ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) PROVINSI LAMPUNG DALAM MEMBERIKAN REKOMENDASI REHABILITASI KEPADA PEMAKAI NARKOTIKA

  ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) PROVINSI LAMPUNG DALAM MEMBERIKAN REKOMENDASI REHABILITASI KEPADA PEMAKAI NARKOTIKA (Jurnal Skripsi) Oleh M. BIMA ERZA PERDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

(BNN) PROVINSI LAMPUNG DALAM MEMBERIKAN

REKOMENDASI REHABILITASI KEPADA

  

PEMAKAI NARKOTIKA

Oleh

M. Bima Erza Perdana, Eko Raharjo, Dona Raisa Monica

Email: bimaerza30@gmail.com.

  Pecandu pada dasarnya merupakan korban tindak pidana peredaran narkotika yang seharusnya dibantu proses pemulihannya agar dapat terlepas dari ketergantungan terhadap narkotika. Hakim dalam menjatuhkan pidana rehabiltasi mempertimbangkan adanya rekomendasi rehabilitasi terhadap pemakai narkotika dari Badan Narkotika Nasional. Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika? (2) Apakah pemberian rekomendasi rehabilitas oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pemakai narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan? Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari: Anggota Tim Tim Asesmen Terpadu BNN Provinsi Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika adalah sebagai amanat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Selain itu dengan mempertimbangkan Hasil Pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu dengan hasilkesimpulan bahwa Tim Medis Asesmen menyatakan terperiksa (pelaku) perludilakukan rehabilitasi rawat jalan, dan Tim Hukum Asesmen menyatakan terperiksa(pelaku) dapat dilakukan Asesmen dan adanya Surat Permohonan untuk Dilaksanakan Rehabilitasi (2) Pemberian rekomendasi rehabilitas oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pemakai narkotika tidak diposisikan sebagai pelaku kejahatan melainkan sebagai korban, sehingga perlu direhabilitasi dalam suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantunganNarkotika. Selain itu dilaksanakan rehabilitasi sosial sebagai proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

  Kata Kunci: Dasar Pertimbangan, Rekomendasi Rehabilitasi, Pemakai Narkotika

  

ABSTRACT

ANALYSIS OF BASIC CONSIDERATIONS ON NATIONAL NARCOTICS AGENCY

OF LAMPUNG PROVINCE IN GIVINGREHABILITATION RECOMMENDATIONS

TONARCOTICS USERS

Addicts are basically victims of drug trafficking that should be assisted in the recovery

process in order to escape from dependence on narcotics. The judge in dropping the

rehabilitation criminal consider the recommendation of rehabilitation against the

narcotics user of the National Narcotics Board. Research problems: (1) How is the basic

consideration of the National Narcotics Agency of Lampung Province in providing

rehabilitation recommendations to narcotics users? (2) Is the recommendation of

rehabilitation by the National Narcotics Agency of Lampung Province to the narcotics

user in accordance with the purpose of crime? The approach used is juridical normative

and juridical empirical approach. The resource persons consist of: Member of Team of

Integrated Assessment Team BNN Lampung Province, District Court Judge IA Tanjung

Karang and Criminal Law Lecturer Faculty of Law Unila. Data collection was done by

literature study and field study. Data were analyzed qualitatively. The results of the study

and discussion show: (1) The basic consideration of the National Narcotics Agency of

Lampung Province in providing rehabilitation recommendations to narcotics users is as

mandated Article 54 of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics states that narcotics

addicts and drug abuse victims are obliged to undergo medical rehabilitation and social

rehabilitation. In addition, taking into account the Integrated Assessment Team Outcome

Result with the conclusion that the Medical Team of the Assessment stated that the

examiner (perpetrator) needs to be treated for outpatient rehabilitation, and the

Assessment Team stated that the examiner can be done Assessment and the Application

for Rehabilitation (2) Giving the recommendation of rehabilitation by the National

Narcotics Agency of Lampung Province to the narcotics users in accordance with the

purpose of criminalization, namely the perpetrators of criminal acts of narcotics abuse is

not positioned as the perpetrator of the crime but as a victim, so it needs to be

rehabilitated in an integrated treatment process to free the addicts from Narcotics

process, both physical, mental and social, so that former Narcotics addicts can re-

implement social functions in community life.

