Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pe

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Mohamad Ariin
Dudi Hidayat
Setiowiji Handoyo
Sri Mulatsih
Prakoso Bhairawa Putera
Dini Oktaviyanti
Galuh Syahbana Indraprahasta

Sistem Inovasi Daerah:
Inovasi Teknologi dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Penulis:

Mohamad Ariin
Dudi Hidayat
Setiowiji Handoyo
Sri Mulatsih
Prakoso Bhairawa Putera
Dini Oktaviyanti
Galuh Syahbana Indraprahasta
Copyright © 2013 IPB Press
Penyunting bahasa
Penata letak
Desainer sampul
Korektor

: Galuh Syahbana Indraprahasta dan Nia Januarini
: Noval Tensai
: Sani Etyarsah
: Dwi M Nastiti

PT Penerbit IPB Press
Kampus IPB Taman Kencana Bogor

Cetakan Pertama

: Mei 2013

Dicetak oleh Percetakan IPB
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
- Anggota IKAPI
ISBN : 978-979-493-504-0

Kata Pengantar
Buku ini merupakan hasil penulisan kembali dari penelitian mengenai
Penguatan Inovasi Teknologi dalam Rangka Mendukung Pengembangan
Ekonomi Lokal (PEL). Penguatan inovasi yang berorientasi pada spesialisasi
kewilayahan menjadi kunci keberhasilan pengembangan riset dan aplikasinya.
Seiring dengan itu, pergeseran paradigma pembangunan dari yang bersifat
sentralistik top-down menjadi desentralisasi bottom-up telah menempatkan
daerah sebagai salah satu ujung tombak pembangunan nasional. Untuk
itu perlu dipetakan kegiatan inovasi teknologi yang dilakukan oleh UKM,
khususnya industri makanan dan minuman dalam rangka mendukung

PEL. Lokus kegiatan ini adalah Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang,
Kabupaten Pasuruan, dan Kota Salatiga. Keempat daerah tersebut dipilih
karena memiliki potensi daerah yang dapat dikembangkan untuk mendukung
ekonomi lokal dari hasil inovasi teknologi. Fokus kegiatannya meliputi a)
Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT), industri berbahan baku
ketela; b) Agaricus Sido Makmur Sentosa (ASIMAS), industri berbahan baku
jamur; c) Bangkit Cassava Mandiri (BCM), industri berbahan baku singkong;
dan d) UKM Sehati, industri berbahan baku kedelai.
Industri yang dikelola oleh SPAT dan ASIMAS dalam mengembangkan
produk dari hasil inovasinya, tercermin dari tiga indikator inovasi yang baik,
yaitu (i) perusahaan ini mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam
meningkatkan eisiensi dan efektivitas produksi, termasuk menggunakan
teknologi dalam pembibitan; (ii) keinovatifan perusahaan yang ditandai dari
terbukanya manajemen terhadap ide-ide baru terkait dengan peningkatan
kualitas produk, terutama ide-ide varian produk dan pengemasan; dan (iii)
kapasitas berinovasi dari perusahaan ini terlihat sangat baik, tidak hanya dari
bagaimana perusahaan memaksimalkan produksi setiap tahunnya tetapi juga
mampu menghasilkan berbagai varian dari produk.
Sementara itu, kasus pengembangan mocaf yang dikembangkan oleh
BCM ditujukan untuk mengembangkan ekonomi pedesaan yang hanya

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Selain itu,
inovasi yang terjadi tidak ada sharing pengetahuan kepada UKM lainnya

Kata Pengantar

serta teknologi packaging-nya masih rendah. Untuk kasus UKM Sehati
dalam pengembangan usaha tidak terlepas dari adanya keterbukaan pemilik
untuk selalu mencari berbagai informasi berkaitan dengan pengelolaan UKM
yang baik dan berusaha untuk terus mencoba menerapkan ide-ide kreatif
yang muncul ke dalam berbagai bentuk inovasi, mulai dari inovasi proses,
inovasi produk, dan inovasi pemasaran. Berbagai bentuk inovasi tersebut
pada akhirnya berperan dalam memajukan UKM yang ia kelola dan turut
mengangkat pengembangan ekonomi lokal, minimal di sekitar tempat UKM
Sehati berada.
Akhirnya tim penulis yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian
Perkembangan Iptek-LIPI mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Riset dan Teknologi yang telah memberikan dana kegiatan ini melalui
Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Tak
lupa tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu menyampaikan pemikirannya serta memberikan masukan

dalam penyusunan akhir buku ini.

