ANALISIS STRUKTUR DAN KINERJA INDUSTRI G

ANALISIS STRUKTUR DAN KINERJA INDUSTRI GULA INDONESIA : PERIODE 1982-2011 MARIA MONTESORI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Struktur dan Kinerja Industri Gula di Indonesia: Periode 1982-2011 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum dianjurkan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cifta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Juli 2014

Maria Montesori NIM H451100081

RINGKASAN

MARIA MONTESORI. Analisis Struktur dan Kinerja Industri Gula Indonesia: Periode 1982-2011. Dibimbing oleh RATNA WINANDI, dan ANDRIYONO KILAT ADHI.

Sub sektor perkebunan merupakan salah satu agroindustri yang paling mampu bertahan selama krisis ekonomi, di tahun 2009 hanya sub sektor perkebunan yang bernilai plus, sedangkan sektor lain bernilai minus (BPPP 2011). Dekade terakhir kinerja industri gula belum terlihat membaik, terdapat gap antara produksi dan konsumsi gula nasional, sehingga impor selalu menjadi konsekuensi dari gap yang terjadi, sementara itu struktur industri gula yang terindikasi tidak kompetitif menyebabkan turunnya daya saing industri dan kinerja industri (GAPPMI 2010). Sehingga dibutuhkan upaya yang integratif agar industri ini kembali kompetitif.

Penelitian ini menganalisis bagaimana variabel-variabel independen seperti concentration ratio empat perusahaan besar (CR4), concentration ratio delapan perusahaan besar (CR8), dan keterbukaan pasar/pasar bebas (OPEN) yang merupakan variabel-variabel struktur pasar, serta variabel efisiensi industri (X- eff), rasio input tenaga kerja atau unit labour cost (ULC), dan rasio input bahan baku atau unit material cost (UMC) yang merupakan variabel-variabel kinerja pasar, mempengaruhi variabel dependen yakni keuntungan industri atau price cost-margin (PCM) merupakan variabel kinerja pasar.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada taraf nyata 15%, hanya variabel X-eff dan CR8 berkorelasi positif terhadap PCM, yakni mampu meningkatkan PCM sebesar 0.091% dan 0.08%. Sedangkan variabel lain seperti CR4, ULC, dan UMC berkorelasi negatif terhadap PCM, yakni mampu menurunkan PCM dengan masing-masing sebesar 0.10%, Rp 337.329 ribu , dan Rp 12.835 ribu. Sementara itu variabel OPEN tidak signifikan terhadap PCM.

Industri gula Indonesia periode 1982-2011, memiliki rata-rata konsentrasi rasio CR4 sebesar 32.46%, dan rata-rata konsentrasi delapan perusahaan besar (CR8) sebesar 51.41%, menurut klasifikasi Shepherd (1992), struktur pasar termasuk oligopoli kuat, sedangkan menurut Baye (2010) struktur pasar termasuk pasar weak oligopsony market structure.

Industri gula periode 1982-2011, memiliki rata-rata PCM industri gula putih 57.62 %. Nilai PCM terendah bernilai negatif yaitu sebesar -

18.20 % pada tahun 1991, sedangkan PCM tertinggi mencapai 147.21 % pada tahun 2011. Berdasarkan nilai rata-rata, , margin keuntungan yang diperoleh rata-rata masih tinggi. Artinya untuk berinvestasi di sektor industri ini masih menguntungkan karena masih memiliki return yang tinggi.

Implikasi kebijakan yang diambil pemerintah terkait kebijakan mendorong peningkatan efisiensi industri gula, disertai dengan kebijakan yang saling mendukung tentang kebijakan pasar, produksi, tenaga kerja dan bahan baku industri.

Kata kunci: SCP, konsentrasi rasio, efisiensi, industri gula

SUMMARY

MARIA MONTESORI. Analysis of Structure and Performance of Indonesian Sugar Industry: The period from 1982 to 2011. Supervised by RATNA WINANDI, and Andriyono KILATADHI.

Plantation sub-sector is one of the most agro-industry can survive during the economic crisis, in 2009 only estates valued sub-sectors plus, while the other sector is minus (BPPP 2011). The last decade has not been shown to improve the performance of the sugar industry, there is a gap between national production and consumption of sugar, so it imports has always been a consequence of the gap, while the structure of the sugar industry which indicated uncompetitive cause a decline in the competitiveness of the industry and the performance of the industry (GAPPMI 2010). So it takes an integrative effort to make this industry competitive again.

This study analyzes how the independent variables such as the ratio Concentratión four large companies (CR4), eight large companies Concentratión ratio (CR8), and the openness of the market / free trade (OPEN) which is a market structure variables, as well as the efficiency of the industries (X-eff), the ratio of labor input or unit labor cost (ULC), and the ratio of raw material inputs or material unit cost (UMC), which is the market performance variables, which affect the dependent variable industry profits or price-cost margins (PCM) is a variable market performance.

Research results showed that the 15% significance level, only the variable X-eff and CR8 positively correlated to the PCM, the PCM increase by 0.091% and 0.08%. While other variables such as CR4, ULC, UMC and negatively correlated to the PCM, the PCM can decrease respectively by 0.10%, 337.329 thousand rupias and 12.835 thousand rupias. Meanwhile OPEN variable is not significant to the PCM.

