Kontribusi hakim peradilan agama dalam proses pembentukan yurisprudensi : studi kasus di peradilan agama Jakarta Selatan

KONTRIBUSI HAKIM PERADILAN AGAMA
DALAM PROSES PEMBENTUKAN
YURISPRUDENSI
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam Pada Fakultas Syariah dan Hukum

Oleh

AGUS ABDILLAH ALI
NIM : 101044122130

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN AL- AHWAL- AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1426 H / 2005 M

KONTRIBUSI HAKIM PERADILAN AGAMA

DALAM PROSES PEMBENTUKAN
YURISPRUDENSI
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk
Memennhi Salah Satn Syarat Mencapai Gelat· Sarjana Huknm Islam

Oleh
AGUS ABDILLAH ALI
NIM : 101044122130

Di Bawah Bimbingan

r-

..-/--

1. Drs.




..

. M. Ichwan

NIP. 150216752

,-

2. Kamarnsdial).a, MH
NIP. 150 285972

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN AL- AKHWAL- AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1426 H / 2005 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul "Kontribusi Hakim Peradilan Agama Dalam Proses
Pembentukan Yurisprudensi (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan)" telah diujikan ulang dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum UlN Syarif Hidayatullah Jakalia, pada tanggal 02 April 2007 karena
keterlambatan dalam perbaikan. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Program Strata I (S.l) pada JurUSal1
Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah Program Studi Peradilan Agama.

Jakalia, 02 April 2007
Mengesahkan,

]MZGcL[セイエA

Lヲi Oセd

.

P'=' -'

Pmf. D;" I-I. M.AMINSUMA, SH., MA., MM

NIP. 150210422

Panitia Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap anggota
Drs. H. A. Basig Djalil, SII., MA
NIP. 150 169 102

セN「ャᄋ H

Selaetaris merangkap anggota
Kamarusdiana, MH
NIP. 150285972

(

..:..セ

,



7 '
I

Penguji I
Prof. Dr. H. M. AMIN SUMA, SH., MA.,
NIP. 150210422
Penguji II
Drs. H.A. Basig Djalil, SH., MA
NIP. 150 169 102
Pembimbing I
Drs. H. M. Ichwan Ridwan, SH
NIP. 150216752
Pembimbing II
Kamarusdianll, MH
NIP. 150 285 972

)

.-"


GセM

L- セNZ

-)

!q
(.......9.......::......)

(

ェ|Nセ

,-

(

(

セM

//:.:.

)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "Kontribusi Hakim Peradilan Agama Dalam Proses
Pembentukan Yurisprudensi (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan)" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
DIN Syarif HidayatuUah Jakarta, pada tanggal 24 Nopember 2005. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Program Strata I (S.l) pada Jurusan AI-Akhwal AI-Syaldlsiyyah Program Studi
Peradilan Agama.
Jakarta, 24 Nopember 2005

M・\Oセ

Mengesahkan,
Dekan

セN


Prof. Dr. H. Hasanuddin AF., MA
NIP. 150 050 917

Panitia Sidang Muna
Ketua merangkap anggota
Dra. Hi. Halimah Ismail
NIP. 150075 192
Selaetaris merangkap anggota
Drs. H. Asep Syarifuddin H., SH., MH
NIP. 150 268 783
Penguji I
Drs. H.A. Basig DjaIil, SH., MA
NIP. 150 169 102
Penguji II
Drs. H. Asep Syarifuddin H., SH., MH
NIP. 150268783

(..]セ
( Zイ[Nセ


Pembimbing I
Drs. H. M. Ichwan Ridwan, SH
NIP. 150216752

(

Pembimbing II
Kamarusdiana, MH
NIP. 150285972

(

.)


)
( ---.. (J セ
?


'::::f..)

)

Kata Pengantar
Bismillallirrallmanirrallim

Rasa tasyakkur penu:lis haturkan kehadirat Allah Swt; Zat yang serba Maha
atas semua mahlukNya, yang telah memberikan taufiq, hidayah, dan inayahNya
kepada seluruh hambanya yang beriman, dan mudah-mudahan penulis termasuk
golongan didalamnya. Sholawat serta salam mudah-mudahan tetap terlimpah
curahkan pada junjungan kita Nabi Besar Muhammmad Saw sebagai Khotimul
Anbiya' yang telah membawa ummatnya dari sifat kejahiliyahan menuju hidayah
Allah SWT.
Karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata I (S.I) di perguruan tinggi
tennasuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas dasar
itulah penulis membuat skripsi dengan judul "Kontribusi Hakim Peradilan Agama
Dalan1 Proses Pembentukan Yurisprudensi (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan).

Selama empat tahun menjalani perkuliahan ditambah penulisan skripsi ini,
tidak sedikit rintangan dan hambatan yang penulis hadapi. Walau demikian, syukur
alhamdulillah berkat rahmat dan hidayahNya, dengan kesungguhan dan kerja keras
penulis disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil
segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat penulis atasi dengan sebaik mungkin.

Sehingga perkuliahan serta penulisan skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan
yang penulis harapkan.

a leh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada :
I. Bapak Prof. Dr. H. Hasanudddin AF., MA, selaku Dek!ill Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Hj. Halimah Ismail dan Bapak Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, SH selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selia Bapak dan Ibu Dasen atau StafPengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah mendidik serta mentransfer ilmtillya di dalam maUptill di luar ruang
perkuliahan, sehingga dapat mematangkan dan memantapkan keilmuan penulis.
3. Bapak Drs. H. Ichwan Ridwan, SH dan Bapak Kamarusdiana, MH selaku dasen
pembimbing skripsi yang telah memberi arahan serta masukan-masukan tentang
bagaimana menyusun skripsi yang baik, maupoo tentang pengadilan dan hukum
secara luas yang sangat berguna bagi penulisan skripsi inL
4. Ketua Pengadilan, para hakim, panitera serta seluruh staf di lingktmgan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
5. Ketua Mahkamah Agung cq. Urusan Peradilan Agama (Uldilag) yang telah
memberikan bantuan dan kemudahan pada penulis untuk mencari referensi, serta
memberikan hasil putusan yang telah menjadi yurisprudensi yang sangat
bermanfaat bagi penulisan skripsi ini.

