Kemampuan Bakteri Antagonistik Dalam Menghambat Infeksi Saprolegnia sp. Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

(1)

KEMAMPUAN BAKTERI ANTAGONISTIK DALAM

MENGHAMBAT INFEKSI Saprolegnia sp. PADA IKAN NILA

(Oreochromis niloticus)

SKRIPSI

ALBERT SEMBIRING 080805031

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

KEMAMPUAN BAKTERI ANTAGONISTIK DALAM

MENGHAMBAT INFEKSI Saprolegnia sp. PADA IKAN NILA

(Oreochromis niloticus)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ALBERT SEMBIRING 080805031

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul :KEMAMPUAN BAKTERI ANTAGONISTIK DALAM

MENGHAMBAT INFEKSI Saprolegnia sp. PADA IKAN NILA (Oreochromisniloticus)

Kategori : SKRIPSI

Nama : ALBERT SEMBIRING

Nomor Induk Mahasiswa : 080805031

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juli 2012

Komisi Pembimbing

Pembimbing II Pembimbing I

Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi, M.Si. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 19780524 200003 1 002 NIP. 19640409 199403 1 003

Diketahui / Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

KEMAMPUAN BAKTERI ANTAGONISTIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI

Saprolegnia sp. PADA IKAN NILA (Oreochromisniloticus)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing dituliskan sumbernya.

Medan, Juli 2012

ALBERT SEMBIRING 080805031


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena atas berkat, rahmat dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, ”Kemampuan Bakteri Antagonistik dalam Menghambat Infeksi Saprolegnia sp. pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)”

dalam waktu yang ditetapkan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan kepada Bapak Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi. M.Si. sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, waktu dan perhatiannya yang besar terutama saat memulai penulisan hingga penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan Prof. Dr. H. Erman Munir, M.Sc dan Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si. sebagai Ketua dan Sekretaris Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga saya tunjukkan kepada Ibu Dra. Elimasni, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik saya dan juga kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. Ketua Deapartemen Biologi FMIPA USU dan Ibu Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Dr. Sutarman, M.Sc. selaku Dekan FMIPA USU. Ibu Nunuk Priyani, M.Sc. selaku kepala Laboratorium Mikrobiologi. Staf pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU. Bapak Alm. Sukirmanto, Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Roslina Ginting, dan Bang Erwin selaku Staf Pegawai Departemen BIOLOGI FMIPA USU.

Ungkapan terima kasih yang tidak ternilai juga penulis ucapkan kepada keluargaku yang saya sayangi, kedua orang tua (Alm. Ayahanda Sedia Sembiring) dan Ibunda Rosmaida Panjaitan yang sudah memberikan banyak dukungan baik dari segi moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini, dan kepada saudara kandung saya yang saya sayangi dan cintai Abang Edison Sembiring Adik Yeni Sembiring penulis ucapkan ribuan terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, pengorbanan moril maupun materil, motivasi, kesabaran serta doa yang tidak akan pernah bisa penulis balas sampai kapanpun.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabatku sejak masuk perkuliahan (Nurhayati, Afriska, Gilang, Juhardi, Surya, Pinta, Intan, Oppy, Rini, Rani, Hana, Destri, Rosima, Rohana, Tombak, John, Asmi, Indri, Pesta, Sister, Mela, Igun, Nanin, Ahri, Maya, Zulfi, Santi, Netti, Riana, Sarah, Ummi, Eka, Miduk, Yolanda, Rildah, Novi, Ayu, Dewi, Andini, Sirma, Jekmal, Yuni, Yanti, Ina, Sari, Dessi, Ira, Dame, Frans, Diah, serta adik-adikku (Julie, Elisabeth, Adrian, Boy, Norton, Maria, Tonisman, Edward dll). Kepada Bu Rita, M.Si. yang selalu memberikan masukan. Kepada Bang Jayana, Bang Mirza, Bang Affan dan Bang Asril terima kasih atas segala bantuan yang diberikan selama ini. Kepada seseorang yang spesial di hati saya Nina Septania Damanik terima kasih atas segala motivasi dan waktunya yang selalu menemani pada saat penulis merasa jenuh, juga suka dan duka sehingga membuat penulis bersemangat menyelesaikan skripsi ini. Seluruh Senior dan


(6)

Junior di Departemen Biologi serta semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, perhatian, dan bantuannya kepada penulis.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia Medan yang telah memberikan fasilitas dalam menyelesaikan skripsi ini, kak Ratna, Bang Mona, Bu Barita dan Pak Ramon yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis. Kepada Unit Pelayanan Teknis Daerah Budidaya yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam melengkapi kekurangan serta penyempurnaan laporan hasil penelitian ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012


(7)

KEMAMPUAN BAKTERI ANTAGONISTIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI Saprolegnia sp. PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ABSTRAK

Penyakit ikan seperti saprolegniosis menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi usaha budidaya ikan seperti nila. Penelitian tentang Kemampuan Bakteri Antagonistik Menghambat Infeksi Saprolegnia sp. pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA USU, Medan. Tiga isolat jamur air [Saprolegnia sp., Aphanomyes sp., dan isolat yang belum teridentifikasi (L01)] diisolasi dari ikan nila dan telur lele yang terinfeksi. Uji patogenitas menunjukkan bahwa Saprolegnia sp. memiliki patogenitas tertinggi dengan jumlah ikan yang mati dan terinfeksi 90% dan digunakan untuk uji selanjutnya. Uji antagonis

in vitro terhadap semua jamur air hasil isolasi dengan enam isolat bakteri antagonis yang digunakan menunjukkan bahwa tiga isolat bakteri antagonis Enterobacter sp. PB17, Bacillus sp. BK17 dan PB08 mampu menghambat pertumbuhan jamur air dengan diameter zona hambat 8,50 mm, 8,04 mm dan 7,55 mm. Isolat bakteri antagonistik Enterobacter sp. PB17 paling baik menghambat semua isolat jamur air dibandingkan dengan isolat bakteri antagonistik lain. Namun pengujian pengendalian saprolegniosis pada ikan nila menunjukkan isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan

Enterobacter sp. PB17 paling baik menghambat infeksi Saprolegnia sp. dengan jumlah ikan yang sehat sampai akhir pengamatan berturut-turut 86% dan 84%. Pengamatan sisik ikan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mampu melekat pada sisik ikan, sehingga kemungkinan dapat menekan serangan patogen pada ikan nila.

Kata kunci: Bacillus sp. BK17, bakteri antagonistik, Enterobacter sp. PB17, penyakit ikan, Saprolegnia sp., saprolegniosis, Scanning Electron Microscope.


(8)

THE ABILITY OF ANTAGONISTIC BACTERIA TO INHIBIT INFECTION OF Saprolegnia sp. IN TILAPIA

ABSTRACT

Fish diseases like saprolegniosis cause big economic loss in aquaculture especially tilapia. The study about ability of antagonistic bacteria to inhibit infection of

Saprolegnia sp. in tilapia (Oreochromis niloticus) has been done in the Laboratory of Microbiology, Bureau of First Class Fish Quarantine Polonia and Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Sciences, University of North Sumatra, Medan. Three isolates of water mold [Saprolegnia sp.,

Aphanomyes sp. and not yet identified isolate (L01)] were isolated from infection of catfish eggs and tilapia. Test of pathogenicity indicated that Saprolegnia sp. was most pathogenic, with 90% death and infection and was used for further test. Antagonism test in vitro showed that three antagonistic bacterial isolate (Enterobacter sp. PB17,

Bacillus sp. BK17 and PB08) had ability to inhibit of water mold with diameter of inhibition zone 8,50 mm, 8,04 mm and 7,55 mm. Enterobacter sp. PB17 isolate had ability better than other antagonistic bacteria isolate to inhibit all of water mold isolate. However test of controlling saprolegniosis in tilapia indicated that isolate

Bacillus sp. BK17 and Enterobaceter sp. PB17 most to inhibit infection of

Saprolegnia sp. with amount of healthy fish had seen until end of day seupervision respectively percentage 86% and 84%. Observation using scanning electron microscope of fish skin showed that the bacterial isolate might attach to the fish so that might press infection of pathogen in tilapia.

Keywords: antagonistic bacteria, Bacillus sp. BK17, Enterobacter sp. PB17, fish diseases, Saprolegnia sp., saprolegniosis, Scanning Electron Microscope.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila (Oreochromisniloticus) 5

2.2 Sistem Pertahan Tubuh Ikan 6

2.3 Interaksi Inang, Patogen dan Lingkungan 7

2.4 Cendawan Air atau Oomycetes (Water Mold) 8

2.5 Kitin dan Bakteri Kitinolitik 9

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Alat dan Bahan 12

3.3 Isolasi dan Identifikasi Jamur Air 13

3.4 Isolat Bakteri Penghasil Kitinase 13

3.5 Uji Penghambatan Pertumbuhan Jamur Air secara in vitro 14 3.6 Uji Patogenitas Jamur Air terhadap Ikan Nila 15

3.7 Pengamatan Struktur Abnormalitas Hifa 15

3.8 Evaluasi Efek Bakteri terhadap Jamur Saprolegnia sp. secara in vivo

16 3.9 Pengamatan Perlekatan Bakteri Antagonistik pada Ikan Nila 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi Jamur Air (Water Mold) 18

4.2 Hasil Pengujian Isolat Bakteri Antagonistik Penghasil Enzim Kitinase

21

4.3 Hasil Uji Antagonis Secara in vitro 23

4.4 Hasil Pengamatan Abnormalitas Hifa Jamur Air Setelah Uji Antagonis


(10)

4.5 Hasil Uji Patogenitas Jamur Air terhadap Ikan Nila 29 4.6 Hasil Evaluasi Efek Bakteri terhadap Saprolegnia sp. secara

in vivo

32 4.7 Hasil Uji Perlekatan Bakteri Antagonistik pada Ikan Nila 35

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 39

5.2 Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 41


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.3.1 Uji Antagonisme in vitro Enam Isolat Bakteri Antagonis Terhadap Jamur Air


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.5.1 Metode Pengukutan Zona Hambat Koloni Bakteri

Antagonistik Terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur

14 Gambar 4.1.1 (A) Telur Ikan Lele dan (B) Ikan Nila yang terserang Jamur 18 Gambar 4.1.2 Biakan murni dari beberapa jamur air pada media SDA 19 Gambar 4.1.3 Pengamatan preparat basah secara mikroskopis hifa 20 Gambar 4.1.4 Struktur Klamidospora pada hifa Saprolegnia sp 21

Gambar 4.2.1 Isolat Bakteri Antagonis 22

Gambar 4.3.1 Uji Antagonis Bakteri Antagonis terhadap Jamur Air 23 Gambar 4.3.1 Uji Antagonisme in vitro enam isolat bakteri antagonis

terhadap Jamur Air

25 Gambar 4.4.1 Perubahan struktur hifa jamur air setelah uji antagonis dengan

bakteri antagonis pada media agar MGMK

28 Gambar 4.5.1 Persentase Uji Patogenitas Jamur Air Pada Ikan Nila 30 Gambar 4.5.2 Hasil Uji Patogenitas Bagian Ikan Nila Yang Terserang

Jamur Air

32 Gambar 4.6.1 Persentase Uji Evaluasi Efek Bakteri Antagonis Terhadap

Saprolegnia sp.