Indonesian sugar industry 1982-2011 period, had an average concentration ratio CR4 at 32.46%, and the average concentration of eight large companies (CR8) amounted to 51.41%, according to the classification of Shepherd (1992), including an strong oligopoly market structure, while according to Baye (2010) market structure including weak oligopsony market structure.

The sugar industry 1982-2011 period, had an average PCM 57.62%. The lowest of PCM negative value that is equal to -18.20% in 1991, while the highest PCM reached 147.21% in 2011 Based on the average value, profit margins earned on average is still high. That is to invest in the industrial sector is still beneficial because it still has a high return. Implications of measures taken by relevant government policies encouraging increased efficiency of the sugar industry, coupled with policies that are supportive of policy markets, production, labor and raw materials industries.

Keywords: SCP, the concentration ratio, the efficiency, the sugar industry

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindung Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya unutk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS STRUKTUR DAN KINERJA INDUSTRI GULA INDONESIA: PERIODE 1982-2011 MARIA MONTESORI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

Penguji Luar Komisi : Dr Ir Suharno, MAdev Penguji Program Studi

: Dr Ir Amzul Rifin

Judul Tesis : Analisis Struktur dan Kinerja Industri gula Indonesia: Periode 1982- 2011

Nama

: Maria Montesori

NIM

: H451100081

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Ratna Winandi, MS Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, MSc Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitiaan ini adalah “Analisa Struktur dan Kinerja Industri Gula di Indonesia: Periode 1982-2011”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, MSc selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya untuk seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Agribisnis. Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Pusat Statistik yang telah memberikan bantuan dalam pengumpulan data. Serta atas dorongan dan motivasi Ketua Program Studi Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, MAdev, berserta staf Departemen Agribisnis. Juga Dr Ir Amzul Rifin, sebagai dosen penguji.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada suami Ma’ruf Terrence Allison, PHd, kedua orangtua Ibunda Nursaniah dan Ayahanda M Iksan, serta Adinda drh Murniati, serta kakak-kakak yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, dan selanjutnya kepada semua teman-teman mahasiswa pascasarjanan IPB, khususnya Program Studi Agribisnis atas dukungan dan semangatnya. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar- besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama pemerintah dan kalangan akademisi.

Bogor, Agustus 2014

Maria Montesori

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Konsep Structure, Conduct, Performance (SCP) 7 Struktur Pasar dan Pengukurannya 9 Kinerja Pasar 12 Konsep Keuntungan 14 Rasio Biaya Input Unit labor Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) 15 Konsep Efisiensi 15 Karakteristik Produk 15 Klasifikasi Gula di Indonesia 16 Gula Kristal Putih 16 Perkembangan Produksi Tebu di Indonesia 16 Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia 17 Perkembangan Impor Gula di Indonesia 17 Perkembangan Harga Gula di Indonesia 19 Struktur Industri Gula di Indonesia 20 Struktur Industri Gula Kristal Putih 20 Pusat dan Jalur Distribusi Gula di Indonesia 21 Kebijakan Industri Gula di Indonesia 23 Penelitian Terdahulu 27

3 KERANGKA PEMIKIRAN 28

Kerangka Pemikiran Teoritis 28 Konsep Structure-Conduct-Performance (SCP) 28 Konsep Structure-Performance (SP) 30 Struktur Pasar 31 Kinerja Pasar 31

Kerangka Pemikiran Operasional 32

4 METODE PENELITIAN 33 Ruang Lingkup Penelitian 33 Jenis dan Sumber Data 33 Teknik Pengolahan dan Analisa Data 33 Analisis Struktur Industri 34 Analisis Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio) 34 Analisis Kinerja Industri 35 Analisis Price cost—margin (PCM) 35 Analisis Efisiensi 35 Rasio Unit Labour Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) 35 Analisis Hubungan Struktur dan Kinerja 35

Perumusan Model 36 Hipotesis 37 Analisis Time Series (Runtun Waktu) 37 Analisis Regresi 38 Uji Statistika dan Ekonometrika 39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 42 Perkembangan Industri Gula Indonesia Tahun 1982-2011 42 Analisis Struktur Industri 44 Analisis Kinerja Industri 45 Hubungan Struktur dan Kinerja Industri Gula Indonesia 45 Implikasi Kebijakan 48

6 SIMPULAN DAN SARAN 49 Simpulan 49 Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50 LAMPIRAN 53 RIWAYAT HIDUP 60

DAFTAR TABEL

1 Regim kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional 2

2 Karakteristik suatu pasar

3 Perkembangan produksi tebu Indonesia (Ton) tahun 2010-2012 16

4 Perkembangan impor gula Indonesia tahun 2010-2012 18

5 Negara pemasok gula impor Indonesia 19

6 Alokasi impor gula kristal putih wewenang bulog 19

7 Serapan gula oleh lini distribusi 21

8 Kebijakan Industri gula Indonesia regim stabilisasi 24

9 Regim kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional 24

10 Kebijakan industri gula Indonesia regim liberalisasi 25 11Kebijakan industri gula Indonesia regim terkendali 26

12 Hasil estimasi dengan model ordinary least square (Least Square Model) struktur dan kinerja gula di Indonesia tahun 1982-2011 46

