BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 2.1.1 Morfologi Ikan Nila (O. niloticus) - Febriana Widya Utami Bab II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

2.1.1 Morfologi Ikan Nila (O. niloticus)

  Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki bentuk badan pipih kesamping dan memanjang, mempunyai garis vertikal yang berwarna gelap disirip ekor sebanyak enam buah (ada yang 7-12 buah), garis-garis pada sirip ekor berwarna merah sejumlah 6-12 buah, pada sirip punggung terdapat garis-garis miring (Suyanto, 2010), sedangkan ciri-ciri yang lain menurut Khairuman & Amri (2013) yaitu ikan nila memiliki mata yang besar menonjol dan bagian tepinya berwarna putih, ikan nila memiliki lima buah sirip, yakni sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectona fin), sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggung, sirip perut dan sirip dubur mempunyai jari-jari lemah tetapi keras dan tajam seperti duri. Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip ekor.

Gambar 2.1 Ikan nila (O. niloticus)

  2.1.2 Klasifikasi Ikan Nila (O. niloticus)

  Menurut Saanin (1995), klasifikasi ikan nila (O. niloticus) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Classis : Osteichties Sub Classis : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphii Sub ordo : Percoidae Familia : Cichlidae Genus : Oreochromis Species : Oreochromis niloticus

  2.1.3 Syarat Hidup Ikan Nila (O. niloticus)

  Ikan nila banyak dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena kemampuan adaptasi yang bagus di berbagai jenis air. Nila dapat hidup di air tawar, air payau, dan air laut (Suyanto, 2010).

  Ikan nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga dapat di pelihara di dataran rendah yang berair payau hingga di dataran tinggi yang berair tawar. Habitat hidup ikan nila cukup beragam, mulai dari sungai, danau, waduk, rawa, sawah, kolam, hingga tambak. Ikan nila dapat

  o

  tumbuh secara normal pada kisaran suhu 14 - 38 C dan dapat memijah secara

  o

  alami pada suhu 22 - 37

  C. Untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, suhu o

  optimum bagi ikan nila adalah 25 - 30

  C. Pertumbuhan ikan nila biasanya akan

  o o

  terganggu jika suhu habitatnya lebih rendah dari 14 C atau pada suhu tinggi 38 C.

  o o

  Ikan nila akan mengalami kematian pada suhu 6 C atau 42 C (Khairuman & Amri, 2013). Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan nila adalah adanya kebutuhan oksigen terlarut. Konsentrasi oksigen terlarut paling ideal bagi budidaya ikan nila adalah 4

  • – 7 ppm (Suyanto, 2010). Selanjutnya adalah kondisi derajat keasaman (pH) air yang menenetukan baik tidaknya kondisi perairan tersebut uuntuk budidaya ikan nila. Menurut Suyanto (2010), ikan nila akan mengalami pertumbuhan optimal pada kisaran pH 7
  • – 8, serta dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan dengan kadar Dissolved

  Oxygen (DO) antara 4 – 7 mg/L.

2.1.4 Penyakit pada Ikan Nila Penyakit pada ikan nila dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.

  Penyakit pada ikan nila dapat dibedakan menjadi dua yaitu penyakit non parasiter dan penyakit parasiter.

  a. Penyakit Non Parasiter Penyakit non parasiter dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti suhu, pH, oksigen terlarut. Ketiga parameter ini diukur setiap pagi, siang dan malam selama 3 bulan awal pemeliharaan (Suyanto, 2004).

  b. Penyakit Parasiter Penyakit parasiter merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa dan cacing. Penyakit parasiter pada ikan nila dapat juga disebabkan oleh bakteri yang bersifat patogen seperti bakteri A. hydrophila.

