ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3 RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
Ferina Nuriasih
A01301751
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Ferina Nuriasih1,Nurlaila2,M.Kep.Ns
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DI RUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Latar belakang. Penyakit DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Penyakit demam dengue ini dapat
menimbulkan gejala klinis yaitu mual muntah yang dapat menyebabkan terjadinya
kekurangan volume cairan. Presentasi cairan pada bayi jauh lebih banyak
dibanding dengan orang dewasa oleh karena itu bayi lebih beresiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Tujuan umum penulisan. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di ruang Melati RSUD Dr Soedirman
Kebumen.
Asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang muncul yaitu defisit
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah).
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu menganjurkan
keluarga untuk memberikan banyak minum, memantau tanda gejala dehidrasi,
melakukan pengukuran vital sign, mengobservasi muntah dan BAK , pemberian
cairan IV RL 500ml (30tpm), menimbang popok dan berat badan, memonitor
asupan dan pengeluaran. Hasil evaluasi diagnosa defisit volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah) teratasi.
Analisa tindakan. Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif
untuk menangani resusitasi cairan pada penyakit DBD.
Kata kunci: elektrolit, cairan, asuhan keperawatan
iv
Nursing Studies Programe DIII
College of Health Sciences Muhammadiyah Gombong
KTI, August 2016
Ferina Nuriasih1, Nurlaila2, M.Kep,Ns
ABSTRACT
NURSING CARE OF “A” THE CHILD PATIENT WITH FLUIDS AND
ELECTROLYTE NEED AT MELATI WORD ROOM 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN
Background. DHF in Indonesia has become a public health problem since last 30
years. Dengue fever can cause clinical symptoms are nausea and vomiting that can
lead to lack of fluid volume. Presentation of fluid in the baby much more than
adults because the baby is at high risk of fluid and electrolyte balance disorders.
The general objective of writing. Describing nursing care meeting the needs of
fluid and electrolytes to An.A in Melati room RSUD Dr Soedirman Kebumen
hospital.
Nursing care. The main nursing diagnoses that arise are fluid volume deficit
associated with loss of active liquid (nausea, vomiting). Implementation of
nursing has been done among which encourage families to give a lot of drinking,
wathcing the signs of dehydration symptoms, measurements of vital signs,
observe vomiting and urinating, RL 500ml IV fluid administration (30tpm),
weighing diapers and weight, observe your intake and expenditure. The results of
diagnostic evaluation of fluid volume deficit associated with loss of active liquid
(nausea, vomiting) resolved.
Analysis of the action. Crystalloid fluid administration group (RL, RA) is very
effective for dealing with fluid resuscitation in dengue disease.
Keywords. electrolyte, fluid, nursing care
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarakatuh
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan
Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Pada An.A Diruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman
Kebumen”. Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk
melaporkan hasil Karya Tulis Ilmiah dalam rangka ujian tahap akhir jenjang
pendidikan DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong.
Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat sehat kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar
2. Bapak Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku Ketua STIKes Muhammadiyah
Gombong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan keperawatan
3. Bapak Sawiji Amani, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DII
Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah mendidik
penulis dengan baik
4. Ibu Nurlaila, S.Kep,Ns, M.Kep selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah
ini yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan kepada
penulis
5. Kedua Orang tua, Bapak Sahro dan Ibu Marilah yang telah memberikan
kasih sayang, semangat, motivasi, materil serta doa kepada penulis
sehingga membantu menyelesaikan tugas ini dengan lancar
6. Tim penguji Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan saran dan arahan
7. Ibu Rini Amborowati, S.Kep,Ns selaku pembimbing klinik selama ujian
komprehensif yang dengan sabar membimbing dan memberikan anyak
masukan kepada penulis
vi
8. Segenap dosen dan staff STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan arahan materi selama penulis
menempuh pendidikan
9. Segenap Keluarga besar Bapak Trimo Rejo dan Bapak Sahro yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis
10. Teman-teman seperjuangan kelas 3A khususnya Anggun K, Anis L,
Annisa S, Fitroh A, dan sahabat dekat penulis R.A yang telah
memberikan banyak semangat dan doa kepada penulis
11. Serta tidak lupa kepada An.A dan keluarga yang telah mau bekerjasama
dengan penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan
Semoga Alloh SWT senantiasa melipahkan rahmat serta hidayahNya kepada
kita semua, amin. Besar harapan penulis, semoga laporan Karya Tulis Ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis dan rekan-rekan pembaca semua.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarrokatuh
Gombong, 2 Agustus 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5
BAB II KONSEP DASAR
A. Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit ..................................................... 6
1. Pengertian Cairan dan Elektrolit .................................................... 6
2. Fungsi Cairan Tubuh ...................................................................... 7
3. Fisiologis Kekurangan Volume Cairan .......................................... 7
4. Tanda Gejala Kekurangan Volume Cairan .................................... 7
5. Dehidrasi ........................................................................................ 8
6. Cara Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit ....................... 10
7. Faktor Keseimbangan Cairan ......................................................... 12
B. Konsep Dasar Cairan Intravena ........................................................... 14
1. Pengertian Cairan Intravena ........................................................... 14
2. Tujuan Pemberian Cairan Intravena .............................................. 14
3. Keadaan-keadaan yang Memerlukan Cairan IV ............................ 14
4. Penatalaksanaan Pemberian Cairan IV pada DBD ........................ 15
5. Menghitung Tetesan Infus.............................................................. 17
BAB III RESUME ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ............................................................................................ 19
B. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan ............................................ 21
C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi ................................................ 22
BAB IV PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan ........................................................................... 32
1. Defisit Volume Cairan ................................................................... 32
2. Hipertermia .................................................................................... 35
3. Defisiensi pengetahuan .................................................................. 38
4. Resiko perdarahan .......................................................................... 41
B. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan............................................... 43
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 48
B. Saran ..................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Lembar Konsultasi
Lampiran 2
: Jurnal Penelitian
Lampiran 3
: Laporan Asuhan Keperawatan
Lampiran 4
: Laporan Pendahuluan
Lampiran 5
: Satuan Acara Penyuluhan
Lampiran 6
: Lembar Balik
Lampiran 7
: Lembar Leaflet
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidayati (2009) mengemukakan bahwa masalah kesehatan anak
merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini
terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat
kesehatan bangsa, sebab anak adalah generasi penerus bangsa yang
memiliki
kemampuan
untuk
dikembangkan
dalam
meneruskan
pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut maka masalah
kesehatan anak di prioritaskan didalam perencanaan atau penataan
pembangunan bangsa.
Faktor yang sering mempengaruhi anak mengalami sakit adalah
wilayah tropis, dimana wilayah tropis di Indonesia memang baik bagi
kuman untuk berkembang biak contohnya demam (Damayanti, 2008).
Penyakit ini biasanya semakin mewabah saat musim peralihan. Terjadinya
perubahan cuaca tersebut dapat mempengaruhi perubahan kondisi
kesehatan
anak.
Kondisi
anak
dari
sehat
menjadi
sakit
yang
mengakibatkan tubuh bereaksi untuk meningkatkan suhu yang disebut
dengan demam. Ada beberapa penyakit menular di Indonesia yang
disebabkan virus, salah satu diantaranya yaitu dengue (Soedarto,2009)
Menurut WHO (2008) demam berdarah dengue (DBD/Dengue
heaemoragic fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan
didaerah tropis dan subtropis, terutama didaerah perkotaan. DBD
merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi. DBD
ditemukan pertama kali pada tahun 1950 di Filipina dan Thailand. DBD
saat ini sudah dapat ditemukan disebagian besar negara di Asia. Sudah
beberapa tahun ini jumlah negara yang mengalami wabah DBD ini
meningkat empat kali lipat, dan sebagian besar kasus menyerang pada
2
anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD mecapai lebih dari 20%, namun
dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1% .