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan produksi konsumsi dan impor gula Indonesia Tahun

2005-2012 3

2 Perbandingan harga bulanan gula domestik tahun 2009-2012

3 Pengaruh struktur pasar yang tidak kompetitif terhadap terhadap harga 5

4 Hubungan kekuatan pasar dengan kemampuan memaksimumkan keuntungan maksimum 13

5 Kondisi MR=MC untuk memperoleh laba maksimum 14

6 Negara pengimpor gula di dunia dan volume impor gula 18

7 Komposisi produksi gula kristal putih Indonesia tahun 2009 20

8 Pusat distribusi gula di Indonesia 21

9 Jalur distribusi gula kristal putih di Indonesia 23

10 Hubungan struktur, perilaku dan kinerja berdasarkan konsep SCP 30

11 Kerangka pemikiran operasional 31

12 Perkembangan nilai input, nilai output dan nilai tambah industri gula

Indonesia periode 1982-2011 42

13 Perkembangan biaya input industri gula Indonesia periode 1982-2011 43

14 Perkembangan perusahaan besar dan sedang industri gula Indonesia Periode 1982-2011 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Unit labour Cost (ULC) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 53

2 Unit material cost (UMC) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 54

3 Price cost margin (PCM) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 55

4 Tingkat efisiensi (X-eff) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 56

5 Output hasil etimasi OLS 57

6 Matriks korelasi variabel eksogen yang terdapat pada model analisis PCM 57

6 Data mentah total nilai input, total nilai otput, nilai tambah, total upah tenaga kerja, nilai input tenaga kerja, nilai input bahan baku, PCM, X-eff, ULC, dan UMC industri gula besar dan sedang tahun 1982-2011 58

7 Data mentah output empat perusahaan terbesar, delapan perusahaam terbesar, nilai CR4, dan CR8 industri gula besar dan sedang tahun 1982-2011 59

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor industri merupakan leader-sector bagi sektor-sektor lain dalam kemajuan ekonomi di Indonesia. Produk-produk industri menciptakan nilai tambah yang lebih dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada konsumennya (BPS 2011). Sektor Pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian, dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar sekitar 14.44% pada tahun 2012 atau urutan kedua setelah sektor industri pengolahan (BPS 2012).

Subsektor perkebunan memiliki potensinya yang cukup besar, meskipun kontribusi terhadap PDB belum begitu besar yaitu sekitar 1.94 persen pada tahun 2012 (urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan) akan tetapi sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil devisa (BPS 2012). Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor pertanian yang paling mampu bertahan selama krisis ekonomi, di tahun 2009 subsektor perkebunan memberikan kontribusi positif (US$ 19.967.000) pada neraca perdagangan, sedangkan subsektor lain bernilai minus (BPPP 2011).

Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian. Dengan luas areal sekitar 450 ribu hektar pada tahun 2012, industri yang berbahan baku tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi ribuan petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan kalori yang relatif murah (BPS 2012).

Peningkatan konsumsi gula di Indonesia dari tahun ke tahun memberikan peluang luas bagi peningkatan kapasitas produksi pabrik gula. Selain itu dari jumlah produksi gula di dalam negeri saat ini dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan gula (BPS 2012). Kebutuhan nasional hanya dapat dipenuhi sekitar 55% oleh industri gula, sedangkan 45% sisanya dipenuhi dengan mengimpor gula dari negara lain (Sudradjat 2010).

Secara historis industri gula Indonesia mengalami pasang-surut, dalam menyikapi hal ini berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk menghadapi situasi tersebut. Menurut Susila WR (2005), terdapat tiga periode kebijakan gula yang diterapkan di Indonesia (Lihat Tabel 1.1), kebijakan tersebut terdiri dari kebijakan stabilisasi, kebijakan liberalisasi, dan kebijakan terkendali.

Tabel 1 Regim kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional

Volume Rata-rata (Juta Ton)

Sumber: Susila (2005)

Berdasarkan Tabel 1, setiap kebijakan yang diterapkan memiliki dampak yang berbeda terhadap kinerja gula nasional. Pada periode stabilisasi produksi nasional mengalami peningkatan dengan laju 1.0%, dan impor bersifat residual. Adapun pada periode liberalisasi ditandai dengan dibukanya pasar impor Indonesia secara dramatis, dimana impor gula dilakukan dengan tarif impor 0% dan pelaku dilakukan oleh perusahaan importir. Akibatnya, impor gula meningkat yang puncaknya sebesar 1.73 juta ton pada tahun 1998, serta terjadi penurunan produksi nasional sebesar 5.8% pada periode ini.Sedangkan pada periode terkendali yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar, kebijakan ini mampu mendorong produksi dengan peningkatan sebesar 8.1% dan impor turun sebesar 5.2%.

Berdasarkan Tabel 1, meskipun pada periode terkendali industri gula nasional menunjukkan peningkatan, namun secara umum pada dekade terakhir kinerjanya mengalami penurunan, baik dari sisi produksi maupun tingkat efisiensi (Sudradjat 2010), sedangkan proporsi impor gula nasional masih bersifat residual dan masih menjadi kendala dalam industri. Besarnya proporsi impor diakibatkan oleh adanya kecenderungan penurunan produksi nasional yang tidak seimbang dengan kenaikan konsumsi domestik (baik rumah tangga maupun industri) terus mengalami peningkatan. (Sudradjat 2010).