33


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Komposisi Medium MGMK Padat dan Cara Pembuatannya 48 Lampiran 2 Pembuatan Koloidal Kitin dengan Cara Hidrolisis Parsial

(Rodriquez-Kabana et al., 1983)

49 Lampiran 3 Alur Kerja Uji Penghambatan Jamur Air in vitro 50

Lampiran 4 Preparasi Zoospora Jamur Air 51

Lampiran 5 Uji Patoegnitas Jamur Air 52

Lampiran 6 Alur Kerja Isolat Bakteri Antagonis 53

Lampiran 7 Evaluasi Efek Bakteri Antagonis Tehadap Saprolegnia sp. secara in vivo

54 Lampiran 8 Pengamatan Perlekatan Bakteri Antagonistik pada Ikan Nila 55

Lampiran 9 Pengukuran pH dan Suhu 56

Lampiran 10 Panjang dan Berat Ikan Uji 56


(14)

KEMAMPUAN BAKTERI ANTAGONISTIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI Saprolegnia sp. PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ABSTRAK

Penyakit ikan seperti saprolegniosis menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi usaha budidaya ikan seperti nila. Penelitian tentang Kemampuan Bakteri Antagonistik Menghambat Infeksi Saprolegnia sp. pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA USU, Medan. Tiga isolat jamur air [Saprolegnia sp., Aphanomyes sp., dan isolat yang belum teridentifikasi (L01)] diisolasi dari ikan nila dan telur lele yang terinfeksi. Uji patogenitas menunjukkan bahwa Saprolegnia sp. memiliki patogenitas tertinggi dengan jumlah ikan yang mati dan terinfeksi 90% dan digunakan untuk uji selanjutnya. Uji antagonis

in vitro terhadap semua jamur air hasil isolasi dengan enam isolat bakteri antagonis yang digunakan menunjukkan bahwa tiga isolat bakteri antagonis Enterobacter sp. PB17, Bacillus sp. BK17 dan PB08 mampu menghambat pertumbuhan jamur air dengan diameter zona hambat 8,50 mm, 8,04 mm dan 7,55 mm. Isolat bakteri antagonistik Enterobacter sp. PB17 paling baik menghambat semua isolat jamur air dibandingkan dengan isolat bakteri antagonistik lain. Namun pengujian pengendalian saprolegniosis pada ikan nila menunjukkan isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan

Enterobacter sp. PB17 paling baik menghambat infeksi Saprolegnia sp. dengan jumlah ikan yang sehat sampai akhir pengamatan berturut-turut 86% dan 84%. Pengamatan sisik ikan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mampu melekat pada sisik ikan, sehingga kemungkinan dapat menekan serangan patogen pada ikan nila.

Kata kunci: Bacillus sp. BK17, bakteri antagonistik, Enterobacter sp. PB17, penyakit ikan, Saprolegnia sp., saprolegniosis, Scanning Electron Microscope.


(15)

THE ABILITY OF ANTAGONISTIC BACTERIA TO INHIBIT INFECTION OF Saprolegnia sp. IN TILAPIA

ABSTRACT

Fish diseases like saprolegniosis cause big economic loss in aquaculture especially tilapia. The study about ability of antagonistic bacteria to inhibit infection of

Saprolegnia sp. in tilapia (Oreochromis niloticus) has been done in the Laboratory of Microbiology, Bureau of First Class Fish Quarantine Polonia and Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Sciences, University of North Sumatra, Medan. Three isolates of water mold [Saprolegnia sp.,

Aphanomyes sp. and not yet identified isolate (L01)] were isolated from infection of catfish eggs and tilapia. Test of pathogenicity indicated that Saprolegnia sp. was most pathogenic, with 90% death and infection and was used for further test. Antagonism test in vitro showed that three antagonistic bacterial isolate (Enterobacter sp. PB17,

Bacillus sp. BK17 and PB08) had ability to inhibit of water mold with diameter of inhibition zone 8,50 mm, 8,04 mm and 7,55 mm. Enterobacter sp. PB17 isolate had ability better than other antagonistic bacteria isolate to inhibit all of water mold isolate. However test of controlling saprolegniosis in tilapia indicated that isolate

Bacillus sp. BK17 and Enterobaceter sp. PB17 most to inhibit infection of

Saprolegnia sp. with amount of healthy fish had seen until end of day seupervision respectively percentage 86% and 84%. Observation using scanning electron microscope of fish skin showed that the bacterial isolate might attach to the fish so that might press infection of pathogen in tilapia.

Keywords: antagonistic bacteria, Bacillus sp. BK17, Enterobacter sp. PB17, fish diseases, Saprolegnia sp., saprolegniosis, Scanning Electron Microscope.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu andalan dalam membangun perikanan di Indonesia. Saat ini konsumsi terhadap ikan air tawar meningkat jumlahnya baik untuk kebutuhan dalam dan juga luar negeri. Petani ikan sangat kewalahan untuk memenuhi kebutuhan ikan di dalam negeri, hal ini dikarenakan ikan yang berasal dari laut tidak mencukupi jumlahnya untuk dikonsumsi (Indhie, 2009). Oleh karena itu usaha budidaya perikanan air tawar sangat meningkat di masyarakat, yang tentunya memerlukan manajemen yang baik dalam mengelolanya.

Salah satu ikan air tawar yang sekarang banyak digemari masyarakat adalah ikan nila (Oreochromis niloticus.). Secara umum produksi ikan nila terus meningkat dengan pasar yang semakin luas dan terbuka. Indonesia merupakan salah satu pengekspor ikan nila utama di dunia di samping China, Thailand, dan Taiwan dengan penguasaan pasar dunia sebesar 60% dipegang oleh China (Kusdiarti et al., 2008). Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, dan kebutuhan benih maupun ikan konsumsi ini dari tahun ke tahun cenderung meningkat seiring dengan perluasan budidaya (Darwisito et al., 2006). Meningkatnya kebutuhan terhadap ikan nila di pasaran juga disebabkan karena ikan nila itu merupakan ikan jenis air tawar yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, mudah bereproduksi, berdaging tebal, dan mudah dibudidayakan.

Berbagai keunggulan pada ikan nila membuat permintaan terus meningkat sehingga, penerapan intensifikasi budidaya tidak dapat dihindarkan (Molina et al., 2009). Namun aktivitas budidaya ikan sangat erat kaitannya dengan manipulasi dan modifikasi (lingkungan, biologi-reproduksi, kepadatan, pakan dan lain-lain). Kondisi


(17)

tersebut sudah tentu akan melahirkan tekanan atau stres terhadap komoditas yang dibudidayakan, sehingga rentan terhadap munculnya penyakit. Gangguan penyakit pada budidaya ikan merupakan risiko biologis yang harus selalu diantisipasi. Oleh karena itu, aplikasi pengelolaan kesehatan yang terintegrasi pada budidaya ikan harus menjadi program yang tidak terpisahkan (Purwaningsih dan Taukhid, 2010). Salah satu penyakit yang sedang mewabah terutama dalam budidaya ikan nila, adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur (Akbar, 2008). Menurut Michel (1989) jamur yang menyerang ikan nila yaitu Saprolegnia, Aspergillus niger dan Aspergillus flavus.

Penelitian pengendalian mengenai jamur Saprolegnia sp. telah banyak dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti malachite green oxolate, formalin, natrium klorida dan asam asetat. Pemakaian yang berlebihan berdampak negatif bagi kehidupan ikan diantaranya membunuh organisme bukan sasaran, timbulnya patogen resisten, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan serta menimbulkan pencemaran lingkungan (Akbar, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa malachite green bersifat karsinogenik, mutagenik, dapat menyebabkan keretakan kromosom, teratogenik, dan juga dapat mengurangi fertilisasi pada ikan (Srivastava et al., 2003), sedangkan formalin memiliki efek yang berbahaya bagi manusia dan dapat meninggalkan residu bagi lingkungan, hidrogen peroksida bersifat korosis meski efektif dalam dosis yang tinggi 1000 ppm, natrium klorida hanya efektif pada dosis 30.000 ppm (Dewi, 2011).

Sekarang ini sebagai alternatif dalam pemecahan masalah ini dalam bidang akuakultur adalah dengan menggunakan pengendalian hayati. Penelitian pengendalian

Saprolegnia terhadap ikan nila oleh Aeromonas non patogen sudah pernah dilakukan (Osman et al., 2008). Penghambatan pertumbuhan Saprolegnia dengan menggunakan bakteri Pseudomonas fluorescens juga telah dilaporkan (Bly et al., 1997), sedangkan untuk jamur Aspergillus pengendalian hayati yang telah dilakukan dengan menggunakan bakteri Bacillus dan Erwinia (Kotan, 2009). Pengendalaian hayati menjadi pilihan karena ramah terhadap lingkungan serta tidak menimbulkan toksik. Pada penelitian ini potensi pengendalian hayati terhadap jamur patogen dievaluasi menggunakan bakteri antagonistik yang memiliki kemampuan kitinolitik. Bakteri kitinolitik berperan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman (Suryanto, 2006).


(18)

Bakteri kitinolitik menghasilkan enzim kitinase. Kitinase akhir-akhir ini menjadi perhatian karena adanya penggunaan enzim ini dalam pengendalian biologi terhadap organisme yang mengandung kitin seperti jamur dan serangga juga untuk eksploitasi bahan kitin alami (Ohno et al., 1996). Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan

mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan kitinase dan β -1,3 glukanase yang dapat melisis sel jamur (El-Katatny et al., 2000). Pada penelitian ini digunakan bakteri antagonistik yang memiliki kemampuan kitinolitik untuk digunakan sebagai calon agen pengendali hayati terhadap jamur Saprolegnia sp.

1.2Permasalahan

Penyakit saprolegniosis yang disebabkan oleh Saprolegnia yang sering meyerang perikanan budidaya daya air tawar sering diatasi dengan menggunakan bahan kimia berbahaya seperti malachite green, formalin dan hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerugian seperti membunuh organisme bukan sasaran, menimbulkan patogen resisten, menurunkan fertilisasi ikan dan mencemari lingkungan. Oleh karena itu untuk menghindari kerugian tersebut, sebagai alternatif pengendalian saprolegniosis dicoba dengan menggunakan bakteri antagonistik sebagai pengendali hayati secara biologi yang aman dan ramah lingkungan terutama penyakit yang disebabkan oleh jamur air Saprolegnia sp. pada ikan nila. Untuk itu perlu dipelajari sejauh mana kemampuan bakteri antagonistik dalam menghambat infeksi jamur air Saprolegnia sp. pada ikan nila.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri antagonistik sebagai penghambat infeksi jamur air Saprolegnia sp. pada ikan nila.


(19)

1.4Hipotesis

Adanya kemampuan yang berbeda dari isolat bakteri antagonistik dalam penghambatan infeksi jamur air Saprolegnia sp. pada ikan nila.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang isolat bakteri antagonistik yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamur air

Saprolegnia sp. sehingga dapat digunakan sebagai agen pengendalian hayati terhadap jamur air patogen. Dengan demikian dapat memberikan kontribusi dalam pengendalian penyakit dalam budidaya ikan nila khususnya terhadap jamur air.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus.)

Ikan nila berasal dari sungai Nil di Uganda yang telah berimigrasi ke selatan melewati danau Raft dan Tanganyika (Tanbiyaskur, 2011). Budidaya ikan nila dapat ditelusuri ke Mesir kuno seperti yang digambarkan pada relief dari sebuah makam Mesir sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu, hal ini ditunjukkan dengan adanya kolam hias. Distribusi jenis ikan ini sudah lama meningkat terutama ikan mujair yang terjadi pada tahun 1940-1950 sedangkan distribusi ikan nila terjadi selama tahun 1960-1980. Ikan nila dari Jepang diperkenalkan ke Thailand pada tahun 1965, kemudian dari Thailand dikirim ke Filipina. Ikan nila dari Pantai Gading diperkenalkan ke Brazil pada tahun 1971, lalu dari Brazil dikirim ke Amerika Serikat pada tahun 1974. Pada tahun 1978, ikan nila diperkenalkan di Cina, yang sekarang memimpin dunia dalam produksi ikan nila yang secara konsisten memproduksi lebih dari setengah produksi global dari tahun 1992-2003 (FAO, 2003).