6. Pirnpinan ョセ、

Pegawai Perpustakan Utarna Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

I-lidayatullah Jakarta yang dengan professional dan sabar rnelayani setiap
perninjarnan buku yang penulis perlukan.
7. Pirnpinan dan Pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukurn Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah rnernberikan
pelayanan dan dan sirkulasi buku dengan gaya kekeluargaan dan santun kepada
penulis.
8. Ternan-ternan di Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah Program Studi Peradilan
Agarna (B) angkatan 200 I, yang telah dengan setia rnenjadi partner kuliah,
diskusi, dan debat bagi penulis. Sulhan, Sanuri, Fajri, Sapnah, Cecep, Vebri, Eko,
Suryanah, Wahyuddin, Lilih, dan seluruh ternan-ternan KKN di PalasarigirangKalapanunggal-Sukaburni, yang dengan berat hati tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu disini, gak cukup kertase rek... ! afwan.
9. Sahabat-sahabat PMII Cabang Ciputat. Mbah Nasrul, Sauqi, Tarobin, Imam,
Sholeh, Aziz, Muslim, Darma, Hasan, Afif, Ikhwan, dim seluruh ternan-ternan
asrama PMII. Kesanku, asrarna waktu kita dulu tak jauh beda dengan panti
asuhan tapi penghuninya keren-keren looh..! Tak ketinggalan konco-konco lare
using, Uray, Wahab, Sodiq, Fuad, Habib, Yayah, dan seluruh ternan-ternan yang
tergabung dalanl KAMAWANGI (Keluarga Besar Mahasiswa Banyuwangi) yang
tak pernah rnengenal kata putus asa untuk selalu survive di Jakarta.
10. Ucapan terirna kasih secara khusus penulis haturkan kepada Ayahanda H. Ali
Muhsin Husaini dan Ibunda Hj. Siti Supiyah yang senantiasa berdoa kepadaNya

untuk kesuksesan penulis selia putra-putrinya. Dengan dukungan penuh dari
beliau seeara materi dan immateri membuat penulis merasa tegar, sabar, santun,
dan matang seeara rasio dan emosi menghadapi realita kehidupan ini. Juga
penulis tak bisa lewatkan kepada Mbak Nur Azizah dan Mas Ali Mahfudz, yang
telah memberikan support tersendiri baik seeara eksplisit maupun implisit; adikadikku Malik Affan dan Moh. Masyhudi, kalian hidup harns punya eita-eita yang
jelas; keponakan-keponakanku Nisa, Farah, dan Najwa, belajarlah semasa keeil
hingga kalian paham arti daripada feminisme dan gender yang mana natinya tak
membuat kalian berhenti untuk belajar dan terns belajar.
Penulis sadar, bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari mereka semua penulis
tak ada apa-apanya, dan skripsi ini belum tentu dapat terselesaikan. Mudah-mudahan
taufiq, hidayah, serta inayah dari Allah 8wt senantiasa mengiringi langkah mereka
semua dimanapun berada. Akhimya penulis berharap semoga amal baik dari semua
pihak yang telah membimbing, memperhatikan, dan membantu penulis dapat dibalas
oleh Allah 8wt dengan pahala yang berlipat ganda, amien ya rabbal 'alamin.

Jakarta, I0 Nopember 2005

Penulis

DAFTARISI

.i

KATA PENGANTAR
DAFTAR lSI

,

v

BAB I PENDAHULUAN

BAB

A. Latar Belakang Masalah .,

1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah

5

C. Tujuan Penelitian

6

D. Metode Penelitian

6

E. Sistematika Penulisan

7

n SUMBER HUKUM, KOMPETENSI, DAN ASAS-ASAS HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA
A. Sumber Hukum Peradilan Agama

10

B. Kompetensi Peradilan Agama

16

C. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

23

BAB III YURISPRUDENSI SEBAGAI SUMBER HUKUM DI PERADILAN
AGAMA
A. Pengertian Yurisprudensi

35

B. Kekuatan Mengikat Yurisprudensi Terhadap Hakim

37

C. Prasyarat Suatu Putusan Menjadi Yurisprudensi

.42

D. Peran Yurisprudensi di Peradilan Agama

.45

BAB IV KONTRIBUsi PRAKSIS HAKIM PERADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN DALAM PROSES PEMBENTUKAN YURISPRUDENSI
A. Metode Penemuan dan Penerapan Hukum

50

B. Kontribusi Hakim Dalam Memakai dan Menghasilkan Yurisprudensi 57
C. Analisis Hukum Yurisprudensi

61

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan

67

B. Saran-saran

69

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat) tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (mach staat), artinya bahwa segala aspek dalam
pcnyelcnggaraan dimcnsi kehidupan bcrmasyarakat, berbangsa, dan bcrncgara
haruslah didasarkan atas aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.
Di dalam sistem hukum nasional, Indonesia mengenal beberapa sumber
hukum. Secara teoritis dapat dikemukakan, bahwa "yurisprudensi" merupakan salah
satu sumber hukum di samping sumber hukum lainnya seperti undang-undang,
kebiasaan, traktat atau perjanjian dan doktrin atau pendapat ahli hukum terkemuka.'
Di zaman mutakhir seperti sekarang ini, dimana semua bidang kehidupan
masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu cepat, undangundang dalam bidang apapun, tidak mungkin akan mampu memenuhi semua
kebutuhan hukum di masyarakat. Sehingga betapapun cepatnya badan legislatif
bekerja, persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat temyata lebih cepat lagi.
Lagi pula pembuat undang-undang tidak mungkin untuk menggambarkan semua
persoalan yang bakal tmjadi di kemudian hari. Oleh karena itu sering teIjadi banyak
persoalan dalam masyarakat yang belum ada peraturan hukumnya.
I Riduan Syahrani, Rangkuman In/ism'i !Imu Hukum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), Cet. I,
h. 87. Lihat juga, Sudikno Mertokusumo, Mengenal !Imu Hukum: Sua/u Pengan/ar, ( Yogyakarta:
Liberty, 1985), h. 6-96

