Uji Toksisitas Akut Ekstrak Daun Kamboja (Plumiera rubra L.) pada Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)

TINJAUAN PUSTAKA Kamboja (Plumiera rubra)

  Kamboja merupakan salah satu jenis bunga yang banyak ditanam di Indonesia, khususnya pulau Jawa dan Bali cukup banyak ditemukan pohon kamboja. Bunga kamboja merupakan bunga yang berbau sangat harum dan cukup awet (Kumari dkk., 2012). Bunga ini sering digunakan pada acara-acara adat juga keagamaan karena mengeluarkan aroma yang khas dan warnanya yang indah (Megawati dan Saputra, 2012).

  Gambar 2. Kamboja (Plumeria rubra L.) Klasifikasi kamboja menurut ITIS (2014): Kingdom : Plantae Subkingdom : Viridaeplantae Infrakingdom : Streptophyta Divisi : Tracheophyta Subdivisi : Spermatophytina Infradivisi : Angiospermae Class : Magnoliopsida Superorder : Asteranae Order : Gentianales Family : Apocynaceae Genus : Plumeria L.

  Species : Plumeria rubra L.

  Menurut Syamsulhidayat dan Hutapea (1991), akar dan daun (Plumeria

  

acuminate , W.T.Ait) mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan

  polifenol, selain itu daunnya juga mengandung alkaloid. Daun kamboja (Plumeria acuminata) mengandung senyawa saponin, flavonoid, polifenol, dan alkaloid. Tumbuhan ini juga mengandung minyak atsiri yang kandungannya terdiri atas geraniol, farsenol, sitronela, fenetilalkohol, dan linalool (Samuel dan Shelburne, 2004).

  Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid dan flavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba, sehingga secara invitro efektif terhadap mikroorganisme. Senyawa ini merupakan antimikroba karena kemampuannya membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba. Flavonoid yang bersifat lipofilik akan merusak membran mikroba. Flavonoid bersifat anti inflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit, bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka. Selain itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan serta mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih cepat dihasilkan dan sistem limfoid lebih cepat diaktifkan (Haryani dkk., 2012). Menurut Harborne (1987), flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air.

  Hasil penelitian Barus (2013), perbedaan dosis esktrak daun kamboja menyebabkan perbedaan kandungan senyawa antibakteri dalam media uji dan perbedaan tekanan osmosis antara cairan di dalam dengan di luar sel bakteri yang menyebabkan perbedaan daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri. Daya hambat terbesar dijumpai pada perlakuan dosis ekstrak 10% dengan diameter zona hambatnya 12.2 mm, sedangkan dosis hambat minimal adalah 2 % dengan zona hambat 6.4 mm.

  Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)

  Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal dari Sungal Nil dan danau-danau sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Menegristek, 2001).

  Bibit ikan didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan (Menegristek, 2001).

  Gambar 3. Benih Ikan Nila Merah Klasifikasi ikan nila menurut Luna (2015) adalah sebagai berikut:

  Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Perciformes Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus

  Penggunaan ikan nila sebagai bioindikator kualitas influen dan efluen dilakukan dengan pertimbangan karena ikan Nila ini bersifat respirorcgulator, osmoregulator, euryhaline dan bukan labirynthici, sehingga ikan ini termasuk dalam ikan yang mempunyai daya tahan sedang terhadap perubahan lingkungannya termasuk adanya perubahan-perubahan akibat adanya pencemaran, dan ikan ini mudah berkembang biak sehingga populasinya bisa dikendalikan.

  Ikan Nila dapat hidup pada iklim tropis dan subtropis sehingga sesuai dengan kondisi Kota Bontang yang beriklim tropis, bersifat omnivora, mampu mencerna makanan secara efisien dan tahan terhadap serangan penyakit (Suyanto, 1998).

  Kualitas Air Oksigen Terlarut

  Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000 diacu oleh Salmin, 2005). Tabel 1. Contoh Kepekatan Minimum Oksigen Terlarut yang Diterima dalam Air Tawar

  Tingkat Tingkat Minimal untuk Suhu Kejenuhan Mempertahankan Kehidupan di Air Oksigen Terlarut (

  C) -1 Ng L Kejenuhan (%) (mg/l)

  36,0 7 5,8 82,9 27,5 8 5,8 72,5 21,0 9 6,2 68,9 16,0 10 6,5 65,0

  7,7 12 6,8 56,7 1,5 14 6,8 48,6

  Sumber: USEPA (1972) diacu oleh Connell dan Miller (1995) Tersedianya oksigen terlarut dalam air sangat menentukan kehidupan udang dan ikan. Oksigen terlarut dalam suatu perairan diperoleh melalui difusi dari udara ke dalam air, aerasi mekanis, dan fotosintesis tanaman akuatik. Sementara itu, oksigen terlarut dalam air dapat berkurang akibat adanya respirasi dan pembusukan bahan organik pada dasar perairan (Department of Primary Industries and Resources of South Australia, 2003).

  Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968 diacu oleh Salmin 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970 diacu oleh Salmin 2005).

  Oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun (Salmin, 2005).

  Konsentrasi oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh faktor biologis seperti kepadatan organisme perairan, karena semakin padat organisme perairan maka laju respirasi juga akan semakin meningkat. Adanya peningkatan respirasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Schramm, 1997).

  Kepekatan oksigen terlarut yang lebih rendah di dalam massa air menyebabkan pengambilan oksigen yang rendah oleh makhluk hidup dan, akibatnya otot-otot tidak cukup diberi oksigen untuk melanjutkan pernapasan aerob pada laju yang optimal. Ini dapat dikompensasi untuk ikan dan makhluk hidup lainnya dengan cara memompa air lebih cepat melalui insang. Tetapi jika pengambilan oksigen tidak cukup, akan terjadi kegiatan otot yang tidak cukup seringkali akan menyebabkan kematian makhluk hidup tersebut (Erichsen Jones, 1964 diacu oleh Connell dan Miller, 1995).

  Jika zat-zat yang kaya karbon organik ditambahkan ke dalam sistem, beberapa jalur meningkat jaraknya dan juga beberapa sumber karbon organik meningkat ukurannya. Ini mengakibatkan meningkatnya pernapasan, terutama melalui pernapasan mikroorganisme, yang menyebabkan meningkatnya jumlah karbon dioksida dan metana (Connell dan Miller, 1995).

  Menurut Connell dan Miller (1995), oksigen yang diperlukan untuk pernapasan aerobik didapat dari oksigen yang terlarut dalam massa air. Oksigen ini biasanya berasal dari atmosfer dan diubah ke dalam karbon dioksida yang dibuang ke dalam massa air dan akhirnya ke atmosfer. Pernapasan yang meningkat, yang disebabkan meningkatnya jumlah karbon organik di dalam air, mengakibatkan berubahnya jarak jalur dan sumber oksigen. Yang terpenting, terdapat keperluan terhadap cadangan oksigen yang terlarut didalam massa air yang hanya sedikit karena oksigen terbatas kelarutannya di dalam air, biasanya beranah dari sekitar 6 sampai 14 mg/l. Dengan demikian, dapat terjadi penurunan besar dalam oksigen terlarut yang mempunyai dampak yang nyata terhadap makhluk hidup air.

  Menurut Schworbel, (1987), nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan suhu juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dan tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l.

  pH

  Menurut Sutika (1989), derajat keasaman atau kadar ion H dalam air merupakan salah satu faktor kimia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang hidup di suatu lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung dalam beberapa faktor yaitu: kondisi gas-gas dalam air seperti

  Organisma air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah (Baur 1987 Brehm & Meijering 1990, Brakke dkk., 1992 diacu oleh Barus, 2004). Nilai pH yang ideal bagi kehidupan orgamsma air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisma dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsung hidup orgamsma air. Sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbang antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi orgamsma (Barus, 2004).

  Toksisitas

  Menurut Tahir (2012), toksikan adalah agen yang mampu menghasilkan dampak atau respon buruk dalam suatu sistem biologis, yang dapat secara serius merusak struktur dan fungsi atau menyebabkan kematian.

  Toksisitas adalah suatu sifat relatif dari suatu bahan kimia dalam hal potensi untuk menimbulkan dampak yang membahayakan bagi organisme. Toksisitas merupakan fungsi konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan. Difusi merupakan jalur utama bahan kimia asing ke dalam tubuh orgamsme dengan jalan difusi pasif melalui membran semi-permiabel seperti insang, belahan mulut atau saluran gastro-intestinal. Insang yang merupakan organ ikan yang paling rentan, karena desainnya yang memaksimalkan difusi. Membran insang merupakan struktur yang tipis dengan ketebalan antara 2 - 4 µm, dan umumnya mewakili sekitar 2-10 kali area permukaan tubuh. Sedangkan kulit pada ikan, karapaks pada krustase dan kutikula pada serangga umumnya relatif bersifat impermiabel, karena kerapatan strukturnya serta keberadaan bagian mati dari strukturnya, baik yang hidrofobik maupun hidrofilik. Difusi pasif dapat terjadi melalui halangan (barrier) apa saja yang bersifat permiabel bagi bahan kimia dan menembus suatu gradasi konsentrasi (ΔC), yang merupakan proses fisis yang tidak membutuhkan pengerahan energi dari organisme (Tahir, 2012).

  Menurut Mangkoediharjo dan Samudro (2009), toksisitas adalah sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya menyebabkan efek negatif bagi makhluk hidup, atau: kemampuan zat menyebabkan efek negatif pada makhluk hidup. Sifat relatif ini merupakan fungsi dari konsentrasi dan durasi pemaparan toksikan.