Menurut BPS (2012), berdasarkan perkembangan produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia (Lihat Gambar 1), terdapat gap antara produksi dan konsumsi gula nasional, dari 2005-2012 (lihat Gambar 1), dimana produksi nasional Produksi gula nasional berfluktuatif dengan variasi yang kecil, hal ini tidak sebanding dengan konsumsi dan impor yang justru cenderung meningkat sepanjang tahun. Pada tahun 2010 mencapai 2.29 juta ton dan turun 1.95 persen pada tahun 2011 menjadi 2.24 juta ton. Pada tahun 2012 produksi mengalami peningkatan sebesar 15.87% atau menjadi

2.60 juta ton.

Gambar 1 Perkembangan produksi konsumsi dan impor gula Indonesia Tahun 2005-2012(Sumber : BPS 2012).

Kondisi struktur gula nasional yang tercermin dari harga gula domestik juga masih fluktuatif dan cenderung meningkat. Berdasarkan Gambar 2, jika dibanding pada Juni 2012 dengan Juni 2011, terjadi peningkatan harga sebesar 20.2%. Begitu juga pada Juni 2012 dengan Juni 2010, peningkatan terjadi sebesar 25.3%. Sedangkan harga bulan Juni 2012 dengan Juni 2009 terjadi peningkatan sebesar 45.9% (Disperindag 2012). Berdasarkan keterangan di atas, fluktuasi harga domestik erat kaitannya dengan perubahan struktural dan peran kebijakan. Ketidaksiapan struktural dan pengaruh perubahan kebijakan berimplikasi terhadap harga gula domestik dan tingkat ketergantungan impor gula di masa mendatang (Kemenperin 2013).

Gambar 2 Perbandingan harga bulanan gula domestik Tahun 2009-2012 (Sumber: Disperindag 2012)

Menurut Sudradjat (2010), Struktur pasar gula Indonesia bersifat oligopolistik. Dimana dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) atau PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya beberapa pedagang yang terlibat, kondisi ini menggambarkan Menurut Sudradjat (2010), Struktur pasar gula Indonesia bersifat oligopolistik. Dimana dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) atau PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya beberapa pedagang yang terlibat, kondisi ini menggambarkan

Perumusan Masalah

Industri gula masih menjadi sektor yang potensial untuk dikembangkan, dengan tingkat efisiensi yang masih belum memadai serta pasar yang terdistorsi, revitalisasi pada industri gula perlu melakukan berbagai perubahan dan penyesuaian guna meningkatkan produktivitas, dan efisiensi, sehingga menjadi industri yang kompetitif, mempunyai nilai tambah yang tinggi (BPPP 2007).

Gula merupakan salah satu kebutuhan primer yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Peningkatan jumlah penduduk, pendapatan dan perkembangan industri makanan dan minuman mengakibatkan permintaan gula meningkat dari waktu ke waktu. Sementara ketersediaan yang berasal dari produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, hal ini menjadi daya tarik impor gula baik yang legal maupun yang ilegal. Kondisi ini menghantarkan industri gula menghadapi banyak persoalan, diantaranya yang paling menonjol dalam hal kinerja (gap produksi, konsumsi dan impor nasional) serta dalam hal struktur industri (persaingan, distorsi pasar, serta fluktuasi dan trend kenaikan harga domestik).

Dekade terakhir kinerja industri belum terlihat membaik, terdapat gap antara produksi dan konsumsi gula nasional, sehingga impor selalu menjadi konsekuensi dari gap yang terjadi, sementara itu struktur industri gula yang terindikasi tidak kompetitif menyebabkan turunnya daya saing industri dan kinerja industri (GAPPMI 2010). Sehingga dibutuhkan upaya yang integratif agar industri ini kembali kompetitif.

Berdasarkan keterangan di atas, industri gula penting untuk diteliti, terutama terkait struktur dan kinerjanya, dikarenakan upaya mengembalikan kejayaan industri gula tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai organisasi industri, dimana industri merupakan bagian dari disiplin ekonomi mikro yang khusus mengkaji tentang perusahaan, pasar, dan interaksi antara keduanya. Banyak paradigma yang berkembang untuk menjelaskan interaksi tersebut, diantaranya yang paling poluler adalah konsep Structure-Conduct- Performance (SCP).

Paradigma SCP pertama kali dikenalkan oleh Edward S. Mason (1939) yang kemudian dikembangkan oleh oleh Joe S. Bain (1941). Perspektif dalam SCP adalah bahwa struktur industri mempengaruhi perilaku pelaku usaha, dan selanjutnya interaksi antara struktur pasar dan perilaku pengusaha akan berdampak pada kinerja industry (Baye 2010).