2

,

Yurispmdensi sebagai salah satu smnber hukum, mempakan acuan dalam
tindakan memutus dari hakim, yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu
perselisihan tertentu. Sebagai sumber hukum, yurisprudensi mempunyai arti dan
kedudukan yang penting, karena dapat dijadikan dasar atau acuan dalam :
1. Pembentukan undang-undang

2. Mengambil putusan terhadap masalah yang sama oleh hakim lainnya terhadap
hal-hal yang belum diatur atau pelum ditemukan hukumnya
3. Mengembangkan ilmu hukum melalui putusan-putusaa peradilan. 2
Oleh karena itu putusan hakim pada dasamya selalu berupa penyelesaian yang
hanya berlaku untuk hal yang kongkrit yang menjadi perselisihan yang sedang di
putuskan dan hanya mengikat kepada pihak-pihak yang bersangkutan (kecuali dalam
hal-hal yang bersifat "ergaomnes,,).3 Meskipun begitu yurisprudensi tetaplah menjadi
kebutuhan fundamental sebagai landasan hakim untuk memu1us perkara dalam kasus
yang sama.
Dalam menghadapi suatu perkara dimana peraturan hukum in abstrakto-nya
belum ada, atau pera1uran hukum itu harus di tafsirkan lebih dahulu, maleu hakim
yang bersangkutan tidak boleh menolak untuk mengadili perkara itu, l11elaiukan harus

2 Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta: BPI-IN
Depkeham RI, 1998), hal. I

3 Ibid, hal. 2., Erga Omnes (Latin), yang berarti bahwa putusan peradilan TUN tidak hanya
berlaku bagi para pihak yang bersengketa tapi juga berlaku bagi pihak-pihak lain yang terkait (pen.)

3

tetap memeriksa dan mengadilinya dengan menentukan sendiri hukumnya yaitu
dengan cara berijtihad (judge made law).4
Undang-undang

No.

menjelaskan, bahwa ー・ョセ。、ゥャ ョ

4

tahun

2004

tentang

kekuasaan

kehakimam

tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili

suatu pcrkara yang diajukan dcngan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya sesuai dengan pasal 16,
ayat (l). Hakim sebagai penegak huklim dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dijelaskan
di dalam pasal 28, ayat (l).
Jadi dalanl keadaan bagaimanapun, hakim wajib memeriksa dan mengadili
perkara yag diajukan kepadanya. Masyarakat tidak merasakan adanya kedamaian
selarna ada perkara yang tidak atau belum diselesaikan. Dari sinilah timbul apa yang
dinarnakan yurisprudensi, yaitu putusan hakim (pengadilan) yang memuat peratnran
sendiri kemudian di ikuti dan di jadikan dasar putusan oleh hakim yang lain dalam
perkara yang sama. s
Walaupun

secara

teoritis

selanla

ini

daya

mengikathya

putusan

(yurisprudensi) terhadap hakim-hakim di bawahnya atau perkara-perkara berikutnya,
dikenal dua sistem yang berbeda pandangan satu sarna lainnya. Pertama, yaitu
negara-negara yang mengikuti sistem hukum Eropa Kontinental, termasuk Belanda

4

Riduan Syahrani, Op. Cil., h. 104

5 C.S.T. Kansil, Penganlar limu Hukum dan Penganlar Tala Hukum Indonesia, (Jakm1a:
Bala! Pustaka, 1976), Cet. ll, h. 50

4

yang diikuti oleh Indonesia yang menjelaskan bahwa hakim tidak terikat dengan
adanya yurisprudensi yang telah di hasilkan oleh hakim yang lain atau hakim yang
lebih tinggi. Kedua, yaitu negara-negara Anglo Saxon (Inggris, Australia, Amerika
Serikat), yang mengikuti asas stare decisis, yang berarti keputusan hakim yang
terdahulu harus diikuti olch hakil11 yang I11cmutuskan kcmudian. Namun dari scgi
praktek di Indonesia kedua sistem ini saling melengkapi, sehingga kita sudah tidak
terlalu ketat melihat pcrbedaan ini. 6
Sejarah pcradilan telah mencatat tidak sedikit hukum yang merupakan ciptaan
hakim melalui putusan-putusan yang lebih di kenai dengan nama "yurisprudensi",
yang melengkapi peraturan hukum in-abstrakto yang belum ada, maupun
menyelaraskan peraturan hukum in abstrakto yang sudah ada dengan perubahan dan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Menyadari akan arti pentingnya kedudukan yurisprudensi sebagai sUl11ber
hukum untuk mcmperkaya informasi dan literatur hukum agar dapat dijadikan acuan
bagi hakim berikutnya, maka penulis berminat untuk meneliti seberapa besar
kontribusi hakim di Indonesia (kecuali, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam karena
telah memiliki undang-undang tcrsendiri) khususnya hakim di peradilan agama dalam
memakai dan menghasilkan yurisprudensi, serta perkara-perkara apa saja yang telah
di putus oleh hakim, terutama hakim pengadilan agama Jakarta Selatan hingga
menjadi yurisprudensi.

