PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN DAN PENGRUSAKAN TANAH DI WILAYAH BANDAR LAMPUNG (Jurnal)

  

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENYEROBOTAN DAN PENGRUSAKAN TANAH DI WILAYAH BANDAR

LAMPUNG

(Jurnal)

  

Oleh

Ervina Eka Putri

  

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

  

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENYEROBOTAN DAN PENGRUSAKAN TANAH DI WILAYAH BANDAR

LAMPUNG

Oleh

  

Ervina Eka Putri, Eddy Rifai, Damanhuri WN

Email :

  Sebagai warga Negara Indonesia, kita memiliki hak-hak atas tanah yang meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Dalam kehidupan sehari-sehari tentu banyak berbagai peristiwa yang terjadi, salah satunya adalah penyerobotan dan pengrusakan tanah milik orang lain, baik disengaja maupun tidak disengaja di Indonesia pada umumnya dan khususnya di wilayah Bandar Lampung. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyerobotan tanah yang ada di negara ini, ternyata belum bisa membuat kasus penyerobotan tanah bisa dengan mudah di selesaikan ditingkat peradilan. Hal tersebut bisa terlihat ketika adanya keputusan pengadilan atas kasus pidana tentang penyerobotan tanah, belum bisa digunakan untuk mengeksekusi lahan yang disengketakan atau yang diserobot, karena keputusan pidana yaitu menghukum atas orang yang melakukan penyerobotan tanah, sehingga hak penguasaan atas tanah tersebut pada umumnya masih harus diselesaikan melalui gugatan secara perdata. Penyerobotan tanah merupakan salah satu jenis tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan dan pengrusakan tanah di wilayah Bandar Lampung sanksi hukum yang diberikan terhadap tindak pidana penyerobotan tanah dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Undang- Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya dan dapat pula diterapkan ketentuan Pasal 385 KUHP, di mana Pasal tersebut merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah sementara dalam faktor penegak hukum kurangnya anggota atau penyidik yang benar-benar berkompeten dalam menangani kasus tersebut sehingga dalam proses penyidikan sedikit terkendala. Saran dalam penelitian adalah hendaknya secara khusus perlu diadakan pengkajian ulang terhadap hierarki peraturan perundang- undang yang mengatur kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan, agar pelaksanaan sistem pelayanan administrasi pertanahan di daerah menjadi lebih lancar, terarah dan terpadu secara efketif dan efisien.

  

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Penyerobotan Tanah, Pengrusakan

Tanah.

  

ABSTRACT

LEGAL ENFORCEMENT TO THE ACTORS OF CRIMINAL ACCIDENTS OF

LOSSES AND LAND DISPOSALS IN THE BANDAR LAMPUNG AREA

As citizens of Indonesia, we have land rights which include: property rights, use rights,

building rights, use rights, leases for buildings, land clearance rights, the right to

collect forest products. In everyday life of course many events that occur, one of which

is the grasping and destruction of land owned by others, both intentional and

unintentional in Indonesia in general and especially in the region of Bandar Lampung.

The number of laws and regulations governing land grabbing in this country has not

been able to make cases of land grabs easily solved at the judicial level. It can be seen

when a court decision on a criminal case concerning land grabs can not be used to

execute disputed or impoverished land, because the criminal decision is to punish the

person who is infesting the land, so that the right to land is generally still to be resolved

through a civil suit. Land grabbing is one of the types of criminal acts committed in

community life. Writing this thesis use two approach problem that is approach of

juridical normative and juridical empirical. Result of research Law enforcement on

perpetrators of criminal acts of annexation and destruction of land in Bandar Lampung

territory legal sanction granted to criminal acts of land grabbing can be based on the

provisions of Article 2 of Law Number 51 PRP Year 1960 concerning Prohibition of

Land Use Without Permission of Authorized Or Attorney and can also be applied to the

provisions of Article 385 of the Criminal Code, where the Article is the only article

regulating crimes directly related to temporary ownership of land in law enforcement

factors lack of members or investigators who are really competent in handling the case

so that in the process of investigation a little constrained. Suggestions in the study

should be a special review of the hierarchy of legislation that regulates the authority of

the Regional Government in the field of land, so that the implementation of the system

of land administration services in the region become more smoothly, directed and

integrated efketif and efficient.

