KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA MEWUJUDKAN UPAH LAYAK

  KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA MEWUJUDKAN UPAH LAYAK (Jurnal Ilmiah) Oleh BERIYA TANGKARI UTAMA Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN

DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA

MEWUJUDKAN UPAH LAYAK

Oleh

Beriya Tangkari Utama, Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., Sri Sulastuti, S.H., M.Hum.

  Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

  

Email : tangkariberiya@gmail.com

  Upah merupakan tujuan utama dari seorang pekerja untuk melakukan pekerjaan, oleh karena itu pemerintah turut serta dalam menangani masalah pengupahan melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana pencapaian kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum provinsi dan apakah upah minimum provinsi telah mencapai kebutuhan hidup layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data yang telah diolah dianalisis dengan cara analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah mengeluarkan berbagai macam kebijakan guna mewujudkan upah layak yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum dan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Penetapan upah minimum dilakukan oleh Gubernur pada setiap tahun dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diarahkan pada pencapaian KHL sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya dapat terwujud. Salah satu penyebabnya yaitu belum ada ketentuan yang mengatur mengenai perbedaan pemberian upah antara pekerja lajang dan tidak lajang yang jelas kebutuhannya berbeda. Pemerintah sebaiknya melakukan perubahan atau revisi kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengupahan yang berorientasi pada terwujudnya upah layak untuk kesejahteraan pekerja/buruh tanpa menghambat keberlangsungan perusahaan dan proses produksi.

  Kata kunci : Kebijakan Pemerintah, Kebutuhan Hidup Layak, Upah Layak

  

ABSTRACT

THE GOVERNMENT POLICY IN THE MANAGEMENT OF

COMPONENTS AND STAGES OF DECENT LIVING STANDARD TO

ACCOMPLISH DECENT WAGES

By

Beriya Tangkari Utama, Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., Sri Sulastuti, S.H., M.Hum.

  Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

  

Email : tangkariberiya@gmail.com

  Wages are the main objective of a worker to perform the job, therefore the government takes control in handling wage issues through various policies set forth in the legislation. The problems in this study are formulated as follows: how do the decent living needs are achieved in establishing the provincial minimum wage? and, has the provincial minimum wage reached the needs of decent living in accomplishing decent wages for workers/laborers? This study is a normative law research. The data used was from secondary data with primary, secondary, and tertiary legal materials. The data that have been processed were analyzed using descriptive analysis. The results showed that the Government has issued various policies to accomplish decent wage, namely Law no. 13/2003 concerning Manpower, Government Regulation Number 78/2015 concerning Wages, Permenakertrans (the regulation of the minister of labor and transmigration) Number 7/2013 on Minimum Wage and Permenaker Number 21/2016 on Decent Living Needs. The determination of the minimum wage shall be made by the Governor on an annual basis by evaluating the productivity and economic growth. The Provincial Minimum Wages which directed to achieve the decent living needs as stipulated in the legislation have not been fully achieved. Among the causes was the absence of provision that regulates the difference of wages between single and married workers since the living needs must be different. The government should make changes or revisions to policies set forth in the legislation related to wage oriented for the accomplishment of decent wages for the welfare of workers without impeding the sustainability of the company and the production process. Keywords: Government Policy, Decent Living Needs, Decent Wage

BAB I PENDAHULUAN

  Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja yang sudah melakukan sebuah pekerjaan berhak untuk mendapatkan upah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan dan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

  Upah telah menjadi hak bagi pekerja/buruh yang harus diberikan oleh pemberi kerja, sebab pada dasarnya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh majikan kepada pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan.

  yang penting dan merupakan suatu tujuan utama dari seorang pekerja melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum lain, karena itulah pemerintah turut serta dalam menangani masalah pengupahan ini melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

  2 1 Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia , (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1997, hlm. 36 2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenaga- kerjaan Indonesia , (Jakarta:Rajawali Pers), 2012, hlm. 158

  Perihal besaran upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh didasarkan pada upah minimum yang menjadi salah satu kebijakan pengupahan dari pemerintah dan ditetapkan melalui mekanisme sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman.