  Bakteri tersebut banyak terdapat di kolam air tempat pemeliharaan ikan. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila adalah penyakit MAS (Motil Aeromonas Septicemia). Penyakit ini dapat menular melalui air dan kontak badan. Tanda-tanda yang timbul pada ikan yang mengalami penyakit MAS di antaranya inflamasi, peradangan di area sekitar insang, mata menonjol, perut kembung, ginjal membengkak, dan usus berisi mucus yang berwarna kekuningan (Kamiso, 1994).

2.2 Bakteri Aeromonas hydrophila

  2.2.1 Klasifikasi A. hydrophila

  Klasifikasi A. hydrophila menurut Holt et al. (1998) adalah sebagai berikut: Phyum : Protophyta Classis : Schizomycetes Ordo : Pseudanonadales Familia : Fibrionaceae Genus : Aeromonas Species : Aeromonas hydrophila

  2.2.2 Karakteristik A. hydrophila

  A. hydrophila merupakan bakteri heterotrophic unicellular, tergolong

  protista prokariot yang dicirikan dengan tidak adanya membran yang memisahkan inti dengan sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 x 1,0- 1,5 μm dan bergerak menggunakan sebuah polar flagel (Kabata 1985). Hal ini diperkuat oleh

  Krieg & Holt (1984) yang menyatakan bahwa A. hydrophila bersifat motil dengan flagela tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri Gram negatif yang memiliki dinding sel dengan kandungan lipid tinggi (11-12%).

  Lapisan lipid tersebut bersama dengan polisakarida (liposakarida) menyusun dinding luar sel bakteri Gram negatif (Pleczar & Chan, 1998). Bakteri A.

  

hydrophila berbentuk batang sampai dengan kokus dengan ujung membulat,

  fakultatif anaerob, dan bersifat mesofilik dengan suhu optimum 20 - 30 ºC (Kabata 1985). Bakteri ini umumnya hidup di air tawar, terutama yang mengandung bahan organik tinggi (Afrianto & Liviawaty, 2009).

Gambar 2.2 Aeromonas hydrophila dengan pewarnaan Gram

2.2.3 Habitat dan Penyebaran A. hydrophila

  Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar. Infeksi A. hydrophila dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, sters, perubahan temperatur air yang terkontaminasi dan ketika host (inang) tersebut telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh karena itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat pathogen oportunistik (Dooley et al., 1985 dalam Haryani et al., 2012). Bakteri ini dapat bertahan dalam lingkungan aerob maupun anaerob dan dapat mencerna material

  • – material seperti gelatin dan hemoglobin. A. hydrophila resisten terhadap chlorine serta suhu yang dingin (faktanya A.hydrophila dapat bertahan
o

  dalam temperature rendah ± 4

  C), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan (Krieg & Holt, 1984).

  Austin dan Austin (1993) dalam Haryani et al. (2012) menambahkan bahwa sebagian besar isolat A. hydrophila mampu tumbuh dan berkembang biak

  o pada suhu 37 C dan tetap motil pada suhu tersebut. Di samping itu bakteri A. hydrophila mampu tumbuh pada kisaran pH 4,7

  • – 11 (Cipriano et al., 1984 dalam Haryani et al., 2012). Penularan bakteri A. hydrophila sangat cepat melalui perantara air, kontak dengan tubuh ikan, atau melalui peralatan budidaya yang tercemar/terkontaminasi bakteri. Bakteri ini bersifat patogen, menyebar secara cepat pada penebaran yang tinggi dan dapat meningkatkan kematian benih sampai 100% (Kabata, 1985).

2.2.4 Patogenitas A. hydrophila

  Bakteri A. hydrophila adalah jenis bakteri yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan penyakit sistematik serta menyebabkan kematian pada ikan secara masal. Bakteri ini menyerang bebagai jenis ikan air tawar seperti lele dumbo, ikan mas, ikan gurami dan ikan nila. Bakteri A. hydrophila dapat menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian tinggi 80 - 100% dalam waktu 1

  • – 2 minggu (Kamiso, 2004). Bakteri ini juga dapat dengan mudah menyerang ikan yang terinfeksi parasit atau ikan yang terdapat luka pada tubuhnya (Maharani, 2009).