  Keywords: Basic Considerations, Rehabilitation Recommendations, Narcotics Users

I. PENDAHULUAN

  Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus menerus termasuk di bidang keamanan dan ketertiban serta di bidang kesejahteraan rakyat dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya dan penyalahgunaan narkotika, prikotropika dan zat adiktif (narkoba) lainnya. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, prikotropika dan zat adiktif (narkoba) lainnya dapat mengancam kehidupan individu, ketahanan nasional, bangsa dan negara Indonesia, serta merupakan masalah bersama yang dihadapi oleh negara- negara di dunia yang harus ditanggulangi secara nasional maupun internasional melalui kerjasama bilateral, regional dan multilateral.

  1 Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang

  Nomor

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

  Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan 1 ErwinMappaseng, Pemberantasan dan

  Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, FHUI, Jakarta, 2002, hlm. 3,

  ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

  2 Penyalahgunaan narkotika dapat

  mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Penyalahgunaan narkoba mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap narkoba menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan upaya pemberantasan peredaran gelap mengingat kemajuan dan transportasi dalam era globalisasi saat ini.

  2 Dharana Lastarya, Narkoba, Perlukah Mengenalnya, Pakarkarya, Jakarta, 2006, hlm. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban tindak pidana peredaran narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga Negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang. Hal ini menunjukkan bahwa pecandu narkotika sebagai korban yang seharusnya dipulihkan dari kecanduannya.

  Penyalahgunaan narkotika memerlukan kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu: a.

  Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukansendiri.

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sesuai dengan Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa: 4 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan

  5 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor

  viktimologi kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime

  narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut

  4 Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims ”, karena pecandu

  Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.

  3 3 Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, 2006, hlm.

  e.

  Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

  Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

  d.

  seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

  victims , yaitu

  Participating

  c.

  Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

  b.

  Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 87, 5 Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana,

  “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

  Pelaku tindak pidana penyalagunaan narkotika yang telah dijatuhi sanksi pidana berupa rehabilitasi akan dilakukan proses penanganan dan tindakan rehabilitasi yang dilakukan oleh lembaga atau instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Salah satu pertimbangan putusan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial adalah adanya rekomendasi rehabilitasi terhadap pemakai narkotika dari Badan Narkotika Nasional. Rekomendasi didasarkan pada hasli pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu (TAT) dari Tim Medis dan Tim Hukum BNN, yang menyatakan bahwa terhadap pelaku dapat menjalani perawatan/pengobatan melalui rehabilitasi medis di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan/atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah setelah mendapat putusan hakim, namun sambil mengikuti proses hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan, yang bersangkutan dapat diberikan pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis. Menurut ketentuan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkatBNN. Pasal

  64 Ayat (2) menyatakan bahwa BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

  Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (3) menyatakan bahwa BNN Provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN Kabupaten/Kota berkedudukan di ibukota Kabupaten /Kota.

  Salah satu contoh perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang mendapatkan rekomendasi rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung adalah dalam Putusan Nomor: 179/Pid.Sus/2017/PN.Tjk, di mana BNN Provinsi Lampung memberikan Rekomendasi Hasil Pelaksanaan Assesment dalam Proses Hukum Nomor: R/232/II/Ka/RH.00.00/2017/BNNP tanggal 3 Februari 2017 yang dibuat oleh Kepala Badan Narkotika Provinsi Lampung dengan rekomendasi bahwa Tim Assesment Terpadu menyimpulkan bahwa terdakwa Okta Rika Alias Oca Binti Gunawan dapat menjalani rehabilitasi medis dan sosial di klinik pratama BNNP Provinsi Lampung. Majelis hakim dalam Putusan Nomor: 179/Pid.Sus/2017/PN.Tjkmenjatuhkan pidana rehabilitasi medis terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, dengan merujuk pada fakta persidangan bahwa terdakwa terbukti sebagai penyalahguna dan bukan bagian dari pengedar, sehingga dapat dikategorikan sebagai korban tindak pidana. Selain itu Majelis Hakim juga mempertimbangkan Keterangan Ahli/Tim Asesmen Terpada BNN Provinsi Lampung, Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Badan Narkotika Nasional, Rekomendasi Untuk Dilaksanakan Rehabilitasi dan Surat Pelaksanaan Program Rehabilitasi Rawat Jalan yang menguatkan dilaksanakannya rehabilitasi terhadap terdakwa.

  melaksanakan penelitian yang berjudul: ”Analisis Dasar Pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam Memberikan Rekomendasi Rehabilitasi kepada Pemakai Narkotika )”.