Ikan nila diperkenalkan pertama sekali di Indonesia pada tahun 1969 dari Taiwan (Tanbiyaskur, 2011), akan tetapi budidaya secara intensif dilakukan mulai pada tahun 1980-an (Rochdianto, 2009), lalu disebar ke seluruh tanah air oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT). Budidaya ikan nila dapat dilakukan pada kolam, danau, sungai yang berada di desa atau luar kota yang airnya bersih. Hal ini dapat dilakukan karena pada dasarnya ikan ini memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap lingkungan. Jenis nila yang masuk ke Indonesia pertama kali adalah jenis Oreochromis niloticus dan nila jenis Mozambigue yang lebih dikenal dengan nama mujair (Pandre, 2010).


(21)

Ikan nila merupakan spesies ikan tropis yang lebih suka hidup di air dangkal (Trewavas, 1983). Secara morfologi ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih, sisik besar dan kasar, kepala relatif kecil, garis linea lateralis terputus dan terbagi dua, yaitu bagian atas dan bawah memiliki lima buah sirip. Toleransi ikan ini terhadap perbedaan lingkungan sangat tinggi, dapat hidup pada salinitas 0-29 permil, pada suhu 14-38o C, dan pH 5-11, merupakan omnivora yang sangat menyenangi pakan alami berupa rotifera, Daphnia sp., benthos, perifiton dan fitoplankton, disamping itu, bisa juga diberi pakan seperti pellet, dan dedak. Ikan ini dapat melakukan pemijahan sepanjang tahun dan mulai memijah pada umur 6-8 bulan. Seekor induk betina ukuran 200-400 gram dapat menghasilkan larva 500-1000 ekor (Rochdianto, 2009).

Keuntungan dari budidaya ikan nila adalah kemampuan untuk bereproduksi cukup tinggi. Antara 2-3 bulan dari bibit, ikan nila sudah dewasa dan dapat menghasilkan telur setiap bulan satu kali. Sifat ikan nila yang cepat menghasilkan anak ikan menyebabkan kelebihan populasi ikan nila dalam kolam, yang berdampak pada pertumbuhan ikan yang lambat. Hal ini dapat dilihat pada saat panen ikan nila terdapat berbagai ukuran dari kecil, sedang dan besar (Pandre, 2010). Selain itu sifat penting lain yang dimiliki ikan nila adalah tahan terhadap penyakit dan kepadatan tinggi serta lingkungan dengan kualitas air yang kurang baik (Bestian, 1996).

2.2 Sistem Pertahanan Tubuh Ikan

Secara fisiologis, hewan mempunyai pertahanan tubuh non spesifik terhadap suatu infeksi dengan memberikan respon secara langsung terhadap agen asing yang masuk, hal ini dapat ditunjukkan pada saat terjadinya radang. Mikroorganisme pertama sekali harus menghadapi sistem pertahanan yang bersifat nonspesifik (kulit, mukus, sisik, lendir) yang terdapat pada permukaan tubuh inang yang menjadi targetnya. Apabila terjadi luka atau invasi patogen ke dalam tubuhnya, organisme yang bersangkutan akan mengalami inflamasi. Bila inflamasi akut akan timbul rasa sakit, bengkak dan kemerah-merahan (Sari, 2003).


(22)

Dalam menghadapi serangan Saprolegnia menurut Noga (1993) ikan memiliki tiga bentuk pertahanan yaitu pengurangan jumlah hifa, pertahanan secara hormon dan pertahanan respon secara seluler yaitu: (1) Pengurangan jumlah koloni hifa pada tubuh ikan dengan mukus. Mukus merupakan bagian yang sangat penting dalam menghambat kolonisasi dan pertumbuhan spora Saprolegnia yang menempel pada kulit ikan yang sehat dan juga yang sedang terluka, hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak mukus diproduksi pengurangan kolonisasi hifa pun semakin meningkat. (2) Pertahan hormonal, peningkatan pengeluaran morfogen lendir dari mukus yang berperan untuk mengurangi pertumbuhan jamur, hal ini sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yang memproduksi sejumlah senyawa kimia untuk pertahanan seperti antibodi, lisozim dan inilah yang terjadi pada kulit mukus ikan. Beberapa sangat labil seperti aktivitas kitinase yang telah diindentifikasi pada jaringan hematopoietic ikan, yang juga berpotensi menghambat pertumbuhan jamur patogen dan (3) Respon seluler yaitu meningkatnya jumlah makrofag dan juga meningkatkan imunitas tubuh yang terdeteksi pada lendir eksternal.

2.3 Interaksi Inang, Patogen dan Lingkungan

Ikan hidup di lingkungan yang dinamis, kompleks dan tidak mudah terlihat kecuali dipelihara di suatu wadah yang dapat dilihat keberadaannya. Konsumsi pakan dan mortalitas serta penyakitnya pun seakan tersembunyi di bawah permukaan air (Anonim, 2008). Dalam lingkungan perairan, ikan senantiasa kontak dengan jasad patogen seperti bakteri, jamur, virus maupun protozoa yang mempuyai kemampuan menginfeksi ikan. Masuknya jasad patogen ini ke dalam tubuh ikan tergantung dari kondisi lingkungan, ikan dan organisme patogen (Anderson, 1974).

Faktor-faktor lingkungan yang tidak baik dalam perairan, seperti kualitas aerasi yang rendah, suhu yang merugikan, perawatan yang kurang baik, serta kepadatan populasi ikan yang melebihi juga termasuk kadar organik yang tinggi, semuanya itu dapat meningkatkan terjadinya infeksi jamur (Bruno and Wood, 1999). Pada prinsipnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di


(23)

dalam air), kondisi inang (ikan), dan adanya jasad patogen (jasad penyakit). Dengan demikian timbulnya penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan ikan, kondisi ikan dan jasad/organisme penyakit (Dardiani, 2008).

2.4 Cendawan Air atau Oomycetes (Water Mold)

Oomycetes merupakan sebuah kelompok mikroorganisme eukariotik yang mirip seperti jamur, juga lebih dikenal dengan sebutan cendawan air, tergolong ke dalam kelompok saprofit dan juga patogen pada tumbuhan, insekta, krustaea, ikan, hewan vertebrata dan juga mikroorganisme lainnya. Kebanyakan Oomycetes bersifat saprofit yang hidup pada tanah yang basah terutama pada perairan (Kamoun, 2003). Oomycetes sebelumnya dimasukkan ke dalam klasifikasi lima kingdo m, akan tetapi pada sepuluh tahun terkahir telah diketahui bahwa pada kenyataannya mereka masuk ke dalam anggota stramenofil dan berhubungan dekat dengan alga heterokont, seperti alga coklat (Fugelstad, 2008). Pertumbuhan Oomycetes menyerupai sel jamur pada umumnya, dan membentuk hifa senositik, namun komponen dinding sel utama pada Oomycetes berbeda dengan jamur sesungguhnya, kebanyakan dinding selnya mengandung selulosa (Hardham, 2007).

Oomycetes cendawan air merupakan jamur paling penting yang dapat mempengaruhi budidaya ikan dan sangat diwaspadai keberadaanya dalam menyebabkan penyakit setelah bakteri, karena dapat merugikan secara ekonomis dalam budidaya ikan (Noga, 1993). Infeksi cendawan dari kelompok Oomycetes, biasanya disebabkan oleh water molds yang penyebarannya luas di air tawar dan hadir sebagai kelompok cendawan penting yang dapat menyerang ikan-ikan liar, telur ikan maupun budidaya (Bruno and Wood, 1999). Oomycetes bersifat saprofit oportunistik, yang berkembangbiak pada ikan yang mengalami luka fisik, stress atau mengalami infeksi. Kelompok yang paling sering menyerang ikan adalah Saprolegniaceae yang mengambil peranan penting dalam terjadinya infeksi cendawan di budidaya ikan (Pickering and Willoughby, 1982). Penyakit yang disebabkan oleh kelompok

Saprolegnia pada ikan maupun telur dikenal dengan nama Saprolegniosis (Fugelstad, 2008).


(24)

Saprolegnia sp. sudah banyak dilaporkan sebagai patogen pada ikan dan telur.

Saprolegnia terdapat terutama di tanah yang lembab dan air tawar, bersifat sebagai saprofit pada sisa tanaman dan juga hewan. Beberapa spesies seperti S. parasitica dan

S. polymorpha menyebabkan penyakit pada ikan dan juga telurnya (Webster and Weber, 2007). Saprolegnia yang menyerang ikan jarang menembus sampai ke dalam jaringan otot, melainkan menyebar di seluruh permukaan tubuh. Saprolegnia yang menyerang ikan memiliki bentuk seperti benang halus dan berwarna putih atau kadang kecoklatan, menonjol, dan bundar penyebarannya di seluruh permukaan tubuh dengan perluasan yang melingkar sampai perbatasan luka, biasanya menyerang organ tubuh seperti kepala, tutup insang, sirip ekor, sirip punggung dan anal (Noga, 1993). Infeksi yang disebabkan oleh Saprolegnia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dapat membuat ikan stress, seperti kualitas aerasi yang rendah, luka yang disebabkan oleh bakteri, dan petogen lain, serta kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Meyer, 1991).

2.5 Kitin dan Bakteri Kitinolitik

Kitin adalah salah satu polisakarida yang sangat penting yang terdapat di bumi, merupakan komponen utama penyusun eksoskleton pada serangga, berbentuk

homobiopolymers yang merupakan rantai lurus tidak bercabang dari β-D-glukosamin (Brzezinska, 2009). Kitin merupakan polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa, zat padat yang tidak larut dalam air (Cabib, 1987). Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa, karena keduanya memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan kompleks enzim (Rostinawati, 2008).

Kitin tesebar banyak di alam dan dapat dijumpai pada alga terutama pada kelompok diatom Thalassiosira fluivitas, kelompok arthropoda yang merupakan penyusun utama bagian eksoskleton, nematoda, krustaea, molluska, protozoa pada beberapa ciliata, amoeba, dan penyusun utama dinding sel fungi (22-40%) (Lorito et al., 1993; Gohel et al., 2006). Pada dasarnya sumber kitin terbanyak diperoleh dari kelas krustaea seperti udang dan kepiting. Sebagian limbah udang yang dihasilkan


(25)

oleh pengusaha pengolahan udang berasal dari kepala kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25-40%), kitin (15-20%), dan kalsium karbonat (45-50%) (Muzzarelli, 1985).

Pada jamur oomycetes kadar kitin sangat sedikit jumlahnya pada dinding sel tidak mencapai lebih dari 0,5%, akan tetapi kitin sangat berperan penting dalam membentuk struktur pertumbuhan ujung hifa pada oomycetes, yang merupakan proses yang sangat vital pada mikroorganisme tersebut (Guerreiro et al., 2010). Kitin dapat dihidrolisis dengan enzim endokitnase dan eksokitinase. Degradasi kitin dan penggunaan kembali kitin adalah suatu proses yang utama serta sangat penting dalam terjadinya siklus karbon dan nitrogen. Proses ini merupakan proses yang sangat penting dan terjadi dengan cara mikrobiologis, karena mikroorganisme dapat menggunakan kitin sebagai satu-satunya sumber karbon (Brzenzinska, 2009). Beberapa genus mikroorganisme dilaporkan dapat menghidolisis kitin yaitu,

Achromobacter, Bacillus, Chromobacterium, Peseudomonas, Vibrio, Enterobacter, Aeromonas, (Donderski and Brzenzinska, 2001), Xanthomonas, Serratia, Trihoderma

(Gohel et al., 2006), Streptomyces (Quecine et al., 2008).