Jakarta, Januari 2013
Tim Penulis

vi

Daftar Isi
Hal

Kata Pengantar .............................................................. v
Daftar Isi ..................................................................... vii
Daftar Tabel ............................................................... xiii
Daftar Gambar .............................................................xv
Prolog ........................................................................ xvii

Bab 1

Strategi Pengembangan Ekonomi Wilayah
dengan Pendekatan Sistem Inovasi Daerah

(SIDa): Hambatan dan Prospek..................1

1.1 Pendahuluan ........................................................................ 1
1.2 Konsep Sistem Inovasi dalam
Diskursus Ekonomi Wilayah................................................ 2
1.3 Pokok-pokok Konsep Sistem Inovasi ................................... 4
1.3.1 Pengertian SINas ......................................................................5
1.3.2 Dasar Pemikiran Perlunya Konsep SINas ................................6
1.3.3 Konsep SINas bagi Negara Berkembang ..................................8

1.4 Isu-isu Penting dan Permasalahan dalam
Pengembangan SIDa di Indonesia...................................... 11
1.5 Interaksi antara Praktik Inovasi, Kebijakan Inovasi,
dan Teori Inovasi ............................................................... 15
1.6 Penutup ............................................................................. 19
Daftar Pustaka ................................................................... 19

Daftar Isi

Bab 2


Kajian Potensi Sumber Daya Lokal dalam
Pengembangan Inovasi Daerah ................23

2.1 Pendahuluan ...................................................................... 23
2.2 Konsep Sistem Inovasi Daerah ........................................... 25
2.3 Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi ................................... 27
2.4 Kebijakan Inovasi dan Kebijakan Daerah ........................... 28
2.5 Potensi Daerah................................................................... 30
2.5.1 Kota Salatiga ...........................................................................31
2.5.2 Kabupaten Trenggalek ............................................................33
2.5.3 Kabupaten Malang ..................................................................36
2.5.4 Kabupaten Pasuruan ...............................................................39

2.6 Penutup ............................................................................. 41
Daftar Pustaka ................................................................... 42

Bab 3

Potensi Pengembangan Singkong sebagai

Pengganti Tepung Terigu: Kasus di
Kabupaten Trenggalek................................45

3.1 Awal Mula Pengembangan Mocaf
di Trenggalek ..................................................................... 45
3.2 Mocaf dan Potensi Kemandirian Bangsa ............................ 48
3.3 Konsep Pengembangan Mocaf
di Kabupaten Trenggalek ................................................... 53
3.4 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ....................... 55
3.5 Potensi Keberlanjutan Mocaf
di Kabupaten Trenggalek ................................................... 60
3.6 Penutup ............................................................................. 65
Daftar Pustaka ................................................................... 65

viii

Daftar Isi

Bab 4


Peran Inovasi Teknologi dan Potensi
Unggulan Daerah dalam Pengembangan
UKM Sehati Salatiga...................................67

4.1 Pendahuluan ...................................................................... 67
4.2 Inovasi Teknologi dan Potensi Keunggulan Daerah
sebagai Faktor Pendorong Pengembangan
Ekonomi Lokal .................................................................. 74
4.3 Perkembangan UKM Sehati, Salatiga
di Bidang Makanan Olahan ............................................... 76
4.4 Model Peran Inovasi Teknologi
dan Potensi Unggulan Daerah dalam Mendukung
Pengembangan UKM Sehati, Salatiga ................................ 80
4.4.1 Potensi Unggulan Daerah ......................................................81
4.4.2 Inovasi Teknologi...................................................................83
4.4.3 Kebijakan Pemerintah ............................................................88

4.5 Penutup ............................................................................. 91
Daftar Pustaka ................................................................... 91


Bab 5

Kinerja Bisnis Agaricus Sido Makmur
Sentosa dalam Penguatan Inovasi
Teknologi Mendukung Pengembangan
Ekonomi Lokal............................................93

5.1 Pendahuluan ...................................................................... 93
5.2 Proil Wilayah Lawang-Malang (Jawa Timur) .................... 95
5.3 Perspektif Sejarah Pembentukan
Agaricus Sido Makmur Sentosa .......................................... 99
5.4 Kegiatan Usaha dan Produksi........................................... 101
5.5 Penerapan Teknologi ....................................................... 103

ix

Daftar Isi

5.6 Pola Hubungan Kinerja
Bisnis-Inovasi-Mendukung Ekonomi Lokal ..................... 108

5.7 Penutup ........................................................................... 113
Daftar Pustaka ................................................................. 114