  Permasalahan penelitian ini adalah: a.

  Bagaimanakah dasar pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika? b.

  Apakah pemberian rekomendasi rehabilitas oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pemakai narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

   PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam Memberikan Rekomendasi Rehabilitasi kepada Pemakai Narkotika

  Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

6 Berdasarkan uraian di atas, penulis

  1. Pelaksanaan Amanat Undang-

  Undang Narkotika Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

  Woro Pramesti menjelaskan bahwa terhadap para pengguna atau bukan pengedar pidana sebaiknya diganti menjadi rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa pecandu Narkotika dan korban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

  7

  7 Hasil wawancara dengan Woro Pramestiselaku Tim Assesmen Terpadu BNN Provinsi Lampung.

6 Dirangkum dari Putusan Nomor: II.

  Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial terhadap pecandu narkotika diperjelas pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika: (1)

  Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2)

  Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (3)

  Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  Selanjutnya menurut Pasal 56 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan: (1)

  Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri;

  Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan menteri.

  2. Hasil Pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu

  Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika didasarkan pada hasil pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari Tim Medis dan Tim Hukum. Hasil pemeriksaan yang telah ahli lakukan terhadap pelaku diketahui bahwa pelaku untuk tindakan selanjutnya sebaiknya dilakukan rehabilitasi, yang mana memasukkan pelaku ke penjara akan lebih memperburuk keadaan pelaku. Rehabilitasi yang dapat dilakukan kepada pelaku dengan rawat jalan karena akan mempermudah bagi kesembuhan pelaku serta memudahkan pengawasan terhadap pelaku. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pelaku diketahui bahwa pelaku merupakan murni pengguna narkotika jenis shabu-shabu dan tidak terlibat dalam jaringan peredaran narkotika.

  Tim menerangkan bahwa terhadap pelaku dilakukan perawatan dan melakukan pemeriksaan beberapa kali, tim psikolog juga telah melakukan pemeriksaan beberapa kali, dan timadiksi telah melakukan pemeriksaan beberapa kali dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan selama kurang lebih satu bulan ini diketahui pelaku lebih baik.

  Perubahan yang terjadi terhadap pelaku tersebut terjadi karenadukungan dari keluarga, dukungan dari instansi tempat pelaku bertugasdan adanya sikap dari pelaku sendiri yang berkeinginan uantuk berubah ke arah yang lebih baik dengan meninggalkan kebiasaan pelaku untuk menyalahgunakan narkotika tersebut. Hasil pemeriksaan juga diketahui pelaku tergolong sebagai pecandu dalam tingkat yang sedang, dan dalam tahap pengawasan intensif selama sekira 3 samapi dengan 6 bulan pelaku akan berhasil menanggulangi kecanduannya terhadap narkotika, dan hal tersebut akan lebih baik lagi apabila mendapat dorongan dari keluarga dan instansi tempat pelaku bertugas.

  Menurut Akhmad Lakoni Harnie, dalam persidangan biasanya dibacakan surat Berita Acara Rapat Pelaksanaan Asesmen dari Tim Asesmen Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung, dengan hasil kesimpulan bahwa Tim Medis Asesmen menyatakan terperiksa (pelaku) perlu dilakukan rehabilitasi rawat jalan, dan Tim Hukum Asesmen menyatakan terperiksa (pelaku) dapat dilakukan Asesmen.

  8 3.