Adapun menurut model Carlton dan Perloff (2000), struktur, perilaku dan kinerja merupakan hubungan yang bersifat simultan. Sehingga konsep struktur industri juga bisa digunakan untuk mengetahui kinerja. Dalam struktur pasar terdapat tiga elemen pokok yaitu pangsa pasar (market share),

5 konsentrasi (concentration), dan hambatan (barriers of entry). Pangsa pasar

merupakan tujuan perusahaan, peranannya adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Sedangkan konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana terdapat adanya saling ketergantungan diantara perusahaan-perusahaan tersebut. Kombinasi pangsa pasar perusahaan-perusaaan tersebut membentuk suatu tingkat kon- sentrasi dalam pasar (Wihana Kirana 2001).

Menurut Church dan Ware (2000), ada beberapa cara mengamati kaitan antara struktur, perilaku dan kinerja. Pertama; hanya memperhatikan secara mendalam dua aspek, yaitu kaitan antara struktur dan kinerja industri, sedangkan aspek perilaku kurang ditekankan. Kedua; pengamatan kinerja dan perilaku, dan kemudian dikaitkan lagi dengan struktur. Ketiga; menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian diamati kinerjanya. Keempat; kinerja tidak perlu diamati lagi, oleh karena telah dijawab dari hubungan struktur dan perilakunya.

Dalam penelitian ini akan digunakan cara yang pertama. Dengan kata lain lebih menekankan aspek struktur dan kinerja industri gula. Sedangkan pertanyaan penting dalam penelitian tentang apakah struktur industri mempengaruhi kinerja dengan menggunakan metode rasio konsentrasi. Metode rasio konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah CR-4 (concentration ratio-4) dan CR-8 (concentration ratio-8).

Secara teoritis, pasar yang tidak kompetitif karena adanya perilaku oligopoli dapat menyebabkan kenaikan harga gula di atas harga pasar (P2 > P1) (lihat Gambar 3), meningkatnya suplus produsen dan berkurangnya surplus konsumen. Kondisi ini berimplikasi pada struktur industri gula menjadi tidak kompetitif dan terjadinya inefisiensi teknis (P2 > AC > MC) dan inefisiensi alokatif (Q2 < Q1). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, apalagi mengingat industri gula sebagai industri yang strategis dan sekaligus komoditas yang protektif. Sehingga kajian bagaimana struktur terhadap kinerja menjadi perlu untuk dilakukan.

Gambar 3 Pengaruh struktur pasar oligopoli terhadap terhadap harga

Berdasarkan Gambar 3, ketidaksempurnaan struktur pasar produk mempengaruhi kinerjanya, di antara yang paling penting adalah efek pada penetapan harga perusahaan. Pasar produk yang tidak kompetitif menyebabkan perusahaan melakukan strategi harga (mark- up) atas biaya marjinal mereka dan melakukan praktik monopoli. Jika praktik ini bertahan dari waktu ke waktu dan menyebabkan hambatan kompetisi, maka harga lebih tinggi bisa terjadi pada kondisi yang seharusnya harga output bisa lebih rendah. Tindakan kebijakan mungkin bertujuan untuk mendorong persaingan yang lebih kuat, untuk mengurangi praktik mark- up harga (Martin 1996). Oleh karena itu perlu juga menganalisis bagaimana implikasi hasil analisis penelitian ini dengan kebijakan industri terutama pada variabel-variabel yang diamati.

Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu kajian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi struktur dan kinerja industri gula di Indonesia.

2. Bagaimana keterkaitan hubungan antara struktur dan kinerja dalam Industri gula di Indonesia.

3. Bagaimana implikasi analisa terhadap kebijakan untuk mendorong kembalinya industri gula yang kompetitif.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan struktur struktur industri terhadap kinerja industri gula di Indonesia dan implikasinya terhadap kebijakan. Sedangkan secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi kondisi struktur dan kinerja industri gula di Indonesia.

2. Menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja dalam Industri gula di Indonesia

3. Menganalisis implikasi kebijakan untuk mendorong kembalinya industri gula yang kompetitif

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi pemikiran dalam kajian industri gula. Kajian ini juga diharapkan memberi pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan dan permasalahan industri gula dan kebijakan pemerintah terhadap industri gula di Indonesia. Selain itu diharapkan bisa menjabarkan ketahanan pangan dengan konteks yang lebih luas sistem pasar dan menggabungkan banyak unsur struktur dan kinerja, sehingga memungkinkan untuk lebih mengantisipasi respon pasar, lebih lengkap menentukan skenario yang relevan dan komprehensif sehingga dapat membantu mengarahkan waktu intervensi pemerintah, melengkapi dan mengubah skenario kebijakan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada industri gula gula pasir di Indonesia, dengan Kode ISIC (Internasional Standard of Industrial Classification) 31181dan 15421.

Menitik beratkan kepada analisa keterkaitan struktur industri terhadap kinerja industri gula di Indonesia, serta bagaimana implikasi kebijakan guna mendorong kembalinya industri gula yang kompetitif.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Structure, Conduct, Performance (SCP)

Industri dapat dikaji menggunakan pendekatan organisasi industri yang mencakup struktur (structure), perilaku (conduct), kinerja (performance). Aspek yang diterapkan dalam konsep SCP salah satunya dapat mengkaji struktur pasar dan kaitannya dengan kinerja perusahaan (Shepherd 1992).