  Bakteri A. hydrophila menyerang hampir semua jenis ikan air tawar baik ikan hias maupun ikan konsumsi dengan gejala klinis berupa luka di bagian tubuh ikan dan bakteri ini menyerang semua umur dan hampir semua komoditas perikanan yang ada di Indonesia, di Jawa Barat bahkan menjadi wabah mematikan pada ikan air tawar dan menyebabkan kerugian sangat besar (Kamiso & Triyanto, 1993 dalam Haryani et al., 2012 ).

  Bakteri A.hydrophila merupakan bakteri Gram negatif yang sering menyerang dan menginfeksi ikan. Pada umumnya bakteri A. hydrophila dapat menginfeksi secara luas pada hewan, termasuk mamalia, tetapi yang banyak diketahui dapat menyebabkan penyakit pada ikan air tawar yang dibudidayakan (Yu et al., 2004 dalam Mulia, 2012). Bakteri A. hydrophila menyebabkan penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia ) dapat menginfeksi ikan terutama pada kondisi ikan stress atau bergabung dengan patogen lainnya sebagai penginfeksi sekunder (Harikrishan & Balasundaram, 2005 dalam Mulia, 2012).

  Ciri-ciri ikan yang terserang penyakit ini adalah warna ikan menjadi lebih gelap atau pucat, ikan tampak menyendiri, gerakan ikan tidak normal (berputar-putar), terdapat bercak peradangan pada kulit, sirip koyak-koyak, peradangan berdarah pada mulut dan organ dalam, kepucatan dan eksudat (cairan radang) di dalam rongga perut serta ginjal mengalami pembengkakan yang disertai pendarahan (Prajitno, 2005).

  Bakteri A. hydrophila yang patogen, diduga memproduksi faktor-faktor eksotoksin dan endotoksin, yang sangat berpengaruh pada patogenitas bakteri ini.

  Eksositosin merupakan komponen protein terlarut, yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial, produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa spesies bakteri terentu baik Gram positif maupun Gram negatif, yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut (Haryani et

  al ., 2012).

2.3 Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) Pada Ikan

  Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada ikan khususnya yang disebabkan oleh A. hydrophila mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1980, bakteri ini menyebabkan wabah penyakit pada ikan karper di wilayah Jawa Barat dan menyebabkan kematian sebanyak 125 ton (Lukistyowati & Kurniasih, 2011

  dalam Susanti 2012).

  Gejala eksternal yang muncul akiibat penyakit MAS adalah adanya ulser yang berbentuk bulat atau tidak teratur dan berwarna merah keabu-abuan, inflamasi, dan erosi di dalam rongga dan sekitar mulut, seperti redmouth disease. Selain itu, terjadi hemorrhagik pada sirip serta mata membengkak dan menonjol (ekspohtalmia/popeye) ( Sarono et al, 1993 dalam Mulia 2012 ). Gejala internal dari penyakit MAS adalah pembengkakan ginjal, tetapi tidak lembek; petikiae (bintik merah) pada otot daging dan peritoneum, usus tidak berisi makanan, tetapi berisi cairan kuning. Gejala khas dari bakteri ini adalah adanya sejumlah besar cairan kuning pada ronga perut (Sarono et al, 1993). Gejala penyakit yang disebabkan oleh A. hydrophila dapat terlihat apabila ketahanan tubuh ikan melemah atau stres (Mulia, 2012).

  Infeksi bakteri A.hydrophila yang menyebabkan ikan MAS ini dapat terjadi melalui permukaan tubuh ikan yang luka, saluran pencernaan atau melalui insang. Penyebaran bakteri A. hydrophila pada ikan berlangsung sangat cepat. Penularan A. hydrophila dapat melalui air, kontak badan, dan kontak peralatan yang telah tercemar atau dengan pemindahan ikan yang telah terinfeksi A.

  hydrophila dari satu tempatke tempat lain (Afrianto & Liviawaty, 2009).

