STUDI KOMPERATIF PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

  STUDI KOMPERATIF PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Jurnal) Oleh: Idrus Alghiffary

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

STUDI KOMPERATIF PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

Oleh :

Idrus Alghiffary, Eddy Rifai, Firganefi

  

Email: idrusalghiffary@yahoo.com

  Permasalahan dalam tindak pidana korupsi dalam Hukum Positif dan Hukum Islam yakni Hukum Positif UU Nomor 31 Tahun 1990 jo UU Nomor 20 Tahun 2011 hukuman maksimal 20 Tahun. Sedangkan dalam Hukum Islam terkait tindak pidana korupsi di atur berdasarkan Al-

  Qur’an dan Al-Hadist Surat An-Nisa (4) ayat 29 mengenai tentang korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah analisis data, Data yang berdasarkan hasil perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam. Data dari hasil mewancarai kepada pakar hukum terkait perbedaan Hukum Positif dan Hukum Islam dan membandingkan sistem hukum antara Hukum Positif dan Hukum Islam. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi. Perbandingan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi menurut Hukum Positif dan Hukum Islam dapat disimpulkan bahwa Hukum Postif untuk menentukan pemidanaan tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan hukuman penjara maksimal 20 Tahun penjara. Sedangkan Hukum Islam perbuatan korupsi merupakan pencurian dan hukumannya potong tangan dan hukuman mati. Adapun Perbandingan Hukuman positif dan Hukum Islam tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu Hukum Positif dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Hukuman maksimal 20 Tahun, Sedangkan Hukum Islam berdasarkan Al-

  Qur’an dan Hadist. Saran dalam penelitian ini, Hukum di Indonesia harus memenuhi unsur keadilan tidak membuat perpecahan sesama masyarakat , serta penegak hukum harus tegas dalam menjatuhkan hukuman pidana bila perlu di dasari Al- Qur’an dan Hadist.

  Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Hukum Positif, Hukum Islam

  

ABSTRACT

A COMPARATIVE STUDY BETWEEN POSITIVE LAW AND ISLAMIC LAW

CONCERNING CORRUPTION CRIME

The problems of corruption crime is being compared in Positive Law and Islamic Law;

the Positive Law has been regulating corruption based on law No. 31 of 1990 jo Law

No. 20 of 2011. While in Islamic Law the corruption crime has been mentioned in the

Qur'an Surah An-Nisa' ayah 29 and in the Hadith concerning corruption. This study

was conducted using data analysis method, the data were collected from the results of

comparation between positive law and Islamic law regarding corruption. The data were

also taken from interviews with legal experts regarding the differences between positive

law and Islamic law and its legal system. Based on the results of the research, it can be

concluded that the corruption crime was regulated in positive law no. 31 of 1999 jo

Law No. 20 of 2001 regarding corruption. The comparison between Positive Law and

Islamic Law regarding Corruption Crime can be concluded that in Positive Law the

punishment against corruption is a maximum of 20 years in prison. While in Islamic law

the act of corruption is categorized as theft and the punishment is by cutting off hands

or death penalty. The Comparative between Positive Law and Islamic Law regarding

corruption has been regulated in Positive Law Number 31 of 1999 jo Law Number 20 of

2001 for a maximum 20-years in prison, while the penalty in Islamic Law is based on

the Qur'an and the Hadith. It is suggested that the law enforcement must fulfill the

element of justice which does not split the unity of public, and the law enforcement

officers must be firm in imposing criminal penalties if necessary under the Qur'an and the Hadith Keywords: Corruption, Positive Law, Islamic Law Pada permasalahan mengenai tindak pidana korupsi di Negara-negara maju, tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia merupakan tindak pidana yang sudah terjadi secara luar biasa sehingga upaya pemberantasan juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Diantara bentuk keluar biasaannya ini adalah dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No.31 Tahun 1990 jo, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam upaya mengatasi suatu aspek permasalahan tindak pidana korupsi yang telah menggurita dan menginfeksi seluruh rongga kehidupan bangsa, para wakil rakyat dan intelektual negeri ini mencoba menciptakan sebuah instrumen hukum yang diwujudkan dengan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Segala tipe-tipe korupsi dan sanksi hukumannya telah dirumuskan dalam Undang-Undang ini.Sehingga dengan terciptanya Undang-Undang ini, diharapkan dapat menekan laju perilaku korupsi yang semakin sulit untuk dicegah. Apa saja upaya yang dilakukan dengan metode hukum pidana Islam dalam hal mengatasi tindak pidana korupsi?. Sebagai sebuah agama yang telah disempurnakan Allah melalui hambaNya yang sangat mulia yaitu Rasulullah, Islam telah memberikan pandangan mengenai tindak pidana korupsi. Karena jenis tindak pidana ini,

  Rasulullah SAW. Meski tidak disebutkan secara tegas mengenai sanksi pidana korupsi dalam hukum Islam, namun Islam selalu memberikan jawaban atas setiap permasalahan.yakni dengan hukuman takzir yang identik dengan hukuman yang berdasarkan kebijakan hukum dengan melihat kemaslahatan masyarakat

I. PENDAHULUAN

  1 .