6

Paulus Effendie Lotulung, Op. Cit., h. 2

5

Atas dasar itulah penulis mengarnbil judul skripsi "Kontribusi Haidm
Peradilan Agama Dalam Proses Pembentukan Yurisprudensi, (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Jakarta Seintan)".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Supaya penelitian dan penulisan skipsi ini menjadi fokus dan terarah dalam
pembahasannya, maka penulis memberi batasan dan merumuskan beberapa persoalan
penelitian yang akan dikaji. Batasan yang akan digariskan adalah sebagai berikut:
I. Pengadilan yang menjadi obyek penelitian adalah pengadilan agan1a yang

berkedudukan di Jakarta Selatan
2. Penelitian akan membahas seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh
pengadilan agama Jakarta Selatan atas terbentuknya yurisprudensi
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar, penulis akan merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
I. Bahwa hakim pengadilan agarna Jakarta Selatan dalan1 proses pembuatan
putusan, serta teknik yang di pakai dalam menerapkan hukum in abstrakto
terhadap masalah in concreto yang di tangani tidak menyimpangi undangundang yang berlaku
2. Bahwa yurisprudensi sebagai salah satu landasan putusan, akan memberi
dampak pada pengambilan putusan yang dilakulcan oleh hakim-hakim
pengadilan agama Jakarta Selatan

6

C. Tujuan Penelitian
Tttiuan yang ingin di capai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui :
I. Metode yang dipakai oleh hakim pengadilan agama Jakarta Selatan dalam
proses pembuatan putusan
2. Bagaimana tekhnik penerapan hukurn dalam pengambilan putusan yang
dilakukan oleh hakim pengadilan agama Jakarta Selatan.
3. Sejauh mana hakim pengadilan agama Jakarta Selatan dalam memakai
yurisprudensi sebagai landasan hukurn
4. Perkara-perkara apa saja yang diputus oleh hakim pengadilan agama Jakarta
Selatan hingga menjadi yurisprudensi

D. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, maim
metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data melalui kepustakaan, yaitu menggunakan penelitian dengan
membaca buku-buku sumber bacaan yang terkait dengan skripsi ini sebagai data
sekunder
b. Melakukan penelitian lapangan dengan cara mengumpulkan dokurnen dan
data-data yang diperlukan, di samping itu juga memberikan pertanyaan melalui
wawancara

dan angket guna dijawab oleh hakim pengadilan agama Jakarta

7

Selatan, sebagai data primer berupa putusan peradilan agama Jakarta Selatan yang
telah di kasasi dan menjadi yurisprudensi
2. Pengolahan Data
a. Menyelel{si Data

Setelah memperoleh data-data dan dokumen yang diperlukan baik melalui
penelusuran pustaka maupun penelitian lapangan Ialu data tersebut diperiksa
kembali secara teliti dan seksama
b. Mengklasifikasi Data

Sesudal1 data diperiksa lalu di klasifikasikan dalam bentuk dan jenis data
tertentu, kemudian dipisah-pisahkan menurut katagori guna memperoleh suatu
kesimpulan
3. Analisis Data

Sesudah bahan dan dokU01en-dokumen dikU01pulkan lalu bal1an-bahan
tersebut dianalisa menggunakan metode kornparatif yaitu untuk mencaj:Jai pemecahan
suatu masalah

melalui analisa terhadap faktor-faktor tertentu yang berhubungan

dengan masalah-masalah yang diselidiki dan membandingkannya dengan faktorfaktor lain.

Eo Sisternatika Penulisan
Karya tulis ini terdiri daTi lima bab dan masing-masil1g bab mempunyai subsub bah. Secara sistematis bah-bab itu terdiri dari:

8

BABI

Pendahuluan
Pada bab ini penulis akan menguraikan, latar belakang masalah,
pembahasan

dan

perumusan

masalah,

tujuan

penelitian,

metode

penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II

Sumber Hukum', Kompetensi, dan Asas-asas Hukum Acara Peradilan
Agama
Dalam bab ini penulis akan membagi dalam tiga sub bab yang meliputi,
sumber hukum peradilan agama, kompctensi peradHan agama, dan asasasas hukum acara peradHan agama.

BAB III

Yurisprudensi Sebagai Sumber I-lukull1 di Peradilan Agama
Pada bab ini penulis akan mell1bahas lebih mendalam tentang, pengertian
yurisprudensi,

kekuatan

ll1engikat

yurisprudensi

terhadap

hakim,

prasyarat suatu putusan menjadi yurisprudensi, dan peran yurisprudensi di
peradilan agall1a
BAB IV

Kontribusi Praksis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam
Proses Pembentukan Yurisprudensi
Dalam bab ini penulis akan ll1ell1bagi dalam tiga sub bab yang mengulas
tentang, metode penemuan dan penerapan hukum, kontribusi hakim
dalam memakai dan ll1enghasilkan yurisprudensi, dan analisis hasH
penelitian.

9

BABY

Penutup
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran yang mmtinya mudah-mudahan
berguna bagi para akademisi maupun praktisi hukum, khususnya hukum
Islam serta masyarakat pada umumnya.