Bab 6

SPAT dan Kontribusinya untuk
Pengembangan Ekonomi Lokal..............117

6.1 Otonomi Daerah, Pengembangan Ekonomi Lokal,
dan SPAT ........................................................................ 117
6.2 SPAT dan Aktivitasnya .................................................... 121
6.2.1 Sejarah..................................................................................121
6.2.2 Kelembagaan ........................................................................122
6.2.3 Produk SPAT .......................................................................124

6.3 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ..................... 126
6.3.1 Pengembangan Inovasi.........................................................126
6.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal............................................128
6.3.3 Tantangan Pengembangan Inovasi
dalam Mendukung PEL .......................................................130

6.4 Kesimpulan ...................................................................... 131
Daftar Pustaka ................................................................. 131

Bab 7

Penerapan Teknologi Pascapanen (Studi
Kasus: Penerapan Teknologi Pascapanen
di Kabupaten Malang)..............................133

7.1 Pendahuluan .................................................................... 133
7.2 CV Agrindo Cipta Mandiri.............................................. 141
7.2.1 Inovasi Teknologi.................................................................142
7.2.2 Kompleksitas Aset Khusus ...................................................144
7.2.3 Diferensiasi Produk..............................................................145

x

Daftar Isi

7.3 CV Inovasi Anak Negeri (Susu Listrik) ............................ 146
7.3.1 Inovasi Teknologi.................................................................148
7.3.2 Kompleksitas Aset Khusus ...................................................150
7.3.3 Diferensiasi Produk..............................................................150

7.4 Dampak Inovasi Teknologi Pascapanen terhadap
Pengembangan Ekonomi Lokal
dan Permasalahannya ....................................................... 151
7.5 Penutup ........................................................................... 155
7.5.1 Kesimpulan ..........................................................................155
7.5.2 Saran ....................................................................................156

Daftar Pustaka ................................................................. 156

Bab 8

Inovasi Teknologi Industri Makanan
dan Minuman untuk Mendukung
Pengembangan Ekonomi Lokal..............159

8.1 Pendahuluan .................................................................... 159
8.2 Kompleksitas Alat Khusus ................................................ 163
8.3 Inovasi Teknologi di Industri Makanan
dan Minuman .................................................................. 164
8.4 Inovasi Teknologi dan Potensi Daerah
sebagai Faktor Pendorong Pengembangan
Ekonomi Lokal ................................................................ 171
8.4.1 Sumber Daya Alam...............................................................174
8.4.2 Inovasi Teknologi.................................................................174
8.4.3 Kompleksitas Aset Khusus ...................................................175
8.4.4 Diferensiasi Produk..............................................................175
8.4.5 Kebijakan Pemerintah ..........................................................176

8.5 Penutup ........................................................................... 178
Daftar Pustaka ................................................................. 179

xi

Daftar Isi

Epilog ........................................................................ 183
Proil Penulis ............................................................. 191

xii

Bab III

Potensi Pengembangan Singkong sebagai
Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek
Galuh Syahbana Indraprahasta

3.1 Awal Mula Pengembangan Mocaf di
Trenggalek
Indonesia memiliki beragam sumber daya alam dan pertanian untuk dapat
dikembangkan. Keberadaan sumber daya alam ini belum dapat termanfaatkan
secara optimal sehingga masih berupa potensi yang perlu dikelola lebih
lanjut. Salah satu potensi sumber daya ini adalah tanaman ubi kayu atau
lebih dikenal dengan singkong (cassava). Sama dengan komoditas pertanian
lainnya, khususnya tanaman pangan dan hortikultura, luas lahan singkong
berkurang secara konsisten akibat pengembangan lahan terbangun (built-up
area). Sebagai gambaran, pada tahun 1993 luas panen singkong di Indonesia
adalah 1.388.700 ha. Luas ini secara konsisten menurun di mana pada tahun
2012, luas panen singkong menjadi 1.116.802 ha. Meskipun secara luasan
menurun, produktivitas nasional singkong secara konsisten meningkat dari
123,97 ku/ha tahun 1993 menjadi 203,06 123,97 ku/ha tahun 2012. Pada
tahun 2012, ada 3 provinsi yang mempunyai proporsi luas panen singkong
terluas di Indonesia, yaitu Bengkulu (31,07%), Jawa Timur (16,83%), dan
Jawa Tengah (14,62%). Provinsi lainnya di Indonesia memiliki proporsi luas
panen total, masing-masing kurang dari 10%. Tiga lokasi dengan luas lahan
panen tertinggi tersebut juga mempunyai produktivitas tertinggi dibandingkan
dengan provinsi lainnya, kecuali Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Di tengah potensi dan keberadaan singkong di Indonesia yang cukup
banyak, singkong sering kali dikonotasikan sebagai ‘barang rendahan’.