  Menurut Hary Susanto

  2

  korupsi level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan, uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang- barang publik untuk kepentingan pribadi.

  Didalam UU No. 20 tahun 2001 disebutkan bahwa menyuap pegawai negeri adalah korupsi, dan pelakunya di ancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 dan paling banyak Rp 250.000.000.00 dan memberi hadiah kepada pegawai negeri juga termasuk korupsi. Jadi segala bentuk penyuapan digolongkan kepada korupsi

  3 .

  Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal bahasa latin corruption atau corroptus Sedangkan menurut etimologi Inggris, corruption, corrupt, Perancis,

  corruption , Belanda corruptive dan

  Indonesia korupsi yang secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,

  1 http://basyir-accendio.blogspot.co.id diakses pada tanggal 27 januari 2018 Pukul 11.00 wib 2 Donny Ardayanto, Korupsi di sector pelayanan Publik Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian korupsi di Indonesia, Buku 2, yayasan aksara dan partnership For Good Governance Reform, (Jakarta, 20010, hlm.34 tidak bermoral, penyimpangan dari 2001 tentang tindak pidana

  4 kesucian .

  korupsi. Istilah korupsi menurut Poerwadarminta korupsi ialah perbuatan yang buruk Bentuk perbuatan tindak pidana seperti penggelapan uang, penerimaan korupsi yakni : uang sogok, pencucian uang,dan a.

  Penyuapan, janji, tawaran, atau sebagainya yang menyangkut mengenai pemberian kepada pejabat publik persoalan tentang tindak pidana korupsi

  b. penyalahgunaan, Penggelapan, yang seharusnya tidak boleh dilakukan atau penyimpangan lain oleh oleh siapapun dan harus dihindari dari pejabat

  5 perbuatan yang tercela seperti ini .

  c.

  Memperkaya diri sendiri dengan uang yang tidak resmi Andi Hamzah, dalam kamus hukumnya mengartikan korupsi sebagai suatu

  2. Hukum Islam perbuatan buruk, busuk, bejat, suka Dilihat dari aspek unsur tindak disuap, perbuatan yang menghina atau pidana korupsi dalam hukum Islam : memfitnah, menyimpang dari kesucian, a. (penggelapan) yakni

  Ghulul tidak bermoral dan telah merugikan berkhianat dalam pembagian harta Negara yang telah melakukan perbuatan rampasan perang dan harta-harta tercela ini yang sudah merugikan uang lain. Negara yang tidak pasti dan terutama

  b. (penyuapan) yakni Risywah untuk kepentingan pribadi seseorang memberikan sesuatu dalam yang telah melakukan tindak pidana rangka memperlancar usaha

  6 korupsi .

  maupun itu dalam bentuk batil/salah atau meyalahkan yang 7 Perbedaan tindak pidana korupsi dalam benar . hukum positif dan hukum islam yaitu : 1.

  Dalam aspek pengaturan yang Hukum positif

  Pengaturannya dilakukan dalam hal Hukum positif dan a.

  Hukum Islam untuk melakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 mengenai kategori tindak pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi dan mengenai pidana korupsi terdapat ketidak pengesahan united nations sesuaian dalam hal pengaturan tindak convention against corruption, pidana korupsi maupun itu dalam 2003 (Konvensi perserikatan hukum positif maupun dalam hukum bangsa-bangsa anti korupsi,2003) islam tidak seberapa menguatkan untuk b. memberantas tindak pidana korupsi dan

  Undang-undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang pemberantasan sepertinya harus ada penambahan tindak pidana korupsi unsur-unsur di dalam pengaturan sebagaimana telah diubah dengan tersebut. Undang-undang Nomor 20 Tahun 4 Berdasarkan latar belakang yang telah

  Fockema Andrea, Kamus Hukum, Bandung:

  di atas, maka permasalahan dalam

  Bina Cipta, 1983 5

  penulisan ini adalah sebagai berikut :

  W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976, 6 hlm. 524 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui a.

  Bagaimanakah perbandingan antara tindak pidana korupsi dalam hukum positif dan Hukum Islam? b. Bagaimanakah penegakkan hukum tindak pidana korupsi dalam hukum positif dan Hukum Islam ?

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah analisis data. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua macam pendekatan yaitu pendekatan Yuridis Normatif dan pendekatan Yuridis Empiris. Sumber dan jenis data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data yang berdasarkan hasil perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif deskritif yaitu analisis yang diwujudkan dalam bentuk penjabaran atau uraian secara terperinci yang akan mengambarkan dan memamparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian. Pengambilan kesimpulan analisis data, digunakan cara befikir induktif-deduktif. Proses berfikir induktif yaitu menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai fakta atau kasus bersifat khusus 8 . Proses berfikir deduktif yaitu dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempu- nyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi.

