Manajemen teror dan konflik antar agama : studi mengenai pengaruh mortality salience terhadap keinginan untuk menyakiti penganut agama lain - USD Repository
Manajemen Teror dan Konflik antar Agama:
Studi mengenai Pengaruh Mortality Salience terhadap Keinginan
untuk Menyakiti Penganut Agama lain
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi Disusun oleh:
Danang Priambodo
979114123
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
“The re is no roya l roa d to sc ie nc e , a nd only those who do not
dre a d the fa tig uing c limb of its ste e p pa ths ha ve a c ha nc e of
g a ining the luminous summits.”_________ Karl Marx
“To unde rsta nd the world one must not be worrying a bout
one se lf.”_________
Albert Einstein
Penulis persembahkan karya skripsi ini pada: Kedua orangtua penulis ♫ Ny.
Maria Mangunwihardjo
♫Heby Anggrestini ♫
Budhi Ardiyandhani
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan karya asli saya, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya tulis ilmiah.
Yogyakarta, 27 April 2007 Penulis,
Abstrak
Priambodo, Danang. (2007). Manajemen teror dan konflik antar agama: Studi mengenai pengaruh mortality salience terhadap keinginan untuk menyakiti penganut agama lain. Menurut Terror Management Theory (TMT), rasa takut pada kematian merupakan dasar dari terjadinya berbagai konflik berdarah antar umat beragama: bayangan/ingatan menonjol mengenai peristiwa kematian (mortality salience) dapat meningkatkan keinginan seorang penganut agama untuk menyakiti orang yang berbeda agama dengannya. Dalam skripsi ini, peneliti berusaha menguji hipotesa tersebut dengan mengadakan satu eksperimen terhadap 40 orang partisipan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa mortality salience tidak berpengaruh sama sekali terhadap meningkatnya keinginan tersebut. Pembahasan berpusat pada jawaban dari mengapa eksperimen ini menunjukkan hasil negatif.
Abstract
Priambodo, Danang. (2007). Terror management and religion conflicts: A study on the effect of mortality salience on the desire to hurt other people that belong to another religious party. According to Terror Management Theory (TMT), fear toward death lies at the bottom of every bloody religion conflicts: mortality salience will increase the desire of one certain religious beliefer to hurt other people that belong to another religious party. In this work, researcher try to test the hypothesis by conducting an experiment using 40 participants. Result of the experiment indicated that mortality salience have no effect whatsoever to the increase of the mentioned desire. Discussions focused on the questions of why this experiment showed negative result.
KATA PENGANTAR
Kematian merupakan peristiwa yang selama ribuan tahun telah banyak memunculkan perenungan bersifat filosofis, teologis, dan juga psikologis, meskipun demikian, baru selama ± 2 dekade terakhir inilah berbagai upaya empiris dilakukan para psikolog sosial untuk menguji adanya hubungan antara peristiwa tersebut dengan tema- tema psikologi sosial seperti afiliasi kelompok, fanatisme kelompok, konflik antar kelompok, nasionalisme, prasangka rasial, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, skripsi ini dapat digolongkan sebagai salah satu bagian dari upaya-upaya empiris tersebut.
Tema utama dari skripsi ini adalah mengenai adanya hubungan yang mungkin terjadi antara peristiwa kematian dengan terjadinya konflik antar umat beragama.
Konflik antar umat beragama merupakan salah satu masalah sosial terbesar umat manusia, dan berdasarkan Terror Management Theory, penulis berusaha mencaritahu apakah rasa takut pada kematian memang merupakan akar dari terjadinya konflik tersebut. Penulis cukup menyadari bahwa karya skripsi yang telah memakan waktu ± 3 tahun ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang dengan penuh ketulusan memberikan saran, kritik, dan dukungannya. Pada kesempatan ini, penulis secara pribadi hendak mengucapkan terimakasih kepada:
■ P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si (dekan Fakultas Psikologi-Universitas Sanata Dharma), atas empati, kesabaran, dan bantuan birokrasi yang banyak ia berikan kepada penulis.
■ Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si (kepala Program Studi Fakultas Psikologi- Universitas Sanata Dharma), atas empati, kesabaran, dan bantuan birokrasi yang ia berikan kepada penulis.
■ Y. Agung Santoso, S.Psi (dosen pembimbing skripsi penulis), atas bimbingan, empati, bantuan moral, kesabaran, dan kritik-kritik membangun yang selama hampir 3 tahun telah ia berikan kepada penulis. ■ Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang selama ini telah banyak berempati dan membantu kelangsungan studi penulis: Mas Didiek (atas kuliah-kuliahnya yang hidup, kritik-kritiknya yang membangun, dan gagasan-gagasan cemerlang yang banyak ia berikan kepada penulis), Mbak Arie, Mbak Titiek, Mbak Christine, Mbak Nimas, Mbak Tantie, Mbak Agnes, Mbak Ratrie, Ibu Susan, Ibu Lusie, Mbak Fusca (yang sekarang entah di mana), dan Pak Pratiek.