1.1 Latar Belakang

  3 Upah minimum sebagaimana dimaksud

  di atas diarahkan kepada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL)

  4

  dengan prinsip bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Sejalan dengan era otonomi daerah manifestasi kebijakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah adalah Upah Minimum Provinsi (UMP).

  5 Adanya realitas yang menunjukkan

  bahwa masih terdapat pekerja/buruh di Indonesia yang berpenghasilan rendah, dan minimnya perlindungan terhadap para pekerja/buruh agar tidak menjadi korban sikap opportunis pengusaha, telah mendorong pemerintah memandang perlu diberlakukannya kebijakan penerapan upah minimum. Jika penetapan upah didasarkan pada mekanisme pasar, maka dapat dipastikan pekerja/buruh akan memperoleh upah yang sangat rendah, karena melimpahnya tenaga kerja di Indonesia. Kebijaksanaan penentuan upah minimum dimaksudkan untuk menjamin penghasilan pekerja/buruh, 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

1 Upah memegang peranan

  Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum 4 Pengertian KHL menurut Permenaker Nomor

  21 Tahun 2016 pada Pasal 1 Ayat 1 adalah standar kebutuhan seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 bulan. 5 meningkatkan produktivitas pekerja/ buruh serta mengembangkan perusahaan dengan cara-cara yang lebih efisien.

  terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan pemberian upah bagi pekerja/buruh. Hal tersebut ditunjukkan dengan situasi bahwa tidak semua perusahaan membayarkan upah pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa pekerja/buruh melakukan aksi demonstrasi terhadap pengusaha dikarenakan upah tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan berita yang dirilis dari detikfinance, masih terdapat beberapa daerah provinsi di Indonesia yang menetapkan UMP dibawah besaran KHL, daerah-daerah provinsi tersebut antara lain, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. UMP terendah tahun 2015 terdapat di Provinsi NTT Rp 1.250.000, padahal nominal KHL di NTT mencapai Rp 1.652.137. Kemudian disusul oleh NTB dengan UMP Rp 1.330.000 dengan nominal KHL Rp 1.430.064. Posisi ketiga ditempati oleh Maluku Utara dengan

  UMP Rp 1.577.617 dengan nominal

  KHL Rp 2.333.166. Kemudian Provinsi Gorontalo menetapkan UMP Rp 1.600.000 dengan nominal KHL Rp 1.864.379. Posisi terakhir diduduki oleh Provinsi Papua Barat dengan UMP Rp 2.015.000 dengan nominal KHL Rp 2.255.113.

  Merujuk pada situasi dan kondisi diatas salah satu tuntutan pekerja/buruh yang 6 Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah

  Minimum , (Yogyakarta:Universitas Gajah Mada), 2002, hlm. 299

  sangat urgen adalah mengenai kenaikan upah minimum sebesar 30 persen dan revisi komponen dan jenis KHL dari 60 komponen dan jenis KHL menjadi 84 komponen dan jenis KHL. Menurut Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi mengatakan bahwa jumlah komponen KHL yang berjumlah 60 item masih jauh dari kebutuhan riil pekerja lajang, masih ada 24 kebutuhan pekerja lajang yang belum masuk, seperti misalnya: jaket, kaos, jam tangan, jam dinding, tas kerja, sandal semi formal, parfum (kualitas KW super), bedak, jas hujan, komputer, Hand Phone, pulsa, payung, dompet, karpet, kipas angin, mesin cuci, dispenser, perlengkapan P3k, keset kaki, hanger dan horden, perlengkapan makan (mangkok, meja dan kursi makan).