Meskipun jumlah kitin tidak melebihi dari 0,5%, namun kitin sangat penting dalam pembentukan struktur ujung hifa, yang merupakan proses yang sangat vital pada mikoorganisme tersebut. Menurut Fevre et al. (1997) bahwa hasil sequence gen penyandi kitinase dari S. monoica memiliki kemiripan yang sama dengan hasil jamur air lain yaitu Achlya ambisexualis dan Phytophthora capsici, ini mengindikasikan bahwa sistem sintesis kitin tersebar luas pada kelas organisme jamur air tersebut sehingga bakteri kitinolitik dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati pada jamur ini. Dalam beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa berbagai jenis bakteri antagonistik dapat menghambat pertumbuhan jamur Saprolegnia seperti Pseudomonas fluorescens (Bly et al., 1997), Aeromonas (Osman et al., 2008), Alteromonas (Hatai et al., 2001), Serratiamarcescens (Zhang, et al., 2008).

Saat ini banyak usaha yang dilakukan oleh para peneliti untuk menggunakan agen pengendali hayati seperti bakteri dan jamur, karena penggunaan bahan kimia dapat merusak lingkungan dan membahayakan organisme lain termasuk kesehatan


(26)

manusia (Herrera et al., 1999) salah satunya dengan menggunakan bakteri kitinase. Bakteri kitinolitik sudah diketahui secara luas dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan jamur dan lebih dari itu, digunakan sebagai alat untuk mengontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur (Quecine et al., 2008). Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada

kemampuan mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan kitinase dan β-1,3 glukanase yang dapat melisis sel jamur (El-Katatny et al., 2000). Hal ini disebabkan karena salah satu penyusun dinding sel jamur adalah kitin, sehingga enzim kitinase dapat menghidrolisis kitin pada dinding sel jamur (Quecine et al., 2008).


(27)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2012 hingga Mei 2012. Pengambilan sampel jamur berasal dari telur ikan lele (Clarias batracus), telur ikan koi (Cyprinus sp.) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang terserang jamur di Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Budidaya yang berlokasi di Jl. Bunga Gayong, Kelurahan Ladang Bambu, Kecamatan Medan Tuntungan, Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia, Komplek Pergudangan/Kargo Bandara Polonia Medan Sumatera Utara dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, cawan petri, gelas beaker, labu erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas ukur, spatula, jarum ose, bunsen, corong, cork borer, pinset, stirer, jangka sorong, oven, autoklaf, inkubator, timbangan digital, sentrifus, mikroskop cahaya, Scanning Microscope Electron (SEM), aerator, akuarium, hot plate, kaca objek, cover glass, pipet tetes, vorteks, laminar air flow, rak tabung reaksi, mikro pipet, camera digital.

Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah sampel telur ikan lele, telur ikan koi dan ikan nila yang terinfeksi oleh jamur air, ikan nila yang sehat, akuades steril,

Muller Hinton Agar (MHA), Sabouraud Dextrose Agar (SDA), Potato Dextrose Agar


(28)

(TSA), ketokenazole, kloramfenikol, blank disc (Oxoid), larutan McFarland, HCl 10 N, Media Garam Minum Kitin (MGMK), alkohol 70%, wipol, plastik, karet, serbuk kitin, kertas pembungkus, cling wrap. Komposisi MGMK (Lampiran 1).

3.3 Isolasi dan Identifikasi Jamur Air

Telur ikan lele, telur ikan koi dan ikan nila yang terinfeksi jamur diambil dan dimasukkan ke dalam plastik yang terpisah. Telur yang terinfeksi langsung diisolasi dengan diletakkan di cawan petri steril dan ditanam di media PDA. Untuk sampel ikan nila, diambil 2 mm kulit yang terinfeksi oleh jamur lalu dibersihkan dengan menggunakan aquadest steril dan ditanam pada media PDA (Mastan, 2008). Untuk mendapatkan koloni murni dari jamur yang didapatkan, koloni yang timbul ditanam pada media SDA (Bruno & Wood, 1999) yang telah diberi antibiotika kloramfenikol dan diinkubasi pada suhu 28-30o C selama 48 jam. Identifikasi morfologi jamur air berdasarkan zoosporangium dan organ seksual di bawah mikroskop, dengan manggunakan metode Hatai (1992), Panchai (2005). Karakteristik yang diamati dicocokkan dengan menggunakan buku Sparrow (1960), Fitzpatrick (1930), dan Coker (1923).

3.4 Isolat Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

Isolat bakteri yang digunakan adalah bakteri antagonistik yang memiliki kemampua n kitinolitik koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dengan kode Bacillus BK13, Enterobacter BK15, Bacillus BK17, PB08, PB15 dan

Enterobacter PB17. Isolat bakteri antagonistik yang telah diperoleh ditumbuhkan untuk peremajaan di agar MGMK (Suryanto, 2006). Isolat bakteri antagonistik yang telah dipilih diuji kembali kemampuan mendegradasi media agar kitin pada media agar MGMK untuk melihat zona bening di sekitar koloni bakteri.


(29)

3.5 Uji Penghambatan Pertumbuhan Jamur Air secara in vitro

Kemampuan bakteri antagonistik dalam menghambat pertumbuhan jamur oomycetes dilihat dengan asai antagonisme in vitro. Biakan jamur diinokulasikan ke dalam media agar MGMK yang ditambah yeast ekstrak 2% tepat di tengah cawan petri. Biakan jamur yang diambil adalah bagian di tepi koloni yang merupakan bagian aktif tumbuh (growing active). Suspensi bakteri antagonistik yang setara dengan 108 sel/ml (standard McFarland) diinokulasikan sebanyak 100 µ l ke cakram kosong (blank disc), yang diletakkan di pinggir media agar MGMK dengan jarak 3,5 cm dari tempat inokulan jamur di dua sisi berlawanan (Gambar 3.5.1). Biakan diinkubasi pada suhu 28-30o C. Pengamatan dilakukan selama 7 hari. Diameter zona hambat dihitung dengan mengukur selisih radial pertumbuhan jamur normal dengan radial pertumbuhan jamur yang terhambat oleh isolat bakteri.

Gambar 3.5.1 Metode pengukuran zona hambat koloni bakteri antagonistik terhadap pertumbuhan koloni jamur; A. Koloni Jamur; B. Zona hambat bakteri antagonistik terhadap koloni jamur; C. Titik tengah jamur diletakkan; D. Bakteri antagonistik; x. diameter koloni jamur yang terhambat pertumbuhannya; y. Diameter koloni jamur normal.

Pengukuran jari-jari zona hambat bakteri dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Jari-jari zona hambat bakteri antagonistik =


(30)

Keterangan: y = diameter jamur yang normal x = diameter jamur yang terhambat

3.6 Pengamatan Struktur Abnormalitas Hifa

Pengamatan struktur abnormalitas hifa secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati ujung miselium pada daerah zona hambat jamur air patogen. Ujung miselium jamur air patogen yang tumbuh pada media agar MGMK dipotong berbentuk block square atau slide culture, diletakkan pada objek glass. Diamati adanya pertumbuhan abnormalitas hifa jamur air patogen, seperti pembengkokan pada ujung hifa, lisis pada dinding sel hifa, lisis pada ujung hifa, dan hifa terputus disertai lisis (Lorito et al., 1993)

3.7 Uji Patogenitas Jamur Air terhadap Ikan Nila

Isolat jamur yang didapat diuji tingkat patogenitasnya terhadap ikan nila yang berukuran 3-5 cm. Isolat jamur air yang digunakan adalah pada tahap zoospora, sehingga perlu untuk melakukan preparasi jamur air. Koloni Saprolegnia sp. yang berada di tepi yang merupakan bagian aktif tumbuh (growing active) dipotong menggunakan cork borer (diameter 5,5 mm) dan diinokulasikan ke dalam cawan petri yang berisi media SDA. Miselium dipotong, dibilas menggunakan aquades steril sebanyak 3 kali, lalu dipindahkan ke dalam aquades steril, diinkubasi pada suhu 25o C selama 24 jam untuk produksi zoospora. Zoospora yang ada diamati di bawah mikroskop, dan dihitung jumlah dengan menggunakan haemocytometer. Jumlah zoospora yang diinfeksi yaitu 107 zoospora (Zaki et al., 2010). Ikan nila yang sehat sebanyak 10 ekor ditempatkan pada wadah kaca ukuran 20 cm x 30 cm x 50 cm dengan volume air 10 liter, air yang digunakan adalah air ledeng dengan perlakuan didiamkan selama 3 hari. Aplikasi perlakuan dengan memberikan isolat zoospora sebanyak 1 ml yang tersuspensi dengan konsentrasi 107 sel/ml ke dalam wadah kaca, sedangkan kontrol tidak diberikan isolat zoospora. Pengamatan yang dilakukan selama


(31)

10 hari dengan parameter yaitu tingkat kematian, dan tingkat ketahanan (survival) (Atta, 2008).

Reisolasi dilakukan terhadap jamur air yang menyerang ikan nila dengan memotong bagian ikan yang terserang jamur. Bagian yang dipotong dibersihkan dengan menggunakan aquadest steril lalu ditanam pada media PDA. Pengamatan dilakukan untuk memastikan jamur penyebab penyakit.

3.8 Evaluasi Efek Bakteri terhadap Jamur Saprolegnia sp. secara in vivo

Pada uji ini dilakukan evaluasi pengaruh bakteri terhadap infeksi jamur air pada ikan nila. Pengamatan dilakukan selama 10 hari. Parameter yang akan diamati adalah jumlah ikan yang mati (mortality rate), jumlah ikan yang bertahan (survival rate), jumlah ikan yang tidak terinfeksi (no infection) (Osman et al., 2008).

Ikan nila yang sehat berukuran 3-5 cm diambil dari pembenihan ikan di Jln. Bunga Kartiol, Kelurahan Baru Ladang, Kecamatan Medan Tuntungan. Infeksi ikan dapat dilakukan dengan menggunakan zoospora Saprolegnia sp. Ikan nila yang sehat sebanyak 10 ekor ditempatkan pada wadah kaca ukuran 20 cm x 30 cm x 50 cm dengan volume air 10 liter, air yang digunakan adalah air ledeng dengan perlakuan didiamkan selama 3 hari. Koloni Saprolegnia sp. dipotong menggunakan cork borer

(diameter 5,5 mm) dan diinokulasikan ke dalam cawan petri yang berisi media SDA. Miselium dipotong, dibilas menggunakan aquades steril sebanyak 3 kali, lalu dipindahkan ke dalam aquades steril, diinkubasi pada suhu 25o C selama 24 jam untuk produksi zoospora. Zoospora yang ada diamati di bawah mikroskop, dan dihitung jumlah dengan menggunakan haemocytometer. Jumlah zoospora yang diinfeksi yaitu 107 zoospora.

Untuk uji tantang, isolat bakteri antagonistik ditumbuhkan pada media agar MGMK pada suhu ruang selama 24 jam. Sebanyak 1 ml kultur bakteri antagonistik yang setara dengan 108 sel/ml dimasukkan ke dalam 10 L air ledeng di wadah kaca yang telah berisi ikan nila. Setelah dua hari diinokulasikan zoospora Saprolegnia sp.