Di Indonesia, penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Pada saat ini kasus penyakit DBD
sudah dapat ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia dan 200 kota telah
melaporkan kasus kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD (DepKes RI ,
2008). Jumlah kasus penyakit DBD pada tahun 2014 tercatat penderita
DBD di 34 Propinsi di Indonesia mencapai 7.668 kasus, dan 641 orang
diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut rendah dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yaitu sebanyak 112.511 kasus, dengan sebanyak 871
orang meninggal dunia (KemenKes RI, 2015). Penyakit demam dengue ini
dapat menimbulkan tanda dan gejala klinis diantaranya seperti mual dan
muntah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan volume cairan
(Suriadi dan Yuliani, 2010)
Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa kekurangan volume cairan
akan terjadi saat air dan elektrolit yang hilang berada didalam proposi
isotonik. Kadar elektrolit didalam serum tetap dan tidak berubah, kecuali
apabila
terjadi
ketidakseimbangan
lain.
Pasien
yang
mengalami
kekurangan volume cairan ini biasanya adalah pasien yang mengalami
kehilangan cairan dan elektrolit melalui gastrointestinal, misalnya akibat
muntah, penghisap lambung, diare ataupun fistula.
Tarwoto dan Wartonah (2006) menyatakan bahwa cairan dan elektrolit
merupakan kebutuhan hidup kedua setelah udara. Tubuh dikatakan
seimbang apabila jumlah keseluruhan dari air didalam tubuh dalam
keadaan normal dan relatif konstan. jika seseorang kehilangan cairan
dalam jumlah yang cukup besar, maka akan terjadi kelainan pada fungsi
fisiologis yang cukup serius. Perlunya mempertahankan jumlah cairan
didalam tubuh secara konstan yaitu karena cairan mempunyai banyak
peran penting didalam tubuh. Cairan itu sendiri merupakan zat pelarut
utama bagi tubuh, salah satunya melarutkan zat kimia didalam tubuh.
3
Dalam hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan dan elektrolit
merupakan salah satu proses dinamik dalam tubuh, karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap berespon terhadap stressor
fisiologis dan lingkungan.
Pada bayi cairan total tubuh yaitu 80% dari berat badan, dan pada usia
3 tahun cairan total tubuh menjadi 65% dari berat badan (Mubarak,
Chayatin 2009). Pada bayi dan anak kecil memiliki kebutuhan cairan yang
lebih besar sehingga bayi dan anak lebih rentan terhadap perubahan
keseimbangan cairan serta elektrolit. Gangguan keseimbangan dan
elektrolit akan terjadi lebih sering dan lebih cepat, dan pada saat itu pasien
anak-anak kurang cepat untuk menyesuaikan diri mereka dengan
perubahan ini (Tarwoto dan Wartonah, 2006).
Presentasi cairan tubuh pada bayi jauh lebih banyak dibanding
presentasi cairan tubuh pada orang dewasa. Sebagian besar dari cairan
tubuh bayi adalah cairan ekstrasel (CES), sehingga bayi beresiko tinggi
terhadap kekurangan volume cairan karena CES lebih mudah hilang
dibanding cairan intrasel (CIS). Di samping itu, fungsi ginjal pada bayi
belum matur, sehingga dapat menyebabkan bayi dan anak-anak lebih
beresiko terhadap perubahan kadar cairan dan elektrolit (Rosdahl dan
Kowalski, 2014). Pada saat lahir fungsi ginjal bayi sebanding dengan
30%-50% dari kapasitas orang dewasa dan belum cukup matur untuk
memekatkan urin. Pada bayi semua struktur ginjal sudah ada tetapi
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin dan mengatur kondisi
cairan serta fluktuasi elektrolit belum maksimal (Wong, 2008). Dua dan
tiga tahun pertama merupakan masa periode emas bagi perkembangan
anak secara optimal, untuk mencapai proses tumbuh kembang yang
optimal pada anak, maka yang perlu diperhatikan yaitu tidak hanya aspek
nutrisi, namun kebutuhan cairan tubuhnya juga perlu diperhatikan guna
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (Setiawan, 2013)
4
Kekurangan volume cairan dan elektrolit dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume, tekanan darah, nadi
cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan
diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata
dan ubun-ubun cekung, selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering
dan penanganan kasus DHF yang terlambat akan mengakibatkan Dengue
Syok Sindrom (DSS) yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
dikarenakan penderita mengalami defisit volume cairan akibat dari
meningkatnya permeabilitas dari kapiler pembuluh darah sehingga
seseorang yang menderita DHF mengalami syok hipovolemik dan
akhirnya meninggal (Ngastiyah,2010).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis
tertarik menyusun karya tulis ilmiah “Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit Pada An.A Di Ruang Melati 3A3 RSUD
Dr Soedirman Kebumen”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan
asuhan
keperawatan
dengan
pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di Ruang Melati 3A3
RSUD Dr Soedirman Kebumen.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan caiaran dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan yang muncul pada
An.A dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
5
d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada An.A dengan masalah
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD
Dr Soedirman Kebumen.
f. Mendeskripsikan hasil analisa tindakan pada An.A dengan masalah
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD
Dr Soedirman Kebumen.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat untuk rumah sakit
Agar dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi guna
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien dengan
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di RSUD Dr Soedirman.
2. Manfaat untuk institusi
Agar dapat menjadi wacana dan bahan masukan yang baru dalam
proses belajar mengajar terhadap pemberian asuhan keperawatan pada
klien dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.
3. Manfaat untuk penulis
Untuk menambah dan memperluas wawasan pengetahuan serta
pemahaman yang lebih mengenai pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit juga sebagai prasyarat kelulusan program studi DIII
Keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Potter Patricia, G. Perry Anne. (2010). Clinical Nursing Skill & Technique.
Canada:ISBN
Anonim. (2006). Ringer Asetat Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio.
Majalah Farmacia, 5(9): 34.
Aris Setiawan, dkk. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: TIM
Bulecheck G, Butcher H, Dochterman J, Wagner C. (2016). Nursing Interventions
Classification (NIC), 6th Indonesian edition. Indonesia: ISBN
Bridget AW, Nguyen M, Ha Loan, Dong TH, Tran TN, Thuy MD. (2005).
Comparison of three fluid solution for resusitation in Dengue Shock
Syndrom. N Engl J Med;353;877-89
Carolin Brunker, R., Mary, T., Kowalski. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar
VOL 10, Edisi 1. Jakarta : EGC
Chen K, Herdiman TP, Robert S. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Medicinus, 22(1): 3–7.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi revisi 3. Jakarta :
EGC
Damayanti. (2008). Psikologi Kesehatan Depok. Jakarta: EGC
Darmawan. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Tata Laksana Demam
Berdarah
Dengue.
http://www.depkes.go.id/download/Tata%20Laksana%20DBD.pdf
Hartoyo Edi. (2008). Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Sari
pediatri, vol. 10, No. 3
Citraresmi, E., Rezeki, S., H, Arwin AP Akib. (2007). Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di
Enam Rumah Sakit di Jakarta. Sari pediatri, vol. 8, No 3 (Suplemen)
Herdman, T. H. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012/2014. Jakarta : EGC
Hidayat Alimul, A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat, A. A., Musrifatul Uliyah. (2014). Buku Saku Praktikum Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Hidayati, A. A. (2009). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Indrawati E. (2012). Demam Berdarah Dengue. Warta RSUD, Th. VI, No 11, 7–
9.