6 Situasi empiris menunjukkan telah

  7 Dengan adanya tuntutan tersebut maka

  telah terjadi ketimpangan antara kebijakan atau regulasi dengan keadaan yang senyatanya, sehingga keadilan penerapan dan pemberian upah belum dirasakan oleh pekerja/buruh, sedangkan upah menjadi aspek yang penting bagi pekerja/buruh guna memperoleh kehidupan dan penghidupan yang layak untuk kesejahteraan secara personal dan bagi keluarga. Mengacu pada ketentuan

  Pasal 88 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mencapai penghasilan layak bagi pekerja/buruh tersebut maka pemerintah memberikan kebijakan upah minimum sebagaimana disebutkan pada Pasal 88 Ayat (3) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 dengan 7

   substansi kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh ialah upah minimum. Komponen Hidup Layak terdiri dari komponen-komponen yang merupakan jenis-jenis kebutuhan dasar bagi pekerja/buruh yang dapat memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. Arah pencapaian UMP terhadap KHL serta komponen dan jenis KHL tersebut telah diatur secara teknis dalam Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebagai perubahan dari Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 89 Ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Menilik kepada tuntutan pekerja/buruh agar upah minimum dinaikkan sebesar 30 persen dan komponen dan jenis KHL direvisi agar menjadi 84 komponen dan jenis KHL, maka perlu dilakukan tinjauan terhadap Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak karena dirasa telah terjadi perbedaan antara regulasi dengan realitas di masyarakat pekerja/buruh. Upah layak harus diperoleh pekerja/buruh sebab telah menjadi amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan agar kesejahteraan pekerja/buruh dapat tercapai melalui kebijakan pengupahan yang adil.

  Berdasarkan uraian di atas, dirasakan penting untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka penulis mengkajinya melalui penelitian dan judul yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah

  “Kebijakan Pemerintah

  Dalam Pengaturan Komponen Dan Tahapan Pencapaian Hidup Layak Guna Mewujudkan Upah Layak ”.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang yang menggambarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan identifikasi terhadap permasalahan sebagaimana dimaksud melalui perumusan masalah berikut ini : 1.

  Bagaimana pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) ? 2. Apakah Upah Minimum Provinsi telah mencapai Kebutuhan Hidup

  Layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh?

BAB III METODE PENELITIAN

  2.1 Pendekatan Masalah

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif. Pendekatan normatif yaitu pendekatan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan prilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang- undangan, kodifikasi, Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya dan norma hukum tertulis buatan pihak- pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catata hukum, dan Rancangan Undang- Undang).

  2.2 Prosedur Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan studi dokumen. Studi pustaka digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip perundang- undangan dan buku hukum tenaga kerja yang berkaitan dengan Komponen Hidup Layak (KHL). Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu dalam rangka kajian hukum.

  8

  Data yang telah diolah dianalisis dengan menggunakan cara deskriptif maksudnya adalah analisis data yang dilakukan dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.

  terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum provinsi. Instrumen hukum tersebut antara lain UUD 1945, UU Nomor 13 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016. Setelah dilakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan tersebut maka dapat dinyatakan materi hukum yang berkaitan dengan kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum adalah pengaturan kebutuhan hidup layak, mekanisme proses penetapan upah minimum berdasarkan standar KHL, dan komponen dan jenis KHL. Secara 8 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian

  Hukum , Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004,

  lengkap materi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Pengaturan mengenai Kebutuhan Hidup Layak

  Pengaturan mengenai KHL secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada Pasal 27 Ayat 2 yaitu

2.3 Analisis Data

  “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, pada Pasal 28 D Ayat 2 mengatur bahwa

  “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Kemudian mengacu Pasal 89 Ayat (4) UU

  Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri. Pengaturan komponen dan pelaksaan tahapan pencapaian KHL sebelumnya diatur dalam Permenkertrans Nomor PER.17/MEN/VIII/2015 tentang Komponen dan Pelaksaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Namun, pada perkembangannya peraturan menteri tersebut diubah dengan Permenkertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Point penting perubahan regulasi tersebut salah satunya adalah penyempurnaan KHL dari

BAB III PEMBAHASAN 3.1. Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dalam penetapan Upah Minimum Provinsi Dalam hukum positif di Indonesia

  46 komponen menjadi

  60 komponen. Kemudian, tepat pada tanggal 27 Juni 2016 telah disahkan Permenaker No.