Struktur dan perilaku akan memengaruhi kinerja seperti yang ditunjukkan dalam harga pasar dan efisiensi dan tingkat inovasi. Industri didefinisikan sebagai kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti secara erat (Hasibuan 1994). Sedangkan secara mikro, industri didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan 1993). Dalam arti luas industri adalah kumpulan perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang mempunyai elastisitas permintaan silang (cross elasticities of demand) yang positif dan tinggi.

Mengkaji hubungan antara struktur dan kinerja industri, tidak bisa dilepaskan dengan teori organisasi industri, dikarenakan aspek ini bagian dari disiplin ilmu ekonomi mikro yang khusus mengkaji tentang perusahaan, pasar, dan interaksi antara keduanya. Konsep SCP adalah teori yang popular untuk menjelaskan interaksi antara struktur pasar dan kinerja industry. Konsep SCP pertama kali dikenalkan oleh Edward S. Mason (1939) yang kemudian dikembangkan oleh oleh Joe S. Bain (1941). Perspektif dalam SCP adalah bahwa struktur industri mempengaruhi perilaku pelaku usaha, dan selanjutnya interaksi antara struktur pasar dan perilaku pengusaha akan berdampak pada kinerja industri (Baye 2010).

Kinerja suatu industri menunjukkan bagaimana pengaruh kekuatan pasar terhadap keuntungan, nilai dan efisiensi. Kinerja secara lebih rinci dapat dilihat dari tingkat keuntungan, nilai tambah dan efisiensi (Hasibuan 1994). Sedangkan menurut model Silvester (1993), dalam penelitian perilaku terhadap kinerja industri, hubungan ini dapat diukur dari nilai price cost-margin (PCM), yang dihitung melalui perbandingan antara nilai tambah dan upah dan nilai output total dalam industri.

Berdasarkan keterangan tentang kinerja di atas, maka alam penelitian kinerja industri gula akan dianalisis dengan melibatkan variabel efisiensi, rasio input produksi, dan kondisi kekuatan pasar dengan variabel konsentrasi rasio industri dan variabel dummi keterbukaan pasar. Diharapkan beberapa variabel ini dapat menjelaskan kinerja industri gula lebih lengkap.

Daryanto (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan kinerja adalah:1) Apakah perusahaan-perusahaan meningkatkan kesejahteraan ekonomi?; 2) Apakah mereka bekerja secara efisien, menghindari pemborosan faktor-faktor produksi yang langka sifatnya?; 3) Apakah alokasi faktor-faktor produksi telah efisien secara ekonomis?;4) Apakah

9 perusahaan-perusahaan secara efektif meningkatkan kesempatan kerja dan

pertumbuhan ekonomi? Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menjadikan perusahaan tertentu mempunyai kinerja yang baik sebagai barometer harga. Pertama, jika terjadi persaingan yang kurang sehat dalam suatu industri oligopoli. Kedua, dapat mengurangi kerja administrasi, karena perhitungan ongkos-ongkos yang berulang-ulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer itu telah menunjukkan prestasi yang bagus, yang hampir tidak meleset ramalan-ramalannya (Hasibuan, 1994). Dalam kinerja pasar terdapat konsekuensi dan kekuatan pasar yaitu kemampuan perusahaan- perusahaan untuk mempengaruhi harga produk-produk yang mereka jual kepada konsumen. Pada kenyataannya kekuatan pasar dapat mempengaruhi secara mencolok terhadap harga, keuntungan, dan nilai-nilai lainnya. Dalam kinerja juga memperhatikan pertumbuhan dan kemungkinan pengaruh- pengaruh monopoli yang ditimbulkannya (Jaya 2001).

Berdasarkan keterangan tentang kinerja di atas, maka dalam penelitian kinerja industry gula bisa melibatkan variabel efisiensi, rasio input produksi, dan kondisi kekuatan pasar dengan variabel rasio konsentrasi industri dan variabel keterbukaan pasar. Dengan harapan dapat menjelaskan kinerja industri gula lebih lengkap.

Struktur Pasar dan Pengukurannya

Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep konvensional dalam ekonomi industri. Menurut Shepherd (1992), struktur pasar terwujud dengan melihat ukuran distribusi perusahaan-perusahaan yang bersaing. Jika perusahaan semakin banyak jumlahnya maka dapat menurunkan pangsa pasarnya. Untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara pasar monopoli dan persaingan.Setiap perusahaan memiliki struktur pada masing-masing keadaan tertentu.

Tabel 2 Karakteristik suatu pasar berdasarkan pangsa pasar

Hambatan No

Tipe pasar

Kondisi Utama

Efisiensi Masuk

1 Natural Monopoli

Menguasai 100% pangsa pasar

Sangat Kurang baik tinggi

2 Oligopoli ketat

empat perusahaan yang

Tinggi Kurang baik

tergabung dan memiliki pangsa pasar 60-100% persen, sehingga mudah menentukan kesepakatan harga relatif

3 Perusahaan dominan Menguasai min 50-100% Tinggi Kurang baik

pangsa pasar tanpa pesaing kuat

4 Oligopoli longgar

Gabungan empat perusahaan

Tinggi Kurang baik

yang menguasai pangsa pasar 40%

5 Persaingan

Rendah Cukup baik monopolistic

Banyak pesaing efektif

dan tidak satupun yang memiliki pangsa pasar bih dari 10%

6 Persaingan murni

Pesaing > dari 50 dan tidak

Sangat Baik

ada satupun yang

rendah

Memiliki pangsa pasar yang berarti.