  Keywords: Law Enforcement, Crime, Land Acquisition, Land Destruction

I. PENDAHULUAN

  Sumber daya agraria atau sumber daya alam berupa permukaan bumi yang disebut tanah, selain memberikan banyak manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral yang mempunyai aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek politik, aspek pertanahan dan keamanan, dan bahkan aspek hukum.Sebagai sumber kekayaan alam yang terdapat di darat, dapat dipahami apabila tanah diyakini sebagai wujud kongkrit dari salah satu modal dasar pembangunan nasional. Sehubungan dengan itu, maka kebijakan pokok dalam melaksanakan amanat UUPA yang mengatur agar tanah dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus diluruskan kembali sesuai dengan jiwa dan semangat UUPA yang populis tersebut.Secara substansi UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Kestrategisan tersebut antara lain disebabkan UUPA mengandung nilai- nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

  dilihat antara lain dari kandungan UUPA yang bermakna: 1.

  Tanah dalam tataran yang paling tinggi dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

  2. Pemilikan/penguasaan tanah yang berlebihan tidak dibenarkan;

  3. Tanah bukanlah komoditi ekonomi biasa, oleh sebab itu tanah tidak 1 Lutfi Ibrahim Nasoetion, Evaluasi

  Pelaksanaan UUPA Selama 38 Tahun dan Program Masa Kini dan masa Mendatang Dalam Menghadapi Globalisasi, termuat dalam Buku Reformasi Pertanahan, CV. Mandar Maju,

  boleh diperdagangkan, semata-mata untuk mencari keuntungan;

  4. Setiap warga negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memeliharanya, sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumber daya alam; dan; 5. Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persyaratan tertentu.

  2 Tanah mempunyai peranan yang besar

  dalam dinamika pembangunan, maka di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar k emakmuran rakyat”. Ketentuan mengenai tanah juga dapat dilihat dalam

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa disebut dengan UUPA.

  Hak-hak rakyat atas tanah perlu diperkuat, bukan saja untuk ketentraman, tetapi yang lebih penting adalah melindungi hak-hak mereka itu dari tekanan-tekanan pihak ekonomi kuat yang ingin mengambil/membeli tanah untuk kepentingan investasi. Masa orde baru, kebijakan-kebijakan pengaturan penguasaan tanah yang dilakukan dirasakan tidak adil. Pada masa itu pemerintah lebih banyak melayani investor dan kurang memperhatikan para pemilik tanah terutama para golongan ekonomi lemah. 3 Dengan hak atas tanah yang 2 Ibid. hlm. 106. 3 Hasan Basri Durin, Kebijaksanaan Agraria/Pertanahan Masa Lampau, Masa Kini,

1 Hal tersebut dapat

  pasti, dapat merupakan modal utama bagi masyarakat dalam kegiatan ekonominya, yang pada gilirannya hal tersebut sangat menentukan bagi berhasilnya upaya memberdayakan ekonomi rakyat.

  Sebagai warga Negara Indonesia, kita memiliki hak-hak atas tanah yang meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Dalam UUPA, hak milik adalah hak atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pembuktian hak milik atas tanah juga dapat dibuktikan melalui setifikat tanah yang merupakan tanda bukti hak yang kuat bagi kepemilikan tanah. Selain itu, kegiatan pendaftaran tanah juga diperlukan. Tujuannya agar supaya pemegang hak atas tanah bisa dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya dan mendapat kepastian hukum mengenai hak atas tanah. Namun pada kenyataannya, pendaftaran tanah pun tidak menjamin suatu tanah bersertifikat dapat bebas sengketa atau bebas dari upaya penyerobotan dari pihak lain. Belum lagi diperhitungkan berapa kerugian yang diderita negara dan masyarakat, misalnya dari tindakan-tindakan yang berupa penyerobotan dan perusakan tanah milik orang lain maupun tanah milik negara, yang merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi perekonomian negara dewasa ini. 4 Roh UUPA, termuat dalam Buku Reformasi

  Pertanahan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 67. 4 http://www.bpn-bireuen.go.id, “Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau

  Kuasanya”, Diakses Pada Tagl 18 Oktober

  Dalam kehidupan sehari-sehari tentu banyak berbagai peristiwa yang terjadi, salah satunya adalah penyerobotan dan pengrusakan tanah milik orang lain, baik di sengaja maupun tidak di sengaja di Indonesia pada umumnya dan khususnya di wilayah Bandar Lampung. Penyerobotan/pengrusakan tanah oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap tanah milik orang lain sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Secara umum istilah penyerobotan tanah dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Penyerobotan tanah merupakan salah satu jenis tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pengaturan mengenai tindak pidana penyerobotan tanah menurut Pasal 385 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

  “Barang siapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah itu. Dengan ancaman sanksi pidana paling lama empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP”.