  21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebagai perubahan dari Permenkertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Defenisi KHL menurut Permenaker nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak Pasal 1 Angka 1 adalah standar kebutuhan seseorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 (satu) bulan. Menurut pendapat penulis, kebutuhan hidup layak merupakan tolak ukur utama dalam menentukan upah minimum pekerja/buruh.

  Upah minimum merupakan suatu batasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada pengusaha untuk memberikan upah kepada pekerja/buruh, sehingga dengan adanya upah minimum pengusaha tidak dapat semena-mena dalam menentukan upah pekerja/buruh. Upah minimum tersebut digunakan sebagai penentu apakah seorang pekerja/buruh sudah mendapatkan hidup yang layak atau sebaliknya, dalam hal ini Pemerintah harus benar- benar turut andil dalam membuat kebijakan mengenai kebutuhan hidup layak yang bertujuan untuk menentukan upah minimum. Pemerintah harus memperhatikan apakah kebutuhan hidup layak pekerja/buruh sudah benar- benar dapat terpenuhi selama satu bulan, mengingat masih banyak terdapat perbedaan dalam menentukan upah minimum disetiap daerah.

  Berdasarkan penjelasan dari pasal-pasal tersebut, menurut pendapat penulis hal ini dapat menyebabkan KHL hanya berperan pada tahun kelima setelah adanya perubahan jumlah komponen KHL dan kualitas KHL itu sendiri. Di empat tahun tersebut penetapan upah minimum tidak dipengaruhi oleh nilai KHL tetapi hanya ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, Dewan Pengupahan Provinsi/ Kabupaten/ Kota akan kehilangan fungsi nya untuk berperan serta secara langsung dalam menentukan komponen dan jenis kebutuhan hidup layak. Hal ini dikarenakan penting untuk melakukan survey langsung kepada pekerja/buruh di lapangan mengingat bahwa data BPS adalah data sekunder berupa data olahan, sedangkan data survey langsung ke pekerja/buruh yang merupakan data primer. Dengan demikian, Pemerintah akan mengetahui secara menyeluruh mengenai komponen dan jenis kebutuhan hidup layak yang sangat dibutuhkan oleh pekerja/buruh.

  3. Komponen dan Jenis Kebutuhan Hidup Layak

  Didalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 pada Pasal 2 yang menjelaskan bahwa KHL terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini, dan telah dijelaskan juga di dalam ketentuan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 bahwa komponen KHL tidak mengalami perubahan. Ketentuan ini tertuang pada bagian penutup dari Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 yang menjelaskan bahwa pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan selain Pasal 2 dan Lampiran I Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Mekanisme Proses Penetapan Upah Minimum berdasarkan Standar KHL

  Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan diatas bahwa Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tidak merevisi ketentuan Pasal 2 dan Lampiran I pada Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012.

  Jika diamati, jumlah jenis KHL mengalami peningkatan dengan disahkannya Permenakertrans Nomor

  13 Tahun 2012. Jumlah jenis kebutuhan yang semula 46 jenis dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 menjadi 60 jenis KHL dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012. Penambahan baru tersebut yaitu ikat pinggang, kaos kaki, deodorant 100 ml/g, seterika 250 watt, rice cooker ukuran 1/2 liter, celana pendek, pisau dapur, semir dan sikat sepatu, rak piring portable plastic, sabun cuci piring (colek) 500 gr per bulan, gayung plastik ukuran sedang, sisir, ballpoint/pensil, cermin 30 x 50 cm.