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Konotasi sebagai komoditas marginal ini membuat pengelolaan (termasuk
pengolahan) singkong menjadi ala kadarnya dan cenderung jalan di tempat.
Kondisi seperti inilah yang kemudian coba diterobos oleh beberapa pihak di
Kabupaten Trenggalek. Pihak-pihak ini kemudian mencoba mengembangkan
singkong menjadi tepung singkong (modiied casava lour atau mocaf). Salah
satu pihak yang berusaha menginisiasi ini adalah Soeharto, Bupati Kabupaten
Trenggalek pada periode 2005–2010. Ada berbagai pertimbangan yang
dijadikan Soeharto untuk menjadikan singkong sebagai pendorong ekonomi
lokal Kabupaten Trenggalek, antara lain pertimbangan dari aspek sosial,
teknik, dan ekonomi. Uraian singkatnya adalah sebagai berikut (Soeharto
2008).
Tabel 3.1 Pertimbangan pengembangan mocaf
No Aspek
1 Sosial

2 Teknis

Keterangan
• Jumlah keluarga miskin (gakin) tahun 2007 sebanyak 73.099
kepala keluarga (KK)
• Singkong merupakan tanaman turun-temurun
• Singkong digunakan sebagai sumber makanan
• Singkong ini ditanam di seluruh desa
• Jumlah keluarga petani singkong tahun 2007 sebanyak +
120.000 orang
• Teknologi sederhana sehingga dikuasai oleh petani

3 Ekonomi • Areal produksi singkong seluas 16.427 ha (2007)
• Produksi singkong sebesar 365.981 ton (September 2008)
• Produktivitas singkong sebesar 222,79 kw/ha (2007)

Awal mula pengembangan mocaf (modiied cassava lour) sebagai produk
olahan singkong sebenarnya juga tidak terlepas dari inovasi yang dihasilkan oleh
Achmad Subagio, seorang Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Jember, melalui teknik fermentasi sel singkong sehingga dihasilkan tepung
mocaf. Subagio mulai mencoba memperkenalkan produknya untuk dapat
diujicobakan. Pada tahun 2005 dalam suatu kesempatan, Subagio memaparkan
produknya di depan Bupati Trenggalek dan gayung pun bersambut.
Pengakuan atas kontribusi Subagio ini diapreasiasi oleh publikasi
“Who’s Who in the World 2010” yang dipublikasikan oleh Marquis dan
menempatkannya sebagai 1 dari 63 ribu orang lainnya sebagai tokoh kontributif
di dunia. Pada level nasional di tahun yang sama, Subagio dinobatkan