  Sanksi penyerobotan dan pengrusakan juga diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menentukan:“Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah”. Jika ketentuan ini dilanggar, maka “dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda Banyaknya peraturan perundang- sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- (lima undangan yang mengatur tentang penyerobotan tanah yang ada di negara ribu rupiah)”, sebagaimana dimaksud ketetuan Pasal 6. ini, ternyata belum bisa membuat kasus Ketentuan Pasal 6 juga berlaku untuk penyerobotan tanah bisa dengan mudah perbuatan: di selesaikan ditingkat peradilan. Hal tersebut bisa terlihat ketika adanya

  “(1) mengganggu yang berhak atau kuasanya yang keputusan pengadilan atas kasus pidana sah didalam menggunakan tentang penyerobotan tanah, belum bisa haknya atas suatu bidang digunakan untuk mengeksekusi lahan tanah; (2) menyuruh, yang disengketakan atau yang mengajak, membujuk atau diserobot, karena keputusan pidana menganjurkan dengan lisan yaitu menghukum atas orang yang atau tulisan untuk melakukan penyerobotan tanah, melakukan perbuatan yang sehingga hak penguasaan atas tanah dimaksud pada huruf a dan tersebut pada umumnya masih harus b; (3) memberi bantuan diselesaikan melalui gugatan secara 5 dengan cara apapun juga perdata. untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau

  Penegakan hukum terhadap kasus huruf b ”. tindak pidana penyerobotan tanah, harus pula mengutamakan nilai-nilai keadilan,

  Kasus penyerobotan tanah juga bisa selain kepastian hukum dan terjadi tindak pidana lainnya seperti : kemanfaatan. Tanah yang tidak

  1. Pasal 363, Pasal 365 KUHP; digunakan oleh negara, yang kemudian dimanfaatkan oleh warga, sehingga “Penipuan dan penggelapan yang berkaitan dengan proses tanah tersebut tidak menjadi tandus dan perolehan danpengalihan hak rusak, tentunya apa yang dilakukan oleh atas tanah dan bangunan; warga harus pula dihargai, dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

  2. Pasal 167, Pasal 389 KUHP; “Memasuki dan menduduki Adapun rumusan masalah yang penulis pekarangan, bangunan dan tanah akan dikaji dalam penulisan skripsi ini orang lain. adalah :

  a. Bagaimanakah Penegakan Hukum 3.

  Pasal 170, Pasal 406 dan Pasal Terhadap Pelaku Tindak Pidana 412;

  Penyerobotan dan Pengrusakan barang, pagar, “Perusakan Tanah di Wilayah Bandar bedeng, plang, bangunan dl l”. Lampung?

  b. Apa sajakah faktor-faktor 4.

  Pasal 263, Pasal 264, Pasal 266 Penghambat Penegakan Hukum KUHP; Terhadap Pelaku Tindak Pidana “Pemalsuan dokumen/akta/surat Penyerobotan dan Pengrusakan yang berkaitan dengan tanah

  ”. 5 Robert L. Weku, Kajian Terhadap Kasus 5.

  Pasal 167 dan Pasal 389 KUHP; Penyerobotan Tanah Ditinjau Dari Aspek “Menempati tanah orang lain Hukum Pidana dan Hukum Perdata , Jurnal, Lex Privatum Vol. 1 No. 2, April-Juni 2013, hlm. tanpa hak ”. Tanah di Wilayah Bandar Lampung?

  Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan normatif empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyerobotan dan Pengrusakan Tanah di Wilayah Bandar Lampung?

