KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS KESEHATAN HEWAN KECAMATAN KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK PERIODE 2014

  SKRIPSI

  

KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR

PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI

WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS

KESEHATAN HEWAN KECAMATAN

KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK

PERIODE 2014

Oleh

  

ITA MARLITA IKA PUTRI NURJAYANTI

NIM 061111212

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2015

KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS KESEHATAN HEWAN KECAMATAN KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK PERIODE 2014

  Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

  Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

  Oleh:

  ITA MARLITA IKA PUTRI NURJAYANTI NIM 061111212 Menyetujui

  Komisi Pembimbing, (Dr. Tjuk Imam Restiadi, drh., M.Si) (Dr. Bambang Poernomo S., drh., MS)

  Pembimbing Utama Pembimbing Serta

  

PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul:

  

Kasus Kawin Berulang dan Faktor Penyebabnya pada Sapi Potong di

Wilayah Kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean

Kabupaten Gresik Periode 2014

  tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Surabaya, 21 Agustus 2015 Ita Marlita Ika Putri Nurjayanti

  NIM.061111212 Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal : 19 Agustus 2015

  KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN Ketua : Prof. Mas’ud Hariadi, drh., M.Phil., Ph.D.

  Sekretaris : Dr. Abdul Samik, drh., M.Si. Anggota : Dr. Suzanita, drh., M.Phil., Ph.D. Pembimbing Utama : Dr. Tjuk Imam Hariadi, drh., M.Si. Pembimbing Serta : Dr. Bambang Poernomo S., drh, M.S.

  Telah diuji pada Tanggal : 26 Agustus 2015

  KOMISI PENGUJI SKRIPSI Ketua : Prof. Mas’ud Hariadi, drh., M.Phil., Ph.D.

  Anggota : Dr. Abdul Samik, drh., M.Si.

  : Dr. Suzanita, drh., M.Phil., Ph.D. : Dr. Tjuk Imam Hariadi, drh., M.Si. : Dr. Bambang Poernomo S., drh, M.S.

  Surabaya, 26 Agustus 2015 Fakultas Kedoktran Hewan

  Universitas Airlangga Dekan, Prof. Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D.

  NIP. 195312161978062001

  

Repeat breeder cases and Cause Factor in Beef Cattle at Animal Health

Technical Officer Working Area on Kedamean Districts of

Gresik Regency Period of 2014

  Ita Marlita Ika Putri Nurjayanti

  

ABSTRACT

  This aim of this study is to determine the amount and the factors that cause beef cattle repeat breeder cases in the working area of the Animal Health Technical Officer on Kedamean Districts of Gresik Regency Period of 2014. Research is conducted in the working area of the Animal Health Technical Officer on Kedamean Districts of Gresik Regency in East Java Province on July 2015. This study uses survey method in which the data of repeat breeding cases retrieve from the inseminator’s recording. Observations are conducted on the management of maintenance, and also interviews on farmers. Data are presented descriptively and analyzed using tree classification with SPSS program version 21. The result factors that cause the incidence of repeat breeder are the effect of estrus that is observed once a day, not observed, observed twice a day and three times a day; the cage environmental hygiene; the knowledge of estrus cycle; farming experience; estrus cycle is not observed and observed twice a day; and is observed once a day and three times a day.

  Key words : repeat breeder, beef cattle

UCAPAN TERIMAKASIH

  Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Kasus Kawin Berulang dan Faktor Penyebabnya pada

  

Sapi Potong di Wilayah Kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan

Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014.

  Kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Hj.

  

Romziah Sidik., drh., Ph.D atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

  Dr. Tjuk Imam Restiadi, drh., M.Si selaku dosen pembimbing utama

  dan Dr. Bambang Poernomo S., drh., MS selaku dosen pembimbing serta, atas saran dan bimbingannya sampai selesainya skripsi ini.

  Prof. Mas’ud Hariadi, drh., Ph.D., M.Phil selaku dosen ketua penguji,

  atas saran dan bimbingannya sampai terselesaikannya penelitian. Suzanita

  

Utama drh., Ph.D., M.Phil dan Dr. Abdul Samik drh., M.Si selaku penguji

  skripsi atas wawasan keilmuan selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan skripsi ini.

