HIV dan 1.700 orang mengalami AIDS. Yogyakarta
sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga menyumbang jumlah kasus
HIV/AIDS sebanyak 3.387 kasus sampai pada bulan Juni 2014 (Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014).
Rumah Sakit Panti Rapih merupakan salah satu rumah sakit di
Yogyakarta yang melayani pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS (Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011). Selama
tahun 2010 sampai 2014 terdapat 23 pasien HIV yang menderita kandidiasis.
Selama rentang tahun tersebut maupun pada tahun-tahun yang lalu, belum pernah
ada penelitian terkait pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di rumah sakit
ini sehingga dirasa perlu untuk melakukan penelitian di rumah sakit ini.
Permasalahan yang dapat muncul pada pengobatan pasien HIV dengan
kandidiasis sehingga mengganggu tujuan terapi yang ingin dicapai adalah
kompleksnya pemberian Anti Retrovirus Terapi (ART) pada pasien, adanya
interaksi obat antiretrovirus (ARV) dengan obat antijamur, resistensi pasien
terhadap obat ARV maupun obat antijamur, adanya kemungkinan toksisitas
penggunaan obat ARV dalam jangka waktu lama, dan komplikasi lain yang
diderita oleh pasien yang kemudian mempengaruhi pengobatannya (Anderson dan
(25)
Kompleksnya terapi yang diberikan kepada pasien dan permasalahan
pengobatan yang ada menjadi alasan perlunya penelitian tentang evaluasi drug
related problems pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis. Melalui
penelitian ini, diharapkan pemilihan obat yang tepat untuk mengatasi HIV dengan
kandidiasis dapat ditingkatkan untuk mencegah timbulnya infeksi yang lebih
parah, memperkecil angka morbiditas dan mortalitas pasien, serta meningkatkan
pelayanan kepada pasien. Hasil penelitian diharapkan pula dapat menjadi sumber
pembelajaran dan pengetahuan mengenai drug related problems (DRPs) pada
pengobatan HIV dengan kandidiasis dan menjadi evaluasi bagi rumah sakit
sehingga dapat meningkatkan pelayanan pengobatan infeksiHIV dengan
kandidiasis.
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, rumusan masalah
mengenai evaluasi drug related problems (DRPs) pada pengobatan pasien HIV
dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari
2010-Juni 2014 antara lain:
a. Seperti apa karakteristik pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014?
b. Seperti apa pola pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014?
c. Apakah terdapat drug related problems (DRPs) pada pasien HIV dengan
kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari
(26)
2. Keaslian Penelitian
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan antara lain:
a. Karakteristik Pasien HIV/AIDS Dengan Kandidiasis Orofaringeal di
RSUP Dr. Kariadi Semarang yang dilakukan oleh Angita (2011).
Penelitian tersebut mengidentifikasi karakteristik pasien HIV/AIDS yang
menderita kandidiasis orofaringeal berdasarkan jumlah sel CD4 dan
spesies jamur yang menyebabkan infeksi orofaringeal melalui kultur. Hasil
dari penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang menderita kandidiasis
orofaringeal sebagian besar memiliki sel CD4< 50 sel/mikroliter dan hasil
kultur mikrobiologi menunjukkan sebanyak 45% sampel kultur sputum
pasien merupakan koloni muda candida dan 55% merupakan spesies non
C. albicans.
b. Pengobatan Kandidiasis Oral Dengan Flukonazol Pada Pasien Penderita
HIV/AIDS Dihubungkan Dengan Spesies dan Bentuk Klinis yang
Dijumpai yang dilakukan oleh Sitorus(2011). Penelitian tersebut
mengevaluasi efektivitas flukonazol dalam pengobatan kandidiasis oral
terhadap 5 spesies candida yang berbeda (Candida albicans, Candida
tropicalis, Candida krusei, Candida lusitaniae dan Candidakefyr).
Penelitian ini juga mengevaluasi efektivitas flukonazol berdasarkan tingkat
kesembuhan pasien dari bentuk klinis kandidiasis oral yang diderita yaitu
lesi pseudomembran, atrofi/aritema disertai kheilosis dan hiperplastik.
Hasil dari penelitian ini adalah efektivitas flukanazol pada spesies C.
(27)
spesies C. krusei, C. lusitaniae, dan C. kefyr tidak efektif, kesembuhan
pasien dengan lesi pseudomembran sebesar 100%, dengan atrofi/aritema
disertai khelosis sebesar 40%, dan dengan hiperplastik sebesar 0,0%.
c. Prevalensi Oral Kandidiasis Pada Pasien HIV/AIDS di UPIPI RSUD Dr.
Soetomo yang dilakukan oleh Sukoco (2011). Penelitian tersebut
mengidentifikasi angka kejadian kandidiasis oral pada pasien HIV/AIDS
berdasarkan bentuk klinis kandidiasis oral yang diderita oleh pasien. Hasil
penelitian ini adalah sebanyak 20 pasien menderita Pseudomembrane
Candidiasis, 2 pasien menderita Erythematous Candidiasis, 9 pasien
menderita Angular Cheilitis, dan 4 pasien menderita Chronic Hyperplastic
Candidiasis.
d. Identifikasi Spesies Candida Pada Rongga Mulut Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) Di Yayasan Peduli Kelompok Dukungan Sebaya
Makassar yang dilakukan oleh Wahab (2012). Penelitian tersebut
mengidentifikasi spesies candida yang terdapat di dalam rongga mulut
pasien HIV/AIDS. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi Candida
albicanspada 14.3% pasien, Candida tropicalis pada 14.3% pasien,
Candida krusei pada 7.1% pasien, dan Candida rugosa pada 7.1% pasien.
Penelitian mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Pengobatan Pasien HIV dengan Kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014 belum pernah dilakukan
(28)
kandidiasis dan pola pengobatan yang diterima oleh pasien, serta mengevaluasi
pengobatan yang diterima oleh pasien berdasarkan 6 kategori DRPs.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Secara teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan sumber
pembelajaran lebih dalam mengenai DPRs pada pengobatan HIV dengan
kandidiasis.
b. Secara praktis bagi rumah sakit tempat penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi evaluasi dan bahan masukan
bagi Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dalam peningkatan pelayanan
pengobatan terutama pada kasus HIV dengan kandidiasis.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengevaluasi drug related problems (DRPs) pada pengobatan
pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi karakteristik pasien HIV dengan kandidiasis di
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.
b. Untuk mengidentifikasi pola pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di
(29)
c. Untuk mengidentifikasi drug related problems (DRPs) yang terjadi pada
pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
(30)
8 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. HIV/AIDS 1. Definisi dan Stadium
Acquired ImmunoDeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu
kondisi dimana seseorang tidak dapat melawan penyakit yang menyerang
tubuhnya, sehingga tubuh dapat terpapar oleh lebih dari satu macam infeksi
atau bahkan kanker. Sindrom ini disebabkan oleh infeksi suatu virus yang
disebut HIV, yang menyerang sel darah putih tertentu terutama sel CD4 dan
monosit atau makrofag. Sel CD4 dan makrofag memiliki peran yang penting
dalam sistem imunitas manusia sehingga adanya kerusakan sel-sel tersebut
dapat membuat seseorang mencapai suatu kondisi imunodefisiensi yang
disebut AIDS. Virus ini juga menginfeksi dan menyebabkan kerusakan
langsung pada tipe sel lain seperti sel lining usus sehingga pasien mengalami
penurunan berat badan maupun sel saraf yang menyebabkan pasien mengalami
permasalahan sistem saraf. Pasien dengan infeksi HIV dapat dikatakan tidak
menderita AIDS jika bebas gejala atau memiliki gejala yang tidak termasuk
dalam AIDS dan memiliki jumlah sel CD4 lebih dari 200 sel/mm3 (Pinsky dan Douglas, 2009).