Lestari K. (2007). Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Indonesia. Farmaka, 5(3): 12–29. Fokus
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculaapius. Jakarta :
EGC
Mc Closkey et al. (2006). Nursing Intervention Classification. USA : Mosby
Mubarak, W.I., Chayatin, N. (2007). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Karyanti Mulya R., Satari Hindra I., Sjarif Damayanti R. (2005). The effect of
Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in
dengue hemorrhagic fever. Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No 3-4
M. ikhwan, S. (2013). Pentingnya Cairan dan Ion Tubuh bagi Anak : Stiviora
Tjang (Edelman Indonesia)
Ngastiyah. (2010). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Potter & perry. (2006). Fundamental of nursing : Concepts, Process and Practice,
7th Edition 4, Vol 1 . Jakarta: EGC.
Price Silvia A, M. Wilson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Soedarto. (2009). Penyakit Menular Di Indonesia. Jakarta: ISBN
Soegijanto S. (2006). Demam Berdarah Dengue, Edisi 2. Surabaya, Airlangga
University Press.
Sudoyo, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Suriadi, Yuliani. R. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: ISBN 97995115-42
Syaifudin. (2006). Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika
Tarwoto, Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba
Wong, Dona L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Edisi 6. Jakarta: EGC
Wongkar, m. F. (2015). Ketrampilan Perawatan Gawat Darurat dan Medikal
Bedah. yogyakarta: gosyen publishing.
World
Health Oraganization. (2008). Dengue and
http://www.who.int/mediacenter/factsheest/fs117/en/
Dengue
Fever.
Sari Pediatri,
Vol. 8, No.
Januari Januari
2007: 82007
- 14
Sari Pediatri,
Vol. 38,(Suplemen),
No. 3 (Suplemen),
Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue
pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumah
Sakit di Jakarta
Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib
Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta,
pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor.
Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin
terjadi overdiagnosis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksana
DBD menurut kriteria WHO 1997.
Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia
0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yang
dirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004.
Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%),
DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal
(1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi
88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakan
pada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusi
darah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dan
dijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatan
DBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkan
hanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan pada
pasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBD
berdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%.
Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalam
mengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun
2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkan
peningkatan CFR.
Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR.
Alamat korespondensi:
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan Penyakit
Tropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743.
Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUIRSCM email : [email protected]
8
I
nfeksi virus dengue memiliki karakteristik
terjadinya kejadian luar biasa (KLB) atau
epidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu
lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup
bermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998,
dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadi
di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus
59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatality
rate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwa
pasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumah
sakit sampai tak tertampung dan harus dirawat di
koridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5
Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus berat
bertambah, namun sangat mungkin pula terjadi
overdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebut
dapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis dan
laboratorium dengan menggunakan kriteria WHO
tahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLB
DBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan dari
segenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas,
dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untuk
memberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukan
diketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratoris
serta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuan
dalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBD
di masa datang.
Metoda
Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silang
dengan pengambilan data secara retrospektif dari
rekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 015 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di
RSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati,
RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita
dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLB
DBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatan
rekam medik ditelaah mengenai karakteristik
demografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obatobatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulang
menurut dokter yang merawat disesuaikan dengan
kriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dan
dilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuai
jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut.
Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi
13.0.
Hasil
Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/
DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumah
sakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyai
catatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria.
Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,4±3,8) tahun,
median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentang
usia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1).
Pasien DD dan DBD sebagian besar memiliki
status gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranya
memiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatan
tersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari);
rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3
hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) dengan
rentang lama perawatan 1 sampai 18 hari.
Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4%
pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikuti
kelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DD
dan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%)
Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB
2004
Parameter
Jumlah pasien [n(%)]
Usia (rerata ± SB, tahun)
Rasio laki-laki : perempuan
Status gizi [n (%)]
− gizi lebih
− gizi baik
− gizi kurang
− gizi buruk
Lama perawatan (rerata ± SB, hari)
DD
DBD
Total
241 (16,1)
5,6±3,7
1,29:1
1253 (83,9)
6,5±3,8
1,07:1
1494 (100)
6,4±3,8
1,11:1
64 (26,6)
119 (49,4)
54 (22,4)
4 (1,7)
3,3±1,4
363(29,0)
530 (42,3)
343(27,4)
17 (1,4)
4,4±1,9
427 (28,6)
649 (43,4)
397 (26,6)
21 (1,4)
4,2±1,86
9
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004
Manifestasi klinis dan laboratorium
Lama demam (rerata±SB, hari)
Manifestasi perdarahan [n (%)]
• Perdarahan spontan
• Uji bendung positif, (n=633)
Hepatomegali [n (%)]
Syok [n (%)]
Bukti kebocoran plasma [n (%)]
• Peningkatan Ht >20%
• Efusi pleura, (n=151)
Trombosit 0,05).
Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8%
pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok,
dan mencapai 20,7% pada pasien DD.
Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakit
pada kelompok DBD syok lebih rendah (88.80±79.15/
mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnya
masing-masing untuk DD (151.56±53.26/mL) dan
DBD tanpa syok (126.71±58.45/mL). Hal yang sama
juga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendah
selama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syok
mempunyai jumlah trombosit =100.000/µL, lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syok
dan DD (p=0,000).
Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue)
hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%)
kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksi
sekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yang
diperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelum
hari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasil
negatif.
Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalah
penggantian cairan tubuh yang hilang akibat
perembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis dan
jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHO
maupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasien
DD/DBD tertera dalam Tabel 3.
Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasien
DD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberian
cairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyak
diberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA)
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004
Cairan
DD
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerata±SB)
DBD tanpa syok
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerata±SB)
DBD syok
Jumlah cairan kristaloid
ml/kg/hari (rerata±SB)
Jumlah cairan koloid
ml/kg/hari (rerata±SB)
Syok teratasi
• Waktu (rerata±SB,
menit)
• Jumlah cairan
ml/kg (rerata±SB)
*RS. Cipto Mangunkusumo
•RS. Fatmawati
RSCM*
RSHK**
RSPR***
RSF•
RSK••
77,0±29,1
74,8±29,2
80,0±24,1
84,7±36,9
70,3±21,5
0
84,4±28,2
66,2±25,6
86,1±27,6
91,1±36,0
68,5±24,9
48,3±17,1
75,2±26,5
55,2±25,7
96,5±28,6
98,4±38,0
103,8±86,6
46,2±15,6
18,6±10,5
19,7±11,6
19,4±6,7
23,2±20,9
31,4±13,4
12,6±4,3
77,2±58,7
112,3±99,1
71,2±61,0
76,1±38,9
75,2±40,1
116,5±66,0
30,8±17,8
22,4±15,1
24,2±8,2
22,9±13,1
22,3±19,3
23,0±14,0
** RS. Harapan Kita
••RS. Koja
dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaEN
IB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yang
dipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. Sumber
Waras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/
2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloid
diberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBD
tanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan pada
pasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari,
terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairan
intravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairan
intravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkan
kasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yang
diberikan lebih banyak.
Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloid
yang terbanyak digunakan adalah RL diikuti dengan
RA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairan
D5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairan
kristaloid intravena selama perawatan pada pasien
DBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari,
tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok.
Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapat
koloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lama
atau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secara
keseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggi
di RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut,
rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3
RSSW•••
*** RS. Pasar Rebo
•••RS. Sumber Waras
menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit).
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBD
derajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombosit
concentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontan
dengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/µL.
Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFP
tidak disertai perdarahan spontan.
Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42
di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranya
mengalami komplikasi syok lama atau berulang.
Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotik
dengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsi
tertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasien
yang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelum
dirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaan
antibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikan
pada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakan
antara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obat
untuk menghentikan perdarahan (transamin, adona)
pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173
(11,6) pasien.
Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalami
komplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalah
syok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasien
DBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan
11
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004
Diagnosis saat
Diagnosis sesuai kriteria WHO 1997
pulang
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total
232
850
2
1084
9
201
0
210
0
0
200
200
241
1051
202
1494
dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasien
DBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkan
di RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan,
angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpa
syok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%.
Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengan
diagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4),
ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yang
didiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengan
kriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%)
DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syok
yang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengan
kriteria WHO 1997.
Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulang
sesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitungan
ulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004
di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitungan
ulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5%
(n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggi
didapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendah
tetap RSSW.
Diskusi
Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangat
tergantung dari kelengkapan data yang berhubungan
dengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik.
Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebut
tidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaat
untuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisian
catatan rekam medik) sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokter
dan perawat) yang merawat pasien.
Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988
mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7
tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5
bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur
12
terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompok
usia 1-4 tahun (34,6%). 7 Pada penelitian ini
didapatkan komposisi umur pasien yang lebih muda
dibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi pada
penelitian ini dipakai menurut persentase berat badan
aktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8
Idealnya digunakan persentase berat badan ideal
menurut tinggi badan, namun data rekam medik
sebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan data
tinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukan
penelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532
pasien DD dan DBD anak di Thailand dan mendapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizi
normal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2%
obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebut
juga menggunakan berat badan menurut usia.
Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal dari
penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalam
batasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebut
Kalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dan
gizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasi
dibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitian
yang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCM
Jakarta, tidak menemukan hubungan antara derajat
berat penyakit DBD dengan status gizi anak.10
Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengan
keluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien
(0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari
7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasien
yang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Pada
pasien dengan demam kurang dari 2 hari dengan
penelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkan
untuk rawat jalan namun harus kontrol setiap hari
sampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuk
tidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakit
memiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untuk
melakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosis
meragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini
4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkan
penyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/
komplikasi yang menyertai pasien DBD.
Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBD
syok, sehingga terapi penggantian cairan harus
dilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairan
harus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih sering
pada kasus syok. 6,12 Rerata jumlah cairan untuk
mengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Hal
ini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumah
sakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkan
terapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBD
derajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah
26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenam
rumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%.
Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama
syok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yang
dilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLB
tahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravena
yang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48
menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBD
baik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90
menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syok
pada penelitian ini karena rerata lama syok teratasi
melebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitian
merupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perlu
direkomendasikan penggunaan jalur alternatif
(intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencari
akses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalam
melakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkat
waktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakan
segera diatasi dengan tepat karena waktu yang
diperlukan untuk mengatasi syok berhubungan dengan
prognosis, makin cepat syok teratasi makin baik
prognosisnya.
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertai
perdarahan spontan. Fresh frozen plasma selain
digunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakan
sebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Fresh
whole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal ini
menunjukkan kecenderungan penggunaan komponen
darah dalam tata laksana DBD di Jakarta.
Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004
terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian juga
pemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78
(5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien,
obat untuk menghentikan perdarahan (transamin,
adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada
173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidak
menemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebut
pada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokter
anak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perlu
ditelaah kembali.
Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosis
klinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteria
diagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakan
dalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematian
untuk kepentingan evaluasi program dan tata laksana
penyakit. Dengan melakukan penilaian ulang
diagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, pada
kelompok DD dan DBD dengan syok hampir
seluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaan
diagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuai
kriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpa
syok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO;
jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumah
sakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitian
ini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
serologis hanya 17,3% pasien.
Selama beberapa dekade, Indonesia mengalami
penurunan CFR meskipun terdapat peningkatan
jumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFR
dengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHO
menghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs
1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosis
saat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFR
yang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004
yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasi
lebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD pada
saat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta para
pengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidak
berpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkan
rendah selama ini.
Kesimpulan
Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enam
rumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051
DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlah
cairan yang digunakan untuk mengatasi syok pada
pasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairan
resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenam
rumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yang
direkomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer13
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyak
diberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yang
jelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksana
DBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saat
pulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997
sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkan
pasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0%
sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rate
berdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%,
dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO
1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFR
menjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasien
DBD.
6.
7.
8.
9.
10.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita,
dan RSU Sumber Waras.
11.
Daftar Pustaka
12.
1.
2.
3.
4.
5.
14
Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis, and prevention. J Pediatr 1997; 131:
516-24.
Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever
as a public health, social and economic problem in the
21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3.
Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever
outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin
1998;22.
De p a r t e m e n K e s e h a t a n Re p u b l i k In d o n e s i a .
Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap
diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/
popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31
Agustus 2004.
Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah,
Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah
dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan;2004.
13.
14.
15.
16.
World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
Geneva:WHO; 1997.
Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada
demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian
luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji
serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis.
Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur
status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity related to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36:378-84
Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah
dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1990.
Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis
dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam
Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor.
Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI: Current management of pediatrics problems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM; 2004. h. 63-72.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for
dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok:
WHO Collaborating Centre for Case Management of
Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of
Child Health; 2004. h. 1-74.
Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan
penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996.
Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV,
Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4
intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect
Dis 2001;32:204-13.
Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A.
Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue
shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45
Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam
berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan. 2000
Artikel Asli
Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada
anak
Edi Hartoyo
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD. Ulin
Banjarmasin
Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di beberapa daerah di dunia.
Setiap tahunnya WHO melaporkan 50–100 juta terinfeksi virus dengue dengan 250-500 ribu menderita
DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, 12 dari 30 propinsi di antaranya merupakan
daerah endemis DBD dengan case fatality rate 1,12%.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran klinis, laboratorium, serta mengevaluasi terapi yang telah diberikan
pada penyakit demam dengue/DBD.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, subjek adalah pasien yang di rawat di
Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis
demam dengue/DBD/sindrom syok dengue (SSD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan
uji serologi (rapid test Panbio Australia). Analisis data dengan program SPSS 13 for window.
Hasil. Dari 123 subjek gejala klinis yang mencolok adalah demam 93,5%, muntah 65,1%, nyeri perut
50,4%, ruam konvalesen 47,1%, pusing 19%, batuk 17,9%, pilek 9,8%, perdarahan gusi 6,5%, epitaksis
4,1%, dan melena 3,3%. Pada pemeriksaan fisik uji forniket positif 62,6%, hepatomegali 38,2%, efusi
pleura 37,4%, dan asites 27,6%. Hasil laboratorium menunjukkan rerata angka leukosit lebih rendah
pada SSD dibandingkan dengan DD dan DBD, dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,007), nilai
rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD dibandingkan DBD dan DD, secara statistik berbeda bermakna
(p=0,049), rerata nilai trombosit SSD lebih rendah. Kadar SGOT 76,7% dan SGPT 86% meningkat pada
SSD. Penggunaan cairan kristaloid pada demam dengue 81,1%, DBD 86,4% dan SSD 86,1% dari semua
kasus, sedangkan penggunaan cairan koloid pada SSD 56,1%.