  Setiap orang pada hakekatnya membutuhkan pekerjaan (bekerja), hal tersebut dimaknai bahwa setiap orang berhak untuk mengaktualisasikan diri melalui sarana pekerjaan sehingga seseorang yang bersangkutan merasa memiliki hidup yang lebih bermakna bagi diri dia sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Hal yang lebih mendasar daripada aktualisasi diri yaitu seseorang bekerja untuk memperoleh upah atas pekerjaan yang dilakukan, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan secara personal dan keluarga guna mencapai taraf hidup yang baik. Pekerja/buruh dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh.

  bagian penting dari suatu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Ditinjau dari segi yuridis 9 Lalu husni,Pengantar Hukum ketenagakerjaan

  Indonesia , (Jakarta: Rajawali Pers), 2012, Hlm

  hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh bersifat timbal balik karena masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.

  10 Setelah dilakukan pengkajian terhadap

  berbagai peraturan maka dapat dinyatakan materi hukum yang berkaitan dengan pencapaian upah minimum provinsi terhadap kebutuhan hidup layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/ buruh di Indonesia adalah mengenai pertumbuhan upah minimum provinisi dan kebutuhan hidup layak serta kelayakan upah minimum provinsi terhadap pekerja/ buruh. Secara lengkap materi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

3.2. Pencapaian Upah Minimum Provinsi terhadap Kebutuhan Hidup Layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh di Indonesia

  1. Pertumbuhan Upah Minimum Provinsi dan Kebutuhan Hidup Layak

  Pengukuran akan kemajuan sebuah perekonomian memerlukan alat ukur yang tepat, berupa alat pengukur pertumbuhan ekonomi antara lain yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) atau ditingkat regional disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu jumlah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu satu tahun dan dinyatakan dalam harga pasar.

  11 Penetapan upah minimum yang

  diatur dalam Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tidak lagi mempertimbang- kan mengenai PDRB, melainkan hanya berfokus kepada PDB saja. Namun, hal tersebut tidak berarti kita harus melupakan mengenai PDRB. Mengulas 10 Dikutip dari Jurnal Hukum Tri Budiyono,

9 Pada dasarnya pula upah merupakan

  Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit , (Semarang: Fakultas Hukum Undip), 2013, Hlm 417 11 Todaro, Michael,P, dan Stephen C, Smith, Pembangunan Ekonomi Edisi Ke Sembilan , sejenak mengenai PDB dan PDRB dalam dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk menggambarkan bagaimana pengaruh PDB ataupun PDRB sebagai factor pertimbangan penetapan upah minimum.

  Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah produksi barang dan jasanya meningkat. Angka yang digunakan untuk menaksir perubahan output adalah nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam nilai PDB.

  dapat diamati bahwa penurunan perekonomian global akibat krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2010 tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian di Indonesia jika dikomparasikan dengan dampak yang dialami Negara lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara dengan perfoma pertumbuhan PDB tertinggi di seluruh dunia pada tahun 2010 (berada di posisi 3 diantara kelompok Negara-negara G- 20).

  yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan

  III tahun 2014 mencapai Rp. 179.199,1 milyar, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 adalah Rp. 60.004,3 milyar. PDRB Jawa Tengah pada triwulan III tahun 2014 dibandingkan triwulan yang sama pada tahun 2013 mengalami pertumbuhan sebesar 5,4 Persen. Kedua, Provinsi DKI Jakarta secara total pada triwulan ke III tahun 2014 pertumbuhan ekonomi yang 12 Wisna Sarsi, Pengaruh tingkat upah dan

  pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat partisipasi angkatan kerja di Provinsi Riau , (Riau: Fakultas Ekonomi), 2014, Hlm 6 13

  diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan pertumbuhan sebesar 1,86% dibandingkan pada triwulan ke II tahun 2014, dan sebesar 6,02% dibandingkan pada triwulan ke III tahun 2013. Dengan demikian secara kumulatif PDRB Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 6,03% dibandingkan tahun 2013.

  14 Ketiga, Provinsi Jawa Timur turut

  mengalami pertumbuhan nilai PDRB yang meningkat. Perekonomian Jawa Timur diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada Triwulan II tahun 2014 sebesar Rp. 328,40 triliun. Jika diperbandingkan, triwulan III tahun 2014 dengan triwulan yang sama pada tahun 2013, mengalami pertumbuhan 5,91%.