  Tindak pidana penyerobotan tanah oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap tanah milik orang lain dapat merupakan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Karena itu, perbuatan tersebut dapat digugat menurut hukum perdata ataupun dituntut menurut hukum pidana. Pengaturan mengenai tindak pidana penyerobotan tanah menurut

  Pasal 385 Ayat (4) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP): barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah itu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Syamsudin

  6

  permasalahan tanah yang kerap terjadi antara lain berupa sengketa tanah, penyerobotan tanah, menempati lahan tanpa izin, penanaman di atas 6 Wawancara dengan Hakim Syamsudin, 25 milik orang lain, perusakan tanaman, perusakan pagar milik orang lain, dan perbuatan lainnya yang berhubungan dengan masalah tanah. Selama ini dalam penanganan masalah tanah banyak masyarakat dan pihak aparat yang melakukan pendekatan penyelesaian dengan proses perdata yang tentunya menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Penanganan masalah tanah tersebut, sebenarnya pihak yang dirugikan dapat melakukan pendekatan pidana yang lebih efektif dan memiliki efek jera, meskipun masalah pokok adalah masalah tanah yang masuk wilayah hukum perdata, namun didalamnya jelas terkandung tindakan pidana seseorang yang dapat diproses dan dijerat dengan Pasal-Pasal yang terdapat di KUHP, antara lain : Pasal Pengancaman (Jika terdapat unsur ancaman dalam menyerobot lahan, Pasal Pemalsuan (Jika pelaku memalsukan surat menyurat yang ada), Pasal Perusakan (Jika Pelaku melakukan perusakan tanaman, pagar, patok kepunyaan pemilik yang sah, Pasal penyerobotan lahan (Jika pelaku menjual lahan milik orang lain yang sah), Pasal Penipuan (Jika terdapat unsur menipu orang lain dengan tipu muslihat dan melawan hukum. Ketentuan Pasal 406 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusakkan, barang sesuatu merupakan milik orang lain maka diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

  Dengan unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi sbb: a.Barangsiapa (menunjuk pada pelaku, minimal pelaku yang diduga melakukan perusakan) b.Dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum (tanpa izin merusak tanaman/pohon/bangunan/pagar milik seseorang) c.Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu. d.Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain

  (pohon/tanaman/bangunan/pagar/kendar aan yang dirusak bukan milik pelaku).

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Ardiansyah

  7

  perbuatan penyerobotan tanah tidak secara tegas dirumuskan dalam Pasal 385 KUHP, namun karena Pasal tersebut merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah, tidak ada Pasal lain yang dapat digunakan untuk mengancam dengan hukuman bagi seseorang yang menyerobot tanah milik pihak lain. Di sisi lain, posisi hukum penguasaan atas tanah milik orang atau pihak lain oleh seseorang atau beberapa orang dengan tiada izin dari pemiik atau kuasanya (penguasaan tanpa hak) dengan melalui proses peradilan pidana terlebih dahulu terhadap peakunya, tidak dengan sendirinya penguasaan objek tanahnya kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, sekalipun unsur-unsur yang dirumuskan daam Pasal 385 KUHP terpenuhi oeh perbuatan “pelaku”, areal tanah yang ”diserobot” tidak berarti dengan sukarela dikembalikan kepada pemilik.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Syamsudin

  8

  proses pengosongan tanahnya harus di tempuh tersendiri. dengan dasar keputusan Pengadilan (pidana) yang menyatakan pelaku penyerobot bersalah, pemilik tanah harus mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk upaya pengosongan, kecuali dalam putusan pidananya sekaligus memuat hak keperdataan pemilik yang harus dikembalikan kepadanya dengan mengosongkan tanah dari penguasaan pelaku atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya. Dengan proses yang harus ditempuh melalui jenjang pengadilan perdata (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung) hingga penguasaan kembali tanah milik seseorang yang diserobot pihak lain, lama waktu yang harus di tempuh jauh lebih panjang dibandingkan lama waktu yang digunakan “penyerobot” menguasai tanah dimaksud. Oleh karena itu pemilik tanah yang sebenarnya cenderung mencari alternatif lain yang reatif waktu yang diperukan lebih cepat untuk upaya pengosongannya.

  Sebelum diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan dasar Pokok- pokok Agraria” telah lebih dulu ditetapkan ketentuan yang melarang setiap orang memakai tanah milik pihak lain tanpa seizin pemilik atau kuasanya yang sah. Karena tuntutan perdata saja tidak dapat mengatasi persoalan okupasi oleh rakyat, maka Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan ordonnatie tahun 1948 yang dimuat dalam S.1948 No.