■ Jesus of Nazareth, Charles Darwin, Sigmund Freud, Albert Einstein, Karl Marx, Erich Fromm, dan Max Scheller, atas inspirasi-inspirasi cemerlang yang selama ini banyak mereka berikan kepada penulis.
■ Kedua orangtua penulis, atas pengorbanan, kasihsayang, dedikasi, perhatian, dan kesabaran, yang selama ini telah banyak mereka berikan demi keberhasilan studi penulis. ■ Ny. Maria Mangunwihardjo (nenek penulis, alm), atas kasihsayang mendalam, perhatian, kesabaran, dan pengorbanan, yang selama hidupnya telah ia berikan tanpa henti kepada penulis. ■ Kedua adik kandung penulis, atas dukungan, perhatian, dan bantuan yang mereka berikan kepada penulis.
■ Seluruh sahabat penulis: Heby (Mat-Sadhar ’99, thanks for the love, friendship,
care, patience, sacrifice, and dedication), Dhani (Psi-Sadhar ’03, thanks for the love,
friendship, care, beautiful memory, deep inspirations, enlightening discussions, and to
teach me how to love unconditionnaly, D forever d!!), Epiek (T.Otom UNY ‘01), Tyus
(Ikom-Sadhar ’99), Bambang (P. Mat-UST ’01), Nadie (Mat-Sadhar ’99), Ayu (Psi- Sadhar ’99), Mugie (Ikom-Sadhar ’99), Anto (P. Mat-UST ’01), Ohok (T. Per-UPN ’99), Erwien (Ekon-UPN ’99), Yudhi (T. Kim-UPN ’99), Hany, Ugiek, Gored (T. Geo- STTNAS ‘98), Dhimas (AKINDO ’01), Topiek, Yopha (T. Mesin-Sadhar ’95), Yogie, Seno (T. Inf-Sadhar ’95), Henry, Putri (S.Ingg-Sadhar ’05), Tetty (S.Ingg-Sadhar ’05), Gede (Hukum-Unibraw ‘98), Yayan (Psi-Sadhar ’97), Nalia (Psi-Sadhar ’97), Vina (Farm-Sadhar ’97), Wijie (BK-Sadhar ’97), Ruben (Psi-Sadhar ’97), There (Psi-Sadhar ’03), Robert (Psi-Sadhar ’99), Fauzan (Kom-STPDN ’99), Melly (Psi-Sadhar ’99).
■ Guns N’ Roses, band rock terbesar di dunia, yang lewat karya-karya musiknya telah memberi ketenangan jiwa dan semangat membara kepada penulis.
Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.
Yogyakarta, 23 Juni 2007 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………….……... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… iii HALAMAN MOTTO ……………………………………………….……... iv HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………….……... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………….……... vi ABSTRAK …………………………………………………………………. vii ABSTRACT ………………………………………………………………..... viii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………... ix DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xiii DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xviii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. xix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xx BAB 1. PENDAHULUAN ………………………………………….……...
1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………
1 1. Fungsi dasar agama sebagai akar dari konflik berdarah antar kelompok agama ……………………………………………
2 2. Mortality salience dan keinginan untuk menyakiti penganut agama lain …………………………………………………..
4 B. Rumusan Masalah …………………………………………………..
6 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………...
6 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….
7 BAB 2. DASAR TEORI …………………………………………….……...
8 A. Terror Management Theory ………………………………………...
8 1. Latar belakang kelahiran ……………………………………
8 2. Premis dasar ………………………………………………...
9 3. Peran kebudayaan dalam mengatasi teror eksistensial ……...
10 4. Dual component of cultural anxiety buffer …………………
11 5. Keabadian simbolis dan keabadian literal …………………..
12
6. Worldview defense ………………………………………….
15
31
29
27
26
24
24
22
18
17
15
13
7. Self-esteem striving ………………………………………… 8. Proximal defense & distal defense ………………………….
1. Keinginan …………………………………………………...
Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama lain: Definisi, Karakter, dan Goal ………………………………………………….
C.
4. Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain sebagai awal dari konflik berdarah antar agama …………………….
3. Akar dari munculnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain …………………………………………………..
2. Fungsi dasar agama …………………………………………
B. Agama, Fungsi Dasar Agama, dan Munculnya Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama lain …………………………………… 1. Definisi agama: agama sebagai worldview ………………....