(32)

ke dalam wadah kaca. Wadah kaca yang tidak diberi perlakuan digunakan sebagai kontrol negatif sedangkan kontrol positif berupa wadah kaca yang dibei perlakuan bakteri Bacillus BK17 dan Enterobacter PB17 tanpa penambahan Saprolegnia.

3.9 Pengamatan Perlekatan Bakteri Antagonistik pada Ikan Nila

Sampel untuk pengamatan perlekatan bakteri pada ikan nila secara mikroskopis diambil dari beberapa bagian ikan seperti sisik, insang dan sirip. Masing-masing bagian tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi dan difiksasi dengan menggunakan glutaraldehide 2,5% dan 0,1 M potassium posfat buffer, difiksasi 1 malam pada suhu 4o C, hasil fiksasi dibilas dengan buffer 5 ml pada suhu ruang selama 15 menit sebanyak 3 kali, didehidrasi dengan 5 ml etanol dengan konsentrasi 35, 50, 70 dan 95 % selama 10 menit untuk masing-masing konsentrasi. Kemudian didehidrasi dengan 5 ml Etanol absolut 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali. Sampel difoto dengan Scanning Electron Microscope JEOL JSM 5310 LV di Laboratorium


(33)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi Jamur Air (Water Mold)

Hasil isolasi tiga jenis jamur air diperoleh dari ikan nila (Oreochromis niloticus) dan telur lele (Clarias batracus) yang terserang jamur. Ikan nila dan telur lele yang terserang jamur dapat dilihat dengan adanya bentuk seperti kapas berwarna putih (Gambar 4.1.1). Infeksi jamur dari kelompok Oomycetes, biasanya disebabkan oleh

water molds yang penyebarannya luas di air tawar dan hadir sebagai kelompok cendawan penting yang dapat menyerang ikan-ikan liar, telur ikan maupun budidaya (Bruno & Wood, 1999). Oomycetes merupakan jamur paling penting yang dapat mempengaruhi budidaya ikan karena dapat merugikan secara ekonomis dalam budidaya ikan (Noga, 1993).

Gambar 4.1.1 (A) Telur Ikan Lele dan (B) Ikan Nila yang terserang Jamur

Hasil isolasi dan identifikasi jamur yang menyerang telur ikan lele dan ikan nila didapat tiga jenis jamur air yaitu: L01, Aphanomyces sp. dan Saprolegnia sp. Jamur air L01 berasal dari telur ikan lele sedangkan Aphanomyces dan Saprolegnia

dari ikan nila. Identifikasi jamur air berdasarkan bentuk mikromorfologi dan karakterisitik sporulasinya (Coker, 1923; Sparrow, 1960), sedangkan untuk


(34)

identifikasi sampai spesies biasanya memerlukan reproduksi tahap seksual. Identifikasi sampai pada spesies merupakan masalah yang sering dihadapi oleh para mikologis, sebab produksi struktur seksual sangat kurang jika berada pada kondisi kultur, oleh karena itu identifikasi sampai pada tahap spesies sangatlah sulit dilakukan secara akurat dengan taksonomi klasik (Pickering & Willoughby, 1982). Dengan demikian diperlukan cara lain untuk dapat menentukan spesies dari bermacam isolat jamur air yaitu dengan menggunakan analisis DNA (Noga, 1993).

Isolat L01 bila ditanam pada media SDA memiliki hifa berwarna putih, koloni atas berwarna putih kehijauan dan koloni bawah berwarna putih. Aphanomyces sp. memiliki hifa berwarna kuning, dengan warna koloni atas dan bawah berwarna kuning, sedangkan untuk Saprolegnia sp. memiliki hifa putih bening berair/berlendir dengan warna koloni atas dan bawah berwarna putih bening. Hasil isolat dapat kita lihat pada Gambar 4.1.2.

Gambar

Gambar 4.1.2 Biakan murni dari beberapa jamur air pada media SDA. (A) Koloni L01, (B) Koloni Aphanomyces sp. dan (C) Koloni Saprolegnia sp.

Hasil pengamatan terhadap isolat jamur air yang diperoleh dari isolasi telur ikan lele, dan ikan nila yang terinfeksi jamur adalah bentuk vegetatif dan reproduksi aseksualnya. Pengamatan secara mikroskopis dengan melakukan preparat basah menunjukkan bahwa semua isolat jamur air hifanya tidak memiliki sekat, dan senositik. Pada Saprolegnia hifanya bercabang serta pada bagian ujung terdapat zoosporangium berwarna lebih gelap yang akan menghasilkan zoospora yang bersifat motil. Menurut Webster & Weber (2007) hifa Oomycetes tidak memiliki sekat, senositik dan Saprolegnia memiliki hifa yang senositik, tidak bersekat, bercabang dan pada ujung hifa terdapat zoosporangium yang berisi zoospora. Zoospora ini merupakan suatu alat reproduksi aseksual yang bersifat motil, terdapat dua tipe


(35)

zoospora yaitu zoospora utama dan zoospora pembantu dan yang akan berkembang menjadi individu baru adalah zoospora yang utama pada Saprolegnia. Pengamatan secara mikroskopis pada jamur air dapat dilihat pada Gambar 4.1.3 ini.

Gambar 4.1.3 Pengamatan preparat basah secara mikroskopis hifa (A) L01, (B) Aphanomyces sp. (C) Saprolegnia sp. (perbesaran 10x10)

Pada pengamatan mikroskopis dari hifa Saprolegnia ditemukan juga adanya suatu struktur yang disebut dengan gemma atau klamidospora. Struktur ini merupakan bagian yang penting bagi perkembangan hifa. Klamidospora dapat bertahan lama pada kondisi yang kurang menguntungkan karena memiliki dinding yang lebih tebal daripada dinding hifa, sehingga apabila kondisi sudah memungkinkan untuk tumbuh menjadi hifa yang disertai zoosporangium di bagian ujungnya. Klamidospora merupakan fase aseksual lain selain zoospora, tetapi pada umumnya zoospora yang sering dihasilkan (Bruno & Wood, 1999), terutama terjadi pada thallus atau hifa yang sudah tua, sangat penting pada sel-sel vegetatif dengan membentuk dinding yang tebal, yang berfungsi sebagai spora istirahat dan akan bergeminasi (Fitzpatrick, 1930).

Menurut McCarren (2006) klamidospora diperkirakan sebagai struktur yang lebih resisten dibanding dengan zoospora dan sporangium sebab mereka memiliki dinding sel yang tebal dan pada klamidospora yang lebih tua terdapat vakuola dengan lipid dan densitas inclusion yang sama terhadap spora resisten lain seperti oospore. Pada ujungnya yang merupakan bagian hifa yang menggelembung dengan bentuk yang agak sedikit berubah-ubah sering membentuk rantai katenulasi, dengan protoplasma yang terakumulasi. Katenulasi ini secepatnya terlepas ketika terdapat kondisi yang sesuai untuk melakukan germinasi dan memproduksi hifa atau tangkai pendek zoosporangium (Sparrow, 1960).


(36)

Gambar 4.1.4 Struktur Klamidospora pada hifa Saprolegnia sp. (A) Katenulasi klamidospora seperti rantai, (B) Hifa dengan banyak inti, globule minyak dan glikogen, (C) Gemmae atau Klamidospora

berdinding lebih tebal.

4.2 Hasil Pengujian Isolat Bakteri Antagonistik Penghasil Enzim Kitinase

Kemampuan bakteri antagonistik yang memiliki kemampuan kitinolitik dalam menghasilkan kitinase dapat diamati apabila ditanam pada media yang mengandung kitin. Bakteri yang dapat menghasilkan enzim kitinase ditandai dengan adanya zona bening yang terdapat pada sekitar koloni bakteri. Pada penelitian ini digunakan media agar MGMK yang terdiri dari garam mineral dan koloidal kitin. Dari hasil pengamatan yang dilakukan didapat bahwa keenam isolat bakteri antagonistik yang diuji memiliki kemampuan menghasilkan enzim kitinase yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni yang tumbuh pada media yang mengandung kitin. Menurut Pleban et al.. (1997) zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri menandakan adanya aktivitas kitinolitik dalam protein-protein yang disekresikan ke medium pertumbuhan yang mengandung kitin. Isolat bakteri antagonistik yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.2.1.


(37)

Gambar 4.2.1 Isolat Bakteri Antagonis (A) PB 08, (B) PB 15, (C) Enterobacter sp. PB17, (D) Bacillus sp. BK13, (E) Enterobacter sp. BK15, (F) Bacillus sp. BK17 pada media agar MGMK

Produksi kitinase dari suatu bakteri kitinolitik dapat diketahui dengan terjadinya perubahan warna medium menjadi lebih transparan di sekitar koloni bakteri yang disebabkan oleh terdegradasinya kitin pada medium tumbuh karena adanya enzim kitinase yang dihasilkan bakteri ke medium. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan bakteri kitinolik yang berperan penting dalam menghidrolisis kitin (Tjsujibo et al., 1999).

Menurut Wijaya (2002) berdasarkan lokasinya kitinase termasuk enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler adalah enzim yang dihasilkan di dalam sel tetapi dikeluarkan ke dalam medium tumbuhnya. Menurut Muharni (2009) zona bening

terjadi karena adanya pemutusan ikatan β-1,4 homopolimer N-asetilglukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetilglukosamin. Menurut Wijaya (2002) besarnya zona bening yang dihasilkan tergantung pada jumlah monomer N-asetilgkukosamin yang dihasilkan dari proses hidrolisis kitin dengan pemutusan ikatan

β-1,4 homopolimer N-asetilglukosamin yang dihasilkan.

A B C


(38)

4.3 Hasil Uji Antagonis secara in vitro

Hasil uji antagonisme secara in vitro menunjukkan bahwa hanya tiga isolat bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan dari tiga jamur air tersebut dengan kemampuan yang bervariasi. Isolat bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan jamur air tersebut adalah Bacillus sp. BK17, PB08, dan Enterobacter sp. PB17. Penghambatan terhadap pertumbuhan jamur air dapat diamati dengan terjadinya zona bening di sekitar koloni bakteri yang tidak dapat ditumbuhi oleh hifa jamur air (Gambar 4.3.1).

Gambar 4.3.1 Uji Antagonis Bakteri Antagonis terhadap Jamur Air (A)Aphanomyces sp. (B) L01 pada media agar MGMK, (C) Saprolegnia sp. pada MHA umur 4 hari

Zona hambat dapat mulai diamati pada hari ke-4 sebab pada hari tersebut antara koloni bakteri dengan koloni jamur mulai bertemu. Zona hambat yang terjadi dapat ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar koloni bakteri yang ditandai dengan adanya cerukan penipisan elevasi seperti terlihat pada Gambar 4.3.1.

Penghambatan yang terjadi pada jamur air dipengaruhi oleh adanya substrat kitin pada media yang dapat menginduksi bakteri antagonis untuk mengeluarkan enzim kitinase lebih cepat. Pada saat kitin pada media uji telah terurai maka bakteri akan mengkolonisasi miselium jamur untuk mengurai kitin yang terdapat pada dinding sel jamur. Hal ini terjadi ketika koloni bakteri bertemu dengan koloni jamur, kitin yang terdapat pada dinding sel jamur menginduksi bakteri mengeluarkan kitinase. Dengan demikian bakteri akan menggunakan kitin sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya, sedangkan jamur akan mengalami kerusakan dinding sel yang dapat menghambat pertumbuhannya. Menurut Ferniah et al. (2003) kitin merupakan induser bagi enzim kitinase. Enzim kitinase memecah kitin menjadi ketooligosakarida sampai


(39)

dengan N-asetil D-glukosamin yang akan mengalami deasetiliasi dan deaminasi dan menghasilkan molekul-molekul glukosa.