BABII
SUMBER HUKUM, KOMPETENSI, DAN ASAS-ASAS
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A. Sumber Hukum Peradilan Agama

1. Sumber Hukum Materil
a. Definisi
Sebelum membahas tentang sumber hukum materil pada peradilan agama ada
baiknya bila di jelaskan terlebih dahulu tentang hukum perdlata materi!. Menurut R.
Susilo dalam bukunya HIR/RIB Dan Penjelasannya, dikatakan bahwa: "Hukum
perdata materil ialah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
perhubungan-perhubungan antar orang-orang atau badan hukum satu sama lain, yang
timbul dari perhubungan pergaulan masyarakat, seperti misalnya: Peraturan tentang
jual beli, sewa menyewa, gadai, perseroan dagang, kawin dan perceraian, dan lain
sebagainya". I
Dari definisi diatas dapatlah ditarik suatu pemahaman bahwa hukum materil
baik yang tertulis (undang-undang) maupun tidak tertulis (hukum adat), merupakan
pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak
berbuat didalam masyarakat. Sebagaimana di contohkan oleh Sudikno Mertokusumo,
bahwa ketentuan-ketentuan seperti: "siapa yang mengambil barang milik orang lain

dengan nia/ un/uk dimiliki sendiri secara melawan hukum.....dan sebagainya",
1 R.

Susilo, HIR/RIB Dan Pe1Jjelasannya, (Bogar: Karya Nusanlara Politeia, 1979), h. 77

II

,

"Siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian pada orang lain diwajibkan
mengganti kerugiclI1 kepada orang lain tersebut", itu semuanya merupakan pedoman
atau kaidah yang pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang, 2
Sementara peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasark:m hukum Islam sesuai
dengan pasal 49 UU No.3 lahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dari penj abaran diatas dapatlah disimpulkan bahwa, hukum perdata materil
peradilan agama adalah kumpulan-kunlpulan peraturan hukum baik yang tertulis
(undang-undang) maupun yang tidak terlulis namun tercatat seperti, Alquran, hadits,
kitab-kilab fikih, hukum adat, dan peraturan hukum yang tidak tertulis dan tidak
tercatat pula seperti, norma masyarakat, adat istiadat serta kebiasaan, yang mengatur
hubungan antara orang satu sama lain yang seagama (Islam), yang timbul karena
adanya hubungan dalam masyarakat.
b. Sumber Hukum MateriI Peradilan Agama

Adapun sumber-sumber hukum materil peradilan agama meliputi:
I. Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
2. Undang-undang No. No, 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
3. Undang- undang No, 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama

2

2, h. 1

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yol,'Yakarta: Liberty, 1989), Cet.

12

4. Undang-undang No. I tahun 1974 tentang Perkawinan
5. PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974
6. PP No.45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No.1 0 tahun 1983 tenlang
lzin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
7. Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
8. Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok
Agraria
9. PP No. 28 tahun 1977 tcntang Perwakafan Tanah Milik
10. Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan alas Undang-undang
No.7 tahtll 1992 tentang Perbankan
II. Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

2. Suinber Hukum formil
a. Definisi

Swnber hukum perdata formil atau hukum acara perdata adalah peraturanperaturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan
hukunl perdata materil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana caranya
mengajukan sesuatu perkara perdata kemuka pengadilan perdata dan bagaimana
caranya hakim perdata memberikan putusan. 3

3

R. Susilo, Gp. Cit, h. 72

13

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materil dengan perantaraan hakim. 4
Sedangkan menurut Wiryono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah,
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu hams bertindak
satu sarna lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 5
Sementara hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
Iingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus sesuai dengan
pasal 54 UU. No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dari definisi-definisi singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materi!. Maka hukum formil atall hllkum acara peradilan
agama mempakan suatu cara untuk melaksanakan hukum Islam di bidang
perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syariah pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama

Sudikno Mertokusumo, Gp. Cit, h.2
R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di lndanesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1980), h.13
4

5

14

b. Sumber hukum formil Peradilan Agama
Sumber hukum formil (acara) yang berlaku pada lingkungan peradilan agama
tela11 diatur dalam bab IV UU No. 3 ta11un 2006 tentang Peradilan Agama, mulai
pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut pasal 54, "Hukum acara yang berlalku
pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini".
Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa terdapat hukum acara perdata yang
berlalku secara umum pada peradilan umum dan peradilan agama, dan ada juga
hukum acara yang hanya berlaku pada peradilan agama. Hal ini menunjukkan sifat
kekhususan pada peradilan agama.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara perdata
peradilan umum, antara lain:
I. HlR (Het Herzeine Inlandsche Reglement) atau di sebut juga RIB (Reglemen
Indonesia yang di Ba11arui)
2. REg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau di sebut juga Reglemen untuk
daera11 seberang, malksudnya untuk luar Jawa dan Madura
3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jaja11an
Belanda dahulu berlalku untuk Raad Van Justitie

15

4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Eropa. 6
5. Undang-undang No.8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum
Selain itu ada pula berbagai peraturan perundang-undangan hukum acara
perdata bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama,
yaitu:
I. Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaall Kehakiman

2. Undang-undang No.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
3. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No.9 tabun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
NO.1 tahun 1975
Menurut ketentuan pasal 54 UU No.3 tabun 2006 tentang Peradilan Agama,
semua peraturan perundang-undangan di atas berlaku dilingkungan peradilan agama.
Sedangkan hukum acara yang secara khusus diatur dalam ulldang-undang No.3 tabun
2006 tentang Peradilan Agarna meliputi tiga bagian. Bagian pertama nierupakan
ketelltuan yang bersifat umum, diantaranya tentang asas-asas peradilan, penetapan
dan putusan pengadilan serta upaya hukum (banding dan kasasi). Bagian Kedua
mengatur tentang pemeriksaan sengketa perkawinaan, yang meliputi perkara cerai
talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Bagian Ketiga mengatur tentang

6 Raihan A. Rasyid, HlIkllm Acara Peradilan Agama, ( Jakarne Raja Grafindo, 2002), Cet.
IX, h. 21. Lihat pula, Mukti Arlo, Praklek Perkara Perdala Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), Cet. IV, h. 12

16

biaya perkara.7'Dengan adanya UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka
bagian kedua di tambah dengan masalah ekonomi syariah.