Berdasarkan gejala yang muncul, stadium HIV/AIDS dapat dibagi
menjadi 4, yaitu stadium infeksi HIV primer, stadium 2, stadium 3 dan stadium
(31)
Tabel I. Stadium HIV/AIDS Berdasarkan Gejala Klinis (WHO, 2007) Stadium HIV/AIDS Keterangan Gejala HIV/AIDS
Stadium 1 Asimtomatik
Pembengkakan kelenjar getah bening yang persisten
Stadium 2 Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (<10% berat badan yang terukur)
Infeksi saluran pernafasan (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)
Herpes zoster
Angular cheilitis, ulserasi oral Papular pruritic eruption Infeksi jamur pada kuku Dermatitis seboroik
Stadium 3 Penurunan berat badan yang parah (>10% berat badan yang terukur) Diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
Demam yang tidak diketahui penyebabnya dan terjadi secara persisten selama lebih dari 1 bulan
Kandidiasis oral yang persisten Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri parah (pneumonia, empyema, pyomyositis, infeksi pada tulang atau persendian, meningitis, bakteraemia)
Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau perionsitis Anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (<8 g/dl), neutropenia (<0,5 x 109/l), dan/atau trombositopenia kronik (<50 x 109/l)
Stadium 4 Sindrom HIV berupa kelelahan
Pneumonia pneumositis, penumonia bakteri yang parah
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis esophageal (atau kandidiasis pada trakea, bronki atau paru-paru)
Tuberkulosis ekstraparu Kaposi’s sarcoma
Infeksi sitomegalovirus (renitis atau infeksi pada organ lain) Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat
HIV enchepalopathy
Kriptokokis ekstraparu, termasuk meningitis Toksoplasma pada CNS
Infeksi mikobakteri nontuberkulus
Multifokal leukoensefalopati yang progresif Kriptosporidiosis kronik, isosporiasis kronik
Mikosis (histoplasmosis ekstraparu, kokidiodomikosis) Limfoma
HIV simpomatik-nefropati atau kardiomiopati Septicaemia
Karsinoma sekviks invasive Leishmaniasis
(32)
Stadium klinik dapat digunakan secara efektif tanpa memeriksa
jumlah sel CD4 atau pemeriksaan laboratorium lain tetapi jumah sel CD4
sangat penting untuk menentukan tingkat imunokompromi pasien dan
mendukung pembuatan keputusan klinik terkait kondisi pasien (Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Tabel II. Tingkat Keparahan Imunodefisiensi Berdasarkan Jumlah Sel CD4 (WHO, 2005)
Tingkat Keparahan Imunosupresan Jumlah sel CD4 Imunodefisiensi tidak signifikan >500/mm3
Imunodefisiensi ringan 350-499/mm3
Imunodefisiensi sedang 200-349/mm3
Imunodefisiensi parah <200/mm3
Data jumlah sel CD4 pada pasien yang terinfeksi HIV dapat
digunakan sebagai pertimbangan penetapan stadium HIV/AIDS. Bersama
dengan data gejala klinis yang diderita pasien, data jumlah sel CD4 dapat pula
digunakan sebagai pertimbangan dalam memulai ART (Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Tabel III. Kriteria Stadium Klinik dan Jumlah CD4 untuk Memulai ART (WHO, 2005)
Stadium Klinik ART
4 Pemberian ART
3 Mulai dipertimbangkan untuk pemberian ART: jumlah CD4 dapat digunakan sebagai pedoman urgensi memulai ART 1 atau 2 Hanya jika jumlah CD4<200 sel/mm3
Di Indonesia, saat memulai terapi pada pasien dewasa adalah pasien dengan stadium klinis 3 dan 4 berapapun jumlah sel CD4, sedangkan pada pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 saat memulai terapi dilakukan jika jumlah sel CD4 kurang dari 350 sel/mm3(Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
(33)
2. Etiologi dan Faktor Resiko
Infeksi HIV muncul melalui 3 tranmisi primer yaitu seksual, parenteral, dan perinatal. Tranmisi seksual terutama melalui hubungan vaginal dan anal merupakan cara utama infeksi HIV dapat ditularkan. Tranmisi HIV melalui hubungan seksual muncul karena pembuahan oleh semen yang terinfeksi HIV. Kemungkinan tranmisi HIV dari penerima hubungan anorektal tiap kali hubungan seksual dilakukan mencapai 0,1-3% sedangkan untuk penerima hubungan vaginal mencapai 0,1-0,2%. Resiko dari pemberi hubungan seksual lebih kecil untuk terinfeksi HIV yaitu antara 0,01-0,4% untuk pemberi hubungan anal, dan 0,05-0,1% untuk pemberi hubungan vaginal.
Tabel IV. Resiko Tranmisi HIV Melalui Hubungan Vaginal tiap Hubungan Seksual (Boily,2009)
Resiko seorang wanita berhubungan seksual dengan pria positif HIV
Resiko seorang pria berhubungan seksual dengan wanita positif HIV Negara maju 0,08% (1 dari 1250) 0,04% (1 dari 2500)
Negara berkembang
0,30% (1 dari 333) 0,38% (1 dari 263)
Tabel V. Resiko Tranmisi HIV Melalui Hubungan Anal tiap Hubungan Seksual (Jin, 2010)
Probabilitas tiap hubungan seksual Resiko pemberi hubungan (disunat) 0,11% (1 dari 909)
Resiko pemberi hubungan (tidak disunat) 0,62% (1 dari 161) Resiko penerima hubungan (tanpa ejakulasi) 0,65% (1 dari 154) Resiko penerima hubungan (dengan ejakulasi) 1,43% (1 dari 70)
Tranmisi HIV melalui parenteral dapat terjadi karena adanya kontaminasi darah pada jarum suntik, penggunaan injeksi intravena dengan jarum, menerima donor darah dan transplantasi organ. Penggunaan jarum yang
(34)
terkontaminasi HIV merupakan penyebab utama tranmisi HIV melalui parenteral. Resiko infeksi HIV melalui penggunaan bersama jarum suntik dapat mencapai 0,67% tiap jarum digunakan.Infeksi HIV melalui transmisi perinatal merupakan penyebab utama infeksi HIV pada pediatri. Sebagian besar infeksi HIV pada pediatri muncul pada waktu dekat masa melahirkan atau pada saat melahirkan. Resiko tranmisi ibu-anak dapat mencapai 25% tanpa pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan ART. Pada 6 bulan pertama usia pediatri, resiko infeksi HIV dapat muncul melalui pemberian ASI sebesar 16,2% (Anderson,et al., 2008).
3. Patogenesis
Infeksi HIV hanya dapat ditularkan melalui 3 rute yaitu adanya kontak
dengan darah, cairan semen dan cairan vagina yang terinfeksi HIV mendapat
injeksi darah yang terinfeksi atau produk darah lain yang terinfeksi; dan yang
terakhir adalah melalui transmisi perinatal (dari ibu yang terinfeksi kepada
janinnya dan dari ibu kepada bayi melalui ASI). Kulit yang tidak luka atau
rusak tidak dapat ditembus oleh HIV, tetapi HIV dapat masuk melalui
membran mukosa yang terdapat pada bagian vagina, rektal, uretra, bahkan
mulut. Adanya luka atau kerusakan pada membran mukosa dapat
meningkatkan resiko terjadinya transmisi HIV ke dalam tubuh (Pinsky, et al.,
2009).