12 Berdasarkan uraian data tabel diatas,

  Uraian data mengenai pertumbuhan ekonomi yang ditinjau dari pertumbuhan nilai PDB skala nasional dan PDRB di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan kecendrungan pertumbuhan PDB dan PDRB dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, meskipun kekuatan peningkatan yang terjadi fluktuatif. Meski demikian, kondisi perekonomian secara global maupun regional di Indonesia dinilai positif serta dapat membawa pengaruh baik di dalam pasar tenaga kerja yang dapat membuka peluang yang baik bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan UMP bagi pekerja/buruh yang mampu mengarahkan pada tercapainya KHL. Akan tetapi, terdapat situasi yang dapat dijadikan pertimbangan bahwa meningkatnya PDB atau PDRB maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja.

13 Pertama, perekonomian Jawa Tengah

  Menurut penulis, peningkatan jumlah tenaga kerja akan berdampak pada 14 kebijakan pengupahan oleh pemerintah serta beban upah yang harus ditanggung oleh pengusaha (perusahaan). Konsekuensi logis bagi pengusaha dalam melaksanakan kewajiban upah pekerja/buruh yaitu beban pembayaran (pengeluaran) bagi pengusaha akan semakin besar, selain itu permintaan dan penawaran upah antara pengusaha dengan pekerja/buruh akan menjadi kompleks yang berdampak pada perselisihan kepentingan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Pemerintah sebagai pihak yang netral bertindak sebagai penengah dalam hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan berperan sebagai pembuat kebijakan yang akomodatif dan adil sehingga kepentingan- kepentingan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dapat sama-sama terpenuhi. Aspek KHL sebagai salah satu dasar penetapan UMP di Indonesia secara aksional telah menimbulkan disharmonis terhadap hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Tuntutan pekerja/buruh mengenai kenaikan upah dan penambahan komponen KHL, pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mengkaji kebijakan pengupahan agar dapat mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai perubahan formulasi arah kebijakan ketenagakerjaan terutama yang berkaitan dengan pengupahan dimana salah satu bentuk dari kebijakan tersebut adalah kebijakan penentuan upah minimum yang awalnya didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), setelah itu diubah kembali dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM, dan saat ini acuan untuk penentuan upah minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

  15 Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat

  jelas bahwa kenaikan atau pertumbuhan UMP tahun 2016-2017 sebagian lebih atau di atas 10 persen dengan UMP di tahun sebelumnya. Diberlakukannya Permenakertrans tersebut adalah untuk menyesuaikan kebijakan komponen KHL dengan kondisi di lapangan serta untuk menyempurnakan kebijakan KHL yang terdahulu. Seiring dengan meningkatnya taraf hidup serta dinamika perekonomian Negara yang dirasa semakin tinggi, pekerja/buruh pun bereaksi terhadap upah yang diperoleh. Komponen KHL yang diasumsikan dapat mencukupi kebutuhan dasar pekerja/ buruh pada kondisi riil di lapangan dirasa masih jauh dari kehidupan layak pekerja/buruh, sehingga pihak pekerja/buruh melakukan protes kepada pemerintah untuk merevisi kebijakan komponen KHL yang terurai dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012. Setelah beberapa tahun kemudian, pada tanggal 27 Juni 2016 telah disahkan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak yang dinilai sebagai reinkarnasi dari Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012.

  2. Kelayakan UMP terhadap Pekerja/ Buruh

  Pekerja/buruh dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa

  15 Abdul Hakim, Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah , hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh.

  ditetapkan baik yang diuraikan kepada pencapaian KHL maupun yang ditetapkan berdasarkan KHL merupakan standar kebutuhan untuk seorang pekerja/buruh yang masih lajang (tanpa tanggungan), sehingga benar-benar hanya merupakan kebutuhan dasar yang relatif layak secara personal. Menurut Silaban (2012) yang dikutip dalam Tulus T.H. Tambunan menyatakan bahwa upah minimum yang didasarkan pada KHL yang ditujukan untuk pekerja/buruh lajang tidak relevan jika dikaitkan dengan upah layak. Sasaran KHL bagi pekerja/buruh lajang berperan sebagai jarring pengaman sosial, dimana konsep tersebut berbeda dengan konsep upah layak.