Sumber: Shepherd (1992)

Berdasarkan Tabel 2, karakteristik suatu pasar ditinjau dari tipe pasarnya, kondisi utama, hambatan masuk dan efisiensi pasar (Shepherd 1992). Karakteristik ini yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk menentukan struktur industri gula yang diketahui dari besarnya konsentrasi industri gula. Dasar pengelompokkan berdasarkan pangsa pasar terbagi menjadi tujuh. Pertama; termasuk monopoli murni (natural monopoly), jika menguasai 100% pangsa pasar. Kedua; oligopoli penuh (tight oligopoly), jika empat perusahaan terbesar menguasai 60%, atau delapan perusahaan menguasai 99% pasar. Ketiga; termasuk perusahaan dominan, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 72% pasar atau delapan perusahaan terbesar menguasai 88% pasar. Keempat; termasuk oligopoli longgar, jika

4 empat perusahaan terbesar menguasai 61% atau delapan perusahaan terbesar menguasai 77% pasar. Kelima; termasuk oligopsoni, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 33% atau delapan perusahaan terbesar menguasai 45% pangsa pasar. Kelima; jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 32% pasar. Keenam; termasuk persaingan monopolistik, jika tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. Dan ketujuh; termasuk persaingan murni, jika lebih besar dari 50% dan tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti (Shepherd 1992)

.Struktur ini mempengaruhi perilaku perusahaan. Struktur dan perilaku mempengaruhi kinerja pasar. Kinerja yang baik mencakup harga yang rendah dan efisien. Struktur pasar juga menggambarkan ukuran distribusi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi di suatu pasar yang

11 terdiri dari pangsa pasar dan tingkat konsentrasi. Struktur pasar juga dapat

dilihat dari jumlah penjual dan pembeli dan entry condition. Hal utama dari struktur, perilaku dan kinerja adalah determinan-determinan yang membentuk struktur itu sendiri.

Stuktur pasar didefinisikan sebagai kumpulan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kompetisi di pasar. Struktur pasar sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat penguasaan teknologi, elastisitas permintaan terhadap suatu produk, lokasi, ada atau tidaknya hambatan masuk pasar (entry barrier) ataupun keterbukaan pasar, tingkat efisiensi serta beberapa faktor lainnya. Jenis struktur pasar bervariasi, namun pada dasarnya secara ekstrim bisa dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu, pasar pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Yang termasuk kedalam pasar persainagn tidak sempurna adalah pasar monopoli, oligopoli, dan pasar persaingan monopolistik.

Ukuran biasa digunakan untuk menjelaskan struktur pasar adalah rasio konsentarasi. Selain rasio konsentrasi, struktur pasar juga dapat diukur dengan variabel nilai tambah, rasio tenaga kerja dan bahan baku, modal yang dimiliki perusahaan atau lebih luas lagi dengan variabel aset perusahaan (Fitriani 2005).

Perlu dipahami bahwa konsep struktur pasar bersifat dinamis, artinya struktur pasar yang tadinya mengarah ke persaingan sempurna, dapat saja berubah menjadi monopolistis karena adanya intervensi pemerintah atau aksi dari produsen. Kondisi struktur pasar selanjutnya akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam menentukan harga jual, promosi produk, juga dalam strategi interaksi dengan perusahaan lain. Terdapat dua jenis strategi interaksi antara pelaku usaha, yaitu (1) interaksi yang bersifat non- kooperatif, dimana strategi yang diambil akan menguntungkan dirinya sendiri atau bahkan merugikan pesaingnya, dan (2) interaksi yang bersifat kooperatif, dimana terjadi berbagai kesepakatan antara pelaku usaha dalam bentuk kartel dan kesepakatan harga. Pilihan strategi oleh pelaku usaha sangat penting karena akan berdampak pada penetapan harga. Interaksi antara struktur pasar dan perilaku perusahaan pada akhirnya akan melahirkan keputusan pelaku usaha dalam hal penetapan harga jual (Baye 2010).

Ukuran biasa yang digunakan untuk menjelaskan struktur pasar adalah rasio konsentarasi. Selain rasio konsentrasi, struktur pasar juga dapat diukur dengan variabel nilai tambah, rasio tenaga kerja dan bahan baku, modal yang dimiliki perusahaan atau lebih luas lagi dengan variabel aset perusahaan (Fitriani 2005). Menurut Jaya (2001), konsentrasi adalah kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Untuk menentukan konsentrasi suatu perusahaan dapat menggunakan metode rasio konsentrasi empat atau delapan perusahaan terbesar (CR4 dan CR8)) dan Indeks Hirschmann-Herfindahl (HHI). CR4 memerlukan ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan yang memimpin pasar, sedangkan HHI merupakan penjualan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri.

CR4 = (Total jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar/Total Penjualan…………..(1) CR8 = (Total jumlah penjualan 8 perusahaan terbesar/Total Penjualan…………..(2)

Nilai yang dihasilkan antara 0-100. Semakin besar nilai CR4 maka pasar cenderung ke arah monopoli dan semakin kecil nilainya pasar cenderung ke arah persaingan sempurna.

