BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan - Penentuan Lc50 Dari Getah Buah Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  2.1.1 Sistematika Tumbuhan

  Sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya L.) sebagai berikut (Herbarium Bandungense, 2012): Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledonae Ordo : Caricales Familia : Caricaceae Genus : Carica Species : Carica papaya L.

  2.1.2 Nama Daerah

  Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah seperti: Sumatera: Kabaelo, peute, pastelo, embetik, betik, bala, sikailo, kates, kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih, pancene, pisang katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang, punti kayu. Jawa: Gedang, ketela gantung, kates, gedhang. Kalimantan: Bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang mentela, gadang , bandas. Nusa Tenggara: Gedang, kates, kampaja, kalu jawa, padu, kaut panja, kalailu, paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa, kasi. Sulawesi: Kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa, tangan - tangan nikare, kaliki, rianre. Maluku: Tele, palaki, papae, papaino, papau, siberiani, tapaya (Iman, 2009).

  2.1.3 Nama Asing Inggris: papaya, paw paw. Melayu: Betik, ketelah, kepaya. Vietnam: Du du.

  Thailand: Mala kaw. Pilipina: Kapaya, lapaya. Cina: fan mu gua (Iman, 2009).

  2.1.4 Deskripsi

  Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman berasal Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan. Tanaman ini menyebar ke benua Afrika dan Asia. Dari India, tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis termasuk Indonesia di abad ke-17 (Setiaji, 2009). Pepaya tersebar hampir di seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga kering, dataran maupun pegunungan dan pada ketinggian 1 - 1000 meter dari permukaan air laut (BPOM RI, 2010).

  Hampir semua bagian tanaman pepaya dapat di manfaatkan mulai dari daun, batang, akar, maupun buah (Warisno, 2003). Buah pepaya tergolong buah yang popular dan digemari oleh hampir seluruh penduduk penghuni bumi ini. Batang, daun dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain (Moehd, 1999).

  2.1.5 Morfologi Tumbuhan

  Pepaya merupakan tanaman berbatang tunggal dan tumbuh tegak. Batang tidak berkayu. bulat, silindris, berongga dan berwarna putih kehijauan. Tinggi tanaman berkisar antara 5 - 10 meter dengan akar yang kuat. Tanaman pepaya berbentuk bulat dan berlubang. Daun pepaya berkumpul di ujung batang, bertulang menjari dengan warna permukaan atas hijau tua, sedangkan warna permukaan bawah hijau muda. Buah berbentuk bulat hingga memanjang tergantung jenisnya, buah muda berwarna hijau sedangkan buah tua berwarna jingga/kekuningan, buah berongga besar di tengahnya, tangkai buah pendek. Biji pepaya berwarna hitam dan diselimuti lapisan tipis (Muhlisah, 2007).

  Ditinjau dari macam bunganya, pepaya digolongkan menjadi tiga, yaitu pepaya jantan, pepaya betina dan pepaya sempurna. Pepaya jantan mudah dikenal karena ia memiliki bunga majemuk yang bertangkai panjang dan bercabang. Bunga pertama yang terdapat pada pangkal tangkai adalah bunga jantan. Bunga jantan ini memiliki ciri-ciri putik atau bakal buah yang tidak berkepala karenanya tidak dapat menjadi buah, sedangkan benang sari susunannya sempurna. Pepaya betina hanya menghasilkan bunga betina, bakal buahnya sempurna dan tidak berbenang sari, untuk dapat menjadi buah harus diserbuki bunga jantan dari luar. Pepaya betina berbunga sepanjang tahun, buah bulat, bertangkai pendek. Pepaya sempurna memiliki bunga yang sempurna susunannya, ia memiliki bakal buah dan benang sari. Oleh karena itu pepaya sempurna dapat melakukan penyerbukan sendiri (Rochmatul, 2003).

2.1.6 Kandungan Kimia Tanaman Pepaya

  Kandungan kimia pada daun pepaya terdapat enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo-karpaina, glikosid karposid dan saponin. Buah pepaya terdapat β-karotena, pektin, d-galaktosa, l-arabinosa dan papain. Getah pepaya biji pepaya terdapat glukosida kakirin dan alkaloid karpain (Dalimartha, 2003).

2.1.7 Manfaat Tumbuhan

  Pemanfaatan tanaman pepaya cukup beragam. Daun pepaya muda, bunga, buah yang masih mentah dapat dibuat sebagai bahan berbagai ragam sayuran.