11. Hipotesa umum dalam riset-riset TMT ……………………..
10. Proses kognitif dari pengaruh mortality salience terhadap
distal defense ………………………………………………..
9. Pengaruh mortality salience terhadap distal defense ……….
31
2. Definisi & karakter dari konstruk keinginan: perbedaan keinginan dengan niat ……………………………………… 33 3. Hubungan keinginan dengan niat …………………………...
36 4. Hubungan keinginan dengan goal …………………………..
37
5. Keinginan untuk menyakiti penganut agama lain: definisi, karakter, & goal …………………………………………….
39 D. Dinamika antar Variabel ……………………………………………
42 E. Hipotesis …………………………………………………………….
48 BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………………….
49 A. Jenis Penelitian ……………………………………………………..
49 B. Variabel-variabel Penelitian ………………………………………..
49 C. Subyek Penelitian …………………………………………………..
51 D. Prosedur Penelitian …………………………………………………
52 E. Alat-alat Eksperimen ……………………………………………….
53 F. Definisi Operasional ………………………………………………..
67 1. Mortality salience …………………………………………..
67 2. Tingkat keinginan untuk menyakiti penganut agama lain ….
68
3. Variabel-variabel kontrol …………………………………...
69 G. Prosedur Pelaksanaan Eksperimen …………………………………
82 H. Analisa Data Penelitian ……………………………………………..
87 BAB 4. PELAKSANAAN dan HASIL PENELITIAN …………………….
89 A. Pelaksanaan Penelitian ……………………………………………...
89 1. Waktu pelaksanaan penelitian ………………………………
89 2. Deskripsi data hasil eksperimen …………………………….
90 B. Analisa Hasil Eksperimen …………………………………………..
92 1. Uji hipotesa …………………………………………………
92 C. Pembahasan …………………………………………………………
93 BAB 5. KESIMPULAN dan SARAN ……………………………………... 101
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 101 B. Saran ………………………………………………………………...
102 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
104 LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………. 113
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1. Proximal defense dan distal defense ………………………………
21 Tabel 2. Bagan definisi agama ……………………………………………...
25 Tabel 3. Skor skala KMP-AL tiap partisipan pada kelompok eksperimen & kelompok kontrol …………………………………………………
91 Tabel 4. Perbedaan nilai mean, varians, mode dari kelompok eksperimen & kelompok kontrol …………………………………………………
92
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema urutan terjadinya proximal defense & distal defense …...22 Gambar 2. Skema dinamika antar variabel …………………………………
47 Gambar 3. Posisi nomor kode pada map ……………………………………
78
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman LAMPIRAN A. Kuesioner Mortality Salience ………………………...
113 LAMPIRAN B. Kuesioner No-Mortality Salience ……………………. 114
LAMPIRAN C. Skala Keinginan untuk Menyakiti Penganut Agama lain (KMP-AL) ……………………………………...
115 LAMPIRAN D. Tugas Mengevaluasi Essay secara Non-judgemental .. 116 LAMPIRAN E. Inventori Minat Diri …………………………………. 117 LAMPIRAN F. Kuesioner Deskripsi Diri …………………………….. 118
LAMPIRAN G. Tugas Mengevaluasi Wajah dalam Gambar …………
120
LAMPIRAN H. Kuesioner Tingkat Keseringan Mengganti Nomor Handphone ………………………………………….
121 LAMPIRAN I. Rapport Eksperiensial ………………………………... 122
LAMPIRAN J. Consent Participant Form ……………………………
123
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada suatu hari di India, tepatnya di bulan agustus tahun 2000, 9 serangan
terpisah dilancarkan sekelompok gerilyawan muslim terhadap peziarah hindu yang sedang menuju Srinagar. Serangan tersebut menewaskan 101 orang. Sementara itu, masih di tahun yang sama, 2000 orang di kota Ambon, Indonesia, juga tewas akibat konflik antara umat Kristen dan umat Islam ). Kedua peristiwa tersebut hanyalah salah satu contoh dari berbagai konflik berdarah antar umat beragama yang sudah kerap terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Hingga kini, masyarakat Indonesia juga kerap mengalami peristiwa serupa, misalnya konflik yang terjadi di Poso dan di Maluku Selatan (Pieris, 2004 ; van Klinken, 2005, h.93 ; data lengkap mengenai negara-negara tempat terjadinya konflik antar agama dapat dilihat di
Menurut Paloutzian (1996, h.3), walau agama pada umumnya mengajarkan cinta kasih, etika & moral, agama mungkin juga menjadi satu-satunya subyek sejarah yang paling banyak memunculkan kontroversi, kebencian, dan pertumpahan darah. Seluruh perenungan terhadap berbagai dampak negatif akibat konflik antar agama memunculkan pertanyaan berikut: faktor apakah yang sebenarnya mengakari terjadinya konflik tersebut? Staub, 1996; Simon & Klandermans, 2001; Colombijn & Lindblad, 2002; Eidelson & Eidelson, 2003; Fortuna Anwar, Bouvier, dkk, 2005; Timotius, 2005), meskipun demikian, Terror Management Theory (TMT) menawarkan sudut pandang yang berbeda, sebab, bila teori lain meletakkan akar dari konflik antar agama pada faktor- faktor relatif yang masih dapat dikendalikan manusia (misalnya kesenjangan ekonomi, tingkat pengangguran, penyalahgunaan kekuasaan), TMT justru meletakkan akar dari konflik tersebut pada 1 faktor universal yang kemunculannya tetap berada di luar kendali manusia, yaitu peristiwa datangnya kematian.