Variasi bakteri antagonis dalam menghambat pertumbuhan jamur air dapat dilihat pada tabel 4.3.1 berikut.

Tabel 4.3.1 Uji Antagonisme in vitro enam isolat bakteri antagonis terhadap Jamur Air

Kode Bakteri Jamur Air Zona Hambat (mm) Hari ke-

4 5 6 7

Bacillus sp. BK13 L01

Aphanomyces sp.

Saprolegnia sp

1,25 4,07 0,00 0,00 1,45 4,12 6,05 0,00 1,50 3,54 0,00 0,00

Enterobacter sp. BK15 L01

Aphanomyces sp.

Saprolegnia sp

1,17 3,47 0,00 0,00 0,87 3,35 0,00 0,00 1,07 3,00 6,50 0,00

Bacillus sp. BK17 L01

Aphanomyces sp.

Saprolegnia sp

5,57 9,01 9,57 8,48 3,50 5,17 7,39 1,52 4,35 6,05 6,17 8,04

PB08 L01 6,04 9,01 12,40 11,54

Aphanomyces sp. 3,50 3,97 5,50 7,14

Saprolegnia sp 3,02 4,65 8,02 7,55

PB15 L01

Aphanomyces sp.

Saprolegnia sp

1,09 3,38 0,00 0,00 0,95 3,07 0,00 0,00 2,47 3,02 6,45 0,00

Enterobacter sp. PB17 L01

Aphanomyces sp.

Saprolegnia sp

6,41 9,15 13,52 12,51 4,17 5,05 6,51 7,84 3,01 4,50 6,45 8,50 Pengamatan hari ke-7 menunjukkan hanya tiga isolat bakteri saja yang masih dapat menghambat pertumbuhan jamur air yaitu Bacillus sp. BK17, PB08 dan

Enterobacter sp. PB17. Tabel 4.3.1 menegaskan dari ketiga isolat ini Enterobacter sp. PB17 memiliki kemampuan diameter paling besar dalam menghambat pertumbuhan jamur air L01, sebesar 12,51 mm, Aphanomyces sp. sebesar 7,84 mm dan Saprolegnia

sp sebesar 8,50 mm, sedangkan isolat Bacillus sp. BK13, Enterobacter sp. BK15 dan PB15 yang paling rendah dalam menghambat pertumbuhan jamur air L01,

Aphanomyces sp. dan Saprlolegnia sp. pada akhir pengamatan. Berdasarkan Tabel 4.3.1 pada hari keempat dan kelima isolat bakteri antagonistik menunjukkan kemampuan daya hambat yang tinggi terhadap jamur air sebab pada kondisi ini bakteri antagonsitik berada pada fase stasioner, tetapi pada hari keenam dan ketujuh


(40)

daya hambat tidak mengalami peningkatan melainkan penurunan diamater zona hambat sebab bakteri berada pada fase kematian. Menurut Propagdee et al. (2008) filtrat kultur isolat bakteri pada fase stasioner menunjukkan kemampuan daya hambat yang lebih besar dibandingkan dengan kultur isolat bakteri pada fase eksponensial. Tiga isolat bakteri yang masih dapat menghambat pertumbuhan jamur air sampai pada akhir pengamatan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti jumlah enzim hidrolitik yang dikeluarkan, umur biakan, fase pertumbuhan yang tidak seragam juga substrat yang digunakan.

Rajaratham et al. (1998) menyatakan kandungan kitin pada jamur berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan umumnya mengandung 4-9% berat keringnya. Begitu juga dengan bakteri yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghridolisis kitin, sebab bakteri dalam mengeluarkan enzim kitinase juga bergantung pada substratnya (Gohel et al., 2006) dengan demikian kemampuan menghambat fungi juga bervariasi (Suryanto et al., 2010). Kandungan kitin pada jamur air sangat sedikit sehingga sangat mempengaruhi kemampuan bakteri dalam menghambat pertumbuhan jamur sebab induksi untuk menghasilkan kitinase hanya berasal dari media uji yang digunakan. Berikut gambar variasi penghambatan jamur air oleh bakteri antagonis.

Gambar 4.3.1 Uji Antagonisme in vitro enam isolat bakteri antagonis terhadap Jamur Air 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Zo n a H am b at (m m ) Isolat Bakteri


(41)

Berdasarkan Gambar 4.3.1 dapat dlihat isolat yang paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur air adalah Enterobacter sp. PB17 dan yang paling rendah yaitu Bacillus sp. BK13, ini bisa disebabkan karena perbedaan kemampuan dalam mengeluarkan enzim hidrolitik seperti kitinase dan glukanase juga kandungan kitin pada dinding sel jamur air dan juga substrat yang digunakan. Selain kandungan kitin pada media uji yang digunakan, hal yang juga ikut mempengaruhi besarnya zona hambat adalah banyak sedikitnya kandungan kitin yang terdapat pada dinding sel jamur tersebut. Guereiro et al. (2010) menyatakan bahwa pada jamur Oomycetes kadar kitin sangat sedikit jumlahnya pada dinding sel yang tidak mencapai lebih dari 0,5%. Kandungan yang paling besar yang terdapat pada dinding sel jamur air seperti

Saprolegnia adalah 21% selulosa dan 79% β 1,3 dan β 1.6 glukan yang merupakan

bagian dinding selnya yang terdiri dari karbohidrat (Fevre & Girard, 1984) sehingga hal ini juga dapat mempengaruhi besarnya zona hambat yang terjadi.

Glukan merupakan polisakarida dari glukosa yang dihubungkan dengan ikatan

β 1,3 dan 1,6 glikosida, banyak ditemukan pada dinding sel di beberapa bakteri,

tumbuhan dan khamir (Ha et al., 2002) Senyawa ini juga merupakan simpanan polisakarida pada alga coklat, euglenoid, krisofita dan beberapa jamur (Stasinopoules

et al., 1999). Mikroorganisme dalam melisis dinding sel tidak hanya menggunakan satu enzim saja seperti kitinase, tetapi juga menggunakan sinergisme kerja antara antimikroba dan enzim hidrolitik, Leelasuphakul et al. (2006) menyatakan bahwa

Bacillus yang digunakan sebagai agen pengendali hayati karena dapat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba dan enzim hidrolitik dan beberapa bakteri dan jamur

menghasilkan enzim β-glukanase yang merupakan salah satu enzim yang paling potensial dalam mendegradasi dinding sel jamur.

4.4 Hasil Pengamatan Abnormalitas Hifa Jamur Air Setelah Uji Antagonis

Pengamatan secara mikrokopis untuk abnormalitas hifa yang terjadi setelah uji antagonis pada jamur air dilakukan pada hari ke-8. Dari hasil pengamatan mikrokopis yang dilakukan, didapat bahwa terjadi perbedaan struktur antara hifa jamur air yang normal dengan yang mengalami abnormalitas. Abnormalitas hifa yang terjadi


(42)

disebabkan oleh adanya enzim hidrolitik dan senyawa antimikroba lain yang dikeluarkan oleh bakteri antagonis pada saat terjadi interaksi antara hifa jamur air dengan isolat bakteri antagonis. Aktivitas dari enzim hidrolitik dan senyawa antimikroba ini menyebabkan hifa jamur air mengalami perubahan struktur sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan tersebut, perubahan struktur hifa tersebut dapat berupa hifa bengkok, hifa melilit, hifa lisis pada ujung, lisis pada dinding sel, hifa mengggulung.

Berdasarkan hasil yang diamati terhadap abnormalitas hifa yang terjadi pada pertumbuhan jamur air, maka bakteri antagonis dapat dibuat sebagai calon agen pengendali hayati terhadap jamur air patogen pada ikan nila. Abnormalitas yang terjadi pada hifa jamur air diduga karena terjadinya interaksi antara jamur air dengan bakteri antagonis. Komposisi dinding sel jamur air sangat sedikit kitin pada dinding selnya akan tetapi kitin merupakan struktur yang sangat penting dalam pembentukan hifa.. Oleh karena itu kitinase yang dikeluarkan oleh bakteri antagonis yang diinduksi dengan adanya kitin pada media uji dapat menyebabkan perubahan struktur yang berbeda dari struktur hifa yang normal pada jamur air.

Perubahan struktur hifa jamur air menjadi abnormal oleh bakteri antagonis dapat terjadi bukan hanya karena enzim kitinase yang disekresikan, tetapi juga merupakan sinergisme dengan enzim lain seperti glukanase. Perubahan struktur ini menunjukkan bahwa bakteri antagonis yang mempunyai kemampuan kitinolitik dapat digunakan sebagai calon agen pengendali hayati terhadap jamur air patogen. Bakteri kitinolitik sudah diketahui secara luas dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan jamur, lebih dari itu digunakan sebagai alat untuk mengontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur (Quecine et al., 2008). Perubahan struktur hifa yang terjadi pada jamur air diduga sebagai bentuk pertahanan dirinya terhadap enzim kitinase dan hidrolitik lain yang dikeluarkan bakteri antagonis ke lingkungan agar dapat menghindari efek yang lebih lanjut dari enzim hidrolitik tersebut. Beberapa struktur hifa jamur air yang abnormal dapat dilihat pada (Gambar 4.4.1).


(43)

Gambar 4.4.1 Perubahan struktur hifa jamur air setelah uji antagonis dengan bakteri antagonis pada media agar MGMK (A) Lisis pada dinding hifa, (B) Hifa membengkok, (C) Hifa patah, (D) Lisis pada ujung hifa, (E) Hifa Melilit, (F) Hifa bengkok.

Perubahan strukur hifa menjadi abnormal seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.1 menunjukkan bahwa isolat bakteri antagonis dapat digunakan sebagai calon agen pengendali hayati. Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroorganisme tersebut

dalam menghasilkan kitinase dan β-1,3 glukanase yang dapat melisis dinding sel jamur (El-Katatny et al., 2003). Hal ini disebabkan karena salah satu penyusun

A B

C D


(44)

dinding sel jamur adalah kitin, sehingga enzim kitinase dapat menghidrolisis kitin pada dinding sel jamur (Quecine et al., 2008). Walaupun kitin sangat sedikit pada jamur air, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat gen-gen kitin sintase pada jamur air. Menurut Fevre et al. (1997) bahwa hasil sequence gen penyandi kitinase dari Saprolegnia monoica memiliki kemiripan yang sama dengan hasil jamur air lain yaitu Achlya ambisexualis dan Phytophthora capsici, ini mengindikasikan bahwa sistem sintesis kitin tersebar luas pada kelas organisme jamur air tersebut, dan Guerreiro et al. (2010) menyatakan kitin merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan struktur ujung hifa, maka dari itu bakteri antagonis yang memiliki kemampuan kitinolitik dapat digunakan sebagai calon agen pengendali hayati terhadap jamur air patogen.

4.5 Hasil Uji Patogenitas Jamur Air Terhadap Ikan Nila

Pada dasarnya untuk melakukan infeksi Saprolegnia dalam skala laboratorium memiliki kesulitan agar dapat menghasilkan tingkat infeksi dan kematian yang tinggi karena dipengaruhi beberapa faktor, seperti suhu, pH dan aerasi. Saprolegniosis dapat terjadi pada ikan karena pengaruh faktor lingkungan, inang dan patogen. Menurut Meyer (1991) infeksi yang disebabkan oleh Saprolegnia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dapat membuat ikan stress, seperti kualitas aerasi yang rendah, luka yang disebabkan oleh bakteri, dan patogen lain, serta kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.