Human Immunodeficiency Virus memiliki diameter 100 nm.Virus ini
memiliki bagian yang disebut lipid envelope, dimana pada bagian ini terdapat
(35)
menempel. Kedua protein ini bertanggung jawab terhadap tahap penempelan
virus dengan sel inang dan pembentukkannya dikode oleh gen env. Di bawah
envelope, terdapat protein matriks p17, protein inti p24 dan p6, serta protein
nukleokapsid p7 (berikatan dengan Ribonucleid Acid), dimana semua protein
ini dikode oleh gen gag. Di dalam lapisan protein inti, terdapat 2 RNA kopi
virus, bersama dengan enzim protease, intregase dan reverse transcriptase.
Ketiga enzim ini dikode oleh gen pol (Mandell, Bennet, dan Dolin, 2005).
Gambar 1.Struktur Human Immunodeficiency Virus (Mandell, Bennet, dan Dolin, 2005)
Ketika HIV memasuki tubuh manusia, glikoprotein virus yang paling
luar yaitu gp160 akan berikatan dengan salah satu sel yang memiliki reseptor
CD4. Ikatan ini akan diperkuat oleh kemokin co-receptor HIV yaitu CCR5 dan
CXCR4. Penempelan co-receptor dari HIV akan mengawali terjadinya fusi
membran, dimana tahap ini dimediasi oleh gp41, dan akhirnya mencapai tahap
masuknya materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk replikasi
virus. Setelah semua materi genetik virus masuk ke dalam sel inang, protein
(36)
persiapan replikasi virus. Enzim reverse transcriptase HIV pertama kali akan
mensintesis DNA komplemen menggunakan RNA virus sebagai template,
DNA virus yang telah terbentuk kemudian bermigrasi ke dalam nukleus dan
berintegrasi dengan kromosom sel inang dengan bantuan enzim integrase yang
dimiliki HIV. Setelah tahap integrasi selesai, HIV dapat bereplikasi. Aktivasi
replikasi HIV dilakukan oleh antigen, sitokin, atau faktor lain yang
menstimulasi sel untuk memproduksi faktor nuclear kappa B, sebuah
enhancer-binding protein. Secara normal, faktor nuclear kappa B meregulasi
ekspresi gen limfosit T termasuk pertumbuhannya sehingga secara tidak
sengaja dapat mengaktifkan replikasi HIV. Setelah seluruh bagian-bagian virus
direplikasi dan dikemas, virion kemudian bergerak menembus membran
plasma sehingga memperoleh karakteristik lipid bilayer sel inang. Setelah
virion terbentuk, proses pematangan dimulai. Di dalam virion, enzim protease
akan mulai memotong prekursor polipeptida (gag-pol) menjadi protein
fungsional yang diperlukan untuk memproduksi virus yang lengkap (Dipiro, et
al., 2011).
(37)
4. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala dan tanda klinis yang dapat diduga infeksi HIV antara lain
(Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011):
a. Keadaan umum:
1) Kehilangan berat badan lebih dari 10% dari berat badan dasar
2) Demam secara terus menerus atau intermiten, suhu oral lebih dari
37,5º C dalam waktu lebih dari satu bulan
3) Diare secara terus menerus atau intermiten selama lebih dari satu bulan
4) Pembengkakan kelenjar limfa meluas
b. Kulit
1) Kulit kering meluas
2) Adanya kutil genital, radang folikel rambut, dan penyakit kulit kronik
yang ditandai dengan pengelupasan dan inflamasi pada kulit
c. Infeksi
1) Adanya infeksi jamur seperti kandidiasis oral, peradangan pada bagian
kulit yang banyak memiliki kelenjar minyak, atau kandidiasis vagina
berulang
2) Adanya infeksi viral seperti herpes zoster (berulang atau melibatkan
lebih dari satu dermatom), herpes genital secara berulang, infeksi kulit
yang disebabkan oleh virus, dan kutil kelamin.
(38)
1) Batuk lebih dari satu bulan
2) Sesak nafas
3) Tuberkulosis
4) Pneumonia berulang
5) Sinusitis kronis atau berulang
e. Gejala Neurologis
1) Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya)
2) Kejang demam dan menurunnya fungsi kognitif
5. Kandidiasis Sebagai Infeksi Oportunistik HIV
Candida adalah organisme yang terdapat baik pada orang sehat
maupun pada orang yang sakit. Candida dapat ditemukan pada kulit atau di
dalam rongga mulut, dan tidak selalu menunjukkan bahwa terjadi infeksi dalam
bagian tersebut. Pasien AIDS kerap mendapat diagnosis klinik berupa
kandidiasis oral jika ditemukan plak berwarna putih susu pada permukaan
mukosa mulut. Adanya depresi progresif dan disregulasi sel Langerhans yang
berada di membran mukosa oleh karena infeksi HIV dapat menurunkan
pertahanan tubuh terhadap antigen candida, ditambah dengan adanya
penurunan yang progresif dari jumlah limfosit CD4, maka imunitas adaptif
terhadap candida akan semakin menurun pula. Karakteristik yang dapat
ditemukan pada permukaan mukosa atau rongga mulut, faring, trakea, bronki,
esofagus, atau vagina jika terinfeksi candida adalah munculnya kandidiasis
(39)
hiperplastik. Bentuk pseudomembran sebagian besar berwarna putih,
membentuk plak pada permukaan mukosa, dan terkadang muncul bercak
seperti keju. Pada bentuk eritematosus, muncul bercak merah pada kulit,
sedangkan pada bentuk hiperplastik muncul plak putih yang dapat dihilangkan,
dan angular cheilitis akan muncul pada sudut mulut (Klatt, 2013).
Infeksi candida terbagi menjadi 4 tahap yaitu masuk dan
menempelnya candida ke dalam jaringan sel inang; invasi candida ke dalam
jaringan sel inang; multiplikasi, kolonisasi, dan penyebaran candida pada
jaringan; dan yang terakhir adalah penyingkiran sistem imun sel inang dan
perusakan jaringan. Penyakit oleh jamur muncul ketika spora jamur
berpenetrasi menembus barier sel inang ketika terjadi defiensi imunitas atau
kondisi lain yang dapat membuat jamur dapat masuk dan tumbuh di dalam
tubuh. Infeksi candida pada sel inang diawali dengan menempelnya candida
pada permukaan sel epitel dan penyebaran yang lebih luas pada bagian lain sel
inang. Setelah candida menempel dan menyebar pada sel inang, candidaakan
mengubah komponen lingkungan untuk membuat lingkungan yang dapat
mendukung kelangsungan hidupnya. Setelah candida memperoleh lingkungan
yang sesuai,candidaakan membentuk pseudohifa dan hifa di dalam jaringan sel
inang untuk meningkatkan virulensinya. Pada sel inang, ion karbon dan metal
terdapat dengan jumlah yang amat sedikit sehingga menghasilkan lingkungan
iron-limited. Untuk bertahan hidup, jamur akan mengode mekanisme tertentu
dengan perantaraan siderophores, sebuah kelator besi dengan afinitas yang
(40)
berhasil beradaptasi dengan lingkungan sel inang, candida akan menyebar di
dalam tubuh inang ketika terjadi defisiensi sistem imun. Candida yang telah
berkolonisasi dan menyebar juga akan menghancurkan sistem imun dan
menyebar ke organ lain melalui berbagai macam mekanisme (Khan, et
al.,2010).
Gambar 3. Proses infeksi Candida albicans (Gow, Veerdonk, Brown, dan Netea, 2012)
B. Penatalaksanaan Terapi 1. Tujuan Terapi
Tujuan terapi infeksi HIVdengan kandidiasis adalah mengurangi laju
penularan di masyarakat, memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis
(stabilitas peningkatan sel CD4), menurunkan komplikasi akibat HIV,
menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus,
(41)
dan mengeliminasi tanda klinik dan gejala dari kandidiasis (Dipiro,et al., 2011,
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik dan Ditjen Bina Kefarmasian
Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006). Walaupun pasien tidak
mengalami gejala, penting untuk memberikan terapi awal antijamur untuk
mencegah progresi dan perparahan penyakit sehingga kualitas hidup pasien
dengan immunocompromised dapat ditingkatkan (Dipiro,et al., 2011).