1. Fungsi dasar agama sebagai akar dari pertikaian berdarah antar kelompok
agamaBerdasarkan sudut pandang TMT (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002; Pyszczynski, Greenberg, dkk, 2004), akar dari terjadinya konflik berdarah antar umat beragama terletak pada fungsi dasar dari agama itu sendiri. TMT mengusulkan bahwa fungsi dasar agama adalah untuk melindungi tiap pemeluknya dari potensi teror (rasa cemas, takut, keterasingan, kekosongan makna hidup) akibat fakta akan kepastian datangnya kematian. Fungsi ini dapat dijalankan karena agama mengajarkan adanya hidup sesudah mati, adanya Tuhan, adanya kenikmatan hidup kekal bagi orang yang sanggup hidup sesuai ajaran moral di dalamnya. Kepercayaan dan kepatuhan pada ajaran tersebut memungkinkan tiap penganut agama memperoleh keamanan psikologis (merasa berharga, bermakna, tidak lagi takut pada
Bagi TMT, upaya menyangkal kematian (memperoleh keabadian hidup) merupakan alasan tak sadar yang mendorong tiap penganut agama rela berkorban demi mematuhi ajaran agama mereka. Akibatnya, fungsi dasar agama baru dapat terpenuhi jika para pemeluknya sungguh yakin bahwa hanya ajaran agama merekalah yang dapat memberi keabadian hidup. Hal ini terjadi karena keyakinan tersebut akan membuat tiap pemeluk agama merasa terjamin bahwa pengorbanan mereka tidaklah sia-sia, bahwa pengorbanan tersebut pasti dapat memberi mereka kekekalan. Fakta tak terbantahkan akan adanya bermacam agama, dan konskuensinya, adanya orang-orang dengan agama yang berbeda, berpotensi mengancam atau merusak keamanan psikologis yang selama ini telah dinikmati tiap penganut agama, sebab, para penganut agama lain tentu juga akan menganggap bahwa hanya ajaran agama merekalah yang dapat memberi keabadian hidup, sehingga, tiap penganut agama dibenturkan dengan beragam alternatif pencarian kekekalan yang dapat membuat mereka ragu akan kebenaran agamanya sendiri.
Potensi mengancam yang semata-mata dihadirkan penganut agama lain mendorong tiap kelompok agama yang berbeda saling memandang sebagai lawan/musuh. Dalam diri mereka kemudian tumbuh kebencian & prasangka negatif. Menurut TMT, konflik berdarah antar agama akan terjadi bila akibat kondisi-kondisi tertentu, tiap kelompok agama terdorong mengaktualkan kebencian & prasangka tersebut dalam tindak kekerasan bermotif agama (bandingkan analisa terhadap aksi terorisme dalam Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.148-154).
2. Mortaliy salience dan keinginan untuk menyakiti penganut agama lain
Bila dari gagasan TMT tentang akar konflik antar agama ditarik alur logis, maka akan muncul pertanyaan demikian: jika upaya mengatasi kematian memang merupakan alasan tak sadar yang membuat tiap kelompok agama saling membenci, apakah yang akan terjadi bila seorang penganut agama disadarkan/diingatkan kembali pada masalah kematian?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas diungkap oleh Greenberg dkk (dalam Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.72-73). Dalam salah satu penelitian mereka, Greenberg dkk menemukan bahwa di bawah kondisi mortality salience, yaitu kondisi mental dimana pikiran tentang kematian berada pada posisi kentara/menonjol (salient) dalam ingatan/kesadaran individu (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.45), kelompok mahasiswa Kristen menjadi makin bias dalam mengambil sikap terhadap keberadaan kelompok mahasiswa Yahudi: keberpihakan mereka pada kelompok Kristen menjadi makin kuat, sementara penolakan/reaksi negatif mereka terhadap kelompok mahasiswa Yahudi juga semakin kuat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mortality salience dapat menguatkan/meningkatkan kebencian, sikap, dan prasangka negatif antar kelompok agama.