  110 yaitu “Ordonantie onrechtmatige

  occupatie van gronden ”. Ordonasi ini

  melarang pemakaian tanah tanpa izin yang tak berhak dengan memberi ancaman pidana. Karena hambatan politis, psikologis dan teknis dalam 8 Wawancara dengan Hakim Syamsudin, 25

7 Wawancara dengan Kasi Pidum Ardiansyah, 5

  pemberlakuan ketentuan ini digunakanlah Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 khusus untuk tanah- tanah perkebunan dan untuktanah non perkebunan diatur oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer.

  Diterbitkanlah Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/014/1957 yang didasarkan pada Regeling op de staat

  van Oorlog en van Beeg

  (SOB diatur dalam S.1939 No. 582) yang kemudian diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Peperpu/011/1958 tentang “Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya” yang masa berlakunya berakhir tanggal

  16 Desember 1960 setelah diterbitkan Undang-Undang No. 51 Tahun 1960. Pada Pasal 2 dan 6 Undang-Undang No. 51/Prp Tahun 1960 ini (yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 L.N. 1961 No. 3) ditetapkan bahwa pemakain tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarangan dan diancam hukuman pidana. Jelasnya

  Pasal 6 menyebutkan bahwa tindak pidana “penguasaan tanpa hak” adalah tindak pidana pelanggaran. Ketentuan dalam Undang-Undang No. 51/Prp Tahun 1960 ini jelas tidak sejalan dengan Pasal 385 KUHP yang memang tidak secara tegas merumuskan unsur- unsur “penguasaan tanah tanpa seizin pemilik atau kuasanya”, karena klasifikasi perbuatan yang diancam

  Pasal 385 KUHP adalah kejahatan. Pasal 548 sampai dengan Pasal 551 KUHP memuat tentang “pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan perkarangan” namun tidak memuat tentang prilaku “penguasaan tanpa hak” atau “penyerobotan”. Hal ini berati satu-satunya Pasal dalam KUHP yang mengancam perbuatan “penguasaan tanpa hak” atau “penyebotan” atas tanah pihak lain yang dapat diklasifikasi sebagai perbuatan curng adalah Pasal 385 KUHP yang termuat dalam Buku Kedua Bab XXV tentang perbuatan curang (Bedrog). Berdasarkan deskripsi analisis yang tersaji di atas, maka diperoleh gambaran normatif bahwa Sanksi hukum terhadap tindak pidana penyerobotan tanah tidak secara tegas dirumuskan dalam Pasal 385 KUHP. Namun Pasal tersebut merupakan satusatunya Pasal yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah, dan Pasal tersebut menyatakan : diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun terhadap abrang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain; barang siapa dengan maksud yang sama menjual, atau sesuatu gedung, bangunan penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain. Tindak pidana penyerobotan tanah oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap tanah milik orang lain dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Karena itu, perbuatan tersebut dapat digugat menurut hukum perdata ataupun dituntut menurut hukum pidana.

  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana (Pasal 2 dan Pasal 6).

  Proses penyelesaian pidana masalah lahan yaitu : a. Berkoordinasi/konsultasi dengan pihak Kepolisian guna memastikan bahwa Tindak Pidana yang akan di laporkan baik Pencurian atau Menempati Lahan Tanpa Izin atau Penyerobotan Lahan atau Perusakan adalah yang paling mudah dalam pembuktiannya sesuai dengan kondisi lapangan b. Menyiapkan dan menunjuk pelapor yang akan melaporkan secara langsung ke Polres Setempat (Bila Mewakili yang berhak diperlukan Surat Kuasa Khusus) c. Melaporkan secara resmi dengan pembuatan Laporan (LP) di Polres d. Menerima tanda laporan berupa Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL)

  e. Mengupayakan minimal 2 orang saksi atau lebih diprioritaskan yang lebih mengetahui kondisi lapangan dan tempat kejadian f. Mengawal dan mengikuti proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Polres setempat, khususnya pendampingan hukum bagi pelapor dan saksi-saksi

  g. Mempersiapkan barang bukti (Minimal 2 buah)

  B. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyerobotan dan Pengrusakan Tanah di Wilayah Bandar Lampung.