2. Strategi Terapi Farmakologi
a. Terapi profilaksis
Pemberian terapi profilaksisditujukan sebagai pencegahan infeksi
oportunistik, mengkaji kepatuhan pasien minum obat dan mengeliminasi
kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan ARV.
Terdapat 2 macam terapi profilaksis yaitu terapi profilaksis primer untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita danterapi profilaksis
sekunder untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita
sebelumnya (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011).
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah PCP dan toksoplasma
dianjurkan untuk pasien yang bergejala (stadium klinis 2, 3 dan 4) termasuk
perempuan hamil, dan pasien dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3. Pasien yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 dianjurkan untuk mendapatkan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV,
(42)
toksoplasma selesai dan diberikan selama 1 tahun (Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Tabel VI.Pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011) Indikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan Semua pasien
diberikan kotrimoksasol setelah dinyatakan positif HIV
2 tahun setelah penggunaan kotrimoksasol jika mendapatkan ARV
960 mg/hari dosis tunggal
Efek Samping Obat: hipersensitivitas seperti demam, ruam kemerahan pada kulit, sindrom Steven Johnson, tanda penekanan sumsum tulang seperti anemia, trombositopenia, lekopenia, dan pansitopenia. Kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3
Bila sel CD4 naik > 200 sel/mm3 pada 2 kali pemeriksaan dengan interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV
b. Terapi antiretrovirus
Golongan obat-obat HIV dibagi menjadi 6 berdasarkan mekanisme
kerjanya antara lain entry inhibitors (EI); integrase inhibitors (INSTI);
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI); non- nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NNRTI); nucleotide reverse transcriptase
inhibitors (NtRTI); dan protease inhibitors (PI) (America’s Biopharmaceutical Research Companies, 2014).
Bagi terapi awal pasien dengan infeksi HIV, regimen yang
direkomendasikan adalah 2 obat ARV golongan NRTI dan 1 obat ARV
golongan NNRTI, golongan PI, atau golongan INSTI (US. Department of
(43)
Rekomendasi terapi lini pertama yang dianjurkan oleh WHO adalah
regimen obat yang terdiri atas tenofoir, lamivudine atau emtricitabine, dan
efavirenz. Jika regimen lini pertama tersebut tidak tersedia atau pasien
mengalami kontraindikasi, maka regimen alternatif yang direkomendasikan
adalah zidovudine, lamivudine dan efavirenz; zidovudine, lamivudine dan
nevirapine; tenofoir, lamivudine atau emtricitabine, dan nevirapine (WHO,
2013). Di Indonesia, terapi lini pertama yang dianjurkan juga meliputi 2
NRTI ditambah dengan 1 NNRTI.
Tabel VII.Regimen lini pertama ART (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
Regimen ART Keterangan
AZT + 3TC + NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine AZT + 3TC + EFV Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz
Tabel VIII.Regimen lini pertama pada pasien yang belum pernah mendapat ART (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011)
Populasi Target Rekomendasi pilihan Catatan Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau
FTC) + EFV atau NVP
Sesuai untuk sebagian besar pasien, gunakan FDC jika tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV + atau NVP
EFV tidak boleh digunakan pada trimester pertama, TDF dapat digunakan sebagai pilihan terapi
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV
Terapi ARV dimulai setelah terapi TB dapat ditoleransi (2-8 minggu), gunakan NVP atau triple NRTI jika EFV tidak dapat digunakan Ko-infeksi
HIV/Hepatitis B kronik aktif
TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP
Monitoring HBsAg jika TDF digunakan sebagai lini pertama, gunakan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti hepatitis B
Keterangan tabel AZT : Zidovudine TDF : Tenofoir 3TC : Lamivudine FTC : Emtricitabine EFV : Efavirenz NVP : Nevirapine
FDC :Fix Dose Combination Triple NRTI :Regimen antiretrovirus yang terdiri dari zidovudine, lamivudine dan tenofoir
HBsAg : Antigen permukaan virus hepatitis
(44)
Obat ARV golongan PI tidak dianjurkan untuk terapi lini pertama.
Penggunaan PI pada lini pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami
intoleransi terhadap golongan NNRTI yaitu efavirenz atau nevirapine
(Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2011). Penggunaan ARV golongan PI dapat diperkuat oleh ritonavir, seperti
lopinavir, saquinavir atau indinavir. Golongan PI yang diperkuat dengan
ritonavir lebih kuat daripada nelfinavir saja (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik dan Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, 2006).
c. Terapi antijamur
Terapi antijamur untuk kandidiasis yang dianjurkan pada pasien
HIV adalah terapi oral dengan catatan antifungal golongan azole tidak
direkomendasikan kepada pasien hamil. Jika pasien tidak dapat menerima
terapi oral, maka terapi topikal dapat menjadi alternatif dimana terapi ini
aman digunakan selama kehamilan dan efektif untuk infeksi jamur dengan
tingkat keaparahan ringan sampai sedang(US.Department of Health and
Human Service, 2014).
Tabel IX.Pilihan Terapi Kandidiasis pada Pasien HIV (US.Department of Health and Human Service, 2014).
Terapi oral Terapi topikal Terapi oral alternatif Terapi topikal alternative Lama terapi Kandidiasis Orofaringeal Flukonazol 100 mg/hari Klotrimazol troches 10 mg 5x/hari Mikonazol 50 mg/hari
Itrakonazol 200 mg perhari
Posakonazol 400 mg, 2x/hari untuk hari pertama, lalu
lanjutkan 400 mg/hari
Suspesi oral nystatin 4-6 ml, 4x/hari
(45)
Tabel X. Lanjutan Kandidiasis Esofageal Flukonazol 100
mg, 4x/hari Solutio itrakonazol 200 mg 4x/hari
- Vorikonazol 200 mg Posakonazol 400 mg, 2x/hari
(Jika terapi oral tidak dapat diberikan, berikan terapi IV dengan echinocandin atau amfoterisin)
- 14-21 hari
Kandidiasis Orofaringeal / Esofageal yang parah Posakonazol 400
mg, 2xhari
Solutio itrakonazol
≥ 200 mg, 4x/hari Echinocandin 50 mg 4x/hari Mikafungin 150 mg 4x/hari
Anidulafungin 100 mg untuk dosis pertama, lalu lanjutkan 50 mg 4x/hari - - - Kandidiasis Vulvovaginal Flukonazol 150 mg/hari Butokonazol Kotrimazol Mikonazol Nystatin Terkonazol Tiokonazol Solutio itrakonazol 200 mg 4x/rhari
- 3-7 hari
Kandidiasis Vulvovaginal yang parah Flukonazol
100-200 mg 4x/hari
- - - ≥ 7 hari
Di Indonesia, untuk mengatasi kandidiasis oral pada pasien HIV,
terapi yang dianjurkan adalah tablet nystatin 100.000 IU dihisap setiap 4 jam
selama 7 hari atau suspensi oral nystatin 3-5 cc dikumur 3 kali sehari selama
7 hari. Terapi yang dianjurkan untuk mengatasi kandidiasis esophageal
adalah flukonazol 200 mg perhari, itrakonazol 400 mg perhari, atau
(46)
mengatasi kandidiasis esophageal pada pasien HIV adalah 14 hari (Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
C. Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kondisi tidak diinginkan
yang dialami oleh pasien yang melibatkan terapi pengobatan, dan baik secara
aktual atau potensial menghalangi tercapainya tujuan terapi. Terdapat 7 kategori
DRPs yaitu pasien membutuhkan obat tambahan, obat kurang efektif, dosis obat
yang diberikan untuk pasien terlalu kecil, dosis obat yang diberikan untuk pasien
terlalu besar, pasien mengalami efek samping dari obat yang diterima, obat tidak
diperlukan, dan ketidakpatuhan obat (Cipolle, Strand, dan Morley, 2004).