  Dr. Ira Sari Yudaniayanti drh., M.P selaku dosen wali atas bimbingan

  dan nasehat – nasehat yang membangun selama ini. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya atas wawasan keilmuan selama ini mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

  Kedua orangtua, bapak H. Sumarno S.P. dan ibu Hj. Lilik Arlena yang selalu memberikan dukungan finansial, tenaga, do’a, semangat dan nasehat – nasehat yang membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Seluruh keluarga besar yang telah membantu doa dan memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan sarjana dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

  Terima kasih juga buat rekan-rekan mahasiswa angkatan 2011 atas bantuan dan kerjasamanya, serta semangat dan motivasi dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetapi sudah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

  Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca sebagai upaya penyempurnaan skripsi ini. Semoga hasil yang dituangkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

  Surabaya, 14 Agustus 2015 Penulis

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ... ii HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iii HALAMAN IDENTITAS………………………………………………… iv ABSTRACT.................................................................................................. vi UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... vii DAFTAR ISI.………….……………………………………………..……. ix DAFTAR TABEL………………………………………………………... xi DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….. xii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xiii SINGKATAN DAN LAMBANG……………………………………….. xiv

  BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... ... 1

  1.1 Latar Belakang ............................................................................ .. 1

  1.2 Rumusan Masalah. ....................................................................... ... 3

  1.3 Landasan Teori…………………………………………….…….. 4

  1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... .. 5

  1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... .. 5

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... …. 6

  2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................ …. 6

  2.2 Sapi Potong di Kecamatan Kedamean …………………………… 7

  2.3 Kawin Berulang (Repeat Breeding) ……………………………… 8

  2.4 Siklus Estrus pada Sapi …………………………………………… 12

  2.5 Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi…………………………………. 14

  BAB 3 MATERI DAN METODE ............................................................ … 19

  3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... … 19

  3.2 Materi Penelitian ......................................................................... … 19

  3.3 Metode Penelitian……….……………………………………….... 19

  3.4 Variabel Penelitian………………………………………………… 20

  3.5 Definisi Operasional………………………………………………. 20

  3.6 Kerangka Kerja Penelitian……………….………………...……… 21

  3.7 Analisis Data …………………………………………………….... 22 BAB 4. HASIL PENELITIAN.......................................................................

  23

  4.1 Jumlah Kasus Kawin Berulang …………………...……………….. 23

  4.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Kawin Berulang…………….... 23

  BAB 5. PEMBAHASAN................................................................................. 27

  5.1 Jumlah Kasus Kawin Berulang …………………...……………….. 27

  5.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Kawin Berulang……………..... 28

  BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................

  33

  6.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 33

  6.2 Saran ……………………………………………………………….. 33 RINGKASAN.................................................................................................. 34 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 36 LAMPIRAN……………………………………………………………....… 41

  

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Data deskripsi faktor resiko kejadian kawin berulang pada sapi

  potong pada tingkat peternak di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik………………………….. 24

  

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pedoman waktu inseminasi pada sapi……………….. 17Gambar 4.1 Proporsi sapi potong akseptor IB yang mengalami

  kawin berulang di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik tahun 2014…… 23

Gambar 4.3 Diagram pohon untuk faktor yang berpengaruh pada

  Kejadian kawin berulang di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik………... 25

  DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Kuisioner untuk peternak sapi potong di Kecamatan

  Kedamean………………………………………….. … 41

  Lampiran 2 Data Kawin Berulang Kecamatan Kedamean Tahun

  2014 dan hasil wawancara peternak di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik.………………….……... 42

SINGKATAN DAN LAMBANG

  CL = Corpus Luteum FSH = Follicle Stimulating Hormone

  IB = Inseminasi Buatan JLK = Jenis Lantai Kandang KB = Kawin Berulang KLK = Kebersihan Lingkungan Kandang Km = Kilometer Km