Berdasarkan hasil uji patogenitas jamur air yang didapat terhadap ikan nila, menunjukkan bahwa Saprolegnia sp. memiliki tingkat patogenitas yang paling tinggi dibandingkan dengan Aphanomyces sp. dan L01. Tingkat patogenitas Saprolegnia sp. mencapai 90%, sedangkan untuk Aphanomyces sp 50% dan L01 50% untuk ikan nila yang mati dan juga terinfeksi, sedangkan untuk kontrol 100% sehat. Hal ini menunjukkan bahwa Saprolegnia sp. mempunyai tingkat patogenitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua isolat lain, dan sangat patogen bila terdapat di perairan baik di kolam budidaya dan juga perairan tawar yang bebas. Menurut Fugelstad (2008) penyakit yang disebabkan oleh kelompok Saprolegnia disebut Saprolegniosis.


(45)

Tingkat patogenitas Saprolegnia sp. yang mencapai 90% pada perlakuan, dibagi menjadi dua yaitu 65% tingkat kematian dan 25% terinfeksi, begitu juga halnya dengan Aphanomyces sp 30% tingkat kematian dan 20% terinfeksi dan L01 30% tingkat kematian dan 20% terinfeksi (Gambar 4.5.1). Hasil Penelitian memperlihatkan bahwa tingginya tingkat patogenitas Saprolegnia sp dibandingkan dengan dua isolat lain menegaskan bahwa isolat Saprolegnia yang diperoleh dari ikan nila bersifat patogen terhadap ikan nila.

Gambar 4.5.1 Persentase Tingkat Uji Patogenitas Jamur Air Pada Ikan Nila

Penyakit saprolegniosis yang menyerang ikan memiliki bentuk seperti benang halus dan berwarna putih atau kadang kecoklatan, menonjol, dan bundar penyebarannya di seluruh permukaan tubuh dengan perluasan yang melingkar sampai perbatasan luka, biasanya menyerang organ tubuh seperti kepala, tutup insang, sirip ekor, sirip punggung dan anal (Noga, 1993). Pada beberapa kasus dapat mencapai 80% permukaan tubuh ditutupi. Pada infeksi awal, luka kulit berwarna coklat atau putih, yang dapat berkembang dengan cepat dan menyebabkan kerusakan bagian epidermis. Kelesuan dan kehilangan keseimbangan merupakan proses dari infeksi yang terjadi, dan membuat ikan lebih mudah untuk dimangsa dan mati (Wiloughby, 1989). Hal ini dapat memberikan kerugian ekonomi yang besar terhadap para petani ikan dan juga dapat mengurangi devisa negara dengan berkurangnya hasil ekspor pada sektor perikanan.

0

20 20 25

0 30 30 65 100 50 50 10 0 20 40 60 80 100 120

Kontrol Lsp01 Aphanomyces sp. Saprolegnia sp. Terinfeksi Mati Sehat

0

20 20 25

0 30 30 65 100 50 50 10 0 20 40 60 80 100 120

Kontrol L01 Aphanomyces sp. Saprolegnia sp.

P e r se n tas e ( % )


(46)

Saprolegnia sp. dapat menyebabkan penyakit saprolegniosis pada beberapa bagian ikan, berdasarkan hasil uji patogenitas menunjukkan bahwa bagian ikan yang terinfeksi terdapat pada sirip punggung, dada, perut, anal dan ekor. Selain itu terdapat juga pada bagian insang, mata dan menutupi seluruh tubuh yang dapat menyebabkan kematian pada ikan. Pergerakan ikan juga cenderung melemah dan hanya bergerak lambat di bagian pinggir akuarium serta tidak seimbang. Hal ini dapat terjadi karena

Saprolegnia sp. menghasilkan zoospora yang merupakan fase aseksual. Zoospora yang menempel pada bagian epidermis ikan adalah zoospora sekunder.

Bruno & Wood (1999) menyatakan bahwa kelompok patogen saprolegniaceae mungkin menempel pada organ yang utama dan semakin lama dapat menyebabkan dermakitokosis atau mikosis dermamikosis. Lepasnya sisik, mukus pada ikan merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan Saprolegnia (Wiloughby et al.,

1983). Zoospora yang berasal dari Saprolegnia lebih cepat menempel pada ikan yang hidup dan bertahan lebih lama dibandingkan yang mati, ini mengindikasikan bahwa patogen ini dapat beradaptasi dan bertahan lebih baik pada inang yang hidup (Wood et al., 1988). Selain itu juga pada Saprolegnia mungkin juga menggunakan aktivitas enzimatik dalam virulensi dan penyerangan inangnya (Smith et al., 1994) begitu juga dengan Kitancharoen & Hatai menyatakan (1996) bahwa isolat Saprolegnia yang berasal dari telur Salmon menunjukkan adanya kemungkinan aktivitas enzimatik yang berkonstribusi dalam tingkat parasit terhadap inangnya.

Peduzzi & Bizzozero (1977) melaporkan bahwa thallus yang berasal dari strain patogen Saprolegnia menghasilkan aktivitas enzim seperti chymotrypsin dan menegaskan bahwa aktvitas enzim ini mengambil peranan penting dalam faktor patogenesis Saprolegnia. Penelitian yang telah dilakukan oleh Wiloughby and Pickering (1977) menegaskan bahwa zoospora sekunder hasil dari germinasi zoopora primer merupakan zoospora yang motil dan bergerak bebas lalu kemudian bergeminasi, zoospora skunder merupakan spora yang siap menempel pada epidermis dan dapat menembus jaringan ikan. Berdasarkan histopatologi bagian yang menjadi target utama infeksi adalah kulit dan dasar dari sistem otot, karenanya infeksi ini dapat menyebabkan kerusakan yang cepat pada bagian epidermis dan kemungkinan secara langsung dapat menyebabkan kematian pada ikan karena melemahkan dan


(47)

mengganggu osmoregulasi atau sistem pernapasan (Hatai & Hussein, 2002;Hatai & Hoshiai, 1992).

Dalam penelitian ini dilakukan juga reisolasi untuk memastikan jamur patogen yang dimasukkan. Ikan yang mati atau terserang jamur dimasukkan ke dalam petridish steril, lalu dipotong bagian yang terserang jamur, ditanam pada media SDA dan diamati penampakan morfologi. Berdasarkan hasil reisolasi menunjukkan bahwa isolat yang dimasukkan sama dengan hasil reisolasi dan menyebabkan infeksi serta kematian pada ikan uji.

Gambar 4.5.2 Hasil Uji Patogenitas Bagian Ikan Nila Yang Terserang Jamur Air (A) Mata, (B) Seluruh Tubuh, (C) Insang.

4.6 Hasil Evaluasi Efek Bakteri terhadap Saprolegnia sp. secara in vivo

Hasil uji in vitro dan patogenitas yang telah dilakukan sebelumnya memberikan informasi isolat bakteri antagonis dan jamur air yang digunakan pada tahap selanjutnya yaitu uji in vivo. Berdasarkan hasil tersebut isolat bakteri yang digunakan adalah bakteri dengan kode Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 sedangkan jamur air yang digunakan adalah Saprolegnia sp. selain itu juga pada penelitian ini untuk melihat apakah bakteri yang digunakan patogen pada ikan nila atau tidak, dilakukan uji patogenitas bakteri dengan perlakuan kontrol (+) yaitu penambahan isolat bakteri dengan ikan nila.

Isolat bakteri diinokulasikan ke dalam aquarium yang berisi ikan nila, dibiarkan selama 48 jam, kemudian dimasukkan suspensi zoospora Saprolegnia sp. diamati selama 10 hari tingkat kematian, tingkat terinfeksi dan tidak terinfeksi (sehat).


(48)

Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan diperoleh bahwa isolat bakteri yang digunakan yaitu Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dapat mengurangi tingkat infeksi dan kematian yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. berturut-turut sebesar 86% dan 84% sampai pada akhir pengamatan. Hasil uji evaluasi efek bakteri terhadap Saprolegnia sp. dapat kita lihat pada gambar 4.6.1.

Gambar 4.6.1 Persentase Uji Evaluasi Efek Bakteri Antagonis Terhadap Saprolegnia sp.

Hasil dari Gambar 4.6.1 dapat dilihat bahwa persentase tingkat tidak terinfeksi oleh Saprolegnia sp. dapat meningkat sampai dengan 86% dan 84% sementara untuk kontrol negatif yang tidak diberikan Saprolegnia sp. dan bakteri uji dapat bertahan hidup sampai pengamatan terakhir dengan presentase 100%. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini untuk mengendalikan mencegah infeksi Saprolegnia sp. pada ikan nila adalah Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dan hasilnya menunjukkan peningkatan pengurangan jumlah terhadap ikan nila yang mati dan terinfeksi. Pada uji tingkat penyerangan sebelumnya tingkat kematian dan terinfeksi mencapai 90% dan

0 0 0 6 2

25

0 4 4

8 14 65 100 96 96 86 84 10 0 20 40 60 80 100 120 P e r se n tas e ( % ) Perlakuan Terinfeksi Mati Sehat


(49)

setelah diberikan perlakuan dengan bakteri uji, dapat meningkatkan ikan yang sehat sampai pada akhir pengamatan mencapai 86% dan 84%.

Pengendalian saprolegniosis telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan bakteri antagonis. Saat ini terus dikembangkan bagaimana cara yang aman untuk mengendalikan sapolegniosis yang tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan dan juga tidak berbahaya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Osman et al., (2008) yang melaporkan bahwa bakteri Non Pathogenic Aeromonas

Strain (NPAS) dapat mengurangi saprolegniosis pada ikan nila, NPAS merupakan agen antagonis yang aktif dalam melawan pertumbuhan Saprolegnia. Keberadaannya menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan Saprolegnia. Menurut Hussein & Hatai (2001) kandidat lain yang dimiliki oleh NPAS dalam menghambat

Saprolegnia secara aktif dengan memproduksi enzim selulase.

Hatai & Wiloughby (1988) melihat bahwa Pseduomonas fluorescens yang diiolasi dari rainbow trout dapat menghambat pertumbuhan S. parasitica melalui antibiotik yang dihasilkan oleh P. fluorescens. Selain itu Bly et al. (1997) telah melakukan percobaan penghambatan Saprolegnia dengan menggunakan

Pseudomonas fluorescens. Berdasarkan hasil yang diperolehnya P. fluorescens dapat menghambat waktu germinasi yang diperlukan oleh Saprolegnia. Bakteri ini menempel dan dapat hidup bersimbiosis pada mukus yang ada pada ikan, itu memungkinkan ikan dapat dilindungi dari infeksi mikroorganisme lain seperti

Saprolegnia. Mereka juga menyatakan bahwa penghambatan Saprolegnia dengan menggunakan bakteri bukan hanya berhubungnan dengan hasil sekresi yang dihasilkan tetapi juga lebih kepada kompetisi terhadap ruang dan nutrisi.