46

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

sebagai 1 dari 100 peneliti muda inovatif Indonesia. Selain publikasi yang
telah dihasilkan dari teknologi yang dikembangkan, kontribusi nyatanya
secara empiris khususnya di Kabupaten Trenggalek menjadi salah satu bukti
bagaimana Subagio menjadi salah satu pemain penting dalam pengembangan
mocaf di Kabupaten Trenggalek.
Aktor lainnya yang sangat penting berkontribusi adalah duet Subadianto
dan (alm.) Mulyono Ibrahim yang mengembangkan Koperasi Gemah Ripah
Loh Jinawi (GRLJ). Kombinasi antara dukungan pemerintah, komunitasbisnis, serta akademisi menjadi pemicu dimulainya pengembangan mocaf di
Kabupaten Trenggalek, sekaligus meningkatkan harkatnya.
Upaya yang telah dilakukan Kabupaten Trenggalek dalam pengembangan
mocaf telah mendapatkan perhatian luas, bahkan secara nasional. Hal
ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Pengolahan Hasil Pertanian Dinas
Pertanian Jawa Timur, Bambang Heryanto (www.kabarbisnis.com 2011)
bahwa pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek telah menjadi proyek
percontohan pengembangan tepung mocaf nasional.
Latar belakang tersebut memberikan suatu alasan penting mengapa
pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek menjadi menarik untuk
ditelaah. Secara gambaran umum, Kabupaten Trenggalek merupakan suatu
kabupaten yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur dan berdekatan
dengan perbatasan Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini terdiri atas 14
kecamatan, 152 desa, dan 5 kelurahan yang mencakup area seluas 1.261.140
ha. Dari wilayah daratan yang ada (tahun 2011), diketahui bahwa 60.936 atau
48,31% dari luas total wilayah Kabupaten Trenggalek adalah hutan negara
yang berada dalam penguasaan Perhutani. Secara penggunaan lahan selain
dominasi oleh hutan negara, tanah kering menempati penggunaan lahan
kedua dominan seluas 48.188 ha (38,2%), diikuti oleh lahan sawah 12.230
ha (9,7%), dan perkebunan 2.538 ha (2,01%). Secara topograis, sekitar 2/3
dari daratan kabupaten ini adalah pegunungan. Dari sisi kependudukan,
Kabupaten Trenggalek mempunyai penduduk (tahun 2010) sejumlah
674.411 jiwa atau 193.261 KK. Adapun jumlah KK penerima BLT pada
tahun 2007 di Kabupaten Trenggalek sebesar 73.009 KK atau sekitar 39,4%
dari keseluruhan KK (tahun 2007).

47

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Gambar 3.1 Peta Kabupaten Trenggalek
Sumber: BPS (2012)

Untuk mencoba mengkaji secara singkat tetapi menyeluruh, tulisan
ini dibahas dalam 5 bagian, bagian pertama sudah dibahas pada subbab ini.
Adapun keempat bagian bahasan lainnya terdiri atas subbab mocaf dan potensi
kemandirian bangsa, konsep pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek,
inovasi mocaf dan pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Trenggalek,
serta kesimpulan. Pendekatan dari studi ini merupakan eksplorasi mendalam
dari kerangka analisis yang dipaparkan dalam Bab 2 buku ini, utamanya
menempatkan inovasi sebagai pendorong ekonomi lokal.

3.2 Mocaf dan Potensi Kemandirian Bangsa
Tepung terigu (kata terigu berasal dari bahasa Portugis trigo yang berarti
gandum1) mempunyai banyak penggunaan di Indonesia, antara lain sebagai
bahan pembuatan roti, mi, kue, pastri, biskuit, dan bakso. Dapat dikatakan
bahwa tepung terigu sudah menjadi kebutuhan dasar bagi banyak makanan di
Indonesia. Oleh karena itu kedudukan olahan gandum ini menyangkut hajat
hidup orang banyak. Meskipun demikian, gandum sebagai bahan dasar dari
tepung terigu sebenarnya bukan berasal dari Indonesia. Tanaman ini pada
awalnya dibudidayakan di lahan dengan iklim subtropis.
1