Kesimpulan. Gejala klinis yang m
ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
Ferina Nuriasih
A01301751
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Ferina Nuriasih1,Nurlaila2,M.Kep.Ns
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DI RUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Latar belakang. Penyakit DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Penyakit demam dengue ini dapat
menimbulkan gejala klinis yaitu mual muntah yang dapat menyebabkan terjadinya
kekurangan volume cairan. Presentasi cairan pada bayi jauh lebih banyak
dibanding dengan orang dewasa oleh karena itu bayi lebih beresiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Tujuan umum penulisan. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di ruang Melati RSUD Dr Soedirman
Kebumen.
Asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang muncul yaitu defisit
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah).
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu menganjurkan
keluarga untuk memberikan banyak minum, memantau tanda gejala dehidrasi,
melakukan pengukuran vital sign, mengobservasi muntah dan BAK , pemberian
cairan IV RL 500ml (30tpm), menimbang popok dan berat badan, memonitor
asupan dan pengeluaran. Hasil evaluasi diagnosa defisit volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah) teratasi.
Analisa tindakan. Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif
untuk menangani resusitasi cairan pada penyakit DBD.
Kata kunci: elektrolit, cairan, asuhan keperawatan
iv
Nursing Studies Programe DIII
College of Health Sciences Muhammadiyah Gombong
KTI, August 2016
Ferina Nuriasih1, Nurlaila2, M.Kep,Ns
ABSTRACT
NURSING CARE OF “A” THE CHILD PATIENT WITH FLUIDS AND
ELECTROLYTE NEED AT MELATI WORD ROOM 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN
Background. DHF in Indonesia has become a public health problem since last 30
years. Dengue fever can cause clinical symptoms are nausea and vomiting that can
lead to lack of fluid volume. Presentation of fluid in the baby much more than
adults because the baby is at high risk of fluid and electrolyte balance disorders.
The general objective of writing. Describing nursing care meeting the needs of
fluid and electrolytes to An.A in Melati room RSUD Dr Soedirman Kebumen
hospital.
Nursing care. The main nursing diagnoses that arise are fluid volume deficit
associated with loss of active liquid (nausea, vomiting). Implementation of
nursing has been done among which encourage families to give a lot of drinking,
wathcing the signs of dehydration symptoms, measurements of vital signs,
observe vomiting and urinating, RL 500ml IV fluid administration (30tpm),
weighing diapers and weight, observe your intake and expenditure. The results of
diagnostic evaluation of fluid volume deficit associated with loss of active liquid
(nausea, vomiting) resolved.
Analysis of the action. Crystalloid fluid administration group (RL, RA) is very
effective for dealing with fluid resuscitation in dengue disease.
Keywords. electrolyte, fluid, nursing care
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarakatuh
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan
Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Pada An.A Diruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman
Kebumen”. Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk
melaporkan hasil Karya Tulis Ilmiah dalam rangka ujian tahap akhir jenjang
pendidikan DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong.
Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat sehat kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar
2. Bapak Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku Ketua STIKes Muhammadiyah
Gombong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan keperawatan
3. Bapak Sawiji Amani, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DII
Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah mendidik
penulis dengan baik
4. Ibu Nurlaila, S.Kep,Ns, M.Kep selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah
ini yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan kepada
penulis
5. Kedua Orang tua, Bapak Sahro dan Ibu Marilah yang telah memberikan
kasih sayang, semangat, motivasi, materil serta doa kepada penulis
sehingga membantu menyelesaikan tugas ini dengan lancar
6. Tim penguji Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan saran dan arahan
7. Ibu Rini Amborowati, S.Kep,Ns selaku pembimbing klinik selama ujian
komprehensif yang dengan sabar membimbing dan memberikan anyak
masukan kepada penulis
vi
8. Segenap dosen dan staff STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan arahan materi selama penulis
menempuh pendidikan
9. Segenap Keluarga besar Bapak Trimo Rejo dan Bapak Sahro yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis
10. Teman-teman seperjuangan kelas 3A khususnya Anggun K, Anis L,
Annisa S, Fitroh A, dan sahabat dekat penulis R.A yang telah
memberikan banyak semangat dan doa kepada penulis
11. Serta tidak lupa kepada An.A dan keluarga yang telah mau bekerjasama
dengan penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan
Semoga Alloh SWT senantiasa melipahkan rahmat serta hidayahNya kepada
kita semua, amin. Besar harapan penulis, semoga laporan Karya Tulis Ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis dan rekan-rekan pembaca semua.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarrokatuh
Gombong, 2 Agustus 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5
BAB II KONSEP DASAR
A. Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit ..................................................... 6
1. Pengertian Cairan dan Elektrolit .................................................... 6
2. Fungsi Cairan Tubuh ...................................................................... 7
3. Fisiologis Kekurangan Volume Cairan .......................................... 7
4. Tanda Gejala Kekurangan Volume Cairan .................................... 7
5. Dehidrasi ........................................................................................ 8
6. Cara Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit ....................... 10
7. Faktor Keseimbangan Cairan ......................................................... 12
B. Konsep Dasar Cairan Intravena ........................................................... 14
1. Pengertian Cairan Intravena ........................................................... 14
2. Tujuan Pemberian Cairan Intravena .............................................. 14
3. Keadaan-keadaan yang Memerlukan Cairan IV ............................ 14
4. Penatalaksanaan Pemberian Cairan IV pada DBD ........................ 15
5. Menghitung Tetesan Infus.............................................................. 17
BAB III RESUME ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ............................................................................................ 19
B. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan ............................................ 21
C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi ................................................ 22
BAB IV PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan ........................................................................... 32
1. Defisit Volume Cairan ................................................................... 32
2. Hipertermia .................................................................................... 35
3. Defisiensi pengetahuan .................................................................. 38
4. Resiko perdarahan .......................................................................... 41
B. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan............................................... 43
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 48
B. Saran ..................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Lembar Konsultasi
Lampiran 2
: Jurnal Penelitian
Lampiran 3
: Laporan Asuhan Keperawatan
Lampiran 4
: Laporan Pendahuluan
Lampiran 5
: Satuan Acara Penyuluhan
Lampiran 6
: Lembar Balik
Lampiran 7
: Lembar Leaflet
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidayati (2009) mengemukakan bahwa masalah kesehatan anak
merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini
terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat
kesehatan bangsa, sebab anak adalah generasi penerus bangsa yang
memiliki
kemampuan
untuk
dikembangkan
dalam
meneruskan
pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut maka masalah
kesehatan anak di prioritaskan didalam perencanaan atau penataan
pembangunan bangsa.
Faktor yang sering mempengaruhi anak mengalami sakit adalah
wilayah tropis, dimana wilayah tropis di Indonesia memang baik bagi
kuman untuk berkembang biak contohnya demam (Damayanti, 2008).
Penyakit ini biasanya semakin mewabah saat musim peralihan. Terjadinya
perubahan cuaca tersebut dapat mempengaruhi perubahan kondisi
kesehatan
anak.
Kondisi
anak
dari
sehat
menjadi
sakit
yang
mengakibatkan tubuh bereaksi untuk meningkatkan suhu yang disebut
dengan demam. Ada beberapa penyakit menular di Indonesia yang
disebabkan virus, salah satu diantaranya yaitu dengue (Soedarto,2009)
Menurut WHO (2008) demam berdarah dengue (DBD/Dengue
heaemoragic fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan
didaerah tropis dan subtropis, terutama didaerah perkotaan. DBD
merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi. DBD
ditemukan pertama kali pada tahun 1950 di Filipina dan Thailand. DBD
saat ini sudah dapat ditemukan disebagian besar negara di Asia. Sudah
beberapa tahun ini jumlah negara yang mengalami wabah DBD ini
meningkat empat kali lipat, dan sebagian besar kasus menyerang pada
2
anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD mecapai lebih dari 20%, namun
dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1% .