  2

  = Kilometer Persegi LH = Luteinizing Hormone PBM = Pemberian Minum PLB = Pengalaman Beternak PLE = Pelaporan Estrus PME = Pengamatan Estrus PTE = Pengetahuan Estrus PTSE = Pengetahuan Siklus Estrus SP = Saluran Pembuangan SPSS = Statistical Package for Social Science

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) tercatat bahwa populasi sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai 14,2 juta ekor (BPS, 2013). Hal ini mengalami penurunan yang cukup tajam bila dibandingkan dengan hasil pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (sensus ternak) yang dilaksanakan BPS (Badan Pusat Statistik) pada Juni 2011. Diketahui, populasi sapi dan kerbau hasil sensus ternak mencapai 16,7 juta ekor. Itu artinya, penurunan populasi pada tahun ini mencapai 2,5 juta ekor atau sekitar 15 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada 2011. Penyebab penurunan ini yaitu menyusutnya populasi sapi potong.

  Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang penting di Indonesia sebagai penghasil daging. Terkait dengan adanya program swasembada daging 2014 yang berarti 90% pemenuhan kebutuhan daging nasional berasal dari dalam negeri (Kementerian Pertanian, 2010). Pemerintah dituntut untuk segera menerapkan strategi pengembangan peternakan sapi potong nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor daging. Kebutuhan daging sapi tiap tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, di sisi lain penyediaan daging masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan permintaannya. Untuk mengurangi kesenjangan ini diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas, terlebih pada peternak sapi potong rakyat (Nuryadi dan Wahjuningsih, 2011).

  ITA MARLITA I.P.N. SKRIPSI KASUS KAWIN BERULANG ... Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, salah satunya adalah masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju kemajiran ternak betina, yang mengakibatkan produktifitas ternak masih rendah. Gangguan reproduksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain gangguan keseimbangan hormon reproduksi, pengelolaan kurang baik, penyakit pada alat kelamin khususnya penyakit kelamin menular, kelainan anatomi pada alat kelamin yang bersifat menurun (genetik), kelainan atau patologi pada alat kelamin dan lingkungan yang kurang serasi. (Hariadi dkk., 2011). Rendahnya

  

efisiensi reproduksi pada sapi mengindikasikan terjadinya gangguan reproduksi

yaitu kawin berulang (repeat breeding) (Prihatno dkk., 2013).

  Sapi yang mengalami kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina

yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan

dua kali atau lebih dengan di inseminasi buatan (IB) tetapi tetap belum bunting

(Toelihere, 1981). Sapi yang mengalami kawin berulang pada umumnya ditandai

dengan panjangnya calving interval (18-24 bulan), rendahnya angka konsepsi

(< 40%), dan tingginya service per conception (>3) (Rustamaji dkk., 2007). Hal

  ini menyebabkan pengulangan IB yang tidak efisien, lamanya proses mendapatkan keturunan, kerusakan organ reproduksi sapi betina serta menghambat manajemen dan pengelolaan peternakan.

  Faktor-faktor yang menyebabkan kawin berulang dapat berasal dari inseminator, peternak, dan ternak. Faktor inseminator yaitu berupa inseminator yang kurang terampil, inseminasi yang tidak tepat, atau semen yang digunakan kurang berkualitas. Faktor peternak dapat berupa kesalahan dalam manajemen pemeliharaan seperti manajemen pakan, manajemen perkandangan, kebersihan lingkungan, yang dapat mengakibatkan kegagalan fertilitas dan kematian embrio dini (Robert, 1986; Copelin et al.,1988). Selain itu, kesalahan pengelolaan reproduksi karena rendahnya pemahaman mengenai estrus, tidak akuratnya deteksi estrus sehingga dapat mengakibatkan keterlambatan pelaporan gejala birahi. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan yang ditandai dengan adanya gejala kawin berulang.

  Saat ini, belum diketahui tingkat kejadian kawin berulang dan faktor- faktor yang memengaruhi kawin berulang pada sapi potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Kedamean Gresik. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kejadian dan faktor-faktor yang memengaruhi kawin berulang pada sapi potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Kedamean Gresik.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan untuk penelitian sebagai berikut :

  

1. Berapakah jumlah kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah kerja

  Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014 ?