  Surat Permohonan untuk

  Dilaksanakan Rehabilitasi Menurut Woro Pramesti, Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika juga mempertimbangkan surat permohonan untuk dilaksanakan rehabilitasi dari keluarga pelaku yang menjadi pecandu narkotika sebagaimana 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 8 Hasil wawancara dengan Akhmad Lakoni

  Harnie selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung

  Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menganalisis bahwa dasar pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi sesuai dengan teori pemidanaan, khususnya teori relatif atau tujuan yang menyatakan bahwa tujuan pidana bukanlah sekedar melaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga mempunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhkan pidana saja, sehingga dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya. Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general

  prevention), prevensi khusus

  dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory . 9 Sesuai dengan teori di atas maka diberikannya rekomendasi rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pecandu narkotika memiliki tujuan untuk membina pelaku agar menjadi pribadi yang lebih baik dan melalui proses 9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori

  Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 32. rehabilitasi diharapkan dapat mencegah tindak pidana serupa di kemudian hari. Sedangkan prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegaaan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh pada hukum.

  Teori lain yang sesuai adalah teori integratif atau gabungan. Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Ajaran ini memungkinkan adanya kemungkinan untuk menagadakan sirkulasi terhadap teori pernidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus.

  10

  diberikannya rekomendasi rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pecandu narkotika memiliki tujuan untuk membina pelaku agar menjadi pribadi yang lebih baik juga bertujuan untuk 10 memberikan pengobatan berupa terapi kepada pelaku agar dapat terlepas dari ketergantungannya pada narkotika. Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku, pemidanaan mengakui asas- asas atau keadaan yang meringankan pidana mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.

  B. Pemberian Rekomendasi Rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada Pemakai Narkotika Sesuai Dengan Tujuan Pemidanaan

  Pemberian rekomendasi rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pemakai narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan, sesuai dengan teori pemidanaan. Pemidanaan adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana sebagai reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada si pembuat delik itu. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (orang yang berwenang) dan pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 11 Rehabilitasi sebagai bentuk pemidanaan mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain. Pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing- masing. Tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi pecandu narkotika dan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Uraian di atas sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, di samping kepentingan- kepentingan negara. Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, 11 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm. 77. khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.

  Rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam konteks penelitian ini merupakan perwujudan dari hukum progresif, sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo dalam buku Nikmah Rosidah, bahwa dalam konteks hukum progresif manusia berada di atas hukum, hukum hanya menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia.

  12 Sesuai

  dengan teori ini maka pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri dipidana dengan pidana rehabilitasi yang bertujuan untuk melepaskan diri dari ketergantungan narkotika.

  Penerapan program sulit dilaksanakan karena pengetahuan dan ketrampilan terbatas sehingga kurang percaya diri untuk menjalankan program. Keterbatasan dana sehingga beberapa program tidak dapat dilaksanakan misalnya outing, terapi vokasional, terapi rekreasional. Keterbatasan pengalaman dalam penanganan kasus dengan dual diagnosis. Selain itu yang mendapatkan bantuan tidak direncanakan kelanjutannya sehingga program terhenti ketika bantuan itu 12 Nikmah Rosidah. Budaya Hukum Hakim Anak

  di Indonesia. Sebuah Pendekatan Hukum Progresif . Pustaka Magister. Semarang. 2014. berhenti. Diperlukan suatu program yang terorganisasi dengan baik dalam memberikan perawatan bagi para pecandu narkotika sebab dengan adanya program yang baik maka akan diperoleh hasil yang maksimal.

  Berdasarkan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Bahwa dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, Majelis harus menunjukkan secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalam amar putusannya tempat- tempat rehabilitasi yang dimaksud salah satunya adalah Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia.

  Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya Majelis hakim juga mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Keadaan yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa menghambat program pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Keadaan yang meringankan adalah terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan belum pernah dihukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka Majelis Hakim dalam Putusan Nomor: 705/Pid.Sus/2017/PN.Tjk. menyatakan terdakwa R. Agung Riakko Bin Pongki terbukti secara sah dann meyakinkan melakukan tindak pidana menggunakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Kekuasaan kehakiman sebagai suatu badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas dengan diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Putusan hakim merupakan hasil dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dihubungkan dengan termasuk di dalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 angka (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan haruslah berdasarkan undang-undang.

  Terdakwa dalam Putusan Nomor: 705/Pid.Sus/2017/PN.Tjk. patut dipidana karena terdakwa memiliki kemampuan bertanggung jawab (berusia dewasa), adanya perbuatan melawan hukum, yaitu melakukan tindak pidana narkotika. Selain itu tidak ada alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan tindak pidana narkotika, yaitu dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika dan turut serta menerima sumbangan, penitipan, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya hasil tindak pidana narkotika.