Sedangkan menurut Baye (2010) konsentrasi rasio merupakan ukuran seberapa jumlah output dalam sebuah industri yang diproduksi dari empat atau delapan perusahaan terbesar dalam sebuah industri. CR4 = (Q1+Q2+Q3+Q4)/QT Q1

= Output perusahaan 1 Q2

= Output perusahaan 2 Q3

= Output perusahaan 3 Q4

= Output perusahaan 4 Menurut Shepherd (1992) ada atau tidaknya hambatan masuk pasar (entry barrier) ataupun keterbukaan pasar juga mempengaruhi kinerja pasar dalam memperoleh keuntungan (meningkatkan PCM), sehingga dalam penelitian ini juga memasukkan variabel keterbukaan pasar (OPEN). Variabel ini diadopsi dari model Culha dan Yihan (2005), dimana OPEN dianggap variabel yang mempengaruhi kinerja pasar (PCM), adapun dalam penelitian ini, variabel OPEN merupakan variabel dummy, yang mengindikasikan keterbukaan pasar, dimana 0 adalah industri gula sebelum pasar bebas dan 1 adalah periode industri gula setelah pasar bebas.

Kinerja Pasar

Menurut Sudibiyo (2002) kinerja pasar merupakan hasil keputusan akhir yang diambil dalam hubungan dengan persaingan harga atau dalam perolehan margin/keuntungan. Kinerja pasar dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh struktur pasar terhadap kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan.

Menurut Hasibuan (1992), kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri yang terdiri dari tingkat keuntungan, efisiensi dan nilai tambah. Perilaku produsen yang memaksiumkan keuntungan dalam industri dapat dilihat dari price-cost margin (PCM), yaitu persentase penerimaan kotor (sebelum pajak) terhadap penjualan (Fitriani 2005).

Menurut Dahl dan Hammond (1977), kinerja pasar merupakan keadaan sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar yang kenyataan sehari-hari ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi, yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya kinerja perusahaan. Berdasarkan teori kekuatan pasar terdapat hubungan antara struktur pasar dengan perilaku harga, hubungan ini dapat diukur dari perolehan margin atau PCM perusahaan dalam industri, yang dalam beberapa model penelitian merupakan salah satu ukuran kinerja pasar. Menghitung PCM juga dapat diturunkan dari fungsi keuntungan, dikarenakan tidak memungkinkan tersedianya harga barang domestik untuk setiap barang industri KLBI. Maka variabel PCM didekati dari selisih antara

13 harga dan biaya yang dihitung dari nilai tambah dikurangi biaya tenaga

kerja dibagi nilai output. Berdasarkan Culha dan Yihan (2005) variabel rasio biaya input merupakan variabel pelengkap dan berdasarkan ketersediaan data, maka model ini bisa diadopsi. Efisiensi digunakan untuk melihat perbandingan antara input yang dipakai dengan output yang dihasilkan. Efisiensi terdiri atas dua jenis, yaitu efisiensi internal dan efisensi alokatif.

Berdasarkan teori kekuatan pasar terdapat hubungan antara struktur pasar dengan kinerjanya, hubungan ini dapat diukur dari perolehan margin perusahaan dalam industri yang merupakan salah satu ukuran kinerja pasar.

Gambar 4 Hubungan kekuatan pasar dengan kemampuan memaksimumkan keuntungan maksimum) (Sumber: Koch dalam Robiani 2002)

Berdasarkan Gambar 4 a, terlihat bahwa P1 > AC > MC dan output perusahaan yang memaksimumkan keuntungan adalah Q1, pada kondisi struktur pasar monopolis. Sedangkan Pada Gambar 4 b, terlihat bahwa P2 = AC > MC dan output perusahaan yang memaksimumkan keuntungan adalah Q2, pada kondisi tidak ada kekuatan pasar karena P2 = AC atau struktur pasar kompetitif (Robiani 2002).

Konsep Keuntungan

Teori yang digunakan dalam mengetahui kondisi keuntungan perusahaan adalah marginal cost pricing melalui maksimisasi biaya. Motivasi bagi produsen untuk melakukan kegiatan ekonomi adalah memperoleh keuntungan, yang merupakan kepentingan perusahaán individual/pribadi (self interest). Harga merupakan petunjuk yang sangat berguna dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang jumlahnya tertentu sehingga dapat di perkirakan apakah biaya produksi rata-rata masih memberikan keuntungan, baik keuntungan ekonomi (supernormal profit) atau keuntungan yang normal. Bila perusahaan memutuskan untuk menghasilkan output pada saat menghasilkan 1 unit output tambahan

akan menghasilkan MR yang lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan. Begitu juga jika MR<MC, biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit barang terakhir lebih besar dari penerimaan yang akan diperoleh seandainya barang tersebut dijual (Nicholson ' 1994).

.Perusahaan yang menginginkan laba maksimum akan mengambil keputusan secara marginal. Untuk memperoleh keuntungan yang maksimum perusahaan dalam kondisi dimana MR=MC (marginal revenue=marginal cost). MR = dR/dQ = dC/dQ = MC (lihat Gambar 5).