Berikut adalah cakupan masalah dalam drug related problems (DRPs):
Tabel XI. Cakupan Masalah dalam Drug Related Problem (Cipolle, et.al., 2004)
Drug Related Problems (DRPs)
Cakupan Masalah Membutuhkan obat
tambahan
Pasien tidak menerima obat untuk diagnosis utama
Pasien tidak menerima obat untuk komplikasi diagnosis utama yang diderita
Pasien tidak mendapatkan terapi profilaksis yang diperlukan Pasien tidak mendapatkan kombinasi obat yang diperlukan Obat kurang efektif Obat yang diberikan bukan yang paling efektif untuk kondisi
pasien
Bentuk sediaan obat tidak sesuai
Kondisi pasien sukar atau tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan
Dosis terlalu rendah Dosis terlalu rendah untuk mendapatkan efek Frekuensi pemberian kurang
Durasi terapi obat yang diberikan terlalu pendek untuk mendapatkan efek
Interaksi obat yang mengurangi jumlah obat dalam bentuk aktif Dosis terlalu tinggi Dosis terlalu tinggi sehingga menimbulkan efek berlebihan
Frekuensi pemberian terlalu banyak
Durasi terapi obat yang diberikan terlalu panjang Interaksi obat yang menyebabkan reaksi toksisitas
(47)
Tabel XII. Lanjutan Drug Related Problems
(DRPs)
Cakupan Masalah
Efek samping obat Muncul efek lain selain efek farmakologis tetapi tidak ada kaitannya dengan dosis
Interaksi obat yang menyebabkan reaksi tak diinginkan Obat tidak aman
Pasien memiliki alergi dan kontraindikasi terhadap obat
Obat tidak diperlukan Penggunaan obat tunggal atau kombinasi yang tidak diperlukan pasien
Kondisi medis dapat diatasi dengan terapi nonfarmakologi Terapi efek samping yang dapat diatasi dengan obat lain Penyalahgunaan obat
Ketidakpatuhan Pasien tidak paham aturan pemakaian obat Pasien tidak suka menggunakan obat Pasien lupa menggunakan obat Obat tidak ekonomis bagi pasien Pasien tidak dapat meminum obat Obat tidak tersedia bagi pasien
D. Keterangan Empiris
Infeksi HIV adalah infeksi yang disebabkan oleh retrovirus yang dapat
merusak atau menekan sistem imun seseorang sehingga seseorang menjadi rentan
terkena infeksi oportunistik salah satunya kandidiasis, dimana terapi yang
diberikan harus disesuaikan dengan kondisi pasien HIV. Berdasarkan
kompleksnya terapi, terdapat drug related problems (DRPs) pada pasien HIV
dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari
(48)
26 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai evaluasi drug related problems (DRPs) pada
pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014 merupakan jenis penelitian
observasional dengan rancangan case seriesyang bersifat retrospektif. Penelitian
ini merupakan penelitian observasional karena tidak ada perlakuan, manipulasi
ataupun intervensi yang diberikan, subjek penelitian diamati apa adanya di lokasi
penelitian. Rancangan penelitian ini adalah case series karena evaluasi dilakukan
pada sekumpulan kasus infeksi HIV dengan kandidiasis pada lokasi dan periode
penelitian yang telah ditentukan (Strom and Kimmel, 2006). Penelitian bersifat
retrospektif karena data yang diperoleh berasal dari rekam medis pasien HIV
dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode yang telah
lampau sebelum proses pengambilan data yaitu Januari 2010-Juni 2014.
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah pola pengobatan yang diterima
pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode
Januari 2010-Juni 2014dan drug related problems (DRPs) yang muncul dari pola
(49)
C. Definisi Operasional
1. Karakteristik pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014 meliputi umur, jenis kelamin,
stadium infeksi HIV dan jenis kandidiasis yang diderita.
2. Pola pengobatan infeksi HIV dengan kandidiasis yang diterima oleh pasien
selama menjalani perawatan di instalasi rawat inap rumah sakit terbagi
menjadi kelas terapi obat berdasarkan MIMS Indonesia 2013/2014, jenis obat,
golongan obat dan rute pemberian obat.
3. Evaluasi DRPs yang dibahas dalam peneitian ini adalah evaluasi DRPs
terhadap pengobatan infeksi HIV dan kandidiasis sebagai infeksi oportunistik
HIV, serta gejala-gejala penyakit yang berhubungan dengan HIV dan
kandidiasis.
4. DRPs yang dievaluasi pada penelitian ini meliputi 6 kategori yaitu
membutuhkan obat tambahan, obat tidak diperlukan, obat kurang efektif,
dosis obat terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi dan efek samping obat.
5. DRPs yang ditemukan dalam dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2
jenis yaitu DRPs potensial dan aktual. DRPs potensial adalah kondisi tidak
diinginkan yang dimungkinkan terjadi pada pasien akibat terapi yang diterima
yang dapat diketahui dari berbagai pustaka mengenai pengobatan yang
diterima oleh pasien. DRPs aktual adalah kondisi tidak diinginkan yang
terjadi pada pasien akibat terapi yang diterima dimana kondisi tersebut dapat
(50)
6. Outcome atau status keluar pasien adalah kondisi terakhir pasien setelah
selesai menjalani pengobatan (pulang karena sembuh atau membaik, dirujuk
ke rumah sakit lain, atau meninggal dunia) di instalasi rawat inap rumah sakit.
7. Jumlah pasien HIV dengan kandidiasis yang ditemukan dalam penelitian ini
adalah 23 pasien, dimana jumlah tersebut merupakan hasil pencarian oleh
petugas pada komputer yang berada di instalasi rekam medis rumah sakit.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua pasien yang terdiagnosis HIV dengan
kandidiasisdan menerima terapi farmakologi di instalasi rawat inap Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014. Kriteria inklusi meliputi
pasien dengan jenis kelamin perempuan maupun laki-laki, telah menjalani uji
laboratorium terkait infeksi HIV, dan menerima terapi farmakologi. Kriteria
eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan hasil rekam medis
yang tidak lengkap yaitu tidak ada hasil pemeriksaan laboratorium dan tidak ada
data jumlah sel CD4 ketika pasien menjalani rawat inap, tidak ada status keluar
pasien setelah menjalani rawat inap, tidak ada pemeriksaan tanda vital, serta
rekam medis tidak dapat dibaca walaupun telah dilakukan tanya jawab kepada
petugas di instalasi rekam medis dan tidak dapat diakses.
Pemilihan subjek penelitian dilakukan sesuai dengan kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi yang telah ditetapkan. Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014, populasi pasien HIV yang menjalani rawat inap
(51)
kandidiasis. Dari 23 pasien tersebut, pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi
sebanyak 13 pasien. Jumlah kasus yang diperoleh dari 13 pasien tersebut
sebanyak 16 kasus dimana pada kasus nomor 3, 5, dan 13 pasien terdiagnosa HIV
dengan kandidiasis dan menjalani rawat inap di rumah sakit sebanyak
masing-masing 2 kali. Sebanyak 10 pasien tidak dimasukkan ke dalam penelitian
disebabkan karena 1 rekam medis pasien tidak lengkap yaitu tidak ada hasil
pemeriksaan tanda vital dan catatan keperawatan tidak jelas, serta 9rekam medis
pasien tidak dapat diakses.