  Perbedaan antara hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana korupsi adalah Pemerintahan Indonesia 8 Johnny Ibrahim, Metedologi Riset, sudah banyak melakukan langkah- langkah untuk memberantas korupsi dengan bukti bahwa pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan atau Undang-Undang antara lain; Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Demikian juga dari hukum Islam sudah sejak lama larangan korupsi telah ada, sebagaimana dalam Firman Allah telah dijelaskan bahwa:

  “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ” (Al- Baqarah; 188) . “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu ” (Ali ‘Imran: 3). Agama Islam juga telah menetapkan sanksi yang sangat keras terhadap korupsi (pencuri) dengan memberlakukan hukuman potong tangan, dalam Al-

  Qur’an Allah SWT berfirman: Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana" (QS. Al-Maidah: 38). Secara konstitutional, Perpu diakui sebagai salah satu bentuk peraturan Perundang-undangan. Pengakuan itu dapat dibaca dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menentukan: 1. dalam hal ihwal kepentingan yang

II. PEMBAHASAN A. Perbandingan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam

  menentukan peraturan pemerintan sebagai pengganti undang-undang,

  2. peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

  Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan

  3. jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

  Jika dibaca hasil amademen, Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu dari sedikit pasal yang tidak mengalami perubahan. Artinya, perpu merupakan bagian kebutuhan penyelenggaraan Negara. Dari hierarki peraturan perundang-undangan, selama penyelenggaraan Negara di bawah Undang-Undang Dasar 1945 kecuali dalam Tap MPR No III/ MPR/2000 yang sudah tidak berlaku lagi- perpu setingkat UU. Bahkan, dalam Pasal 9 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan, materi muatan perpu sama dengan materi muatan UU. Jika diperhatikan Undang-Undang Nomor

  31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu korupsi aktif dan pasif

  9 .

  Berdasarkan data yang diperoleh dapat diuraikan perbandingan pemidanaan terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

  Pelaku Subjek atau pelaku korupsi dalam

  Hukum Positif dan Hukum Islam berbeda. Dalam Hukum Islam subjek 9 IGM Nurdjana,Sistem Hukum Pidana dan Tindak Pidana Korupsi adalah orang yang sudah terikat dalam suatu pemidanaan, atau salah satu dari pelaku sudah terjerat dalam dalam suatu pemidanaan. Hukum Positif hanya menghukum pelaku korupsi dalam konteks sejarah. Sedangkan dalam Hukum Islam, setiap orang dapat meliputi subjek delik khusus tanpa membedakan status pelaku korupsi, baik orang yang sudah terikat dalam suatu pemidanaan atau pun belum, menurut Hukum Islam dapat menjadi subjek delik formil. Dalam Hukum islam, baik pemidanaan dalam konteks sejarah maupun bukti, sama-sama harus dihukum

  10 .

  Dalam hukum positif pelaku tindak pidana korupsi, selain dikenakan sanksi pidana penjara juga di jatuhi sanksi hukuman denda atau yang dinamakan dengan sanksi hukuman kumulatif. Dalam Hukum Pidana Islam bagi pelaku tindak pidana korupsi juga terdapat kesamaan atau sama-sama dihukum dengan hukuman kumulatif, hukuman kumulatif dalam Hukum Pidana Islam, yaitu berupa Sanksi Ta’zir yang diperkuat atau diperberat dengan Diyat (denda), hal ini berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan dari Husain bin al-Munzir bahwa ketika Sayyidina Ali ditugaskan oleh Sayyidina Utsman untuk menghukum cambuk al-Walid bin Uqbah, beliau berkata: Rasulullah SAW telah menghukum sebanyak 40 kali cambuk, begitu juga Sayyidina Abu Bakar tetapi Sayyidina Umar menghukum sebanyak delapan puluh kali semuanya adalah sunnah, yang ini aku lebih sukai.