  Sebagai sifat relatif maka data toksisitas dipakai sebagai perbandingan toksikan. Identifikasi toksikan dilakukan melalui uji toksisitas. Pengujiannya dilakukan pada kondisi tertentu dan tetap yang dapat diulang secara konsisten, sehingga memungkinkan pembandingan antar toksikan yang diuji.

  Menurut Mangkoediharjo dan Samudro (2009), tingkat toksisitas dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: toksisitas toksikan dapat dipengaruhi oleh komposisi toksikan. Ada kemungkinan komponen toksikan mempunyai perbedaan toksisitas. Faktor lain adalah sifat-sfat fisik kimia toksikan sebagaimana telah disebutkan di atas; toksikan akan menghasilkan efek negatif jika kontak dan bereaksi dengan target biota pada konsentrasi tertentu dan cukup waktu. Faktor-faktor yang berkaitan dalam pemaparan toksikan adalah : jenis toksikan, durasi pemaparan, frekuensi pemaparan, konsentrasi toksikan; Sifat-sifat lingkungan sebagaimana yang mempengaruhi toksikan di atas juga mempengaruhi toksisitas toksikan; toksisitas toksikan berbeda untuk berbagai spesies biota, karena adanya perbedaan ketahanan dan kemudahan spesies biota menerima toksikan. Perbedaan diantara spesies biota tersebut berkaitan dengan faktor-faktor genetik, umur dan status kesehatan.

  Menurut Tahir (2012), efek kronik dapat bersifat lethal atau sub-lethal. Efek kronik yang bersifat lethal misalnya kegagalan organisme yang mengalami pemaparan kronik untuk menghasilkan telur atau keturunan. Adapun efek kronik yang bersifat sub-lethal yang paling umum adalah perubahan tingkah laku (misal: berenang, menghindar dari ancaman dan hubungan mangsa-predator), perubahan fisiologis (misal: pertumbuhan, reproduksi dan perkembangan), perubahan biokimiawi (misal: konsentrasi enzim dan ion dalam darah) serta perubahan histologis. Beberapa efek sub-lethal dapat secara tidak langsung menyebabkan kematian (lethalitas), misalnya: perubahan dalam beberapa pola tingkah laku (misal: renang dan penciuman/olfactory) dapat menurunkan kemampuan ikan atau organisme perairan lainnya untuk menemukan makanan atau tidak mampu menghindari predator yang berakhir pada kematian.

  Pada beberapa jenis ikan dan organisme akuatik, efek yang timbul dalam hitungan jam, hari atau minggu dianggap akut. Efek akut biasanya berdampak parah dan mematikan (severe) yang umumnya diukur melalui dalam bentuk kematian (mortalitas atau lethalitas). Suatu bahan kimia dianggap bersifat akut toksisitasnya jika aksi langsungnya mampu membunuh paling sedikit 50% dari populasi uji dalam jangka waktu singkat, yaitu 96 jam hingga 14 hari (Tahir, 2012).

  Terdapat 2 jenis efek, yaitu: efek akut yang terjadi secara cepat sebagai hasil pemaparan jangka pendek, dan efek kronik atau subkronik yang terjadi secara perlahan (latency) sebagai akibat dari pemaparan tunggal atau berulang dalam jangka waktu yang lama (Tahir, 2012).

  Tabel 2. Toksisitas Berdasarkan LC50

  Sifat Toksik Nilai LC50

  Non toksik (Non toxic) > 100.000 mg/l Hampir tidak toksik (Almost non toxic) 10.000 – 100.000 mg/l

  Toksisitas rendah (Slightly toxic) 1000 – 10.000 mg/l Toksisitas sedang (Moderately toxic) 100 – 1000 mg/l

  Toksik (Toxic) 1 – 100 mg/l Sangat toksik (Very toxic) < 1 mg/l

  Sumber : Swan dkk., 1994 diacu oleh Efendi dkk., 2012 Menurut Tahir (2012), Uji Statik: organisme dipapar pada air yang diam/tidak mengalir. Bahan uji dilarutkan dalam air dengan tingkat pengenceran sesuai dengan konsentrasi yang telah ditetapkan. Organisme kontrol dan uji dimasukkan ke dalam wadah uji dan tidak dilakukan pergantian air sesuai durasi uji yang diinginkan. Walaupun sangat mudah dalam pelaksanaannya, uji statik memiliki beberapa kelemahan terutama dalam hal bahan uji yang dapat dengan mudah menguap, terdegradasi, atau terserap oleh wadah uji. Selain itu, masalah utama adalah kemungkinan terdapatnya BOD yang tinggi yang dapat menutupi efek toksik akibat terjadinya penurunan DO

  Uji Toksisitas Akut: merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi toksisitas relatif dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan tertentu dalam suatu pemaparan jangka pendek terhadap berbagai konsentrasi bahan kimia uji. Kriteria efek yang paling umum digunakan adalah kematian (pada ikan), ketiadaan gerakan/immobiliiy dan kehilangan keseimbangan (pada avertebrata), dan pertumbuhan (pada alga) (Tahir, 2012).