  Keseluruhan jalannya proses peradilan pada akhirnya akan bermuara pada penjatuhan putusan oleh hakim. Dalam proses perumusan putusan itulah menjadi persoalan yang sangat penting merupakan proses legal reasoning dalam merumuskan apa yang menjadi isu hukum utama atau esensi pokok dalam perkara tersebut, karena atas dasar itulah selanjutnya hakim menentukan bagian yang terpenting dalam putusan pengadilan yaitu ratio decendi. Ratio decidendi merefleksikan analisis kritis terhadap substansi perkara, pandangan filsafat hukum, paham atau teori hukum yang dirujuk, interpretasi norma, serta dasar hukum yang digunakan sebagai dasar putusan. Dalam ketentuan tersebut, hakim secara imperatif diharuskan untuk memuat alasan dan dasar hukum yang dapat ditafsirkan bahwa apabila sesuatu putusan hakim tanpa disertai dengan alasan dan dasar putusan, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun hukum tidak tertulis yang digunakan sebagai dasar mengadili, maka putusan yang demikian itu dapat dikategorikan putusan yang tidak disertai pertimbangan yang cukup serta bertentangan dengan perintah undang undang.

  Penalaran hukum serta perumusan argumentasi hukum dalam proses perumusan putusan, akan menggambarkan bagaimana kesungguhan dan kecermatan majelis hakim ketika hendak menentukan isi putusannya. Proses perumusan putusan hakim bukanlah sekedar persoalan mencari kesesuaian antara rumusan kaidah hukum dengan fakta persidangan. Melainkan merupakan proses ijtihad dan pergulatan batin sekaligus dialog spiritual transendental antara hakim dengan Tuhannya tentang putusan yang bagaimana yang seharusnya akan dijatuhkannya. Dalam proses demikian diharapkan terjadi pencerahan batin bagi hakim yang bersangkutan.

  Uraian di atas sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, disamping kepentingan-kepentingan negara. Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya dampak keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.

III. PENUTUP A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Dasar pertimbangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung dalam memberikan rekomendasi rehabilitasi kepada pemakai narkotika adalah sebagai amanat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Selain itu dengan mempertimbangkan Hasil Pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu dengan hasilkesimpulan bahwa Tim Medis Asesmen menyatakan terperiksa (pelaku) perludilakukan rehabilitasi rawat jalan, dan Tim Hukum Asesmen menyatakan terperiksa(pelaku) dapat dilakukan Asesmen dan adanya Surat Permohonan untuk Dilaksanakan Rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

  2. Pemberian rekomendasi rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung kepada pemakai narkotika sesuai dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak diposisikan sebagai pelaku kejahatan melainkan sebagai korban, sehingga perlu direhabilitasi dalam suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Selain itu dilaksanakan rehabilitasi sosial sebagai proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

  B. Saran

  Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, saran penelitian ini adalah: 1.

  Agar penjatuhan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada upaya mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Hakim dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi agar mengedepankan kehati-hatian dan kecermatan, sehingga rehabilitasitersebut benar- benar diberikan kepada pelaku penyalahguna narkotika.

  2. Hendaknya kekurangan sarana prasarana rehabilitasi medis terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dilengkapi, sehingga dapat mencapai tujuan rehabilitasi secara optimal.

  Selain itu agar ditingkatkan penyuluhan mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika kepada di pedesaan, sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang memadai tentang bahaya narkotika dan akibat hukum penyalahgunaan narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

  Lastarya,Dharana. 2006. Narkoba,

  Perlukah Mengenalnya, Pakarkarya, Jakarta, 2006.

  Mappaseng,Erwin. 2002.

  Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, FHUI, Jakarta.

  Martono, Lydia Harlina dan Satya Joewana. 2006. Membantu

  Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya, Balai

  Pustaka, Jakarta Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan

  Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara,

  Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984.

  Teori-teori Kebijakan Hukum

Pidana, Alumni, Bandung

  Rosidah.Nikmah. 2014. Budaya Hukum Hakim Anak di Indonesia.

  Sebuah Pendekatan Hukum Progresif . Pustaka Magister.

  Semarang. Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum

Pidana , Alumni,Bandung.