B. Perbandingan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Perbandingan Dari Segi Subjek

  2. Perbandingan Dari Segi Pemidanaan Hukum Positif Dan Hukum Islam Dalam hukum positif, karena hukuman ini dianggap sebagai hukuman pokok (hukuman utama), sanksi segala macam jarimah (tindak pidana) dikenakan hukuman penjara. Dalam syariat Islam hukuman penjara hanya dipandang sebagai alternatif dari hukuman pokok jilid atau berupa hukuman cambuk, karena hukuman itu pada hakikatnya untuk mengubah terhukum menjadi lebih baik. Dengan demikian, untuk mengubah pelaku tindak pidana tersebut menjadi lebih baik, maka hukumannya harus digandakan, ditambah atau diperberat dengan yang lain, yaitu dengan hukuman diyat atau denda. Sedangkan, dalam Hukuman penjara dalam pandangan hukum Islam berbeda dengan pandangan hukum positif. Menurut hukum Islam, penjara dipandang bukan sebagai hukuman utama, tetapi hanya dianggap sebagai hukuman pilihan. Hukuman pokok dalam syari’at Islam bagi perbuatan yang tidak diancam dengan hukuman had adalah hukuman jilid atau cambuk. Biasanya hukuman ini hanya dijatuhkan bagi perbuatan yang dinilai ringan saja atau yang sedang-sedang saja. walaupun dalam prakteknya dapat juga dikenakan kepada perbuatan yang dinilai berat dan berbahaya. Hal ini karena hukuman ini dikategorikan sebagai kekuasaan hakim, yang karenanya menurut pertimbangan kemaslahatan dapat dijatuhkan bagi tindak pidana yang dinilai berat.

  Ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Bab II mengenai Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

  Pemidanaan terhadap pelaku korupsi di tuju ditentukan pada pasal Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 2 ayat (1), dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bahkan pada ayat (2) Pasal ini pidananya dapat diperbesar yaitu pidana mati. Dipandang dari segi pemidanaan, jelas ketentuan mengenai tindak pidana korupsi baik dalam Hukum Positif maupun dalam Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan Hukum Islam. Hukum Positif dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya menghukum pelaku korupsi dengan hukuman penjara antara 1 (satu) sampai dengan 20 (dua puluh) tahun penjara. Pemidanaan menurut Hukum Positif dan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dalam Pasal 3 tersebut sangat jauh lebih ringan dibandingkan dengan hukuman yang diancamkan oleh Hukum Islam, yaitu Hukuman mati dan Hukuman kurungan. Hukuman bagi pelaku korupsi menurut hukum Islam ini biasanya diberlakukan Sanksi Moral atau setidaknya cacat anggota tubuh

  11

  . Akibat dan hukuman yang diancam oleh hukum positif maupun Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jelas tidak sebanding dengan hukum Islam, maka hukum positif dan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dinilai tidak lebih efektif dalam menanggulangi tindak pidana korupsi 11 H.M Nurul Irfan,Korupsi dalam Hukum dalam masyarakat. Namun demikkian, walaupun dinilai memberi efek jera kepada masyarakat, ketentuan hukum Islam tidak dapat diterapkan di Indonesia karena belum diadopsi dalam hukum positif Indonesia.

  Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Hukum Positif merupakan suatu delik khusus. Menurut Hukum Positif, Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, defenisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, dan dalam UU tersebiut juga disebutkan sanksi bagi yang melanggar. Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Islam, bukan merupakan delik khusus. Apabila seseorang mengetahui terjadinya suatu Tindak Pidana Korupsi maka ia dapat melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk selanjutnya diproses secara hukum. Namun perlu juga diperhatikan bahwa untuk membuktikan suatu Tindak Pidana Korupsi, Hukum Islam mensyaratkan suatu syarat yang berat. Untuk membuktikan delik korupsi menurut sebagian ulama, Hukum Islam mewajibkan empat orang saksi laki-laki dewasa yang menyaksikan langsung dan beserta bukti terjadinya transaksi uang

  12 .

  Hukum Islam mengatur seseorang yang melaporkan terjadinya delik korupsi tidak dapat menghadirkan empat orang saksi sebagaimana disyaratkan, maka orang yang mengadukan tadi akan mendapatkan saksi yang berat. Seseorang yang mengadukan delik korupsi tapi tidak dapat menghadirkan 4 orang saksi akan didakwa telah

  

  melakukan tindak pidana menuduh korupsi. Ketetapan hukum Islam terkait dengan tindak pidana korupsi tersebut tentunya sangat berbeda dengan paham individualistic/ kebebasan yang dianut dalam tatanan kehidupan ala barat.

  Berdasarkan uraian di atas, wajar saja apabila Hukum Barat delik Korupsi dikategorikan sebagai delik khusus. Hukum Barat ini di pengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan paham individualism, liberslisem, dan individual rights

3. Perbandingan Dari Segi Jenis Delik

  13

  . Menurut Black’s Law Dictionary, Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak resmi dengan menggunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain

  14

  . Namun tidak demikian dengan Hukum Islam. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya dalam bab ini, menurut Hukum Islam Tindak Pidana Korupsi bukan merupakan delik khusus yang memerlukan adanya pengaduan dari pihak-pihak yang berhak supaya delik ini dapat diproses secara Hukum. Menurut Hukum Islam Tindak Pidana Korupsi merupakan perbuatan yang merugikan orang lain, sistem perekonomian terganggu, dan unsur-unsur fasad atau kerusakan yang ditimbulkan bisa sangat meluas. Sehingga wajar apabila dalam Hukum Islam Tindak Pidana Korupsi ini diancam dengan Hukuman yang sangat berat. Menurut penulis, kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah 13 Ibid. beragama islam, secara umum masih memandang Tindak Pidana Korupsi sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Beberapa daerah di Indonesia menerapkan aturan (hukum adat) yang ditujukan untuk memberikan efek jera kepada masyarakat, yaitu pelaku Tindak Pidana Korupsi yang tertangkap basah sedang berlangsungnya transaksi maka akan diberlakukan sanski moral, dimiskinkan, dan hak berpolitik di cabut untuk jenjang waktu yang tidak bisa di tentukan

  15

  . Berdasarkan hal ini, penulis berpendapat bahwa Tindak Pidana Korupsi juga menyinggung perasaan masyarakat, tidak hanya keluarga. Oleh karena itu, pemerintah sebagai penyusun Hukum Positif sebaiknya mempertimbangkan untuk mengubah Tindak Pidana Korupsi menjadi delik khusu/tidak khusus, bukan delik aduan absolut. Dalam hukum pidana Islam/fiqih jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang- orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil hukum dari Al-quran dan Hadis. Dalam hukum pidana islam hukum kepidanaan atau disebut juga dengan jarimah (perbuatan tindak pidana), tindak pidana atau jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjaunya. Dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi adalah ketentuan pidana yang menerapkan sanksi hukuman kumulatif, yaitu menggabungkan dua jenis pidana pokok terhadap satu perbuatan pidana. Dua jenis pidana pokok yang dijatuhkan secara bersamaan itu adalah pidana penjara dan pidana denda, sedangkan dalam Hukum Islam pelaku korupsi seperti jarimah ghulul, khianat, risywah, ghasab dipidana dengan hukuman ta’zir dengan diyat

  16 .

  Sanksi Hukum Positif adalah sanksi penjara, denda, dan pidana tambahan.

  Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi menyebutkan empat bentuk pidana tambahan. Perampasan barang bergerak, pembayaran uang pengganti, penutupan perusahaan, dan pencabutan hak atau keuntungan tertentu. Artinya, ada enam bentuk sanksi yang dipakai negara untuk melawan kejahatan korupsi. Masalahnya, apakah sanksi tersebut sudah dimanfaatkan dengan sangat efektif oleh pemerintah untuk menggelandang pelaku korupsi? Katakanlah proses penuntutan dan pengadilan untuk koruptor dinafikan dari skenario pemerintah, maka pembahasan tentang penjeraan pelaku korupsi akan ditujukan kepada lembaga pemasyarakatan sebagai benteng terakhir untuk melawan korupsi. Idealnya, ketika koruptor dijebloskan ke penjara, harus ada efek jera yang ditimbulkan. Susah memang bagaimana mengukur efek jera ini. Namun, tampaknya tidak sulit mengukur bagaimana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

  —sebagai representasi negara —untuk memicu timbulnya efek jera tersebut. Salah satunya ialah dengan tidak mempermudah pemberian remisi bagi terpidana korupsi. Nyatanya berkebalikan.

  17 Hukuman bagi pelaku korupsi atau

  jarimah ghulul (penggelapan), khianat (ingkar terhadap janji jabatan), risywah (suap), dan ghasab 16 Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang, kencana, 2008), hlm. 196.

  (memakai/mengambil hak orang lain dengan paksa dan tanpa izin) dalam perumusannya harus mempunyai dasar, baik Al-

  Qur’an dan Hadist atau keputusan penguasa yang mempunyai wewenang menetapkan hukum untuk kasus Ta’zir. Ta’zir adalah jenis sanksi syar’i yang tidak termasuk hudud dan qishash atau diyat. Ta’zir bersifat memberikan pelajaran dan koreksi (tahdzib) yang sifatnya memperbaiki perilaku tersalah (tahdzib)

  18 .

  Setiap Tindak Pidana yang ditentukan sanksinya oleh al- Qur’an maupun oleh hadits disebut jarimah hudud dan qishash atau diyat. Adapun tindak pidana yang tidak ditentukan oleh al- Qur’an maupun hadits disebut sebagai jarimah ta’zir

  19

  .Misalnya, tidak melaksanakan amanah, menghina orang, menghina agama, korupsi, dan narkotika. Dalam bentuk lain dari jarimah ta’zir adalah tindak pidana yang hukumannya ditentukan oleh Ulul Amri atau hakim dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan tujuan syari’ah

  20 .