  Secara konsepsional, arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap bertindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Istilah penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakanperwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Di dalam proses tersebut, hukum tidaklah mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat dengan proses penegakan hukum tersebut yang harus ikut serta, yaitu masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dalam hal ini hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut dengan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan dengan maksud mencapaitujuan tertentu. Namun demikian, tidak berarti pula peraturan- peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna, melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Untuk merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan tingkat profesionalismeaparat penegak hukum, yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan- peraturan maupun di dalam penerapannya.

  Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan dari profesionalisme aparat penegakan hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, mungkin pengaruhnya positif mungkin juga negatif. Faktor penghambat dalam penegakan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyerobotan dan Pengrusakan Tanah di Wilayah Bandar Lampung yaitu teori faktor- faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dari Soerjono Soekanto, yaitu :

  peace maintenance , karena

  2. Faktor penegakan hukum;

  3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung;

  4. Faktor masyarakat; 4. Faktor kebudayaan.

9 Berdasarkan studi wawancara yang

  dilakukan dengan responden maupun dari hasil pustaka ditemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan dan pengrusakan tanah di wilayah Bandar Lampung. Faktor tersebut dapat diperjelas dan dirinci sebagai berikut:

  2. Faktor Penegakan Hukum Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan- kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

  penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

  1. Faktor Hukum (subtansi hukum);

  adalah mentalitas atau kepribadian dari penegakan hukumnya sendiri. Dalam ranka penegakan hukum dan penegak hukumnya sendiri. Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga

1. Faktor Hukum (Substansi Hukum)

  , salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegeakan hukum 9 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang

  10

  3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.

  Kalau peraturan perundang-

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi

  Mempengaruhi Penegakan Hukum , Rajawali, Jakarta, hlm. 5. 10 Wawancara dengan Kanit 2 Subdit 1 Andi, 7

  undangannya sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

  4. Faktor Masyarakat Setiap warga masyarakat sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum. Warga masyarakat harus mengetahui dan memahami hukum yang berlaku, serta menaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadaran akan penting dan perlunya hukum bagi kehidupan masyarakat. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

  5. Faktor Kebudayaan Menurut Soerjono Soekanto, fungsi kebudayaan dalam masyarakat yaitu mengatur agar manusia mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang menjadi landasan hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi- konsepsi abstrak menagani apa yang diangap baik (sehingga dianut) apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) nilai-nilai tersebut biasanya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang seharusnya diserasikan. Hal itulah yang menjadi pokok pembicaraan didalam bagian mengenai faktor penghambat dari segi budaya.

  Tanah-tanah yang kosong tidak dimanfaatkan untuk jangka waktu relatif lama, pada umumnya adalah milik badan hukum tertentu yang karena sesuatu hal mengalami kesulitan dalam pemanfaatan tanahnya. Tidak jarang pula tanah demikian adalah asset badan hukum publik yaitu instansi pemerintahan tertentu yang tidak langsung memanfaatkan tanahnya karena alasan-alasan klasik dana yang terbatas atau tanah milik perorangan yang karena kepindahan kerja ke daerah lain dalam waktu relatif lama, menjadi terkesan “terbengkalai”. Seseorang atau suatu badan hukum sebagaimana pemilik tanah yang tanahnya “diserobot” pihak lain, apabila hendak mengosongkan tanahnya namun tidak dengan sendirinya “sipenyerobot” mengosongkannya, maka pemilik tanah tersebut harus memanfaatkan kewenangan instansi resmi yang berkaitan. Penyidikan atas tindak pidana yang diduga terjadi dapat dihentikan aparat penyidik apabila pemilik bangunan dianggap bukan sebagai pelaku tindak pidana melainkan sebagai pihak yang beritikad baik. Msalahnya menjadi masalah perdata, sebagai alasan penghentian penyidikan. Pelaku dalam “penyerobotan” ini biasanya mempunyai bukti seadanya tentang lalulintas hukum penguasaan tanah untuk dijadikan sebagai pegangan oleh yang menguasai fisik tanahnya. Misalnya, seseorang dengan selembar bukti peralihan hak garap (dibawah tangan) atas sebidang tanah kemudian secara di bawah tangan pula mengalihkan kepada beberapa orang dengan membuat surat peralihan hak yang si penerima peralihan hak kemudian mendirikan bangunan. Pemilik tanah memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk melakukan pengosongan melalui perkara perdata di Pengadilan, relatif dan dengan biaya yang relatif tinggi, kemudian melakukan “perdamaian” dengan bermusyawarah langsung dengan pihak “penyerobot”. Untuk memperoleh nilai lebih dari hasil musyawarah inilah yang diharapkan dari tindakan spekulatif melalui cara-cara tersebut di atas. Namun hal semacam ini juga mengandung resiko bahwa spekulan harus bersedia rugi apabila lawan yang dihadapi tidak dapat memberi hasil yang menguntungkan. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana penyerobotan tanah adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya perlindungan hukum atas hak pemilikan atau penguasaan tanah di kalangan masyarakat; nilai sosial ekonomi tanah korelasinya dengan perkembangan suatu kawasan; adanya pihak yang mempunyai motif- motif tertentu terhadap tanah yang dianggap tidak mempunyai perlindungan hukum, dan lemahnya kinerja instansi pertanahan yang menyebabkan muncul kasus- kasus pemalsuan sertifikat tanah. Selain hal itu kasus yang terjadi dalam masalah tanah yaitu adanya pengusaan fisik oleh orang atau pihak lain terhadap objek tanah di mana pemilik objek tanah tersebut sebenarnya merupakan pihak yang sah menurut hukum sebagai pemiliknya karena memiliki sertifikat hak milik atas objek tanah tersebut namun pemilik yang sah tersebut menerlatarkan tanah tersebut sehingga digarap orang dan ini berlangsung lama sampai terjadi penggarap sudah mewariskan tanah garapannya kepada anak cucunya dan inilah yang terjadi pada kasus penyerobotan tanah di daerah Bandar Lampung.