  diberikan kepada pekerja/buruh yang tidak lajang tentu harus memiliki perbandingan yang berbeda dengan mempertimbangkan masa kerja, jumlah beban keluarga, hingga prestasi kerja. Namun, ketentuan tersebut belum diatur secara pasti dalam kebijakan pemerintah, meskipun terdapat perusahaan yang telah menetapkan skala upah tersendiri skala upah tersendiri bagi pekerja/buruh yang tidak lajang sesuai dengan kebutuhan riil pekerja/buruh. Implikasi yuridis dari hal tersebut ialah belum adanya kepastian hukum terkait dengan ketentuan pemberlakuan skala upah bagi pekerja/buruh yang tidak lajang. 16 Lalu husni, Pengantar Hukum

  Ketenagakerjaan Indonesia , (Jakarta: Rajawali Pers), 2012, Hlm 30 17 Tulus T,H, Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional , (Jakarta: Ghalia

  Dengan demikian, agar dapat mewujudkan keadilan dan upah layak maka penerapan KHL sebagai dasar UMP tidak diberlakukan secara universal, dan perlu optimalisasi pemberlakuan skala upah bagi seluruh pekerja/buruh yang tidak lajang.

16 Upah minimum provinsi yang

  Komponen KHL sebagai pedoman terhadap penetapan UMP yang sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Akan tetapi, komponen KHL dari setiap rezim regulasi kebijakan pemerintah selalu memperoleh pertentangan dari pekerja/buruh. Tingginya tuntutan KHL oleh serikat pekerja yang menjadi dasar penetapan upah seringkali tidak diiringi dengan produktivitas pekerja/buruh itu sendiri. Kondisi tersebut yang sering menjadi persengketaan mengenai penetapan upah yang sesuai dan adil untuk kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.

17 Menurut analisa penulis, upah yang

  Pengusaha sebagai pihak pemberi kerja yang memiliki posisi lebih kuat memegang otoritas penuh terhadap keberlangsungan perusahaan termasuk dalam hal pengupahan, sehingga pengusaha pun sebaiknya dapat bersikap adil terhadap pekerja/buruh. Ketika perusahaan secara fundamental dan financial mampu untuk meningkatkan upah sesuai KHL, maka prevalensi pengusaha agar membayarkan upah yang layak bagi pekerja/buruh. Kemudian, dari pihak pemerintah sebagai penengah atau penentu kebijakan pengupahan diharapkan dapat menjunjung tinggi rasa keadilan dan netralitas. Pemerintah harus bersikap netral yaitu tidak memihak kepada pihak pengusaha ataupun pekerja/buruh. Kebijakan pemerintah sebagai sarana penyelesaian problematika pengupahan yang mampu mewujudkan hubungan yang kondusif antara pekerja/buruh dengan pengusaha,

  dan kebijakan tersebut mampu mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebijakan pengupahan di Indonesia.

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Merujuk pada analisis yang diuraikan di

  b.

  Tidak menitikberatkan kehendak masing-masing pihak demi kepentingan masing-masing pihak.

  b.

  Seyogyanya dapat menjaga dan mempertahankan sinergi serta hubungan kerja yang baik dan sehat dengan mengedepankan profesionalitas dan produktivitas.

  2. Bagi pekerja/buruh dan pengusaha a.

  Pemerintah melakukan perubahan atau revisi kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengupahan yang berorientasi pada terwujudnya upah layak untuk kesejahteraan pekerja/buruh tanpa menghambat keberlangsungan perusahaan dan proses produksi.

  Pemerintah harus bersikap netral serta menjunjung tinggi rasa keadilan dalam memberikan kebijakan dan menyelesaikan permasalahan upah di Indonesia.

  dalam Bab Pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Bagi Pemerintah a.