Pada penelitian ini digunakan bakteri Enterobacter PB17 dan Bacillus BK17 sebagai penghambat pertumbuhan Saprolegnia secara in vivo. Berdasarkan hasil yang didapat bahwa kedua bakteri ini mampu mengurangi tingkat infeksi dan kematian yang disebabkan oleh Saprolegnia. Kemampuan bakteri dapat menghambat pertumbuhan Saprolegnia tidak lepas dari adanya kemampuan bakteri melekat pada sisik dan mukus ikan, juga dapat menghasilkan enzim hidrolitik seperti glukanase dan kitinase yang dapat melisis bagian penyusun dinding sel yang terdapat pada


(50)

Saprolegnia. Kitin yang sangat sedikit menyusun dinding sel pada Oomycetes merupakan bagian yang sangat penting dalam pembentukan ujung hifa sehingga apabila mengalami lisis dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal atau bahkan mati. Guerriero et al. (2010) menyatakan bahwa gen kitinase yang terdapat pada proses pembentukan ujung hifa dapat dijadikan sebagai target yang utama untuk melisis dinding sel jamur Oomycetes. Sehingga kitinase dan glukanase yang diproduksi oleh kedua bakteri dapat menghambat dan mengendalikan pertumbuhan

Saprolegnia.

Disamping itu bakteri yang dapat berasosiasi dengan mukus ikan dan juga hidup pada saluran pencernaan dengan memberikan suplemen makanan dapat dijadikan sebagai probiotik. Verstraete et al. (2000) menyatakan bahwa bakteri secara

in vivo dapat memproduksi siderofore atau senyawa penghambat dalam jumlah yang cukup pada kondisi yang berpengaruh di usus. Ia juga menyatakan bahwa kemungkinan yang dilakukan oleh bakteri dalam menghambat pertumbuhan patogen yaitu memproduksi senyawa penghambat, kompetisi senyawa kimia dan energi yang tersedia, situs perlekatan dan meningkatkan respons imunitas. Menurut Austin (2002) jumlah dan tipe bakteri yang berasosiasi dengan ikan yang sehat sangat bervariasi. Bakteri ini berperan sangat penting seperti, memproduksi polimer yang mencegah terjadi pergesekan serta memecah molekul kompleks seperti pati, selulosa, kolagen, kitin, fosfolipid dan protein.

4.7 Hasil Uji Perlekatan Bakteri Antagonistik Pada Ikan Nila

Uji perlekatan bakteri pada bagian ikan dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri yang digunakan yaitu Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dapat melekat atau tersuspensi pada perairan. Bagian ikan yang diambil adalah sisik ikan yang berasal dari perlakuan pada uji in vivo sebelumnya. Sisik ikan yang diambil dari masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam botol vial yang berisi alkohol 70% kemudian dilakukan preparasi untuk diamati dengan Scanning Microscope Electron. Pengamatan perlekatan bakteri dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 4.7.1


(51)

Gambar 4.7.1 Pengamatan Perlekatan Bakteri Bacillus BK17 dan Enterobacter PB17 Pada Sisik Ikan Nila (A);(B) Kontrol (-), (C) Kontrol (+) Bacillus BK17, (D) Kontrol (+) Enterobacter PB17, (E) Bacillus BK17 + Saprolegnia sp. (F) Enterobacter PB17 + Saprolegnia sp.

Berdasarkan hasil SEM diketahui bahwa isolat bakteri yang digunakan untuk menghambat infeksi Saprolegnia sp. dapat menempel pada bagian sisik ikan sedangkan untuk kontrol (-) tanpa penambahan bakteri ataupun jamur tidak ditemukan adanya bakteri yang melekat pada sisiknya. Kemampuan bakteri melekat pada sisik atau mukus ikan merupakan suatu bentuk bahwa bakteri dapat berkompetisi dalam menempel pada bagian ikan. Tentu saja ini sangat berpengaruh pada keberadaan patogen lain baik itu bakteri dan juga jamur. Disamping itu menempelnya isolat bakteri yang digunakan yaitu Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 pada sisik


(52)

atau juga mukus ikan merupakan tahapan yang penting bagi bakteri yang akan digunakan sebagai probiotik. Diharapkan juga dengan menempelnya isolat bakteri yang digunakan dapat meningkatkan respon imun salah satunya dengan meningkatkan produksi mukus yang merupakan bentuk pertahan terhadap patogen Saprolegnia

sebab mukus ikan mengandung senyawa antimikrobial, lisozim dan protein kompleks yang dapat menghalangi atau menghilangkan patogen seperti Saprolegnia.

Menurut Donlan (2002) permukaan dari material padat apabila sering terkontak dengan media cair seperti air dan darah dapat menyediakan sebuah kondisi yang cocok untuk perlekatan dan pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dapat menempel pada sisik ikan karena memiliki kemampuan dalam menghasilkan eksopolisakarida dan didukung oleh lingkungannya Secara alami bakteri dapat menempel dengan menggunakan bagian membran luar seperti pili, flagel, protein dan lipopolisaarida (Atabek, 2006). Mekanisme bakteri menempel dibagi atas lima tahapan, pertama perlekatan antara sel dengan permukaan, lalu memproduksi substansi ekstrapolimer yang membuat perlekatan lebih kuat dan bersifat irreversible,

setelah itu perkembangan tahap awal pembentukan biofilm, pematangan biofilm dan penyebaran sel dari biofilm yang terbentuk (Stoodley et al., 2002).

Pada umumnya biofilm terdiri atas berbagai macam spesies bakteri tetapi bisa juga terdiri dari hanya satu jenis bakteri saja (Donlan, 2002). Bakteri yang dapat berasosiasi dengan ikan baik pada sisik, mukus juga pada saluran pencernaan diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap inangnya dengan menghambat mikroorganisme patogen seperti bakteri dan jamur. Pemberian isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 pada penelitian ini yang dapat berasosiasi dengan bagian mukus atau sisik ikan dapat meningkatkan jumlah ikan yang sehat bertambah sampai pada hari terakhir pengamatan dan mengurangi jumlah yang terinfeksi dan mati. Mungkin saja isolat bakteri yang digunakan selain menekan pertumbuhan patogen juga meningkatkan stimulasi respon imun terhadap patogen, sehingga dapat menahan tingkat serangan patogen. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada uji in vitro dan in vivo terdapat isolat bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan Saprolegnia sp. Hal ini menunjukkan bahwa asosiasi bakteri dengan ikan dapat mengurangi tingkat infeksi dan kematian yang disebabkan oleh


(53)

Saprolegnia sp. Bakteri yang berasosiasi pada sisik ikan ini diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan ikan dan meningkatkan imunitasnya sehingga menghambat infeksi patogen. Oleh karena itu untuk menjadikan isolat bakteri ini menjadi suatu agen pengendali hayati khususnya terhadap jamur air patogen butuh penelitian lebih lanjut tentang pengaruh bakteri terhadap ikan dan lingkungan sekitarnya.


(54)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan yaitu:

1. Potensi isolat bakteri yang digunakan dalam menghambat jamur air patogen pada ikan, Saprolegnia sp., Aphanomyces sp. dan L01 bervariasi.

2. Isolat bakteri antagonistik yang menunjukkan penghambatan tertinggi dalam menghambat jamur air Saprolegnia sp., Aphanomyces sp. dan L01 secara in vitro adalah Enterobacter sp. PB17 dan yang paling rendah adalah Bacillus sp. BK13.

3. Isolat jamur air yang diperoleh dari isolasi adalah Saprolegnia sp.,

Aphanomyces sp. dan L01 dan yang paling tinggi tingkat patogenitasnya adalah Saprolegnia sp.

4. Isolat bakteri antagonistik Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 paling baik dalam menghambat infeksi Saprolegnia sp. pada ikan nila dengan jumlah ikan yang sehat sampai pada akhir pengamatan berturut-turut 86% dan 84%.

5. Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa isolat bakteri antagonistik Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mampu menempel pada sisik ikan nila.

5.2 Saran

Penelitian selanjutnya yang diharapkan dilakukan adalah bagimana pengaruh isolat bakteri yang digunakan terhadap inangnya baik secara morfologi dan juga anatomi disamping itu perlu juga diketahui konstribusi isolat bakeri yang digunakan


(55)

dalam proses perkembangan ikan dalam satu siklus perkembangan yaitu selama 24 hari. Sehingga apabila nantinya isolat bakeri yang digunakan memberikan pengaruh yang positif terhadap inangnya isolat bakteri dapat digunakan untuk uji selanjutnya.


(1)

Lampiran 4. Preparasi Zoospora Jamur Air

Koloni Jamur Air umur 48 jam dipotong dengan menggunakan cork borer dengan diameter 5,5 mm

Diinokulasikan ke dalam 20 ml Sabour Dextrose Agar (SDA)

Diinkubasi 25o C selama 24 - 48 jam

Dipotong dan dibilas dengan akuades steril tiga kali

Diinokulasikan pada 20 ml aquadest steril

Diinkubasi pada suhu 30o C selama 24 jam

Keberadaan zoospora diamati di bawah mikroskop

Dihitung jumlah zoospora sampai 107 sel/ml dengan menggunakan haemositometer Biakan Jamur Air

Miselia Jamur Air


(2)

Lampiran 5. Uji Patogenias Jamur Air

Dimasukkan ke dalam wadah kaca berukuran 20 x 30 x 50 cm3 yang berisi 10 Liter air ledeng

Kelompok perlakuan diinokulasikan 107 zoospora sebanyak 1 ml (Zaki, et al., 2010)

Dilakukan pengamatan selama 10 hari

Dilakukan pengamatan berdasarkan tingkat kematian (mortality rate) dan tingkat bertahan (survival rate) (Atta, 2008)

10 ekor ikan nila sehat ukuran 3-5 cm

Hasil


(3)

Lampiran 6. Alur Kerja Isolat Bakteri Antagonis

Ditanam pada mdia agar MGMK

Diinkubasi pada suhu 28-30o C selama 1 x 24 jam

Terdapat Zona bening di sekitar koloni Isolat Bakteri Antagonis


(4)

Lampiran 7. Evaluasi Efek Bakteri Antagonis Terhadap Saprolegnia sp. secara

in vivo

Dimasukkan ke dalam wadah kaca berukuran 20 x 30 x 50 cm3 yang berisi 10 Liter air ledeng

Kelompok perlakuan dan kontrol positif diinokulasikan bakteri Bacillus BK17 dan Enterobacter PB17 sebanyak 1 ml 108 sel/ml

Setelah 48 jam kelompok perlakuan

diinokulasikan 107 zoospora sebanyak 1 ml (Zaki, et al., 2010)

Dilakukan pengamatan selama 10 hari

Dilakukan pengamatan berdasarkan tingkat kematian (mortality rate), tingkat bertahan (survival rate) dan tidak terinfeksi (no infection) (Osman, et al., 2008)

Hasil

10 ekor ikan nila sehat berukruan 3-5 cm


(5)

Lampiran 8. Pengamatan Perlekatan Bakteri Antagonistik pada Ikan Nila

Dimasukkan ke dalam larutan gluteraldehid 2,5% dalam 0,1 M Potassium Buffer

Difiksasi 1 malam pada suhu 4o C

Dibilas dengnan Potassium Buffer 5 ml pada suhu ruang selama 15 menit sebanyak 3 kali

Didehidrasi dengan 5 ml etanol dengan

konsentrasi 35, 50, 70 dan 95% selama 10 menit untuk masing-masing konsentrasi

Didehidrasi dengan 5 ml etanol absolut 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali

Diamati dan difoto dengan Scanning Electron Microscope (SEM)

Hasil Sisik Ikan


(6)

Lampiran 9. Pengukuran (A) pH dan (B) Suhu

(A) (B)

Lampiran 10. (A) Panjang dan (B) Berat Ikan Uji

(A) (B)

Lampiran 11. (A) Bak Penyesuain dan (B) Aquarium

(A) (B)