Di Indonesia, penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Pada saat ini kasus penyakit DBD
sudah dapat ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia dan 200 kota telah
melaporkan kasus kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD (DepKes RI ,
2008). Jumlah kasus penyakit DBD pada tahun 2014 tercatat penderita
DBD di 34 Propinsi di Indonesia mencapai 7.668 kasus, dan 641 orang
diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut rendah dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yaitu sebanyak 112.511 kasus, dengan sebanyak 871
orang meninggal dunia (KemenKes RI, 2015). Penyakit demam dengue ini
dapat menimbulkan tanda dan gejala klinis diantaranya seperti mual dan
muntah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan volume cairan
(Suriadi dan Yuliani, 2010)
Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa kekurangan volume cairan
akan terjadi saat air dan elektrolit yang hilang berada didalam proposi
isotonik. Kadar elektrolit didalam serum tetap dan tidak berubah, kecuali
apabila
terjadi
ketidakseimbangan
lain.
Pasien
yang
mengalami
kekurangan volume cairan ini biasanya adalah pasien yang mengalami
kehilangan cairan dan elektrolit melalui gastrointestinal, misalnya akibat
muntah, penghisap lambung, diare ataupun fistula.
Tarwoto dan Wartonah (2006) menyatakan bahwa cairan dan elektrolit
merupakan kebutuhan hidup kedua setelah udara. Tubuh dikatakan
seimbang apabila jumlah keseluruhan dari air didalam tubuh dalam
keadaan normal dan relatif konstan. jika seseorang kehilangan cairan
dalam jumlah yang cukup besar, maka akan terjadi kelainan pada fungsi
fisiologis yang cukup serius. Perlunya mempertahankan jumlah cairan
didalam tubuh secara konstan yaitu karena cairan mempunyai banyak
peran penting didalam tubuh. Cairan itu sendiri merupakan zat pelarut
utama bagi tubuh, salah satunya melarutkan zat kimia didalam tubuh.
3
Dalam hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan dan elektrolit
merupakan salah satu proses dinamik dalam tubuh, karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap berespon terhadap stressor
fisiologis dan lingkungan.
Pada bayi cairan total tubuh yaitu 80% dari berat badan, dan pada usia
3 tahun cairan total tubuh menjadi 65% dari berat badan (Mubarak,
Chayatin 2009). Pada bayi dan anak kecil memiliki kebutuhan cairan yang
lebih besar sehingga bayi dan anak lebih rentan terhadap perubahan
keseimbangan cairan serta elektrolit. Gangguan keseimbangan dan
elektrolit akan terjadi lebih sering dan lebih cepat, dan pada saat itu pasien
anak-anak kurang cepat untuk menyesuaikan diri mereka dengan
perubahan ini (Tarwoto dan Wartonah, 2006).
Presentasi cairan tubuh pada bayi jauh lebih banyak dibanding
presentasi cairan tubuh pada orang dewasa. Sebagian besar dari cairan
tubuh bayi adalah cairan ekstrasel (CES), sehingga bayi beresiko tinggi
terhadap kekurangan volume cairan karena CES lebih mudah hilang
dibanding cairan intrasel (CIS). Di samping itu, fungsi ginjal pada bayi
belum matur, sehingga dapat menyebabkan bayi dan anak-anak lebih
beresiko terhadap perubahan kadar cairan dan elektrolit (Rosdahl dan
Kowalski, 2014). Pada saat lahir fungsi ginjal bayi sebanding dengan
30%-50% dari kapasitas orang dewasa dan belum cukup matur untuk
memekatkan urin. Pada bayi semua struktur ginjal sudah ada tetapi
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin dan mengatur kondisi
cairan serta fluktuasi elektrolit belum maksimal (Wong, 2008). Dua dan
tiga tahun pertama merupakan masa periode emas bagi perkembangan
anak secara optimal, untuk mencapai proses tumbuh kembang yang
optimal pada anak, maka yang perlu diperhatikan yaitu tidak hanya aspek
nutrisi, namun kebutuhan cairan tubuhnya juga perlu diperhatikan guna
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (Setiawan, 2013)
4
Kekurangan volume cairan dan elektrolit dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume, tekanan darah, nadi
cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan
diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata
dan ubun-ubun cekung, selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering
dan penanganan kasus DHF yang terlambat akan mengakibatkan Dengue
Syok Sindrom (DSS) yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
dikarenakan penderita mengalami defisit volume cairan akibat dari
meningkatnya permeabilitas dari kapiler pembuluh darah sehingga
seseorang yang menderita DHF mengalami syok hipovolemik dan
akhirnya meninggal (Ngastiyah,2010).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis
tertarik menyusun karya tulis ilmiah “Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit Pada An.A Di Ruang Melati 3A3 RSUD
Dr Soedirman Kebumen”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan
asuhan
keperawatan
dengan
pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di Ruang Melati 3A3
RSUD Dr Soedirman Kebumen.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan caiaran dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan yang muncul pada
An.A dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
5
d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada An.A dengan masalah
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD
Dr Soedirman Kebumen.
f. Mendeskripsikan hasil analisa tindakan pada An.A dengan masalah
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD
Dr Soedirman Kebumen.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat untuk rumah sakit
Agar dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi guna
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien dengan
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di RSUD Dr Soedirman.
2. Manfaat untuk institusi
Agar dapat menjadi wacana dan bahan masukan yang baru dalam
proses belajar mengajar terhadap pemberian asuhan keperawatan pada
klien dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.
3. Manfaat untuk penulis
Untuk menambah dan memperluas wawasan pengetahuan serta
pemahaman yang lebih mengenai pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit juga sebagai prasyarat kelulusan program studi DIII
Keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Potter Patricia, G. Perry Anne. (2010). Clinical Nursing Skill & Technique.
Canada:ISBN
Anonim. (2006). Ringer Asetat Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio.
Majalah Farmacia, 5(9): 34.
Aris Setiawan, dkk. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: TIM
Bulecheck G, Butcher H, Dochterman J, Wagner C. (2016). Nursing Interventions
Classification (NIC), 6th Indonesian edition. Indonesia: ISBN
Bridget AW, Nguyen M, Ha Loan, Dong TH, Tran TN, Thuy MD. (2005).
Comparison of three fluid solution for resusitation in Dengue Shock
Syndrom. N Engl J Med;353;877-89
Carolin Brunker, R., Mary, T., Kowalski. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar
VOL 10, Edisi 1. Jakarta : EGC
Chen K, Herdiman TP, Robert S. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Medicinus, 22(1): 3–7.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi revisi 3. Jakarta :
EGC
Damayanti. (2008). Psikologi Kesehatan Depok. Jakarta: EGC
Darmawan. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Tata Laksana Demam
Berdarah
Dengue.
http://www.depkes.go.id/download/Tata%20Laksana%20DBD.pdf
Hartoyo Edi. (2008). Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Sari
pediatri, vol. 10, No. 3
Citraresmi, E., Rezeki, S., H, Arwin AP Akib. (2007). Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di
Enam Rumah Sakit di Jakarta. Sari pediatri, vol. 8, No 3 (Suplemen)
Herdman, T. H. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012/2014. Jakarta : EGC
Hidayat Alimul, A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat, A. A., Musrifatul Uliyah. (2014). Buku Saku Praktikum Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Hidayati, A. A. (2009). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Indrawati E. (2012). Demam Berdarah Dengue. Warta RSUD, Th. VI, No 11, 7–
9.