  Merujuk pada simpulan di atas, sebagai upaya memberikan jalan keluar dari permasalahan yang dikaji maka diberikan saran sebagai berikut :

  B. Saran

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja

  2. Upah Minimum Provinsi (UMP) diarahkan pada pencapaian KHL sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundang- undangan belum sepenuhnya dapat terwujud, dalam arti UMP belum dapat mencapai KHL. Mencermati kondisi dimana pada setiap periode/tahun rata-rata pencapaian UMP terhadap KHL, masih berada di bawah 100 persen, meskipun terdapat Provinsi menetapkan UMP diatas KHL.

  89 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan memuat komponen dan jenis kebutuhan hidup layak yang menjadi kebutuhan dasar pekerja/buruh. Akan tetapi dalam praktiknya Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 dinilai telah tidak relevan dengan kondisi riil pekerja/buruh dengan permasalahan yang mengerucut yaitu : 1) terkait dengan Kebutuhan Hidup Layak hanya didasarkan pada pekerja/buruh lajang yang tidak sesuai dengan konsep upah layak, 2) sistem penetapan nominal upah yang tidak menggunakan sistem proyeksi dan regresi sehingga nominal upah yang ditetapkan tidak relevan pada tahun riil, dan 3) Upah Minimum Provinsi (UMP) dianggap sebagai upah maksimum, sehingga kurang sesuai dengan kebutuhan riil pekerja/buruh.

  Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebagai peraturan teknis dari ketentuan Pasal

  DAFTAR PUSTAKA Sumber lain

  Hakim. Abdul. Reformasi Pengelolaan

  dan Pertanggungjawaban

  Fakultas Ekonomi. 2006. Husni. Lalu. Pengantar Hukum

  Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

  Muhammad. Abdulkadir. Hukum dan

  Penelitian Hukum . Bandung: PT

  Citra Aditya Bakti. 2004. Rachmat Budiono. Abdul. Hukum

  .

  Perburuhan Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada.

  1997.

  Suparjan dan Hempri Suyatno. .

  Kebijakan Upah Minimum

  Yogyakarta: Universitas Gajah Mada). 2002.

  T.H. Tambunan. Tulus. Globalisasi dan

  Perdagangan Internasional .

  Jakarta: Ghalia Indonesia. 2015. Todaro. Michael.P. dan Stephen C.

  Smith. Pembangunan Ekonomi

  Edisi Ke Sembilan . Jakarta : Erlangga. 2008.

  Tesis M Sri Wahyudi Suliswanto.

  Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Angka Kemiskinan di Indonesia .

  (Malang: Magister Ilmu Ekonomi Syariah Universitas Brawijaya). 2010.

Dokumen yang terkait

PERAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus di Polda Metro Jaya) Desy Dwi Katrin, Diah Gustiniati, Rini Fathonah email: (desydwikatrinyahoo.co.id)

0 0 11

PERENCANAAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERAPAN KOTA LAYAK ANAK

0 1 15

PELAKSANAAN SURAT EDARAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR: SE.8PSLB3PSPLB.052016 TENTANG PENGURANGAN SAMPAH PLASTIK MELALUI PENERAPAN KANTONG BELANJA PLASTIK SEKALI PAKAI TIDAK GRATIS DI KOTA BANDAR LAMPUNG (Jurnal)

0 0 15

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFICKING) Windy Astria, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email: windyastria11gmail.com, Erna Dewi, Eko Raharjo, Bagian Hukum Pidana Fa

0 0 13

PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG

0 0 16

PENEGAKAN HUKUM OLEH BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP AIR MINUM DALAM KEMASAN TANPA IZIN EDAR

1 2 23

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

0 0 12

PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TERPADU MANDIRI DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MESUJI LAMPUNG

0 0 15

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAM

0 0 8

PENGEMBALIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN JENJANG PENDIDIKAN SMASMK SEDERAJAT DARI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN KOTA KEPADA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROVINSI

0 1 12