  Selain itu, buah pepaya, terutama yang masak mengkal, digunakan juga sebagai salah satu buah untuk rujak dan asinan. Sebagai buah segar, buah pepaya dapat dibuat manisan, buah dalam sirup, saus, selai, dan sebagainya. Sari akar tanaman pepaya dapat digunakan sebagai obat penyakit kencing batu, penyakit saluran kencing, dan cacing kremi. Batang, daun dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain. Lalap daun pepaya muda yang dapat menambah nafsu makan diduga disebabkan oleh enzim ini (Kalie, 1996).

  Buah pepaya yang masih mengkal memiliki efek menggugurkan kandungan, sedangkan buah pepaya yang sudah matang berkhasiat untuk melancarkan gangguan sistem pencernaan, selain itu dalam buah pepaya terdapat enzim papain sebagai enzim proteolitik, yaitu enzim yang dapat mengurai dan memecah protein (Warisno, 2003).

  Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan untuk berbagai macam keperluan antara lain: penjernih bir, pengempuk daging, bahan baku industri penyamak kulit, serta digunakan dalam industri farmasi dan kosmetika (kecantikan) (Kalie, 1996).

  Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, baik insekta, jamur maupun gulma, sehingga pestisida dikelompokkan menjadi: Insektisida (pembunuh insekta), Fungisida (pembunuh jamur), dan Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu/gulma). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan di rumah tangga untuk memberantas nyamuk, lalat, kecoa, dan berbagai serangga penganggu lainnya, akan tetapi pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup. Bermacam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).

  Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan yang berkhasiat mengendalikan serangan hama. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik (Djojosumartono, 2004):

  Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa,

  • Menghambat pergantian kulit,
  • Mengganggu komunikasi serangga,
  • Menyebabkan serangga menolak makan,
  • Menghambat reproduksi serangga betina,
  • >Mengurangi nafsu makan,

  Mengusir serangga, dan Menghambat perkembangan patogen penyakit.

  • Pestisida alami merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji, atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Djunaedy, 2009). Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida alami memiliki daya racun (toksisitas) yang rendah. Beberapa jenis pestisida botani seperti nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan pestisida sintetis, terutama jika termakan. Dengan demikian penggunaan pestisida alami juga perlu diperhatikan toksisitasnya terhadap organisme non sasaran (Novizan, 2004).

2.3 Keracunan Pestisida

  Di samping manfaat yang diberikan, pestisida juga sekaligus memiliki potensi untuk dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Tercemarnya tanah, air, udara dan unsur lingkungan lainnya oleh pestisida, dapat berpengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan pada umumnya terjadi karena penanganan pestisida yang tidak tepat dan sifat fisiko kimia pestisidanya (Suprapti, 2011).

  Bahan-bahan racun pestisida masuk ke dalam tubuh organisme (jasad hidup) berbeda-beda menurut situasi paparan. Mekanisme masuknya racun pestisida tersebut dapat melalui melalui kulit luar, mulut dan saluran makanan, serta melalui saluran pernapasan. Melalui kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan yang larut minyak terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan (air, tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun karena kuatnya ikatan kimianya. Ada di antara racun ini yang dapat dirombak oleh kondisi tanah tapi hasil rombakan masih juga merupakan racun. Demikian pula halnya, ada yang dapat terurai di dalam tubuh manusia atau hewan tapi menghasilkan metabolit yang juga masih beracun (Ngatidjan, 2006).

  Pestisida yang diaplikasikan untuk memberantas suatu hama tanaman atau serangga penyebar penyakit tidak semuanya mengenai tanaman. Sebagian akan jatuh ke tanaman, atau perairan di sekitarnya, sebagian lagi akan menguap ke udara, yang mengenai tanaman akan diserap tanaman tersebut ke dalam jaringan kemudian mengalami metabolisme karena pengaruh enzim tanaman. Pestisida yang diserap oleh tanah atau perairan akan terurai karena pengaruh suhu, kelembaban, jasad renik dan sebagainya. Penguraian bahan pestisida tersebut tidak terjadi seketika itu juga, melainkan sedikit demi sedikit. Sisa yang tertinggal inilah yang kemudian diserap sebagai residu. Jumlah residu pestisida dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, jasad renik, sinar matahari, dan jenis dari pestisida tersebut (Pohan, 2004).

  Pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung akibat adanya pencemaran pestisida akan mengganggu kualitas air, sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan juga akan terganggu. Pengaruh secara langsung disebabkan oleh akumulasi pestisida dalam organ-organ tubuh akibat tertelan sedangkan secara tidak langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan terhambatnya pertumbuhan ikan (Mega dan Abdulgani, 2013).

2.4 Kualitas Air

  Air merupakan media vital bagi kehidupan ikan. Suplai air yang memadai akan memecahkan masalah dalam budidaya ikan secara intensif, yaitu dengan menghanyutkan berbagai kumpulan dari bahan buangan dan bahan beracun sehingga kondisi air optimal untuk pemeliharaan. Selain jumlah air yang tersedia, kualitas air memenuhi syarat adalah salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan. Kemampuan ikan untuk mengonsumsi oksigen dipengaruhi oleh toleransi ikan terhadap stres, temperatur/suhu air, pH, dan konsentrasi CO

  2 serta sisa metabolism lain seperti amoniak (Taurusman, 1996).

  Kandungan oksigen yang terlarut berbeda dalam air mempunyai pengaruh yang berbeda bagi organisme akuatik. Suhu merupakan faktor abiotik diduga memiliki pengaruh besar terhadap toksisitas suatu bahan kepada ikan. Suhu perairan yang semakin tinggi akan menyebabkan metabolisme ikan yang semakin meningkat dan berakibat meningkatnya kadar amoniak dalam air (Puspowardoyo dan Abbas, 1992).

  Cara terbaik untuk menjamin kadar oksigen terlarut dalam air tetap tinggi adalah dengan mempertahankan air tetap bersuhu rendah, mengganti air dalam wadah dengan air yang baru serta mempertahankan oksigen melalui proses difusi yang cukup, yaitu dengan aerasi yang menimbulkan gerakan air yang sedang atau tidak terlalu keras (Huet, 1994).

  Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis terlebih dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), pesaing (kompetitor) ataupun jasad penyebab penyakit (patogen). Dengan demikian, air yang digunakan benar- benar sesuai bagi kehidupan ikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).

  1. Oksigen terlarut Oksigen diperlukan ikan untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan untuk aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat mengakibatkan ikan stres sehingga mudah terserang penyakit (Sucipto dan Prihartono, 2005).

  2. Suhu Semua jenis ikan umumnya mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu air. Terjadinya kenaikan maupun penurunan yang besar berakibat kurang baik bagi kehidupan ikan. Perubahan suhu ini dampaknya akan tampak jelas terutama bila terjadi perubahan dari dingin ke panas. Dampak yang jelas terlihat adalah stress dengan gejala ikan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernafas di permukaan, serta terjadi kematian bila hal tersebut berlangsung relatif lama. Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan adalah antara 25 - 32

  C. Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah beriklim tropis, seperti Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis ikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).

  4. Amoniak Amonia di perairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi.

  2.5 Mortalitas

  Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup (WHO, 1992). Kematian dapat menimpa kapan saja dan dimana saja. Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan (Daelami, 2001).

  2.6 Toksisitas

  Toksisitas adalah daya racun yang berarti kemampuan suatu bahan atau zat yang menyebabkan keracunan. Toksikan adalah bahan atau agent yang mampu menghasilkan efek merugikan pada system biologi yang akan menyebabkan kematian. Beberapa toksikan yang disebutkan seperti pestisida, klorin, limbah industri yang bersifat racun dan karsinogenik (Koeman, 1983).

  Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah effluent atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut. Pengaruh zat pencemar antara lain berhubungan dengan lamanya pajanan/pemaparan serta konsentrasi atau dosis zat pencemar. Untuk melihat berbagai efek yang berhubungan dengan waktu pemaparan. Uji toksisitas akut (LC dan LD ),

  50

  50

  dilakukan dengan memberikan zat kimia/toksikan yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu singkat (24, 48, 96 jam) (Rossiana, dkk., 2007).

  Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC ) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari (Husni dan

50 Esmiralda, 2010).

  Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu sediaan obat.

  Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

  1. Uji toksisitas akut Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

  2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronis) Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia tersebut berulang-ulang, biasanya beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.

  3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis) Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3 - 6 bulan atau seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus. Memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji toksisitas umum dan uji toksisitas khusus. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik, reproduksi, kulit, mata, dan tingkah laku (Manggung, 2008).

  Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi yang merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu organisme hidup. Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium dan pemaparan bahan kimia terhadap manusia (Retnomurti, 2008).

  Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan waktu pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan berat, dan panjang, serta sesuai dengan ikan yang hidup di perairan yang telah dalam keadaan tercemar (Pratiwi, dkk., 2012).

  Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan dinyatakan dengan LC . Nilai LC sangat berguna untuk

  50

  50 menentukan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.

2.6.1 Lethal Concentration (LC 50 )

  LC

  50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan

  kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan. Berdasarkan waktu lamanya, metode penambahan larutan uji dan maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut:

  a) Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term

  

bioassay ), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka

  panjang (long term bioassay). Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).

  b) Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006).

  Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan, perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis (Pratiwi, dkk., 2012).

2.7 Ikan Nila

  Ikan nila selama ini dikenal dengan nama ilmiah Tilapia nilotica, namun menurut klasifikasi terbaru pada tahun 1982 nama ilmiah ikan nila berubah menjadi Oreochromis niloticus (Kordi, 2004).

  2.7.1 Klasifikasi Ikan Nila

  Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Subkelas : Acanthopterygii Ordo : Percomorphi SubOrdo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus

   2.7.2 Morfologi Ikan Nila

  Ikan nila (Oreochromis nilotica) memiliki ciri morfologi, yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing.

  Tanda lainnya yang dapat dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila berukuran menonjol, dan bagian tepi berwarna putih. Ciri pada ikan nila adalah garis vertikal yang berwarna gelap di sirip ekor sebanyak enam buah. Garis seperti itu juga terdapat di sirip punggung dan sirip dubur (Rukmana,1997).

  Morfologi dan anatomi ikan nila (Oreocrhomis nilotica) dapat dilihat sebagai berikut (Amri dan Khairuman, 2003).

Gambar 2.1 Morfologi dan Anatomi Ikan Nila

  Ikan nila berwarna putih kehitaman, makin ke perut makin terang. Ikan nila mempunyai garis vertikal 9 - 11 buah berwarna hijau kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6 - 12 garis melintang yang ujungnya berwana kemerah-merahan, sedangkan punggungnya terdapat garis-garis miring. Letak mulut ikan terminal, garis rusuk (Linea lateralis) terputus menjadi dua bagian, letaknya memanjang di atas sirip dada dengan jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah (Andrianto, 2005).

  Seperti ikan yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4 - 5 bulan (100 - 150 g) sudah mulai kawin dan bertelur. Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak, dan perutnya tampak membesar (Adrianto, 2005).

  Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila kini banyak dibudi dayakan di berbagai daerah karena kemampuan adaptasinya bagus di dalam berbagai jenis air. Nila dapat hidup di air tawar, air payau, dan air laut. Ikan nila juga tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora dan mampu mencerna makanan secara efisien. Pertumbuhan cepat dan tahan terhadap serangan penyakit.

  Para pakar budidaya ikan dari Departemen Perikanan dan Akuakultur FAO menganjurkan agar ikan nila ini dibudidayakan karena dapat dipelihara di kolam yang sempit, seperti kolam pekarangan atau comberan (Ghufran, 2010).

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) 2.1.1. Biologi Karet - Analisis Histologi Dan Fisiologi Latisifer Pada Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis)

0 1 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buaya (Crocodylus sp.) - Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) Dalam Mendegradasi Keratin

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ular Sanca (Python sp.) - Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Ular Sanca (Python sp.) Dalam Mendegradasi Limbah Keratin

0 0 5

Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Ular Sanca (Python sp.) Dalam Mendegradasi Limbah Keratin

0 0 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan - Pengetahuan Masyarakat Desa Perumnas Simalingkar Tentang Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Desa Perumnas Simalingkar, Kecamantan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang)

0 2 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengetahuan Masyarakat Desa Perumnas Simalingkar Tentang Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Desa Perumnas Simalingkar, Kecamantan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 10

Pandangan Konsumen Dalam Penerapan Total Quality Management Terhadap Kemajuan Rumah Makan Lobu Bara

0 0 26

BAB II KERANGKA TEORI - Pandangan Konsumen Dalam Penerapan Total Quality Management Terhadap Kemajuan Rumah Makan Lobu Bara

0 0 22

Pandangan Konsumen Dalam Penerapan Total Quality Management Terhadap Kemajuan Rumah Makan Lobu Bara

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Pendukung Keputusan - Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Kelayakan Calon Asisten Laboratorium Berbasis Android Menggunakan Algoritma Iterative Dichotomiser 3 (Id3)

0 0 9