B. Kompetensi Peradilan Agama

Kompetensi berasal dari bahasa Belanda, Competentie yang mempunyai
makna kekuasaan atau wewenang,8 sehingga ketiga kata tersebut mempunyai arti
yang sama. Disini penulis sengaja memilih menggunakan kata kompetensi karena
lebih mendekati bahasa aslinya. Kompetensi di dalam peradilan di bedakan atas dua
macam:
1. Kompetensi Relatif

Menurut Raihan A. Rasyid, kompetensi atau kekuasaan relatif diartikan
sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaaanya
dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sarna tingkatan lainnya. Misalnya
antara pengadilan negeri Magelang dengan pengadilan negeri Purworejo, antara
pengadilan agama Muara Enim dengan pengadilan agama Batu Raja. 9
Dalam pasal 4 ayat (I) UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
disebutkan bahwa, "pengadilan agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota". Sedangkan pada penjelasan

7

Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), Cet.

2, h. 227
8 Lihat, Van Pramadya Puspa, Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa-Belanda-IndonesiaInggris, (Semarang: Aneka lImu, tth.)

9

Raihan A. Rasyid, Gp. Cit., h. 25

17

pasal 4 ayat (I)

dikatakan, bahwa pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan

agama ada di ibukota kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten dan kota, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Dengan demikian setiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum
masing-masing, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau
dalam keadaan tertentu ada pengecualian bisa jadi lebih atau mungkin bisa kurang,
seperti pengadilan agama Tangerang .dan pengadilan agama Bogor. Daerah hukum
pengadilan agama Tangerang meliputi wilayah kotamadya Tangerang dan kabupaten
Tangerang, sedangkan pengadilan agama Bogor meliputi wilayah kotamadya Bogor
dan kabupaten Bogor.
Melihat perkembangan jumlah penduduk yang semakin banyak bukan tidak
mungkin bila kedepan kedua wilayah tersebut akan mengalami penambahan
pengadilan agama untuk masing-masing kotamadya dan kabupaten mempunyai satu
pengadilan agama sebagaimana amanat pasal 4 ayat (I) UU No.3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama di atas.
Kompetensi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan wilayah
pengadilan agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan
hak eksepsi tergugat. 10
Sedangkan secara teknis efektivitas kekuasaan relatif pangadilan tergantwlg
kepada perkara-perkara yang terkait dengan para pihak yang bertempat tinggal di

10

Ibid, h. 26

18

daerah hukum' pengadilan, Sebagaimana dikatakan oleh Cik Hasan Bisri, bahwa
pengadilan agama mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan memutus perkara di
daerah hukumnya yang meliputi antara lain: tempat kediaman pemohon dalam
perkara cerai talak, tempat kediaman tergugat dalam perkara cerai gugat, dan letak
tempat harta peninggalan' dalam perkara kewarisan. 11

2. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut adalah kompetensi pengadilan yang berhubungan dengan
jenis perkara atau pengadilan atau tingkat pengadilan, dalam perbedaannya dalam
jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan lainnya, misalnya
pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama
Islanl sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan peradilan umum. 12
Dalam hal ini pengadilan dalam lingkunan peradilan agama mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di
kalangan orang-orang yang betagama islam,
Kornpetensi absolut pengadilan agama telall diatur dalarri pasal 49 sampai
dengan 53 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Di dalam ketentuan pasal
49 dinyatakan:

11
12

Cik Hasan Bisri, MS., Gp. CiI., h. 206
Raihan A. Rasyid, Gp. CiI., h. 27

19

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang
a. perkawinan
b. kewarisan
c. wasiat
d. hibah
e. wakaf

f zakat
g. infaq
h. shadaqah
i. ekonomi syariah
Di dalam penjelasan pasa! 49 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
di katakan bahwa, penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan
syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Yang di maksud dengan
"antara orang-orartg yang beragama islam" ada!ah termasuk orang alau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan
ketentuan pasal ini.

20

Hurufa
Yang di maksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang di atur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukakan
- menurut syariat islam, antara lain:
I. Izin beristri lebih dari seorang,
2.

Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 2 I tatllIll,
dalam hal orang tua atau waH atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat,

3. Dispensasi kawin,
4. Pencegal1an perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
I I. Mengenai penguasaan anak-anak
12. Ibu dapat memilnJl biaya pemeHharan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak

21

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuannya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tUl\nya
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kel.:uasaanya
20. Penetapan asal usul seorang anak
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian ketera!lgan untuk melakukan
perkawinan campuran
22. Pemyataan tentang sahnya perkawinan yang teJjadi sebelum UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Hurufb
Yang di maksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut,
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

22

Hurufc
Yang di maksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembagalbadan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Hurufd
Hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukmn untuk di
miliki.
Hurufe
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk di
manfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
Huruff
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
hukum yang di miliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah
untuk di berikan kepada yang berhak menerimanya.
Hurufg
Yang di maksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,

23

minuman, mendenna, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.
Hurufi
Yang di maksud de?gan "ekonomi syariah" adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang di laksanakan menurut prinsip syariah, meliputi:
a. bank syariah
b. asuransi syariah
c. reasuransi syariah
d. reba dana syariah
e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f. sekuritas syariah
g. pembiayaan syariah
h. pegadaian syariah
i. dana pensiun lembaga keuangan syariah
j. bisnis syariah, dan
k. lembaga keungan mikro syariah.