  

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kasus kawin berulang pada Sapi

  Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014 ?

1.3 Landasan Teori

  Kawin berulang (repeat breeding) merupakan suatu keadaan sapi betina

yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan tiga kali atau lebih

dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tanpa

adanya abnormalitas yang teramati (Amiridis et al., 2009). Hasil penelitian Astuti

  (2008), bahwa tingkat kejadian kawin berulang pada sapi potong di daerah Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah sebesar 9,22% dengan kriteria kategori kawin berulang yaitu sapi potong yang telah dilakukan inseminasi empat kali atau lebih. Hasil penelitian di Daerah Istimewa Yogjakarta

  

(DIY) pada tingkat peternak menunjukkan tingkat kejadian kawin berulang

sebesar 29,4% (Prihatno dkk., 2013). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini

ternyata lebih rendah dibandingkan dengan kajian yang dilaporkan oleh Yusuf et

al., (2012), bahwa kejadian kawin berulang di daerah tropis bisa mencapai 62%.

  Tingginya tingkat kejadian kawin berulang merupakan permasalahan dunia peternakan yang harus segera diatasi karena sangat merugikan peternak.

  Penyebab kawin berulang pada dasarnya disebabkan karena kegagalan

fertilisasi dan akibat kematian embrio dini (Linares et al., 1980; Gustafsson,

1985). Kegagalan fertilisasi dan kematian embrio dini pada umumnya disebabkan

karena faktor infeksi, gangguan hormonal, lingkungan, nutrisi, dan manajemen

(Robert, 1986; Copelin et al.,1988). Faktor kesalahan manajemen (peternak)

seperti jenis lantai kandang (Britt et al.,1986) dan kebersihan lingkungan kandang

(Robert, 1986), rendahnya pemahaman siklus estrus dan estrus, tidak akuratnya

deteksi estrus, ketepatan perkawinan, rendahnya nutrisi, dan lingkungan (Windig

  et al., 2005) dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan yang ditandai dengan

adanya gejala kawin berulang. Kegagalan dalam mendeteksi estrus merupakan

salah satu faktor yang dapat menyebabkan problem reproduksi dan rendahnya

angka kebuntingan pada kelompok ternak sapi perah (Thatcher et al., 2006).

  1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu :

  1. Untuk mengetahui jumlah kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014.

  2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014.

  1.5 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus pedoman untuk para peternak dan inseminator di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Kedamean Gresik. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang menyebabkan kawin berulang pada sapi potong maka dapat diupayakan langkah utama untuk memperkecil kejadian kawin berulang, sehingga efisiensi reproduksi dan pendapatan peternak dapat meningkat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

  Kabupaten Gresik terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya yang merupakan Ibu kota Provinsi Jawa Timur, Ibu kota Kabupaten Gresik berada 20 km sebelah utara Kota Surabaya, dengan luas wilayah 1.191,25 km2 yang terbagi dalam 18 Kecamatan dan terdiri dari 330 Desa dan 26 Kelurahan. Dengan batas wilayah : Utara : Laut Jawa Selatan : Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya Barat : Kabupaten Lamongan Timur : Selat Madura

  Secara geografis, wilayah Kabupaten Gresik terletak antara 112° sampai 113° Bujur Timur dan 7° sampai 8° Lintang Selatan dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut, kecuali Kecamatan Panceng yang mempunyai ketinggian 25 meter di atas permukaan air laut. (PDTI PEMDA Gresik, 2014).

  Kecamatan Kedamean merupakan kawasan selatan dari Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur dalam naungan negara kesatuan Republik Indonesia.

  Kecamatan Kedamean terdiri dari 15 desa, diantaranya yaitu Kedamean, Ngepung, Banyu Urip, Menunggal, Tanjung, Belahanrejo, Slempit, Sidoraharjo, Mojowuku, Glindah, Tulung, Lampah, Cermen, Turirejo, Katimoho. Kawasan yang dikenal dengan Gresik Selatan ini batas utara Kecamatan Manyar dan Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik, batas timur Kota Surabaya, batas barat Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Mojokerto, dan batas selatan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto (Suwandi, 2010).