  Sanksi Ta’zir merupakan otoritas hakim untuk menentukan berat atau ringannya hukuman, walaupun ia harus mempertimbangkan keadaan pelakunya, jarimah-nya, korban kejahatannya, waktu dan tempat kegiatan sehingga putusan hakim besifat preventif, represif, edukatif, dan kuratif

  21

  . Sudah Jelas bahwa korupsi seperti penyuapan, ketidakjujuran, dan kolusi tidak dianjurkan dan diharamkan oleh Islam dan dilarang dalam ketentuaan 18 Ibid 19 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas

  Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 9 20 Ibid

  perundang-undangan, dan dapat dekenakan sanksi ta’zir yang diperberat dengan diyat, karena melihat bahayanya yang sangat besar terhadap keuangan dan perekonomian negara, bangsa serta agama.

  Undang-undang sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari : Pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda, Pidana tutupan (ditambah berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946). Pidana tambahan terdiri dari : pidana pencabutan hak-hak tertentu, pidana perampasan barang- barang tertentu, pidana pengumuman keputusan hakim dan berdasarkan pengaturan pemidanaan berdasarkan ajaran dalam Hukum Islam. Penulis berpendapat pemidanaan yang terdapat dalam Hukum Positif dalam permasalahan korupsi belum sejalan dengan pengaturan di dalam Hukum Islam. Sehingga bagi pemeluk yang beragama Islam tidak dapat menegakan hukum yang benar sesuai ajaran agamanya. Sehingga negara belum bisa secara tegas dalam memberantas perilaku korupsi dalam pengaturan Hukum Positif maupun di dalam Hukum Islam di Indonesia. Dalam Bab V mengenai peran serta masyarakat Dalam Pasal 41 Ayat (2) Peran masyarakat sangatlah penting untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi. Apabila hukum Islam tidak bisa di terapkan terhadap menanggulangi dalam hukum Positif turut serta dalam menambah kekurangan yang ada di dalam hukum Islam untuk memberantas korupsi.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber pendapat para ahli hukum mengenai konsep dasar pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi menurut hukum positif dan hukum islam adalah sebagai berikut:

  22 , selaku

  Ketua Komisi Fatwa MUI di bagian pengkaji masalah hukum yang bekerja pada MUI Provinsi Lampung, mengatakan bahwa kasus Pemidanaan dalam korupsi dalam segi Hukum Islam, di dalam Hukum Islam biasa dikatakan sebagai pencurian dalam hukum islam yakni potong tangan dalam hukum di Indonesia tidak di izinkan akan tetapi dalam Bahasa Arab mengenai korupsi yakni Takzir dalam pengertian Bahasa Indonesia (hukuman), sehingga hukuman tersebut dikembalikan kepada pemerintah misalkan batasanya melampaui batas sedangkan Takzir tidak ada Batasan akan tetapi makna dari hukuman Takzir tersebut dapat memberikan hukuman jera kepada pelaku korupsi. Akan tetapi jika hukuman dapat memberi efek jera kepada koruptor maka hukuman mati di perbolehkan walaupun hukuman tersebut di tentang oleh masyarakat. Akan tetapi jika dilihat oleh masyarakat maka hukuman tersebut dilihat dari segi HAM akan tetapi bertentangan dengan Hukum Pidana, 22 Berdasarkan wawancara dengan narsumber akan tetapi dari segi masyrakat ingin sekali permasalahan korupsi tersebut dapat terselesaikan.

  2. Menurut Dr.

  H. Khairuddin Tahmid,M.H sebagai Wakil Dekan 1 Di UIN Raden Intan Lampung di fakultas Syari’ah dan selaku Ketua Umum MUI Provinsi Lampung, beliau berpendapat bahwa kejahatan dapat terbagi menjadi 2 yaitu, kejahatan biasa dan adapula kejahatan luar biasa atau yang bias disebut sebagai ekstraorgenary (kejahatan luar biasa). Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa jadi hukumannya tidak boleh hukuman yang biasa maka hukumannya luar biasa. Sedangkan dalam hukum di dalam pengaturan hukum Islam seperti jinayah dan hadiths terkait pemidanaan bagi koruptor. Korupsi tidak sama dengan halnya mencuri kalua mencuri hukumannya potong tangan karena perbuatan mencuri adalah yang dirugikan orang yang dicuri barang tersebut akan tetapi jika korupsi merupakan Lembaga atau Publick (uang masyarakat) ,uang negara, uang Yayasan, uang perusahaan, jadi karena sipelaku korupsi menyesensarakan bukan satu orang melainkan orang banyak jika perbuatan mencuri hanya merugikan satu orang maka penjatuhan hukumannya biasa saja karena di dalam Hukum Islam berbeda antara pencuri dan koruptor.

C. Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Menurut Kh. Munawir

  23 .