C. Asas- Asas Hukum Acara Pcradilau Agama

Asas Hukum (rechtsbeginsellen) adalah pokok pikiran yang bersifat umum
yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit (hukum positif).13

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 32

24

Sedangkan menurut Satcipto Raharjo, asas hukum adalah jiwa peraturan hukum,
karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukurn, ialah rasio logisnya peraturan
hukum. 14
Asas-asas hukurn peradilan agama dapat di temukan di dalam undang-undang
yang mengatur tentang hukum perdata di peradilan umum maupun dalam undangundang yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama. Secara garis besar
asas-asas tersebut meliputi:
1. Hakim Bersifat Menunggu

Asas daripada hukum acara perdata pada urnurnnya, termasuk hukurn acara
peradilan agama, bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak, gugatan maupun
permohonan di serahkan sepenuhnya pada yang berkepentingan.
Kalau tidak ada tuntutan hak ataupun gugatan dan permohonan, maka tidak
ada hakim sebagaiman pameo yang tak asing lagi mengatakan: Wo Kein klager ist, ist
kein richter, nemo judex sine actore, yang artinya kalau tidak ada tuntutan hak atau

penuntutan, maka tidak ada hakim. ls
Maka yang niengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan,
sedangkan hakim hanya menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan padanya.
Hal ini sesuai dengan pasal 118 HIR, dan 142 Rbg. Pasal 142 ayat (1) berbunyi:
"Gugatan-gugatan perdata dalam

tingkat pertama yang menjadi wewenang

pengadilan negeIi dilakukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya yang
14

Satcipto Rahmjo, I1mu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), h. 85

15

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Gp. Cit, h.1 0

25

diangkat menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal 147, dengan suatu surat
permohonan yang di tandatangani olehnya atau oleh kuasa エオ「・ウイセG

dan di sampaikan

kepada ketua pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal
tergugat alau, jika tempat tinggalnya tidak di ketahui di tempat tinggalnya yang
sebenamya".
Dari pasal 142 ayat (I) tersebut, dapat kita ketahui bahwa adanya sesuatu
perkara perdata adalah di mulai dengan adanya pemasukan surat permohonan yang di
tandatangani

oleh

penggugat

atau

wakilnya

kepada

ketua

pengadilan

negeri/pengadilan agama yang berwenang.Setelah itu barulah hakim menerima untuk
memproses dan menyelesaikannya.
Dari situ diketahui bahwa dimulainya perkara berasal dari penggugat, adapun
hakim sifatnya adalah menunggu. Akan tetapi sekali perkara di ajukan kepadanya,
hakim dilarang untuk menolak memeriksa dan mengadilinya walaupun dengan alasan
hukum tidak ada atau kurang jelas.
2. Sidang Tcrbuka Untllk Umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain (pasal 19 ayat 1 UU No.4 tahun 2004). Sedangkan
pasal 59 ayat 1 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan: "Sidang
pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang
menentukan lain atau jika hakim dengan alasan- alasan penting yang dicatat dalam
berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keselUluhan atau
sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup".

26

Alasan yang dijadikan dasar oleh hakim untuk memerintahkan pemeriksaan
sidang tertutup harus di catat dalam berita acara, maka persidangan dilakukan dengan
tertutup seperti dalam kasus perkara cerai, zina, dan lain-lain, untuk melindungi hak
privasi para pihak.
Hal ini berarti bahwa setiap orang boleh hadir, mendengar dan menyaksikan
jalannya pemerikaan perkara di pengadilan. Tujuan asas ini untuk menjamin
pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, adil serta melindungi hak asasi manusia
dalam bidang peradilan, sesuai hukum yang berlaku. Asas ini membuka sosial kontrol
dari masyarakat, yaitu dengan meletakkan peradilan di bawah pengawasan umum. 16
3. Hakim Pasif
Di dalam memeriksa perkara perdata hakim bersikap pasif, dengan kata lain
bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh
hakim. Para pihaklah yang dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah
diajukannya ke muka pengadilan, sedang hakim tak dapat menghalang-halangi,
misalnya mengakhiri dengan cara damai atau mencabut gugatan.
Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan, Pasal 4 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentfuig Kekuasaan Kehakiman.

16 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka
Karlini, 1988), h.16

27

Disarnping itu hakim wajib untuk mengadili seluruh gugatan yang diajukan
kepadanya saja, dan dilarang menjatuhkan atas perkara yang tidak di tuntut atau
mengabulkan lebih dari pada yang di tuntut. Hal ini sebagimana telah diatur dalam
HIR pasal 178 ayat 2 dan

セL

yang berbunyi: Pasal (2) Hakim wajib mengadili atas

segala bahagian gugatan. Pasal (3) la tidak di izinkan me!1iatuhkan keputusan atas
perkara yang tidak di gugat atau memberikan dari pada yang di gugat.
4. Hakim Harus Mendengarlmn Kedua Belah Pihak

Hakim haruslah bersikap moderat dan memperlakukan sarna terhadap kedua
belah pihak, tidak berat sebelah dan mendengarkan keterangan dari masing-masing
pihak. Hal sesuai dengan pasal 5 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan juga pasal 58 ayat (1) dan (2) UU No.3 tahoo 2006 tentang Peradilan
Agarna, yang berbunyi:
(I) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala harnbatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Asas bahwa kedua belah pihak harus di dengar lebih di kenai dengan asas,
"audi e/ a//eram par/em" atau "Eines Mannes Rede is/ keines Mannes Rede, man solI
sie horen a//e beide". Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan

28

dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak di dengar atau tidak di beri
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. 17
5. Putusan Hams Disertai Alasan-alasan
Hakim haruslah ゥエ。ィMイ・セ

dalam dalam menjatuhkan segala putusan (vonis)

terhadap para pihak, karena pengadilan mempakan tumpuan terakhir bagi para
pencari keadilan. Ia harus menjaga agar putusan itu benar berdasarkan atas hukum
dan juga dapat memenuhi rasa keadihin masyarakat, maka putusan tersebut harusJah
disertai alasan-alasan berdasarkan atas hukum baik tertulis maupun hukum yang tak
tertulis.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 25 ayat (l) UU No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, jo pasal 62 ayat (1) UU No.3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang berbunyi: "Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain
harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasamya juga hams memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili".
6. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Riligan
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 57 ayat 3
UU No.3 tahUll 2006 tentang Peradilan Agama) jo Pasal 4 ayat 2 UU No.4 tahun
2004. Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah di fahami dan tidak berbelit-belit.