48

Deinisi ini dapat ditelesuri di http://id.wikipedia.org/wiki/Gandum

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

Beberapa intervensi teknologi dan pengembangan membuat gandum
dapat dibudidayakan di daerah tropis seperti Indonesia. Penanaman gandum
di Indonesia sudah dimulai di Indonesia secara terbatas sejak awal abad ke20 di Jawa, terutama di Pengalengan, Dieng, Tengger, dan Amanumbang
(Surabaya Post 2012). Kusuma (2012) menjelaskan gandumisasi Indonesia
dimulai pada tahun 1969 melalui PL480 atau Paket Kerja Sama Public Law
Nomor 480 di era Pelita I. Pada rentang 1960–1970an, Amerika Serikat
sedang mengalami surplus gandum. Untuk menstabilkan harga, kelebihan
gandum tersebut disimpan di lumbung negara dan digunakan sebagai alat
propaganda politik luar negeri. Indonesia menerima bantuan pangan ini
karena harga beras saat itu tinggi dan upaya diversiikasi tanaman pangan
masih berjalan.
Puspita (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa pengembangan gandum
secara formal dimulai sejak era Prof. Dr. Ir. H. hoyib Hadiwijaya, Menteri
Pertanian, membentuk Tim Inti Uji Adaptasi Gandum pada tahun 1978
dengan lokasi uji coba yang terletak di Kabanjahe-Sumatera Utara. Adapun
benih jagung yang digunakan adalah Cimmyt Meksiko dengan produktivitas
4 ton/ha dalam bentuk pecah kulit. Pengembangan lebih intensif kemudian
dilakukan oleh pihak swasta, yaitu PT ISM Bogasari Flour Mills yang
mensponsori kegiatan penelitian gandum di Indonesia melalui Proyek
Gandum 2000 pada tahun 2000. Proyek ini dilakukan melalui kerja sama
antara Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Brawijaya (UB), SEAMEO Biotrop, Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) Salatiga, dan Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo. Hasil yang
didapatkan dari penelitian ini adalah pemetaan wilayah yang sesuai untuk
pembudidayaan tanaman gandum. Pascakerja sama tersebut, tepatnya
tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian merintis
pengembangan gandum dalam bentuk demonstrasi area di 6 provinsi, yaitu
Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Benih yang digunakan adalah galur
asal India dan Cimmyt. Panen perdana gandum dilakukan pada tahun 2002
di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Untuk membuatnya lebih massal, pada
tahun 2004 Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian
mencanangkan dan meluncurkan Program Pengembangan Gandum Berkibar
(Berkembang, Kurangi Impor, dan Bantu Rakyat) seluas 1 juta hektar yang
diharapkan dapat terwujud di Indonesia. Ada 4 varietas gandum yang
dikembangkan di Indonesia, yaitu (1) Dewata yang berasal dari DWR 162
(India), (2) Selayar yang berasal dari Cimmyt Meksiko, (3) Nias yang berasal
dari hailand, dan (4) Timor yang berasal dari India.
49

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa gandum dapat
dibudidayakan di Indonesia dan produksi tepung terigu dapat dilakukan di
Indonesia. Untuk memahami lebih lanjut mengenai tepung terigu maupun
gandum, menarik untuk menelaah beberapa data dan informasi. Menurut
Media Data Riset (2010) pada tahun 2009, konsumsi tepung terigu nasional
sebesar 4,6 juta ton. Adapun impor tepung terigu sebesar 646,7 ribu ton atau
14,2% dati total konsumsi. Permintaan tepung ini akan terus meningkat dan
diproyeksikan pada tahun 2014, konsumsi ini mencapai 5,7 juta ton atau
tumbuh 7,4 %. Meskipun proporsi impor tepung terigu terkesan minor, data
lebih menakjubkan akan tergambarkan jika melihat besarnya impor gandum
Indonesia. Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture
(2012) per Agustus 2012, Indonesia merupakan negara importir gandum
terbesar ketiga di dunia, yaitu sebesar 6,6 juta ton atau 4,83% dari total impor
dunia. Adapun Mesir menjadi negara importir terbesar pertama dengan 9,5
juta ton dan Brazil di posisi kedua dengan 7 juta ton. Meskipun dianggap
dapat memproduksi gandum, tetapi beberapa laporan dunia menyangsikan
kemampuan produksi lokal gandum Indonesia. Salah satunya adalah analisis
yang dilakukan oleh Weigand (2011) yang tidak melihat Indonesia mampu
memproduksi gandum. Weigand kemudian memaparkan bahwa impor
gandum Indonesia tumbuh 35% selama 1 dekade terakhir. Diprediksikan
bahwa pada tahun 2050, impor gandum Indonesia akan meningkat 34% dari
tahun 2010.
Bogasari merupakan pemain utama dalam tepung terigu dengan
penguasaan pasar domestik sebesar 57% (Media Data Riset 2010). Hal ini
tidak terlepas dari sejarah bagaimana PT Bogasari mendapatkan keistimewaan
oleh Soeharto saat adanya PL480 (Kusuma 2012). Sebagai industri tepung
terigu besar pertama dan terus berkembang, tidak mengherankan jika Bogasari
mampu menguasai pasar domestik.