  3. Menurut Rohmat, S.Ag., M.H.I, sebagai dosen bagian Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan lampung, Beliau berpendapat bahwa perbedaan pemidanaan dan hukuman yakni ada tindak pidana atau delik atau pada umumnya dalam hokum Islam 23 Berdasarkan wawancara dengan narasumber dinamakan jaarimah kalau hukuman atau sanksi dalam hukum islam yang disebut dengan uqubah.pemidanaan itu apa? Kalau pertanggung jawaban dalam hukum pidana Islam al masluyiah filjari’imah. Dalam permasalahan hukum korupsi yang di atur dalam hukum islam adalah merupakan dasar hukum tindak pidana korupsi dalam hukum Islam adalah pidana khusus dan tidak dibahas secara khusus. Korupsi merupakan mengambil hak oranglain tetapi dengan cara mengambil harta akan tetapi tidak mengandung unsur pencurian, korupsi sangatlah dilarang di dalam Islam karena merupakan jalan batil akan tetapi tidak bisa dijatuhkan hukuman potong tangan karena bukan merupakan pencurian maupun perampokan akan tetapi melakukan perbuatan pidana. Korupsi dilarang karena memakan harta secara batil karena jika dicari dasar hukum di dalam Hadits maupun Al- Qur’an tidak ada.

  24 4.

  Menurut Dr. Maroni, S.H., M.H, sebagai dosen bagian hukum pidana dan selaku Wakil Dekan bagian Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung. Beliau berpendapat bahwa di dalam isu hukum dalam permasalahan korupsi misalkan sebagian besar Indonesia menganut agama islam dan kenapa nilai-nilai hukum Islam tentang korupsi tidak dimuat di dalam Undang-undang korupsi, kenapa hukum positif tidak mengakomodir? Prinsip- prinsip hukum Islam yang mengatur mengenai korupsi padahal pelaku korupsi di Indonesia mayoritas beragama Islam maka dari itu pemberantasan korupsi tersebut tidak 24 Berdasarkan wawancara dengan narasumber maksimal dengan prinsip-prinsip pemberantasan korupsi dalam hukum Islam 25 .

  D. Sanksi Korupsi

  Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam, perbuatan dosa atau perbuatah salah disebut jinayah-atau lebih tepat disebut-jarimah. Jarimah merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Jadi jarimah merupakan tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Jarimah tersebut bisa diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Perbedaan antara had dan ta’zir. Had adalah sanksi hukum yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nash, sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan- kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Adapun Jenis sanksi yang di berikan ada empat yaitu:

  1. al-‘Uqubah al-Asliyyah yaitu hukuman yang telah ditentukan dan merupakan hukuman pokok seperti ketentuan qishas dan hudud.

  2. al-‘Uqubah al- Badaliyyah yaitu hukuman pengganti. Hukuman ini 25 Berdasarkan wawancara dengan narasumber bisa dikenakan sebagai pengganti apabila hukuman primer tidak diterapkan karena ada alasan hukum yang sah seperti diyat atau ta’zir.

  3. al-‘Uqubah al Tab’iyyah yaitu hukuman tambahan yang otomatis ada yang mengikuti hukuman pokok atau primer tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti hilangnya mewarisi karena membunuh.

  4. al-‘Uqubah al-Takmiliyyah yaitu hukuman tambahan bagi hukuman pokok dengan keputusan hakim tersendiri seperti menambahkan hukuman kurungan atau diyat terhadap al- ‘Uqubah al-Ashliyyah 26 .

III. PENUTUP A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan dalam Bab terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:

  Pidana Korupsi menurut Hukum Positif dan Hukum Islam. Terdapat perbedaan dan dapat disimpulkan sebagai berikut: a.

  Hukum Positif menentukan pemidanaan Tindak Pidana

  Korupsi hanya kepada seseorang yang sudah terikat dalam suatu perbuatan ,atau salah satu dari pelaku sudah melakukan perbuatan pidana karena melakukan korupsi, yaitu hukuman penjara paling maksimal dua puluh tahun dan merupakan delik khusus.

  b.

  Hukum Pidana Islam menentukan Sanksi Tindak Pidana Korupsi kepada setiap orang dapat menjadi subjek delik korupsi tanpa membedakan suku maupun agama yang di jalani, baik korupsi secara menipulasi dan merugikan uang negara,uang Yayasan dan maupun uang perusahaan semua unsure tersebut harus dihukum. Pelaku korupsi dapat dijatuhkan hukuman di miskin semiskinnya dan bias di berlakukan sanksi yang lebih sadis yakni sanski moral yang dapat menjatuhakkan mental sipelaku yang dituduh melakukan korupsi maka akan tidak berdaya dan merasa dikucilkan oleh oranglain dan dapat pula diberikan berupa hukuman Takzir maupun Hukuman mati walaupun hukuman tersebut bertentangan yang ada di Indonesia akan tetapi jika hukuman tersebut memberikan efek jera maka pemerintah akan memperbolehkan diberlakukan di Indonesia.