Hasil penelitian Greenberg dkk memberi dukungan empiris terhadap gagasan TMT mengenai akar dari konflik antar agama. Meskipun demikian, hasil penelitian masalah berikut: jika upaya menyangkal kematian memang merupakan akar dari konflik antar agama, maka mortality salience harusnya juga akan meningkatkan keinginan seorang penganut agama untuk menyakiti orang yang berbeda agama dengannya.
Hingga kini, belum ada satupun riset TMT dibuat untuk merespon masalah di atas. Ada dua alasan utama mengapa riset TMT seperti ini perlu dilakukan di Indonesia:
Pertama, riset yang dilakukan oleh Pyszczynki dkk menunjukkan bahwa pengaruh mortality salience dapat muncul hanya karena seorang individu berdekatan atau menyaksikan pemandangan alamiah yang mengingatkan mereka pada kematian (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.52-53), padahal, kondisi kemajemukan umat beragama di Indonesia dibarengi oleh tingginya frekuensi perjumpaan masyarakat dengan peristiwa kematian, misalnya peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, tragedi penjarahan massal Mei 1998 yang menelan ± 3000 korban jiwa, perang antar suku di Kalimantan Barat & Kalimantan Tengah, konflik di Ambon yang menewaskan lebih dari 4000 orang, tragedi Tsunami yang menewaskan ± 177.000 jiwa, penyebaran wabah flu burung, insiden Abepura-Papua yang menewaskan 4 orang personil POLRI-TNI, berbagai tragedi kecelakaan alat transportasi umum, kasus-kasus pembunuhan yang hampir setiap harinya menghiasi layar televisi kita, dan lain sebagainya. Riset TMT kali ini dengan demikian perlu
Kedua, berbagai riset TMT menunjukkan bahwa kondisi-kondisi seperti tingginya tingkat kesenjangan ekonomi, depresi sosial, serta rendahnya tingkat harga-diri suatu masyarakat, berpotensi menjadi faktor yang dapat mendorong seorang penganut agama melakukan tindak kekerasan bermotif agama (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.153-154). Sejak kondisi-kondisi tersebut telah menjadi masalah klasik di negara kita, maka riset TMT kali ini akan memungkinkan kita menyusun metode yang lebih akurat untuk menangani berbagai dampak negatif yang mungkin memang terjadi akibat adanya hubungan antara kondisi-kondisi di atas dengan banyaknya peristiwa kematian yang dijumpai masyarakat.
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah mortality salience dapat meningkatkan keinginan seorang pemeluk agama untuk menyakiti orang yang berbeda agama dengan dia?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mencari bukti empiris dari adanya hubungan kausalitas antara kesadaran akan kepastian datangnya kematian dengan meningkatnya keinginan untuk menyakiti penganut agama lain.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis Sanggup memperluas pengetahuan kita dalam wilayah kajian psikologi kematian, psikologi sosial, dan psikologi agama.
2. Manfaat praktis
Sanggup meningkatkan manfaat ilmu psikologi untuk memahami, mengantisipasi, & menangani berbagai masalah sosial seperti terorisme, konflik antar agama, bunuh diri massal, dan lain sebagainya.
BAB 2 DASAR TEORI A. Terror Management Theory
1. Latar belakang kelahiran
Kelahiran TMT dilatarbelakangi oleh berkembangnya psikologi thanatos selama ± 4 dekade terakhir. Psikologi thanatos dapat dikatakan sebagai bagian langsung dari thanatologi, yaitu jaringan kerja interdisipliner (meliputi psikolog, biolog, ahli hukum, dan lain-lain) untuk mengkaji berbagai aspek medis dan psikis dari kematian (Lefton, 2000, h.394). Psikologi thanatos terbagi menjadi 2 gerakan. Gerakan pertama menempatkan pengalaman akan kematian sebagai variabel tergantung yang dinamikanya banyak dipengaruhi kondisi intrapsikis individu, sementara gerakan kedua menempatkan kematian sebagai variabel bebas yang dapat mempengaruhi beragam pola mental & prilaku individu. TMT dapat digolongkan sebagai bagian dari gerakan kedua (Florian & Mikulincer, 1997).