50

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

Gambar 3.2 Beberapa produk tepung terigu lokal (a) bogasari, (b) sriboga2
Meskipun demikian, terlepas dari dapat atau tidaknya gandum untuk
dibudidayakan secara lokal, mocaf mempunyai potensi untuk dapat digunakan
sebagai subsitusi tepung terigu maupun gandum (sebagai bahan baku tepung
terigu) yang selama ini banyak diimpor. Mocaf yang berasal dari pengolahan
singkong tentunya berakar dari budaya dan sumber daya lokal yang lebih
kuat. Mocaf sebagai alternatif subsitusi tepung terigu dapat memperkuat
diversiikasi pangan. Posisi beras saat ini yang dianggap makanan pokok
wajib bagi hampir semua wilayah di Indonesia telah menimbulkan beberapa
dampak negatif, utamanya karena laju produksi beras tidak bisa mengikuti
laju pertumbuhan penduduk. Kondisi yang terjadi pada beras seperti ini
sebaiknya dapat diantisipasi oleh pola konsumsi-produksi gandum-tepung
terigu. Ketahanan pangan, apalagi kedaulatan pangan tentu dapat menjadi
alasan logis untuk mengembangan mocaf sebagai aset asli sumber daya lokal
Indonesia.
Pada tahun 2011, luas panen ubi kayu atau singkong di Indonesia
berkisar 1.184.696 ha atau sekitar 8,97% dari luas panen padi. Besaran ini
menunjukkan cukup baiknya potensi singkong yang tersedia di Indonesia,
baik untuk dapat dikonsumsi langsung sebagai panganan pokok maupun
diolah lebih lanjut menjadi tepung. Tren luas produksi singkong selama 10
tahun terakhir (2001–2011) cukup stabil, meski ada kecenderungan sedikit
menurun. Dibandingkan dengan jenis komoditas penghasil kaborhidrat
lainnya seperti padi dan jagung, kecenderungan penurunan pada singkong
menandakan adanya pergeseran pola konsumsi dan produksi panganan pokok
di Indonesia (Gambar 3.3).
2

Sumber gambar: http://www.bogasari.com/0_images/about/static/201113117285693.jpg dan
http://w29.indonetwork.co.id/ pdimage/94/1603094_indonetwork3.jpg

51

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Gambar 3.3 Tren luas panen komoditas pangan nasional (ha)
Di Kabupaten Trenggalek, singkong dijadikan sebagai bahan makanan
pokok penghasil karbohidrat selain beras. Pada tahun 2011, konsumsi
singkong di kabupaten ini sebesar 116,27 kg/tahun yang menempati urutan
kedua terbesar setelah beras. Dibandingkan dengan komoditas beras dan
jagung secara total, konsumsi singkong per tahun sebesar 33,21%, di mana
beras 42,74% dan jagung 24,05%. Luas panen singkong juga cukup besar,
yaitu 28,36 ha atau 33,21% jika dibandingkan dengan padi dan jagung secara
total (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Konsumsi dan luas panen padi/beras, jagung, ubi kayu di
Kabupaten Trenggalek

52

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

Gambaran di atas memberikan deskripsi awal jika singkong di Kabupaten
Trenggalek menjadi sumber daya lokal yang patut untuk dikembangkan.
Singkong, jika dilihat dari sisi konsumsi dan produksi (diwakilkan oleh luas
panen) merupakan komoditas pokok yang sudah mengakar di masyarakat
Kabupaten Trenggalek. Pengembangan luas panen singkong meski berada di
posisi kedua setelah padi, graiknya cenderung menurun (tahun 2007–2011).
Hal ini berbeda misalnya dengan padi yang ada kecenderungan untuk naik.
Gejala monoisasi beras di Kabupaten Trenggalek tampaknya juga terjadi
meski dalam skala yang lambat. Untuk itu, tanpa memarginalisasi peran
padi/beras serta dalam rangka kedaulatan pangan di Kabupaten Trenggalek,
singkong dapat menjadi penggerak ketahanan pangan sekaligus ekonomi
lokal (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Tren luas panen komoditas pangan di Kabupaten Trenggalek
(ha)

3.3 Konsep Pengembangan Mocaf
di Kabupaten Trenggalek
Pengembangan industri mocaf di Kabupaten Trenggalek dilakukan
dengan pendekatan kewilayahan dengan pabrik pengolahan mocaf sebagai
pusat dari aktivitas. Pendekatan kewilayahan diimplementasikan dalam bentuk
wilayah produksi (60 klaster) dan satu pusat pengolahan. Klaster-klaster yang
terbentuk berfungsi sebagai tempat ditampungnya singkong-singkong dari
petani dan kemudian diproses secara sangat sederhana, yaitu dibuat chips.
Setelah proses ini dilakukan, singkong-singkong tersebut kemudian dibawa
53