Lestari K. (2007). Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Indonesia. Farmaka, 5(3): 12–29. Fokus
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculaapius. Jakarta :
EGC
Mc Closkey et al. (2006). Nursing Intervention Classification. USA : Mosby
Mubarak, W.I., Chayatin, N. (2007). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Karyanti Mulya R., Satari Hindra I., Sjarif Damayanti R. (2005). The effect of
Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in
dengue hemorrhagic fever. Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No 3-4
M. ikhwan, S. (2013). Pentingnya Cairan dan Ion Tubuh bagi Anak : Stiviora
Tjang (Edelman Indonesia)
Ngastiyah. (2010). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Potter & perry. (2006). Fundamental of nursing : Concepts, Process and Practice,
7th Edition 4, Vol 1 . Jakarta: EGC.
Price Silvia A, M. Wilson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Soedarto. (2009). Penyakit Menular Di Indonesia. Jakarta: ISBN
Soegijanto S. (2006). Demam Berdarah Dengue, Edisi 2. Surabaya, Airlangga
University Press.
Sudoyo, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Suriadi, Yuliani. R. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: ISBN 97995115-42
Syaifudin. (2006). Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika
Tarwoto, Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba
Wong, Dona L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Edisi 6. Jakarta: EGC
Wongkar, m. F. (2015). Ketrampilan Perawatan Gawat Darurat dan Medikal
Bedah. yogyakarta: gosyen publishing.
World
Health Oraganization. (2008). Dengue and
http://www.who.int/mediacenter/factsheest/fs117/en/
Dengue
Fever.
Sari Pediatri,
Vol. 8, No.
Januari Januari
2007: 82007
- 14
Sari Pediatri,
Vol. 38,(Suplemen),
No. 3 (Suplemen),
Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue
pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumah
Sakit di Jakarta
Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib
Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta,
pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor.
Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin
terjadi overdiagnosis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksana
DBD menurut kriteria WHO 1997.
Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia
0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yang
dirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004.
Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%),
DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal
(1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi
88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakan
pada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusi
darah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dan
dijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatan
DBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkan
hanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan pada
pasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBD
berdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%.
Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalam
mengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun
2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkan
peningkatan CFR.
Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR.
Alamat korespondensi:
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan Penyakit
Tropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743.
Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUIRSCM email : [email protected]
8
I
nfeksi virus dengue memiliki karakteristik
terjadinya kejadian luar biasa (KLB) atau
epidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu
lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup
bermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998,
dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadi
di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus
59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatality
rate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwa
pasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumah
sakit sampai tak tertampung dan harus dirawat di
koridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5
Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus berat
bertambah, namun sangat mungkin pula terjadi
overdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebut
dapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis dan
laboratorium dengan menggunakan kriteria WHO
tahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLB
DBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan dari
segenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas,
dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untuk
memberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukan
diketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratoris
serta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuan
dalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBD
di masa datang.
Metoda
Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silang
dengan pengambilan data secara retrospektif dari
rekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 015 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di
RSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati,
RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita
dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLB
DBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatan
rekam medik ditelaah mengenai karakteristik
demografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obatobatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulang
menurut dokter yang merawat disesuaikan dengan
kriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dan
dilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuai
jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut.
Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi
13.0.
Hasil
Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/
DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumah
sakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyai
catatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria.
Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,4±3,8) tahun,
median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentang
usia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1).
Pasien DD dan DBD sebagian besar memiliki
status gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranya
memiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatan
tersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari);
rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3
hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) dengan
rentang lama perawatan 1 sampai 18 hari.
Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4%
pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikuti
kelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DD
dan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%)
Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB
2004
Parameter
Jumlah pasien [n(%)]
Usia (rerata ± SB, tahun)
Rasio laki-laki : perempuan
Status gizi [n (%)]
− gizi lebih
− gizi baik
− gizi kurang
− gizi buruk
Lama perawatan (rerata ± SB, hari)
DD
DBD
Total
241 (16,1)
5,6±3,7
1,29:1
1253 (83,9)
6,5±3,8
1,07:1
1494 (100)
6,4±3,8
1,11:1
64 (26,6)
119 (49,4)
54 (22,4)
4 (1,7)
3,3±1,4
363(29,0)
530 (42,3)
343(27,4)
17 (1,4)
4,4±1,9
427 (28,6)
649 (43,4)
397 (26,6)
21 (1,4)
4,2±1,86
9
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004
Manifestasi klinis dan laboratorium
Lama demam (rerata±SB, hari)
Manifestasi perdarahan [n (%)]
• Perdarahan spontan
• Uji bendung positif, (n=633)
Hepatomegali [n (%)]
Syok [n (%)]
Bukti kebocoran plasma [n (%)]
• Peningkatan Ht >20%
• Efusi pleura, (n=151)
Trombosit 0,05).
Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8%
pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok,
dan mencapai 20,7% pada pasien DD.
Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakit
pada kelompok DBD syok lebih rendah (88.80±79.15/
mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnya
masing-masing untuk DD (151.56±53.26/mL) dan
DBD tanpa syok (126.71±58.45/mL). Hal yang sama
juga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendah
selama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syok
mempunyai jumlah trombosit =100.000/µL, lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syok
dan DD (p=0,000).
Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue)
hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%)
kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksi
sekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yang
diperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelum
hari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasil
negatif.
Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalah
penggantian cairan tubuh yang hilang akibat
perembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis dan
jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHO
maupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasien
DD/DBD tertera dalam Tabel 3.
Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasien
DD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberian
cairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyak
diberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA)
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004
Cairan
DD
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerata±SB)
DBD tanpa syok
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerata±SB)
DBD syok
Jumlah cairan kristaloid
ml/kg/hari (rerata±SB)
Jumlah cairan koloid
ml/kg/hari (rerata±SB)
Syok teratasi
• Waktu (rerata±SB,
menit)
• Jumlah cairan
ml/kg (rerata±SB)
*RS. Cipto Mangunkusumo
•RS. Fatmawati
RSCM*
RSHK**
RSPR***
RSF•
RSK••
77,0±29,1
74,8±29,2
80,0±24,1
84,7±36,9
70,3±21,5
0
84,4±28,2
66,2±25,6
86,1±27,6
91,1±36,0
68,5±24,9
48,3±17,1
75,2±26,5
55,2±25,7
96,5±28,6
98,4±38,0
103,8±86,6
46,2±15,6
18,6±10,5
19,7±11,6
19,4±6,7
23,2±20,9
31,4±13,4
12,6±4,3
77,2±58,7
112,3±99,1
71,2±61,0
76,1±38,9
75,2±40,1
116,5±66,0
30,8±17,8
22,4±15,1
24,2±8,2
22,9±13,1
22,3±19,3
23,0±14,0
** RS. Harapan Kita
••RS. Koja
dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaEN
IB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yang
dipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. Sumber
Waras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/
2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloid
diberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBD
tanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan pada
pasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari,
terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairan
intravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairan
intravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkan
kasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yang
diberikan lebih banyak.
Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloid
yang terbanyak digunakan adalah RL diikuti dengan
RA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairan
D5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairan
kristaloid intravena selama perawatan pada pasien
DBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari,
tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok.
Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapat
koloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lama
atau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secara
keseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggi
di RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut,
rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3
RSSW•••
*** RS. Pasar Rebo
•••RS. Sumber Waras
menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit).
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBD
derajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombosit
concentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontan
dengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/µL.
Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFP
tidak disertai perdarahan spontan.
Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42
di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranya
mengalami komplikasi syok lama atau berulang.
Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotik
dengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsi
tertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasien
yang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelum
dirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaan
antibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikan
pada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakan
antara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obat
untuk menghentikan perdarahan (transamin, adona)
pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173
(11,6) pasien.
Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalami
komplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalah
syok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasien
DBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan
11
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004
Diagnosis saat
Diagnosis sesuai kriteria WHO 1997
pulang
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total
232
850
2
1084
9
201
0
210
0
0
200
200
241
1051
202
1494
dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasien
DBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkan
di RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan,
angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpa
syok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%.
Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengan
diagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4),
ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yang
didiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengan
kriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%)
DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syok
yang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengan
kriteria WHO 1997.
Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulang
sesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitungan
ulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004
di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitungan
ulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5%
(n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggi
didapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendah
tetap RSSW.
Diskusi
Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangat
tergantung dari kelengkapan data yang berhubungan
dengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik.
Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebut
tidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaat
untuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisian
catatan rekam medik) sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokter
dan perawat) yang merawat pasien.
Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988
mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7
tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5
bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur
12
terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompok
usia 1-4 tahun (34,6%). 7 Pada penelitian ini
didapatkan komposisi umur pasien yang lebih muda
dibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi pada
penelitian ini dipakai menurut persentase berat badan
aktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8
Idealnya digunakan persentase berat badan ideal
menurut tinggi badan, namun data rekam medik
sebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan data
tinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukan
penelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532
pasien DD dan DBD anak di Thailand dan mendapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizi
normal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2%
obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebut
juga menggunakan berat badan menurut usia.
Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal dari
penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalam
batasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebut
Kalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dan
gizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasi
dibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitian
yang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCM
Jakarta, tidak menemukan hubungan antara derajat
berat penyakit DBD dengan status gizi anak.10
Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengan
keluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien
(0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari
7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasien
yang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Pada
pasien dengan demam kurang dari 2 hari dengan
penelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkan
untuk rawat jalan namun harus kontrol setiap hari
sampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuk
tidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakit
memiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untuk
melakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosis
meragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini
4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkan
penyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/
komplikasi yang menyertai pasien DBD.
Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBD
syok, sehingga terapi penggantian cairan harus
dilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairan
harus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih sering
pada kasus syok. 6,12 Rerata jumlah cairan untuk
mengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Hal
ini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumah
sakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkan
terapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBD
derajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah
26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenam
rumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%.
Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama
syok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yang
dilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLB
tahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravena
yang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48
menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBD
baik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90
menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syok
pada penelitian ini karena rerata lama syok teratasi
melebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitian
merupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perlu
direkomendasikan penggunaan jalur alternatif
(intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencari
akses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalam
melakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkat
waktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakan
segera diatasi dengan tepat karena waktu yang
diperlukan untuk mengatasi syok berhubungan dengan
prognosis, makin cepat syok teratasi makin baik
prognosisnya.
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertai
perdarahan spontan. Fresh frozen plasma selain
digunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakan
sebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Fresh
whole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal ini
menunjukkan kecenderungan penggunaan komponen
darah dalam tata laksana DBD di Jakarta.
Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004
terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian juga
pemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78
(5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien,
obat untuk menghentikan perdarahan (transamin,
adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada
173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidak
menemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebut
pada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokter
anak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perlu
ditelaah kembali.
Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosis
klinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteria
diagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakan
dalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematian
untuk kepentingan evaluasi program dan tata laksana
penyakit. Dengan melakukan penilaian ulang
diagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, pada
kelompok DD dan DBD dengan syok hampir
seluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaan
diagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuai
kriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpa
syok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO;
jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumah
sakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitian
ini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
serologis hanya 17,3% pasien.
Selama beberapa dekade, Indonesia mengalami
penurunan CFR meskipun terdapat peningkatan
jumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFR
dengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHO
menghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs
1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosis
saat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFR
yang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004
yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasi
lebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD pada
saat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta para
pengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidak
berpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkan
rendah selama ini.
Kesimpulan
Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enam
rumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051
DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlah
cairan yang digunakan untuk mengatasi syok pada
pasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairan
resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenam
rumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yang
direkomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer13
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyak
diberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yang
jelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksana
DBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saat
pulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997
sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkan
pasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0%
sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rate
berdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%,
dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO
1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFR
menjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasien
DBD.
6.
7.
8.
9.
10.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita,
dan RSU Sumber Waras.
11.
Daftar Pustaka
12.
1.
2.
3.
4.
5.
14
Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis, and prevention. J Pediatr 1997; 131:
516-24.
Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever
as a public health, social and economic problem in the
21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3.
Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever
outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin
1998;22.
De p a r t e m e n K e s e h a t a n Re p u b l i k In d o n e s i a .
Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap
diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/
popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31
Agustus 2004.
Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah,
Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah
dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan;2004.
13.
14.
15.
16.
World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
Geneva:WHO; 1997.
Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada
demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian
luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji
serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis.
Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur
status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity related to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36:378-84
Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah
dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1990.
Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis
dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam
Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor.
Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI: Current management of pediatrics problems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM; 2004. h. 63-72.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for
dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok:
WHO Collaborating Centre for Case Management of
Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of
Child Health; 2004. h. 1-74.
Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan
penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996.
Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV,
Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4
intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect
Dis 2001;32:204-13.
Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A.
Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue
shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45
Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam
berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan. 2000
Artikel Asli
Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada
anak
Edi Hartoyo
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD. Ulin
Banjarmasin
Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di beberapa daerah di dunia.
Setiap tahunnya WHO melaporkan 50–100 juta terinfeksi virus dengue dengan 250-500 ribu menderita
DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, 12 dari 30 propinsi di antaranya merupakan
daerah endemis DBD dengan case fatality rate 1,12%.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran klinis, laboratorium, serta mengevaluasi terapi yang telah diberikan
pada penyakit demam dengue/DBD.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, subjek adalah pasien yang di rawat di
Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis
demam dengue/DBD/sindrom syok dengue (SSD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan
uji serologi (rapid test Panbio Australia). Analisis data dengan program SPSS 13 for window.
Hasil. Dari 123 subjek gejala klinis yang mencolok adalah demam 93,5%, muntah 65,1%, nyeri perut
50,4%, ruam konvalesen 47,1%, pusing 19%, batuk 17,9%, pilek 9,8%, perdarahan gusi 6,5%, epitaksis
4,1%, dan melena 3,3%. Pada pemeriksaan fisik uji forniket positif 62,6%, hepatomegali 38,2%, efusi
pleura 37,4%, dan asites 27,6%. Hasil laboratorium menunjukkan rerata angka leukosit lebih rendah
pada SSD dibandingkan dengan DD dan DBD, dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,007), nilai
rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD dibandingkan DBD dan DD, secara statistik berbeda bermakna
(p=0,049), rerata nilai trombosit SSD lebih rendah. Kadar SGOT 76,7% dan SGPT 86% meningkat pada
SSD. Penggunaan cairan kristaloid pada demam dengue 81,1%, DBD 86,4% dan SSD 86,1% dari semua
kasus, sedangkan penggunaan cairan koloid pada SSD 56,1%.
Kesimpulan. Gejala klinis yang m