Gambar 4. Skema pemilihan subjek penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014
E. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar rekam medis
pasien rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang memiliki kriteria
inklusi seperti di atas. Lembar rekam medis adalah catatan yang diisi oleh dokter
maupun perawat yang berisi identitas pasien (nama, umur dan jenis kelamin),
riwayat alergi dan penyakit pasien, keluhan utama dan perjalanan penyakit
197 populasi pasien HIV yang menjalani rawat inap
23 pasien HIV dengan kandidiasis
Inklusi 13 pasien
Eksklusi 10 pasien
9 rekam medis pasien tidak dapat diakses
1 rekam medis pasien tidak lengkap
(52)
sebelum pasien menjalani rawat inap, lama pasien menjalani rawat inap, diagnosa
utama, keluhan pasien dalam asuhan keperawatan, pemeriksaan tanda vital,
laboratorium, foto rotgen, USG atau CT Scan, terapi farmakologi yang diberikan,
dan status keluar pasien.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah form pengambilan
data yang digunakan untuk mencatat data subjektif, objektif dan pengobatan yang
diterima pasien HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.
G. Lokasi Penelitian
Tempat pengambilan data berada di instalasi rekam medis Rumah Sakit
Panti Rapih, Jalan Cik Di Tiro nomor 30 Yogyakarta.
H. Jalannya Penelitian 1. Pengurusan Izin Penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan pengurusan izin penelitian ke
lokasi penelitian untuk dapat mengambil data yang diperlukan. Surat pengantar
permohonan ijin penelitian didapat dari Fakultas Farmasi Universitas Sanata
(53)
2. Analisis Situasi
Analisis situasi pada penelitian ini dilakukan dengan mencari nomor
rekam medis pasien yang menjadi subjek penelitian dan mengidentifikasi
sistematika pengambilan data rekam medis di lokasi penelitian. Pencarian
nomor rekam medis dilakukan di komputer instalasi rekam medis oleh petugas
rumah sakit. Dari hasil analisis situasi diperoleh 23 nomor rekam medis dan
untuk dapat memperoleh data rekam medis pasien perlu dilakukan pencatatan
nomor rekam medis dan nama pasien dalam buku peminjaman rekam medis
sehari sebelum peminjaman rekam medis tersebut.
3. Pengambilan Data
Subjek penelitian yang diperoleh dari hasil analisis situasi dipilih
berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan. Jika
terdapat data rekam medis yang tidak jelas, dilakukan tanya jawab kepada
petugas instalasi rekam medis untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data
penelitian yang dicatat meliputi seluruh data yang tercantum dalam form
pengambilan data. Pengumpulan data dari rekam medis tersebut dilakukan
tanpa mengganggu aktivitas petugas rekam medis di rumah sakit tersebut.
4. Pengolahan Data dan Analisis Hasil
Pengolahan data dan analisis hasil dilakukan secara deskriptif
evaluatif dengan menggambarkan secara jelas karakteristik pasien, pola
pengobatan yang diterima oleh pasien dan evaluasi DRPs dilakukan pada pola
pengobatan pasien tersebut berdasarkan riwayat alergi dan penyakit pasien,
(54)
keperawatan selama pasien menjalani rawat inap di rumah sakit, hasil
pemeriksaan tanda vital dan hasil pemeriksaan laboratorium.
I. Tata Cara Analisis Hasil 1. Karakteristik pasien
a. Distribusi pasien berdasarkan kelompok umur dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu pediatri, dewasa, dan geriatri dengan menghitung jumlah kasus pada
tiap kelompok umur dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
b. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dibagi menjadi 2 yaitu
laki-laki dan perempuan dengan menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok
jenis kelamin dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
c. Distribusi pasien berdasarkan stadium HIV yang diderita dibagi menjadi 4
yaitu stadium 1, stadium 2, stadium 3, dan stadium 4 dengan menghitung
jumlah kasus pada tiap stadium HIV dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
d. Distribusi pasien berdasarkan jenis kandidiasis yang diderita dibagi
menjadi 7 yaitu kandidiasis oral, kandidiasis faring atau orofaring,
kandidiasis pada trakea, kandidiasis pada bronki, kandidiasis esofageal,
kandidiasis pada vagina, dan kandidemia dengan menghitung jumlah
kasus pada tiap kelompok jenis kandidiasis dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
Seluruh pembagian karakteristik pasien di atas disajikan dalam bentuk diagram pie.
(55)
2. Pola pengobatan yang diterima oleh pasien
a. Persentase kelas terapi obat yang diberikan pada pasien HIV dengan
kandidiasis diperoleh dengan menghitung jumlah kasus pada tiap kelas
terapi obat berdasarkan MIMS Indonesia 2013-2014, dibagi dengan
jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
b. Persentase golongan obat yang diberikan pada pasien HIV dengan
kandidiasis diperoleh dengan menghitung jumlah kasus pada tiap golongan
obat, dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
c. Persentase jenis obat yang diberikan pada pasien HIV dengan kandidiasis
diperoleh dengan menghitung jumlah kasus pada tiap jenis obat, dibagi
dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
d. Persentase rute pemberian obat yang diberikan pada pasien HIV dengan
kandidiasis diperoleh dengan menghitung jumlah kasus pada tiap rute
pemberian obat, dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%.
Seluruh pembagian pola pengobatan pasien di atas disajikan dalam bentuk
tabel.
3. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
Evaluasi DRPs yang dilakukan meliputi 6 kategori yaitu
membutuhkan obat tambahan, obat tidak diperlukan, obat kurang efektif, dosis
obat terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi, dan efek samping obat.
Evaluasi DRPs dilakukan dengan metode SOAP (subjective, objective,
assessment, dan plan/recommendation). Subjektif meliputi umur, jenis
(56)
penyakit pasien sebelum menjalani rawat inap, lama dirawat, keluhan pasien
dalam asuhan keperawatan, dan status keluar. Objektif meliputi diagnosa
masuk dan keluar, hasil pemeriksaan tanda vital, hasil pemeriksaan
laboratorium, dan pengobatan yang diterima oleh pasien.Assesment merupakan
penilaian dan evaluasi terhadap adanya DRPs pada pengobatan yang diterima
oleh pasien. Plan/recommendation merupakan saran atau rekomendasiuntuk
mengatasi atau meminimalkan DRPs pada pengobatan pasien berdasarkan
acuan yang akan digunakan yaitu, Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa (Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011), Pedoman
Pelayanan Kefarmasian untuk Orang dengan HIV/AIDS (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik dan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006), Pedoman Terapi Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta, Guide for HIV/AIDS Clinical Care (U.S Department
of Health and Human Services, 2014) dan Consolidated Guidelines on the Use
of Antriretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV Infection(World
Health Organization, 2013).
Acuan utama yang digunakan sebagai dasar evaluasi DRPs adalah
acuan Indonesia kemudian disesuaikan lebih lanjut dengan acuan internasional.
Hasil evaluasi kemudian dikelompokkan ke dalam 6 kategori DRPs dan dicari
persentasenya dengan menghitung jumlah kasus pada tiap kategori DRPs
dibagi dengan jumlah seluruh kasus lalu dikali 100%. Pengelompokkan DRPs
(57)
35 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai Drug Related Problems (DRPs) Pada Pengobatan
Pasien HIV Dengan Kandidiasis Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode
Januari 2010-Juni 2014 dilakukan dengan menelurusi rekam medis pasien-pasien
yang termasuk dalam kriteria inklusi penelitian. Dari 13 pasien yang termasuk
dalam kriteria inklusi penelitian, diperoleh 16 kasus yang memiliki data rekam
medis lengkap meliputi jenis kelamin, diagnosa utama dan komplikasi, lama rawat
inap, status keluar, terdapat data hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
tanda vital, serta data pengobatan yang diperoleh pasien selama menjalani rawat
inap.