  2. Penegakkan hukum mengenai tindak pidana korupsi menurut Hukum Positif, dan Hukum Islam berbeda. Dalam hukum positif diberlakukan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Hukuman penjara paling singkat 4 Tahun dan Hukuman maksimal 20 Tahun penjara , Sedangkan Hukum Islam diberlakukan hukuman potong tangan dan apabila hukuman tersebut tidak memberikan efek jera maka hukuman mati yang dapat diberikan bagi pelaku korupsi menurut hukum Islam. Para ahli hukum berpendapat, bahwa pemidanaan tindak pidana korupsi yang diterapakan dalam Hukum Positif di Indonesia yang mayoritas beragama islam dinilai belum memberikan efek jera, yaitu di dalam Undang-undang pemberantas-

1. Perbandingan Pemidanaan Tindak

  hukuman paling singkat 4 (empat) 1.

  Pada Tindak Pidana Korupsi, tahun penjara, sehingga pelaku sebaiknya digunakan delik khusus, koruptor masih meremehkan hukum sehingga tidak adanya perbedaan yang diberlakukan tersebut. Hukum dalam menetapkan hukuman bagi pidana yang diterapkan tersebut pelaku korupsi. belum mencapai tujuan memberikan 2.

  Mengingat bahwa Tindakan Korupsi efek jera atau nestapa kepada pelaku merupakan tindakan yang dapat tindak pidana, padahal seharusnya merugikan uangnegara,merusak hukum itu membuat orang yang akan nama baik Negara dan hukum yang melakukan tindak pidana berfikir berlaku di Negara. terhadap akibat yang ditimbulkan, 3.

  Kepada Pemerintah agar supaya baik kepada dirinya maupun orang segera diberlakukan Hukum Islam lain. Hukuman pidana Islam dalam agar supaya para koruptor dapat pengaturan hukum yang berlaku di diberikan efek jera dan bagi orang Indonesia belum dapat diterapkan, lain agar supaya berhati hati dalam karena belum mendapat izin dari melakukan perbuatan korupsi yang pemerintah secara langsung. Delik berdampak sangat merugikan bagi yang diterapkan dalam Hukum perekonomian Negara. Pidana Islam adalah Delik Khusus 4.

  Negara Islam diberlakukan hukuman yang berlaku dalam unsur-unsur Islam berdasarkan Al- Qur’an dan pidana dan apa saja hukuman yang Hadits tetapi tidak merusak kesatuan berlaku menurut Hukum Islam, dan persatuan akan tetapi adanya hukum Takzir, hukuman disesuaikan dengan Pancasila dimiskinkan dan adapula hukuman terlebih dahulu. yang bertentangan dengan HAM adalah hukuman mati atau hukuman DAFTAR PUSTAKA potong tangan kepada pelakuk korupsi. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan

  Asas Hukum Pidana , (Jakarta

  Hukum Pidana Islam menerapkan :Sinar Grafika, 2004) hukum yang tegas terhadap tindak Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi pidana korupsi maupun hukuman

  Melalui Hukum Nasional Dan

  mencuri dan manipulasi data secara

  Internasional , Jakarta: Raja

  diam-diam agar pelaku mendapatkan Grafindo Persada, 2005. keuntungan bagi dirinya sendiri, dan hukum pidana Islam yang menerapkan

  Barda Nawawi, Kebijakan Hukum sanksi berat terhadap suatu tindak

  Pidana , (Semarang, Kencana,

  pidana dibuat tuntuk membuat 2008) seseorang pelaku tindak pidana merasa

  Donny Ardayanto, Korupsi Di Sektor jera dan orang lain yang akan

  Pelayanan Publik Mencuri Uang

  melakukan tindak pidana tersebut akan

  Rakyat : 16 Kajian Korupsi Di takut melakukan korupsi. Indonesia, Buku 2, Yayasan Aksara

  Dan Partnership For Good B.

   Saran

  Governance Reform, (Jakarta, 2010. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut: H.M Nurul Irfan, Korupsi Dalam

  Hukum Pidana Islam ,

  (Jakarta:Amzah,2011),Ed 1,Cet 1

  IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum.

  Johnny Ibrahim, Metedologi Riset, Yogyakarta :Prasetyawidiapratama, 2000.

  Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung :Pustaka Setia, 2000)

  W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum

  Bahasa Indonesia , Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.

  Sumber lain

  Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.4,no. 1, Januari-Juni 2005, hlm. 112.

  Konsep Fiqih Jinayah Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi http://basyir-accendio.blogspot.co.id diakses pada tanggal 27 januari 2018 Pukul 11.00 wib http://basyir-accendio.blogspot.co.id/ diakses pada tanggal 1 februari

  2018, pukul 13.36 WIB Diakses pada tanggal 16 juli 2018 , Pada pukul 13.17 Wib.

  Diakses pada tanggal 16 juli 2018, Pada Pukul 21.15 Wib. pada tanggal 20 Juli 2018, Pada Pukul

  22.20 Wib.