TMT diciptakan dan dikembangkan oleh 3 orang psikolog sosial bernama Tom Pyszczynski, Sheldon Solomon, dan Jeff Greenberg. Seluruh bangunan konseptual TMT diturunkan dari hasil penelitian & pemikiran seorang antropolog bernama Ernest Becker (misalnya Becker, 1975). Karya Becker sendiri pada dasarnya diinspirasi oleh pemikir- pemikir seperti Charles Darwin, Søren Kierkegaard, Sigmund Freud, Otto Rank, Erving
TMT merupakan teori mengenai cara-cara manusia dalam mengelola kesadaran bahwa kematian merupakan takdir yang tak dapat mereka tolak. TMT mengkaji dampak dari kesadaran tersebut pada hidup manusia, dan bukan mengkaji dampak dari ancaman kematian yang telah ada di depan mata (misalnya, ancaman kematian akibat menderita AIDS, disandera perampok bank). Dengan demikian, TMT pada hakikatnya merupakan teori mengenai pengaruh kematian terhadap kehidupan (Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.8).
2. Premis dasar
Manusia dan seluruh hewan lain mewarisi dorongan instingtif yang sama untuk memelihara & mempertahankan hidup, untuk menolak kematian. Ditinjau dari sisi insting ini, posisi manusia dan hewan lain bersifat sejajar. Meskipun demikian, kapasitas akal budi yang hanya ada dalam diri manusia merubah kesetaraan tersebut: manusia terposisikan sebagai satu-satunya hewan yang sepenuhnya sadar (aware) bahwa datangnya kematian merupakan suatu takdir yang tak dapat mereka tolak (Hirschberger, Florian, & Mikulincer, 2002; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.13-15)
Benturan psikologis antara insting pemeliharaan diri dengan kesadaran bahwa kematian merupakan takdir yang tak terhindarkan membuat manusia mengalami kecemasan, ketakutan, dan terancam teror eksistensial. Teror eksistensial terjadi saat manusia menderita kekosongan makna hidup & ketidakberhargaan diri: menganggap akan menghancurkan semuanya. Teror ini berpotensi melumpuhkan kebudayaan sebab derita yang dihasilkannya dapat membuat manusia mengesampingkan berbagai prilaku bernilai yang sebenarnya bermanfaat bagi berkembangnya suatu budaya (Dechesne, Janssen, & van Knippenberg, 2000; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.15- 16).
3. Peran kebudayaan dalam mengatasi teror eksistensial
Salah satu fungsi paling dominan dari struktur kebudayaan adalah untuk membantu individu mengatasi ancaman teror eksistensial (Pyszczynski, Greenberg, dkk, 2004; Goldenberg, Pyszczynski, dkk, 1999). Kebudayaan dapat memenuhi fungsi tersebut lewat 2 cara. Pertama, lewat cara langsung, yaitu dengan memberi individu berbagai perangkat fisik yang memungkinkan mereka menunda kematian, misalnya rumah sakit, obat-obatan, fasilitas perumahan, alat-alat pertanian, hukum yang melarang pembunuhan, dan lain sebagainya; kedua, lewat cara tidak langsung, yaitu dengan memberi individu berbagai perangkat simbolis yang memungkinkan mereka memperoleh rasa (sense) akan keberhargaan diri & makna hidup. Perangkat simbolis ini dapat berbentuk nilai sosial, nilai & norma moral, nilai ekonomi, tingkatan gelar pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Tiap individu memilih perangkat simbolis sebagai sarana utama untuk mengatasi kematian karena (1) kematian merupakan suatu peristiwa yang tetap tidak dapat dicegah/dihilangkan oleh perangkat fisik apapun, dan (2) karena teror eksistensial pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap rasa individu akan arti & nilai-dirinya.
4. Dual component of cultural anxiety buffer
Setiap individu berupaya mengatasi teror eksistensial lewat mekanisme intrapsikis yang disebut penangkal kecemasan berkerangka budaya (cultural anxiety
buffer). Mekanisme ini dipertahankan dan dijalankan individu dengan memanfaatkan
berbagai perangkat simbolis yang disediakan struktur budaya tempat mereka hidup.
Cultural anxiety buffer tersusun dari 2 komponen (dual component of cultural anxiety
buffer), terdiri dari:1) Iman (faith) terhadap cultural worldview, yaitu iman terhadap seperangkat kepercayaan bersama tentang kodrat realitas yang sanggup memberi individu rasa akan nilai-diri, makna hidup, order (keteraturan; keterencanaan), permanensi, stabilitas, serta janji akan keabadian hidup.
2) Harga-diri (self-esteem), yaitu tingkatan nilai pribadi yang didapat individu dari kepercayaannya pada worldview di atas, dan dari keberhasilannya hidup berdasar pedoman nilai di dalam worldview itu sendiri (Pyszczynski, Greenberg, dkk, 2004).