A. Karakteristik Pasien
1. Distribusi Pasien Berdasarkan Kelompok Umur
Pasien yang telah masuk dalam kriteria inkluasi penelitian
dikelompokkan berdasarkan 3 kelompok umur yaitudi bawah 18 tahun yang
disebut pasien anak dan remaja, umur 18-64 tahun yang disebut pasien
dewasa, dan 65 tahun ke atas yang disebut pasien lansia (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Distribusi pasien HIV dengan
kandidiasis yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih
berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa sebanyak 100% merupakan
pasien dewasa yaitu pasien dengan umur 18-64 tahun. Dari 16 kasus dengan
(58)
umur yaitu pasien remaja akhir ( 17-25 tahun) sebesar 12,5%, dewasa awal
(26-35 tahun) sebesar 25%, dewasa akhir (36-45 tahun) sebesar 31,2%, lansia
awal (46-55 tahun) sebesar 18,7%, serta lansia akhir (56-65 tahun) sebesar
12,5% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Pengelompokkan
lebih lanjut ini bertujuan agar distribusi pasien berdasarkan kelompok umur
terutama pada pasien dewasa menjadi lebih jelas dan terperinci.
Gambar 5. Diagram Distribusi Pasien Berdasarkan Kelompok Umur (n = 16)
Resiko terjadinya infeksi HIV tidak meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, oleh karena itu usia bukanlah faktor resiko penyakit ini.
Infeksi HIV hanya dapat bertransmisi melalui 3 hal yaitu transmisi seksual,
parenteral, dan perinatal dimana transmisi ini dapat terjadi pada usia
berapapun (Public Health Agency of Canada, 2012). Kandidiasis sebagai
infeksi oportunistik infeksi HIV juga tidak meningkat seiring dengan
bertambahnya usia tetapi meningkat seiring dengan tingkat keparahan infeksi
HIV yang diderita oleh pasien (Klatt, 2013). Distribusi pasien HIV dengan
kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih menunjukkan bahwa persentasi
kejadian penyakit paling banyak terdapat pada pasien dengan umur
25-12.5%
25%
31.2% 18.7%
12.5%
Remaja akhir (17-25 tahun) Dewasa awal (26-35 tahun) Dewasa akhir (36-45 tahun) Lansia awal (46-55 tahun) Lansia akhir (56-65 tahun)
(59)
45tahun tepatnya pada pasien dewasa awal sampai dewasa akhir yaitu sebesar
56,2%.
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti
Rapih dilihat pula berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pasien
laki-laki sebanyak 87,5% dan pasien perempuan sebanyak 12,5%.
Gambar 6. Diagram Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin (n = 16)
Berdasarkan distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin di atas, dapat
dilihat bahwa sebagian besar pasien HIV dengan kandidiasis yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah laki-laki. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi
di Indonesia dimana kasus HIV/AIDS paling banyak terjadi pada laki-laki
(Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014).
3. Distribusi Pasien Berdasarkan Stadium HIV
Selain berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, pasien juga
didistribusikan berdasarkan stadium HIV. Distribusi pasien berdasarkan
stadium HIV dilihat berdasarkan gejala klinik, hal ini disebabkan karena
87.5% 12.5%
Laki-laki
(60)
gejala klinik dapat digunakan secara efektif untuk menentukan stadium HIV
(WHO, 2005). Berdasarkan gejala klinik, stadium HIV dibagi menjadi 4 yaitu
stadium 1, stadium 2, stadium 3, dan stadium 4. Distribusi pasien HIV dengan
kandidiasis yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta menunjukkan bahwa tidak ada pasien HIV dengan stadium 1 dan
2, pasien HIV dengan stadium 3 sebanyak 81,2%, dan pasien dengan stadium
4 sebanyak 18,7%.
Gambar 7. Diagram Distribusi Pasien Berdasarkan Stadium HIV (n = 16)
4. Distribusi Pasien Berdasarkan Lokasi Infeksi Kandidiasis
Distribusi pasien berdasarkan lokasi infeksi kandidiasis dibagi
menjadi 4 yaitu kandidiasis oral/orofaringeal atau kandidiasis pada mukosa
mulut dan orofaring, kandidiasis vulvovaginal atau kandidiasis pada vagina,
kandidiasis kutan atau kandidiasis pada kuku dan kulit, dan kandidemia atau
kandidiasis pada pembuluh darah sistemik (Dabas, 2013). Distribusi pasien
HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta menunjukkan bahwa kandidiasis pada mukosa mulut
81.2% 18.7%
Stadium 3
(61)
diderita oleh 75%, pasien dan kandidiasis pada mukosa orofaring diderita oleh
25% pasien.
Gambar 8. Diagram Distribusi Pasien Berdasarkan Lokasi Infeksi Kandidiasis (n = 16)
Perkembangan kandidiasis pada pasien HIV yang termasuk dalam
kriteria inklusi penelitian dapat dilihat tiap tahunnya. Penurunan angka
kejadian kandidiasis terjadi pada tahun 2010 sampai 2012. Angka kejadian
kandidiasis pada tahun 2010 adalah 4 kasus dari 16 kasus, dimana dari
keempat kasus tersebut, 3 kasus terdiagnosa kandidiasis oral dan 1 kasus
terdiagnosa kandidiasis orofaring, 3 kasus memperoleh pengobatan tunggal
dengan fluconazole tablet dan 1 kasus tidak memperoleh pengobatan
antijamur. Angka kejadian kandidiasis pada tahun 2011 menurun menjadi 3
kasus dari 16 kasus, dimana ketiga kasus tersebut terdiagnosa kandidiasis
orofaring dan seluruhnya memperoleh pengobatan tunggal dengan fluconazole
tablet. Angka kejadian kandidiasis pada tahun 2012 juga menurun menjadi 2
kasus dari 16 kasus, dimana kedua kasus tersebut terdiagnosa kandidiasis oral,
75% 25%
Kandidiasis oral
(62)
1 kasus memperoleh pengobatan tunggal dengan fluconazole injeksi dan 1
kasus memperoleh pengobatan tunggal dengan fluconazole tablet.
Pada tahun 2013 sampai Juni 2014, terjadi peningkatan angka
kejadian kandidiasis. Angka kejadian kandidiasis pada tahun 2013 adalah 3
kasus dari 16 kasus, dimana ketiga kasus tersebut terdiagnosa kandidiasis oral,
1 kasus memperoleh pengobatan kombinasi suspensi oral nystatin dan
fluconazole tablet, dan 2 kasus memperoleh pengobatan tunggal dengan
fluconazole. Angka kejadian kandidiasis meningkat pada Januari 2014-Juni
2014 menjadi 4 kasus dari 16 kasus, dimana keempat kasus tersebut
terdiagnosa kandidiasis oral, 3 kasus memperoleh pengobatan tunggal dengan
fluconazole tablet dan 1 kasus tidak memperoleh pengobatan antijamur.
B. Pola Pengobatan Pasien
Pola pengobatan pasien adalah adalah gambaran pengobatan yang
diterima oleh pasien selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta.Pola pengobatan pasien meliputi kelas terapi obat, golongan obat jenis
obat dan rute pemberian obat.