2.2 Sapi Potong di Kecamatan Kedamean

  Sapi potong di wilayah Kecamatan Kedamean merupakan suatu komoditas ternak yang masih dikembangkan sampai saat ini. Mayoritas sapi potong yang diternakkan di Kecamatan Kedamean adalah jenis sapi Simental dan Limousin serta persilangannya.

  Menurut Sarwesti (2009), bahwa sapi Limousin mempunyai presentase daging dan tulang yang besar, kemampuan bereproduksi yang tinggi, mudah menghasilkan keturunan, pedet mempunyai hidup lebih besar, serta efisiensi pakan dan pertumbuhan daging yang optimal. Sapi Limousin memiliki tingkat kesuburan yang baik, daya hidup pedet bagus dan memiliki pertambahan bobot badan yang bagus serta sifat keindukan yang bagus pula (Andreana, 2013).

  Ciri khas sapi Simmental adalah warna bulunya yang coklat kemerahan (merah bata), sedangkan pada bagian muka, lutut ke bawah dan ujung ekornya berwarna putih (Wijaya, 2012). Sapi Simental memiliki persentase karkas yang tinggi dan mengandung sedikit lemak, serta dual purpose yaitu selain sebagai sapi potong, produksi susunya hampir menyamai sapi perah. Selain sebagai sapi potong, induk sapi Simental dapat menghasilkan susu yang berkualitas baik untuk dikonsumsi (Darmasasmita, 2015).

  Peternak di wilayah Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik telah menggunakan teknologi reproduksi Inseminasi Buatan (IB). Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan semen ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan bantuan inseminator agar hewan menjadi bunting (Herawati dkk., 2012). Sapi Potong yang dilakukan IB di Kecamatan Kedamean pada tahun 2014 yang tercatat di laporan pelaksanana IB berjumlah 1004 ekor.

2.3 Kawin Berulang (Repeat Breeding)

  Sapi yang mengalami kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina

yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan

dua kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen

pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981).

  Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Dalam

kelompok hewan fertil yang normal, dimana kecepatan pembuahan biasanya 50-

55%, kira-kira 9-12% adalah sapi betina yang mengalami kawin berulang

Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya

embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh

lingkungan yang tidak baik atau kekurangan nutrisi (Hardjopranjoto, 1995).

  

Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor

utama yaitu kegagalan pembuahan (fertilisasi) dan kematian embrio dini.

2.3.1 Kegagalan Pembuahan (fertilisasi)

  Kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin

berulang, yang termasuk dalam faktor ini adalah kelainan anatomi saluran

reproduksi . Menurut Hardjopranjoto (1995), kelainan anatomi dapat bersifat

genetik dan non genetik. Kelainan anatomi ini ada yang mudah diketahui secara

klinis dan ada yang sulit diketahui, yaitu seperti tersumbatnya tuba falopii ,

  a danya adhesi antara ovarium dengan bursa ovarium , kondisi dalam uterus yang kurang baik dan f ungsi yang menurun dari saluran reproduksi.

  Kelainan ovulasi termasuk faktor yang dapat menyebabkan kegagalan

pembuahan sehingga akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa

sehingga tidak mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak

sempurna (Hardjopranjoto, 1995). Kelainan ovulasi dapat disebabkan oleh

kegagalan ovulasi karena adanya gangguan hormon dimana karena kekurangan

  

Luteinizing Hormone

atau kegagalan pelepasan LH ( ) (Toelihere, 1981) dan dapat

disebabkan oleh endokrin yang tidak berfungsi sehingga mengakibatkan

perkembangan kista folikuler (Zemjanis, 1980). Ovulasi yang tertunda (delayed

ovulation

  ) atau tidak sempurna biasanya berhubungan dengan musim dan nutrisi

yang jelek (Arthur, 1975). Penyebab lainnya adalah ovulasi ganda (ovulasi dengan

dua atau lebih sel telur) yang biasa terjadi pada hewan monopara seperti sapi,

kerbau, kasusnya mencapai 13,19% . (Hardjopranjoto, 1995).