Mal(in sedikit dan sederhana formalitas dalanl beracara semakin baik. Sebaliknya

17

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op. Cit, h.14

29

terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipaharni dan akan menimbulkan
beraneka ragarn penafsiran sehingga kurang menjarnin adanya kepastian hukum. 18
Cepat

menunjukkan

jalarnmya

peradilan

yang

cepat

dan

proses

penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli
warisnya. Adanya parneo justice delayed is justice denie, yang artinya bahwa dengan
menunda-nunda keadilan sarna dengan menyangkal keadilan itu sediri, yang
berakibat pada kekecewaan para pencari keadilan (justiciable).19
Biaya ringan dimaksudkan agar biaya berperkara di pengadilan sedapat
mungkin dapat di jangkau oleh semua kalangan masyarakat. Biaya yang tinggi hanya
akan membuat enggan orang berperkara di pengadilan. KalaupUIl memang ternyata
orang yang bersangkutan tidak mampu, maka boleh bebas biaya (prodeo). Hal ini
sesuai dengan pasal 237 HIR yang mengatakan: "Orang -orang yang demikian, yang
sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak marnpu
membayar biaya perkara, dapat di berikan izin untuk berperkara dengan tak berdaya".
7. Asas Objektifitas
Pengadilan haruslah bersikap objektif dan memperlakukan sarna terhadap
kedua belah pihak, tidak berat sebelah dan mendengarkan keterarigandari masingmasing pihak. Hal ini sesuai dengan pasal 58 ayat (I) UU No.3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agarna dan juga pasal 5 ayat (I) UU No.4 tahun2004 tentang Kekuasaan

\8 Bambang Sutioso dan Sri HaslUti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005), Cet.!, h. 73
\, Ibid.

30

Kehakiman, yang berbunyi: "Pengadilan mengadili menw:ut hukum dengan tidak
membedakan orang".
Untuk menjamin asas ini bagi pihak yang diadili dapat mengajukan keberatan
yang di sertai dengan alasan-alasan terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya,
yang disebut hak ingkar. Hak ingkar yaitu hak seseorang yang di adili untuk
mengajukan keberatan yang di sertai alasan-alasan terhadap seorang hakim yang
akan mengadili perkaranya.
Hal ini sesuai dengan pasal 29 ayat (I), (2), dan (3) UU No.4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan:
(I) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili

perkaranya.
(2) Hak ingkar sebagaimana di maksud pada ayat (I) ada!ah hak seseorang yang
diadili untuk mengajukan keberatan yang di sertai dengan alasan terhadap
seorang hakim ynag mengadili perkaranya.
(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah
seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
8. Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YjlDg Maha Esa

Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASJIRKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA (Pasa! 57 ayat 1 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama

31

jo Pasal 4 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Rumusan ini
berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.
Di dalam pengadilan agama sebelum kata-kata, Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan

Yang

Maha

Esa

haruslah

ditambah

dengan

kalimat,

"BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM", (pasal 57 ayat 2 UU No. 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama).
KaIimat diatas secara sadar telah dipilih oleh pembuat undang-undang
(Legislatif), yaitu Demi keadilan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa, bukan
berdasarakan atas hukum atau yang lainnya. Dengan demikain hakim harus selalu
insyaf atas sumpah jabatannya, baIlwa ia tidak hanya bertanggung jawab kepada
hukum, diri sendiri maupun masyarakat, tetapi bertanggung jawab langsung kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Bismar siregar, kaIimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, bila di hayati merupakan doa dan janji antara hakim dengan Tuhan yang

kurang lebih berbunyi, "Ya Tuhan, atas nama-Mu saya ucapkan putusan tentang
keadilan im",.20
9. Susl1nan Persldangan: Majelis

Susunan persidangan untuk semua pengadilan pada asasnya merupakan
majelis, yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim kecuali ditentukan

20 Bismar Siregar, Segi-Segi Banluan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: PSK- Fakultas
Hukum UII, 1986), h. 8

32

lain oleh undang-undang. Hal tersebut sesuai dengan pasal 17 ayat I, 2 UU. No.4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
(I) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-

kurangnya (3) tiga orang hakim kecuali undang-undallg menentukan lain.
(2) Diantara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (I), seorang bertindak
sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
Pengecualian pada pasal ini dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap terlalu
banyaknya jumlah perkara, sedangkan jumlall hakim tidak sebanding dengan perkara
yang ada tersebut. Jika teJjadi masalall seperti ini maka sidang boleh dilakukan oleh
seorang hakim saja dengan tujuan demi terselenggaranya proses peradilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hal ini dimungkinkan karena pasal 11
undang-undang Darurat No. 11 tallun 1955 memperbolehkan untuk memeriksa dan
memutus suatu perkara dengan seorang hakim, apabila. ditentukan oleh ketua
pengadilan tinggi. 21
10. Peradilan Agama Bagi Orang Islain

Hal ini sebagimana telall dinyatakan pasal 1 ayat (I), dan pasal 2 UU No.3
tallun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
1. Peradilan agama adalall peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
2. Peradilan Agama merupakan salall satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam undang-undang ini.
2i

Ibid., h. 27

33

Dari keaua pasal diatas dapatlah kita tarik suatu pemahaman bahwa, pertama
pihak-pihak yang bersengketa haruslah sama-sama beragama islam, kedua perkara
perdata tertentu yang dimaksud disini adalah perkara dalam bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Beragam