  III. PENUTUP

  A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Penegakan hukum terhadap pelaku

  tindak pidana penyerobotan dan pengrusakan tanah di wilayah Bandar Lampung sanksi hukum yang diberikan terhadap tindak pidana penyerobotan tanah dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Undang- Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menyatakan bahwa, pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak- banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam

  Pasal 6 UU No 51 PRP 1960. Selain itu dapat pula diterapkan ketentuan Pasal 385 KUHP, di mana Pasal tersebut merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah.

  2. Faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan dan pengrusakan tanah di wilayah Bandar Lampung yitu karena ancaman pidananya yang kurang sehingga masih banayk oknum-oknum yang tidak merasa jera dan ingin memanfaatkan keadaan yang ada tanpa memkirkan yang lain, sementara dalam faktor penegak hukum kurangnya anggota Dalam Menghadapi Globalisasi, atau tim penyidik yang benar-benar termuat dalam Buku Reformasi berkompeten dalam menangi kasus Pertanahan. Bandung: CV. tersebut sehingga dalam proses Mandar Maju. penyidikan sedikit terkendala.

  Robert L. Weku. 2013. Kajian

  Terhadap Kasus Penyerobotan

B. Saran

  Berdasarkan penelitian yang telah Tanah Ditinjau Dari Aspek dilaksanakan maka beberapa saran yang Hukum Pidana dan Hukum diajukan adalah sebagai berikut: Perdata , Jurnal, Lex Privatu.

  1. Agar tidak terjadinya tindak pidana

  pengrusakan tanah dan penyerobotan Soerjono Soekanto. 2005. Faktor- tanah

  Faktor Yang Mempengaruhi

  masyarakat seharusnya memiliki Penegakan Hukum . Jakarta : sertifikat hak (milik) atas tanah Rajawali. untuk memberikan kepastian hukum

  Sumber lain dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat http://www.bpn-bireuen.go.id, membuktikan dirinya sebagai

  “Larangan Pemakaian Tanah

  pemegang hak atas tanah yang Tanpa Izin Yang Berhak atau bersangkutan.

  Kuasanya”

  2. Secara Khusus perlu diadakan

  pengkajian ulang terhadap hierarki peraturan perundang- undang yang mengatur kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan, agar pelaksanaan sistem pelayanan administrasi pertanahan di daerah menjadi lebih lancar, terarah dan terpadu secara efketif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

  Hasan Basri Durin.2002. Kebijaksanaan

   Agraria/Pertanahan Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Mendatang Sesuai dengan Jiwa dan Roh UUPA, termuat dalam

  Buku Reformasi Pertanahan. Bandung: CV. Mandar Maju.

  Lutfi Ibrahim Nasoetion. 2002.

  Evaluasi Pelaksanaan UUPA Selama 38 Tahun dan Program Masa Kini dan masa Mendatang