Cultural anxiety buffer menempatkan struktur kebudayaan sebagai pemberi
makna (meaning giver) yang memungkinkan individu tetap bergairah untuk bertahan hidup (Dechesne, Janssen, & van Knippenberg, 2000). Dengan melihat kenyataan sosial atas apa yang telah mereka kerjakan, individu memperoleh rasa akan kekekalan, makna hidup, & harga-diri. Rasa inilah yang berfungsi sebagai perisai untuk menangkal teror eksistensial (Harmon-Jones, Simon, dkk, 1997; Schimel, Simon, dkk, 1999; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.16-22).
5. Keabadian simbolis dan keabadian literal
Cultural worldview menjanjikan 2 jenis keabadian (Florian & Mikulincer, 1998;
Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.20-22; Dechesne, Pyszczynski, dkk, 2003). Kedua keabadian tersebut terdiri dari: 1)
Keabadian simbolis, yaitu rasa akan keabadian yang diperoleh individu sebagai upah dari keterlibatannya dalam berbagai tata nilai, pranata, atau lembaga sosial yang bersifat lebih besar (grandeus), illahi (divine), serta lebih tahan lama (durable) dibanding rentang hidup dirinya sendiri. Sejak berbagai struktur budaya (nilai moral, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya) masih akan tetap ada walau individu sendiri telah mati, keterlibatan individu dalam struktur tersebut akan memungkinkan mereka merasa bersatu dengan kekuatan supra-manusia yang sifatnya lebih kekal. 2)
Keabadian literal, yaitu kekekalan hidup dalam arti sesungguhnya, suatu ketidakbisaan untuk mati, hidup yang selama-lamanya. Janji akan keabadian literal lazim terkandung dalam kepercayaan pada hidup sesudah mati, seperti yang diajarkan oleh berbagai agama.
6. Worldview defense
Tiap individu cenderung mengimani worldview sebagai bangunan gagasan yang mutlak benar. Pemutlakan worldview memungkinkan individu merasa terjamin bahwa struktur budaya yang mereka buat adalah struktur yang paling dapat mengatasi kematian, sehingga, perangkat simbolis yang disediakannya dapat memastikan keberhasilan individu dalam mengelola teror. Meskipun demikian, worldview tetaplah ciptaan sosial yang bersifat rapuh & rentan terhadap perubahan. Selain itu, pemutlakan
worldview tidak mungkin dilakukan karena tidak setiap individu atau kelompok sosial
mau mengakui kebenaran suatu worldview. Kelemahan worldview ini berpotensi mengancam rasa aman yang telah didapat individu. Masalah inilah yang kemudian mendorong mereka melakukan worldview defense.
Worldview defense adalah mekanisme pertahanan nilai-diri dan rasa kekekalan
yang dijalankan individu dengan cara (1) membela worldview yang diimaninya dari segala macam serangan dari berbagai worldview lain, misalnya kritik dari berbagai worldview lain; (2) mencari dukungan orang lain yang seiman dengannya; dan (3) bersikap positif pada orang-orang yang seiman dan sebaliknya, bersikap negatif pada pihak-pihak dengan worldview yang berbeda (lihat McGregor dkk, 1998; Dechesne, Janssen, van Knippenberg, 2000; Arndt, Greenberg, dkk, 2002; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.51). Inti dari worldview defense terletak pada upaya individu untuk terus menerus mencari pengukuhan sosial terhadap kebenaran mutlak nilai-nilai & eksistensial. Semakin banyak pihak lain ikut mengukuhkan keyakinan individu pada suatu worldview, akan semakin efektiflah worldview tersebut sebagai penangkal teror.
Worldview defense dapat mewujud dalam beberapa bentuk berikut (McGregor
dkk, 1998; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.30-34):
a) Konversi, yaitu tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan cara mengajak orang lain ikut memeluk worldview yang diimaninya, misalnya lewat aksi- aksi misionaris.
b) Akomodasi, yaitu tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan cara memasukkan beberapa bagian tak mengancam dari worldview orang lain ke dalam
worldview-nya sendiri.
c) Derogasi, yaitu tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan berupaya menyepelekan (mengecilkan arti) worldview orang lain, misalnya dengan berupaya memandang worldview orang lain sebagai suatu keyakinan primitif, tak berguna, dan lain sebagainya.
d) Agresi/anihilasi (pemusnahan), yaitu, tehnik worldview defense yang dijalankan individu dengan cara merusak, membunuh, atau berusaha memusnahkan orang-orang yang worldview-nya berbeda dengan mereka, misalnya upaya pemusnahan bangsa Yahudi oleh rezim NAZI, pembunuhan massal anggota PKI pada tahun 1965 di Indonesia, dan lain-lain.