1. Kelas Terapi Obat
Gambaran distribusi penggunaan obat pada pasien berdasarkan kelas
terapi menurut MIMS Indonesia 2013/2014 disajikan dalam tabel di bawah
ini. Penggunaan obat terbanyak ada pada kelas terapi antiinfeksi, obat yang
(63)
Tabel XIII. Pola Pengobatan Pasien Berdasarkan Kelas Terapi Obat Kelas Terapi Obat Jumlah Kasus
(n = 16)
Persentase (%)
Antiinfeksi 16 100
Sistem gastrointestinal dan hepatobilier 13 81,2 Sistem saraf pusat 12 75 Vitamin dan mineral 6 37,5 Lain-lain
Sistem pernafasan 6 37,5 Alergi dan sistem imun 2 12,5
Kulit 1 6,2
2. Jenis dan Golongan Obat
a. Antiinfeksi
Pada pasien HIV dengan kandidiasis yang menjalani rawat inap,
antiinfeksi merupakan pengobatan yang paling banyak diterima diantara
kelas terapi yang lain. Hal ini sesuai dengan pengobatan yang seharusnya
diterima oleh pasien HIV dengan kandidiasis dimana antiinfeksi berperan
dalam membatasi infeksi HIV lebih jauh, mengatasi atau mencegah
infeksi bakteri yang mungkin muncul, serta mengatasi kandidiasis
sebagai infeksi oportunistik infeksi HIV (Direktur Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Antiinfeksi yang digunakan meliputi sefalosporin, makrolida,
kuinolon, sulfonamida, antibiotika golongan lain, antivirus, antijamur,
obat anti tuberkulosis, dan antimalaria. Antiinfeksi selain antibiotika
golongan lain, antivirus dan antijamur digunakan untuk mengatasi infeksi
oportunistik selain kandidiasis yang diderita oleh pasien. Pada penelitian
ini, pemberian antibiotika sefalosporin ditujukan kepadapasien suspek
(1)
Kasus 13b
Subjektif
Umur / Jenis kelamin: 19 tahun / laki-laki Lama rawat inap: 19/03/2014-28/03/2014 Berat badan / Tinggi badan: - Keluhan utama: nyeri kaki kanan, febris
Riwayat alergi: - Perjalanan penyakit: datang ke IGD dengan keluhan utama Riwayat penyakit: HIV Diagnosa akhir: AIDS dan kandidiasis oral
Komplikasi: UTI Status keluar: membaik
Objektif
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 19/03/2014 Basofil: 0,5 (R)
Tanggal 18/03/2014 Lekosit: 11,6 (R) Eusinofil: 0,1 (R) Basofil: 0,3 (R) Netrofil: 82,7 (R) Limfosit: 10,5 (R) Urinalisa
Protein/albumin: +1 Eritrosit: 52,9 (T) Lekosit: 44,5 (T) Silinder hyaline: 8,6 (T) Epitel polygonal: 26 (T) Silinder patologis: 3,9 (T)
Tanggal 24/03/2014 Basofil: 0,7 (R)
Tanggal 27/03/2014 Basofil: 0,7 (R) Limfosit: 40,7 (T)
Tanggal 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Pemeriksaan
tanda vital
TD (mmHg) 110/80 130/90; 120/80; 110/70
120/80;110/80 110/80; 120/80; 120/70 110/70;120/80; 110/70; 120/70; 110/80; 110/70; 120/80; 120/70;
- 120/80; 110/70; 110/80
-
Nadi (x/menit) 75 80; 78; 82; 80; 80
80; 76; 78; 80; 88
80; 78; 80; 80; 78
88; 78; 88; 89; 82; 82 80; 76; 80; 76; 80; 80 80; 80; 76; 80
70; 88 72; 88 80
Suhu badan (ºC)
36,6 36,8; 37,6; 36,5; 36,4 36,5; 36,3; 36,9; 36,5; 36,2 36,3; 36,4; 36,3
36,4; 37; 36,4; 36,2
37; 36,5; 36,3
36; 36,6 36,6 36,4 36,6
Napas (x/menit)
(2)
Keluhan nyeri kaki kanan skala 3-4 nyeri kaki skala 3 kaki kanan nyeri bila digerakkan nyeri kaki kanan nyeri kaki kanan nyeri kaki kanan skala 2 nyeri kaki kanan tetapi sudah dapat berjalan nyeri kaki kanan tetapi sudah dapat berjalan - - Tatalaksana Obat Fluconazole 150 mg 1x/hari
v v v v v v v v v v
Domperidone 10 mg 3x/hari
v v v v v v v v v v
Duviral® 1 tab 2x/hari
v v v v v v v v v v
Nevirapine 200 mg 3x/hari
v v v v v v v v v v
Meloksikam 7,5 mg 1x/hari
v v v v v v v v
Cotrimoxazole 960 mg 2x/hari
v v v v v v v v v v
Scabimite cream
(3)
Assessments
- Fluconazole adalah antijamur yang memiliki efikasi baik dalam mencegah dan kolonisasi jamur dan infeksi jamur untuk berkembang menjadi infeksi jamur sistemik sehingga dapat diberikan kepada pasien dengan kandidiasis oral (Gotzsche dan Johansen, 2011) pemberian fluconazole sudah tepat - Salah satu efek samping zidovudine adalah intoleransi gastrointestinal, flukonazol dan kotrimoksasol memiliki efek samping mual muntah (Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011). Domperidone merupakan obat antimuntah (Nugroho, 2012) pemberian domperidone untuk mengantisipasi terjadinya efek samping zidovudine, flukonazol dan kotrimoksasolsudah tepat
- Duviral® adalah fix dose combination yang mengandung lamivudine dan zidovudine. Antiretroviral NRTI yang menjadi regimen lini pertama infeksi HIV adalah lamivudine dan zidovudine (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik dan Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006) pemberian lamivudine dan zidovudne sudah tepat
- Nevirapine adalah antiretroviral NNRTI yang menjadi lini pertama pengobatan infeksi HIV (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan). Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg, 2 kali sehari (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik dan Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006). Pada kasus ini, pasien mendapatkan nevirapine dengan dosis 200 mg, 3 kali sehari pemberian nevirapine kurang tepat. Dosis berlebih (aktual)
- Meloksikam adalah obat NSAID yang celektif terhadap COX-2 sehingga digunakan untuk mengatasi manifestasi inflamasi berupa vasodilatasi, edema, dan nyeri (Nugroho, 2012). pemberian meloksikam sudah tepat
- Kepada semua pasien yang dinyatakan positif HIV, kotrimoksasol merupakan terapi profilaksis yang wajib diberikan dengan dosis 960 mg, 1x/hari (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011). Dosis yang diperoleh pasien pada kasus ini adalah 960 mg, 2x/hari
Dosis berlebih (aktual)
- Penggunaan bersama fluconazole dan zidovudine dapat meningkatkan AUC zidovudine (Baxter, 2010)Dosis berlebih (potensial)
- Efek samping umum obat antiretroviral NNRTI adalah hepatotoksisitas dan ruam kemerahan pada kulit, dan obat antiretroviral golongan NRTI adalah laktat asidosis dan hepatotoksisitas (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik dan Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006) Efek samping obat (potensial)
Plan/Recommendation
- Pertimbangkan untuk menurunkan frekuensi pemberian nevirapine menjadi 2 kali sehari - Pertimbangkan untuk menurunkan frekuensi pemberian kotrimoksasol menjadi 1 kali sehari - Dibutuhkan monitoring efek toksisitas zidovudine
(4)
Lampiran 2.
Nilai rujukan pemeriksaan laboratorium Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Pemeriksaan NilaiRujukan
Hematologi Hemoglobin Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit
13.0-18.0 4.0-11.0
4.5-6.5 40.0-54.0
150-450 Leukosit
Eusinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit
0-9.5 0-2.5 35.0-88.7 12.0-44.0 0-11.2 FungsiHati
SGOT SGPT
0-38.0 0-41.0 FungsiGinjal
Ureum Kreatinin
10-50 0.7-1.2 Gas Darah
pH pCO2
pO2
HCO3
O2 saturasi TCO2
7.350-45.0 35.0-45.0 75.0-100.0
22.0-26.0 96.0-97.0 23.0-27.0
(5)
(6)