  Beberapa tipe morfologi dan abnormalitas fungsi telah teramati dalam sel

telur yang tidak subur seperti; sel telur raksasa, sel telur berbentuk lonjong (oval),

sel telur berbentuk seperti kacang dan zona pellucida yang ruptur (Hafez, 2000).

  

Kesuburan yang menurun pada induk-induk sapi tua mungkin berhubungan

dengan kelainan ovum, ovum yang sudah lama diovulasikan menyebabkan

kegagalan fertilisasi (Toelihere, 1981).

  Spermatozoa yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan

kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan

proses pembuahan karena sperma yang bentuknya abnormal mencapai 24-39%

pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan 12-13% pada sapi dara yang

menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995).

  Kesalahan pengelolaan reproduksi diantaranya dapat berupa kurang

telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk pelaksanaan

inseminasi buatan, manajemen pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik,

kesalahan dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku

yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma,

penyimpanan dan thawing yang kurang baik, serta faktor manajemen lain seperti

pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli dalam bidang kesehatan

reproduksi (Toelihere, 1981).

2.3.2 Kematian Embrio Dini

  Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang

fertil sampai akhir dari implantasi (Hafez, 2000). Faktor yang mendorong

kematian embrio dini menurut Hardjopranjoto (1995) diantaranya adalah f aktor

genetik sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak

atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk jantan maupun betina akan

lebih sering muncul pada turunannya. Faktor lain yaitu u mur induk yang banyak

  

terjadi pada hewan yang telah berumur tua, hal ini disebabkan karena pada hewan

tua sudah mengalami banyak kemunduran dalam fungsi endokrinnya . Selanjutnya

  yaitu f aktor infeksi, terjadi apabila kebuntingan pada induk yang menderita

  

penyakit kelamin dapat diikuti dengan kematian embrio dini atau abortus yang

menyebabkan infertilitas.

  Hafez (1993) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor dari kematian

embrio dini diantaranya yaitu f aktor laktasi yang terjadinya dapat dihubungkan

dengan kurang efektifnya mekanisme pertahanan dari uterus, stres selama laktasi

dan regenerasi endometrium yang belum sempurna. Selanjutnya adalah faktor

kekebalan yang terjadi jika mekanisme imunosupresi tidak berjalan dengan baik,

maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu perkembangan embrio di dalam

uterus. F aktor lingkungan juga dapat mengakibatkan kematian embrio dini pada

induk ketika suhu tubuhnya meningkat. Faktor yang lain yaitu jumlah embrio atau

fetus dalam uterus karena placenta berkembang dimana berisi beberapa embrio di

dalam ruang uterus maka suplai darah vaskuler akan menurun sehingga dapat

menyebabkan kematian embrio. Faktor ketidakseimbangan hormon estrogen dan

progesteron juga dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio dini. Menurut

pendapat Toelihere (1981) yang menyebabkan terjadinya kematian embrio dini

salah satunya adalah faktor pakan, kekurangan pakan mempunyai pengaruh

terhadap proses ovulasi, pembuahan dan perkembangan embrio dalam uterus.

  Pengetahuan peternak tentang siklus estrus dan estrus merupakan salah

satu faktor penting terhadap keberhasilan perkawinan. Peternak yang mengetahui

tentang siklus estrus dan estrus akan mengawinkan sapi perah mereka dalam

  

waktu yang tepat. Kebersihan kandang dan sapi merupakan syarat yang harus

dipenuhi agar terhindar dari gangguan reproduksi terutama infeksi reproduksi.

  

Salah satu gangguan reproduksi yang ditandai dengan gejala kawin berulang

adalah endometritis (Gilbert et al., 2005; Noakes et al., 2009).

2.4 Siklus Estrus pada Sapi

  Estrus yang dikenal dengan istilah birahi yaitu suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus birahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies (Partodiharjo, 1992).