2.4 Pengendalian Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)

  Dalam pengendalian penyakit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu lingkungan perairan (fisik, kimia & biologi), teknik yang dipakai dan faktor sosial ekonomi agar tindakan yang dilakukan menguntungkan dan dapat diterima oleh masyarakat (Dirjen Perikanan, 1993).

  Kematian ikan yang disebabkan oleh infeksi motil aeromonas sangat tergantung pada tingkat keparahan permasalahan/stres lingkungan yang diderita ikan. Apabila permasalahan lingkungan yang ada dengan cepat diperbaiki, kasus ini sering kali mereda dengan sendirinya tanpa pemberian vaksin atau beberapa jenis antibiotik. Penggunaan antibiotik seperti oksitetrasiklin, kloramphenikol, dan nifurpirinol dapat digunakan untuk mengatasi penyakit ini. Antibiotik dapat dapat diberikan secara penyuntikan maupun perendaman. Walau demikian, pengobatan dengan menggunakan antibiotik merupakan cara pengendalian yang tidak ekonomis (Noga, 2000). Penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama akan berdampak negatif salah satunya yaitu bakteri akan menjadi resisten terhadap antibiotik yang diberikan. Alternatif lain untuk pengobatan penyakit ini adalah dengan menggunakan bahan-bahan alami (Muhlisah, 1999). Adapun bahan-bahan alami yang dapat digunakan adalah dengan ekstrak daun pepaya, daun sirih, daun beluntas, daun meniran, lengkuas, jahe, kecombrang, dan sebagainya. Teknik pengobatan penyakit MAS pada ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan teknik perendaman, teknik penyuntikan, dan juga dapat diberikan melalui makanan atau pakan (Kordi, 2004 dalam Prihartono, 2007).

2.5 Tanaman Patikan Kebo ( Euphorbia hirta L.)

  2.5.1 Klasifikasi Tanaman Patikan Kebo ( E. hirta L.)

  Menurut Cronquist (1981) patikan kebo (Euphorbia hirta L.) diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Euphorbiales Familia : Euphorbiaceae Genus : Euphorbia Species : Euphorbia hirta L.

  2.5.2 Morfologi Tanaman Patikan Kebo ( E.hirta L. )

Gambar 2.3 Patikan kebo ( E. hirta L. )

  Tanaman patikan kebo merupakan tanaman herba 1 tahun, dengan batang tegak atau naik sedikit demi sedikit. Tanaman ini memiliki tinggi antara 0,1

  • – 0,6 m, pada bagian ujung batang utamanya berambut. Daun tanaman patikan kebo berbaris 2, memanjang, dengan pangkal miring, dan pada bagian ujung daun bergerigi-bergerigi, pada daerah permukaan daun berambut, termasuk kedalam
golongan daun tunggal dengan duduk daun saling berseberangan satu daun dengan daun lainnya panjang daun antara 0,5

  • – 5 cm. Tanaman patikan kebo memiliki panjang tangkai antara 2
  • – 4 mm, cyathia dalam payung tambahan yang berbentuk (setengah) bola, yang sendiri-sendiri atau dua terkumpul menjadi karangan bunga yang bertangkai pendek, letaknya duduk di ketiak daun, memiliki panjang piala 1 mm, berambut menempel. Tanaman patikan kebo memiliki buah dengan tinggi sekitar 1,5 mm, buahnya tumbuh bersama dengan bunganya yang muncul di ketiak daun sama seperti daunnya. Buah patikan kebo (E.hirta L.) memiliki bentuk seperti kapsul, memiliki 3 tonjololan bulat, ditumbuhi rambut- rambut halus atau bulu-bulu halus (van Stennis et al., 2008)

  Tanamn patikan kebo (E.hirta L.) memiliki akar yang termasuk ke dalam sistem perakaran tunggang, memiliki banyak cabang- cabang akar, memiliki banyak rambut-rambut atau bulu-bulu halus, memiliki tudung akar atau kaliptera, dan berwarna kecoklatan. Batang patikan kebo (E.hirta L.) memiliki ruas-ruas.