7. Self-esteem striving Self-esteem striving adalah dorongan motivasional untuk meraih &
meningkatkan harga-diri. Dorongan ini dipenuhi individu dengan berupaya hidup berdasarkan pedoman nilai-nilai dalam worldview yang mereka imani (Pyszczynski, Greenberg, 2004).
Pemenuhan self-esteem striving tak hanya memungkinkan individu memaknai ataupun memberi nilai pada hidup mereka yang terbatas, namun juga memungkinkan mereka merasa layak mendapat keabadian simbolis dan literal. Hal ini terjadi karena pada umumnya, worldview hanya menjanjikan keabadian untuk orang-orang yang bernilai, misalnya jaminan kekekalan surga untuk orang-orang yang bermoral.
8. Proximal defense & distal defense
Proximal defense adalah pola penanganan kematian yang bersifat sadar, rasional, logis, langsung, dan dilakukan tiap individu dengan memanfaatkan perangkat fisik yang disediakan struktur budaya, misalnya seorang pengidap kanker paru-paru berusaha menunda kematian dengan berobat ke rumah sakit, seorang pengendara sepeda motor berusaha menunda kematian dengan berkendara secara hati-hati, masyarakat menunda kematian dengan menuntut penegakan hukum, dan lain sebagainya. Seluruh cara tersebut sepenuhnya bersifat sadar (individu tahu & mengerti apa yang sedang dilakukannya), logis (jika A maka P; jika sakit A dapat sembuh oleh obat P, maka sakit langsung dengan masalah kematian (sejak rumah sakit merupakan perangkat fisik yang relevan dalam menunda kematian, tidak ada jarak lebar antara ‘saya nyaris mati‘ dengan ‘saya harus ke rumah sakit‘).
Distal defense adalah pola penanganan kematian yang bersifat tidak sadar, tidak
menunjukkan adanya hubungan logis dengan masalah kematian, bersifat tidak langsung, serta dilakukan individu dengan memanfaatkan perangkat simbolis, misalnya ancaman kematian dihadapi individu dengan mematuhi ajaran ideologi tertentu, berusaha menjadi guru teladan, berusaha mengikuti trend berpakaian, dan lain sebagainya. Seluruh cara tersebut bersifat tidak sadar (individu tidak tahu bahwa upayanya menjadi guru teladan sebenarnya bertujuan untuk melawan kematian), tampak tidak logis (menjadi guru teladan tampak tidak relevan sebagai cara menangani kematian), dan bersifat tidak langsung (ada jarak lebar antara ‘saya tidak ingin mati‘ dengan ‘saya harus menjadi guru teladan‘).
Inti perbedaan antara proximal dan distal defense terletak pada modus kerja individu dalam mengatasi kematian. Dalam distal defense, individu tidak sedang menunda kematian, melainkan mentransendensi kematian, yaitu menempatkan kematian sebagai suatu peristiwa yang dapat dilampaui oleh struktur budaya yang mereka buat.
Iman terhadap worldview maupun pemenuhan self-esteem striving merupakan distal
defense karena rasa keabadian & harga-diri yang dihasilkan kedua mekanisme tersebut
memungkinkan individu merasa melampaui kematian (lihat Pyszczynski, Greenberg, Solomon, 1999; Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, 2002, h.59-60).
9. Pengaruh mortality salience terhadap distal defense
Mortality salience adalah kondisi mental dimana pikiran atau bayang-bayang
mengenai kematian berada pada posisi kentara, tajam, menonjol (salient) dalam ingatan/kesadaran individu (Pyszczynski, Solomon, Greenberg, 2002, h.45).
Pada saat individu belum mengalami mortality salience, distal defense yang mereka lakukan berjalan tenang (steady) dan tampak alamiah. Hal ini terjadi karena pikiran mengenai kematian tidak menonjol dalam ingatan/kesadaran individu, sehingga, perhatian mereka pada ancaman teror eksistensial berjalan normal/tidak menajam.
Kondisi ini menyebabkan individu tidak menempatkan kekekalan maupun harga-diri sebagai tujuan darurat yang harus segera diraih. Akibatnya, mereka tidak mengalami dorongan yang berlebihan untuk segera mengupayakan keberhasilan suatu distal defense.
Pada saat individu mengalami mortality salience, distal defense yang mereka lakukan menjadi menguat/meningkat. Hal ini terjadi karena pikiran mengenai kematian menjadi menonjol dalam ingatan/kesadaran individu, sehingga, perhatian individu pada ancaman teror eksistensial menguat/menajam. Kondisi ini menyebabkan individu menempatkan harga-diri & keabadian sebagai tujuan darurat yang harus segera diraih. Akibatnya, mereka makin terdorong untuk segera mengupayakan keberhasilan suatu distal defense.