  Peternak harus mengetahui bagaimana mengamati dan mengenal tanda- tanda berahi pada ternak betina serta segera melaporkannya kepada inseminator.

  Deteksi berahi harus dilakukan paling sedikit dua kali sehari, di pagi dan petang dengan teliti 20 sampai 60 menit (Toelihere, 1985a). Untuk kepentingan IB, sapi- sapi yang nampak birahi pada pagi hari, sebaiknya diinseminasi siang itu juga dan sapi yang nampak birahi sore, hendaknya dikawinkan besok pagi hari. Perdarahan pada vulva sering terjadi pada sapi dewasa 1-3 hari setelah berakhirnya estrus. Fenomena tersebut disebut perdarahan metestrus dan apabila perkawinan dilakukan pada saat tersebut konsepsi jarang terjadi.

  Interval antara timbulnya satu periode birahi ke permulaan periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus birahi. Siklus birahi pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu ; proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2005).

  2.4.1 Proestrus

  Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah (Marawali, dkk, 2001). Estradiol meningkatkan jumlah suplai darah ke saluran alat kelamin dan meningkatkan perkembangan estrus, vagina, tuba fallopi, folikel ovarium (Toelihere, 1985).

  Fase yang pertama kali dari siklus estrus ini dianggap sebagai fase penumpukan atau pemantapan dimana folikel ovarium yang berisi ovum membesar terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi cairan estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah merangsang peningkatam vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam persiapan untuk birahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson, 1992).

  2.4.2 Estrus

  Estrus adalah periode yang ditandai dengan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya. Menurut Frandson (1992), fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Pada saat itu, keseimbangan hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang mengakibatkan peningkatan LH, hormon ini akan membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan korpus luteum yang terlihat pada masa sesudah estrus.

  2.4.3 Metestrus

  Metestrus ditandai dengan berhentinya puncak estrus dan bekas folikel setelah ovulasi mengecil dan berhentinya pengeluaran lendir (Salisbury dan Vandenmark, 1978). Selama metestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut korpus hemoragikum. Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan luteal, menghasilkan korpus luteum (CL). Fase ini sebagian besar berada dibawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Frandson, 1992). Progesteron menghambat sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Pada masa ini terjadi ovulasi, kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus, kira-kira 24 sampai 48 jam sesudah birahi.

  2.4.4 Diestrus

  Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata (Marawali, dkk, 2001). Diestrus adalah periode dimana folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol bertambah.

2.5 Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

  Inseminasi Buatan atau kawin suntik dapat dikenal dengan sebutan

  artificial insemination

  (Bahasa Inggris). Artificial berarti tiruan atau buatan, sedang insemination berasal dari inseminates (latin) yang berarti pemasukan, penyampaian atau deposisi dan semen adalah cairan yang mengandung benih jantan yang diejakulasikan pada saat kopulasi atau penmpungan. Jadi kata inseminasi buatan dapat didefinisikan menjadi cara pemasukan atau deposisi semen ke dalam saluran kelamin betina menggunakan alat buatan manusia dan bukan secara alamiah (Hardijanto, dkk, 2010).

  Keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) yaitu harus tepat dalam menumpahkan bibit pejantan ke dalam alat kelamin betina, sehingga tidak mengurangi kesuburan spermatozoa dan dapat menjamin waktu terjadinya pembuahan yang optimal. Karena saat subur, sel telur sapi sangat terbatas, maka pelaksanaan IB yang tepat selama periode berahi merupakan faktor penentu keberhasilan.

2.5.1 Manfaat dan Kerugian Inseminasi Buatan

a. Manfaat Inseminasi Buatan

  Manfaat inseminasi buatan sangat banyak dengan kerugian yang sedikit, jika tidak demikian tentu perkembangan inseminasi buatan sudah lama terhenti.

  1. Produktivitas ternak dapat ditingkatkan melalui perbaikan kualitas genetik yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (cepat).