  Batang patikan kebo berbentuk bulat silinder berwarna merah sedikit keung- unguan, memiliki bulu-bulu halus diseluruh permukaannya. Pangkal batang patikan kebo tumbuh ke atas. Percabangan batang selalu mengarah keluar (Ipteknet, 2005).

  Bunga patikan kebo (E. hirta L.) sebagai mana daunnya yang muncul di ketiak daun, memiliki ukuran yang kecil dan memiliki jumlah yang banyak tergolong kedalam bunga majemuk. Jika diperhatikan secara cermat tampak bahwa bunga betina di kelilingi oleh beberapa bunga jantan. Warna bunganya hijau keungu unguan. Tanaman patikan kebo (E.hirta L.) juga memiliki biji ynag berwarna kecoklat-coklatan, berbentuk bulat, tidak memiliki rambut-rambut atau bulu-bulu halus diseluruh permukaan bijinya dan berwarna merah kecoklatan. Biji patikan kebo digunakan sebagai alat perkembang biakan tanaman itu sendiri (Desi, 2013). Tanaman ini biasanya tumbuh pada daerah yang berumput seperti halaman, tepi jalan, tanggul, tegalan, kebun (van Steenis et al., 2008).

2.5.3 Kegunaan Tanaman Patikan Kebo ( E. hirta L.)

  Tanaman patikan kebo ( E. hirta L.) sudah digunakan sebagai obat herbal untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Keberadaan tanaman tersebut di alam terkesan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat, padahal selain berperan sebagai tanaman liar, tanaman ini juga berpotensi untuk dijadikan sebagai tanaman obat. Masyarakat daerah pedesaan di Surabaya telah terbiasa menggunakan getah tanaman patikan kebo sebagai obat bagi penyakit bengkak pada kelopak mata (Hamdiyati et al., 2008 ). Kemampuan tanaman patikan kebo dalam mengobati berbagai macam penyakit ini melibatkan senyawa-senyawa kimia di dalamnya yang dapat bersifat antiseptik, anti-inflamasi, antifungal, dan antibakterial, seperti kandungan tanin, flavonoid (terutama quercitrin dan myricitrin), dan triterpenoid (terutama taraxerone dan 11α, 12 α –oxidotaraxterol) (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Hamdiyati et al., 2008).

  

2.5.4 Kandungan Metabolit Sekunder Patikan Kebo ( E. hirta L.) Sebagai

Antibakteri

  Patikan kebo (E. hirta L.) merupakan tanaman yang mengandung senyawa flavonoid (terutama quercitrin dan myricitrin), dan triterpenoid (terutama taraxerone dan 11α, 12 α –oxidotaraxterol) (Ekpo & Pretorius, 2007 dalam Hamdiyati et al., 2008). Selain itu juga terdapat kandungan senyawa lainnya seperti saponin yang juga berperan sebagai penghambat pertumbuhan bakteri patogen (Okoli et al., 2009 dalam Assidqi et al., 2012).

  Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol yang sering terdapat sebagai glikosida. Golongan flavonoid antara lain flavonoid O-glikosida, flavonoid C-glikosida, flavonoid sulfat, dan biflavonoid. Flavonoid mencakup banyak pigmen warna yang paling umum dan terdapat pada hampir semua jenis tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Fungsi flavonoid bagi tumbuhan penghasilnya yaitu sebagai antimikroba dan antijamur (Robinson, 1995).

  Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid dan flavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba, sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme. Senyawa in merupakan antimikroba karena kemampuannya membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba, flavonoid yang bersifat lipofilik akan merusak membrane mikroba, flavonoid bersifat inflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit, bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka. Selain itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan serta mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih cepat dihasilkan dann sistem limfoid lebih cepat diaktifkan (Haryani et al., 2012 ).