  2. Dapat meningkatkan kemampuan seekor pejantan unggul untuk melayani betina

  3. Mengurangi biaya dan resiko pemeliharaan sapi pejantan.

  4. Mengurangi risiko penularan penyakit veneris (kelamin menular).

  5. Merangsang peternak untuk rajin melakukan pencatatan (recording) tentang produksi dan reproduksi dari setiap kejadian yang dialami ternak mereka.

  6. Terjalin hubungan yang akrab antara peternak dengan petugas IB yang bermanfaat dalam informasi kejadian dan upaya pemberantasan penyakit

  7. Radius pelayanan IB tidak terbatas terutama bila menggunakan semen beku.

  8. Dengan teknik pembekua, semen dari seekor sapi pejantan unggul dapat disimpan dalam waktu yang lama (15-25 tahun).

  9. Sangat memungkinkan untuk dilakuakan perkawinan antara beberapa jenis ternak dalam satu spesies.

b. Kerugian Inseminasi Buatan

  Adanya kerugian yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan inseminasi buatan harus disadari dan diperhatikan. Batasan yang perlu diperhatikan akibat penerapan teknik inseminasi buatan dalam pengembangan peternakan ((Hardijanto, dkk, 2010)).

  1. Memerlukan petugas (tenaga) lapangan terampil, terlatih, dan tangguh agar dapat menjamin keyakinan peternak dan keberhasilan program IB.

  2. Bila penanganan pejantan dan pemrosesan semen bekunya kurang rapi dan cermat (lageartis) maka sangat dimungkinkan terjadi penyebaran penyakit dengan mudah dan cepat meluas.

  3. Bila seleksi dan pencatatan (recording) yang kurang rapi dan cermat, maka penyebaran sifat ternak yang tidak diinginkan mudah meluas.

  4. Bila bekal pengetahuan dan keterampilan petugas IB kurang makapenandaan betina yang sedang bunting mudah terabaikan dan akibatnya terjadi keguguran yang merugikan bagi ternak dan peternak.

2.5.2 Waktu untuk Inseminasi Buatan

  Waktu optimum untuk melakukan inseminasi harus diperhitungkan dengan waktu kapasitasi, yaitu suatu proses fisiologik yang dialami oleh spermatozoa di dalam saluran kelamin betina untuk memperoleh kapasitasi atau kesanggupan membuahi ovum. Waktu inseminasi pada sapi dianjurkan tidak boleh kurang dari 4 jam sebelum ovulasi atau tidak boleh melebihi 6 jam sesudah estrus (Toelihere, 1985).

Gambar 2.1 Pedoman waktu inseminasi pada sapi

  (Sumber : Perry, 1960) Menurut Trimberger dan Davis (1943), inseminasi pada sapi antara 8 sampai 24 jam, khususnya 7 sampai 18 jam, sebelum ovulasi akan memberikan angka konsepsi yang paling tinggi. Pelaksanaan IB pada awal, pertengahan, dan akhir masa birahi sapi memberikan angka konsepsi 44%, 82%, 75%. Sedang IB yang dilakukan pada 6 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 62,5%; 12 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 32,0%; 18 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 28,0%; 24 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 12,0%; 36 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 8,0%; 48 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 0,0%, Berdasarkan data tersebut, waktu terbaik untuk inseminasi adalah mulai dari pertengahan birahi sampai 6 jam sesudah akhir berahi (Gambar 2.1).

BAB 3 MATERI DAN METODE

  3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

  Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2015.

  3.2 Materi Penelitian

  Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sapi betina yang mengalami kasus kawin berulang dari catatan petugas kesehatan hewan/inseminator. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner untuk peternak sapi potong yang mengalami kawin beulang di Kecamatan Kedamean (Lampiran 2).

  3.3 Metode Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan teknik pengambilan data sensus, sehingga semua sapi betina yang mempunyai kasus kawin berulang digunakan sebagai sampel. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung mengenai manajemen pemeliharaan, kemudian dilakukan wawancara pada peternak di Kecamatan Kedamean. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari recording milik inseminator.

  SKRIPSI KASUS KAWIN BERULANG ... ITA MARLITA I.P.N.