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

ke pusat pengolahan (pabrik pengolahan) untuk dijadikan mocaf. Mekanisme
kerja sama antara klaster dan PT Bangkit Cassava Mandiri (PT BCM) adalah
kemitraan dengan Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi (GRLJ) sebagai
fasilitator. Peran Koperasi GRLJ dalam hal ini adalah menyediakan enzim
sebagai input industri kepada klaster secara gratis. Koperasi GRLJ sendiri
mendapatkan biaya hak paten enzim dari PT BCM. Koperasi GRLJ beserta
PT BCM berlokasi saling berdekatan di Desa Kerjo, Kecamatan Karangan.
Selain sebagai fasilitator enzim, koperasi berperan dalam penyediaan
fasilitas “lunak”. Pengembangan mocaf ditujukan langsung untuk
mengembangkan ekonomi pedesaan yang mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, upaya pengembangan mocaf sangat menekankan
pada penguatan UMKM. Koperasi berperan sebagai pengawas dan pemberi
pinjaman kelompok penghasil chip ubi kayu (klaster/kelompok). Selain aspek
inansial, koperasi ini juga memberikan bimbingan teknis untuk membuat
produk yang lebih berkualitas dan eisien (Astuti 2010; Sari 2011).
Keberadaan kelompok/klaster singkong juga memegang peranan
penting, khususnya di level hulu untuk meningkatkan kualitas pasokan
bahan baku mocaf. Tugas utama dari klaster adalah mengupas, mencuci, dan
menggiling singkong segar menjadi irisan singkong (chip). Chip ini kemudian
direndam dalam larutan bakteri fermentasi. Setelah itu, chip ini dibawa ke
PT BCM untuk dilakukan proses penepungan. Tidak semua 60 kelompok
(klaster) singkong aktif berproduksi. Terhitung hanya 20 kelompok yang
paling aktif dalam berkegiatan (Astuti 2010). Tentunya ada berbagai faktor
yang memengaruhi, salah satunya adalah gagal panen akibat faktor cuaca.
Kendala lainnya dalam pasokan singkong ke klaster adalah pada mekanisme
penjualan yang diterapkan, yaitu mengkuti mekanisme pasar. Mekanisme ini
memperbolehkan petani singkong untuk bebas menjual singkongnya kepada
siapa saja, baik di dalam maupun luar klaster. Harga dan jumlah singkong
yang beredar di pasaran ditentukan dari mekanisme permintaan-penawaran.
Suatu produk tidak akan menghasilkan keuntungan jika tidak dapat
dijual, begitupun dengan penjualan mocaf. Selain aspek hulu-usaha tani yang
dapat terkelola dengan baik, penting juga untuk menguatkan sektor hilir.
Dengan semangat untuk memajukan kesejahteraan masyarakat serta menjadi
subsitusi bagi tepung terigu, Soeharto sebagai Bupati Trenggalek saat itu
langsung ikut terjun ke lapangan untuk memasarkan produk mocaf ini, baik
melalui pameran maupun membuka jaringan ke industri makanan. Ada dua
industri makanan yang menjadi pembeli terbesar produk mocaf ini, yaitu PT

54

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

Tiga Pilar Sentosa Food dan PT Dua Kelinci. Mekanisme pembelian dan
penjualan antara PT BCM dengan dua industri tersebut dan pembeli lainnya
mengikuti mekanisme pasar. Oleh karena itu, daya saing mocaf harus sesuai
dengan kualitas yang diminta pasar (Bappenas 2009).
Ulasan tersebut memberikan gambaran bahwa ada 4 (empat) aktor/
pihak kunci dalam pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek sesuai
dengan konsep yang ada, yaitu para petani sebagai pemasok singkong yang
dipanen, klaster sebagai pengumpul dan pemrosesan sederhana singkong dari
beberapa petani, koperasi sebagai manajer umum, dan pabrik sebagai tempat
pembuatan mocaf. Aktivitas akhir dari produksi mocaf ini adalah pemasaran,
baik untuk kebutuhan industri makanan maupun kebutuhan rumah tangga
secara individual. Proses produksi mocaf secara singkat dapat dilihat pada
Gambar 3.6 berikut.

Gambar 3.6 Sistem pengembangan mocaf Kabupaten Trenggalek

3.4 Inovasi dan Pengembangan
Ekonomi Lokal
Pengembangan ekonomi lokal terkait dengan mocaf diawali oleh
inovasi yang dikembangkan oleh Achmad Subagio. Inilah inovasi utama dari
pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek. Inovasi ini cenderung berupa
inovasi produk, khususnya terkait bagaimana singkong dapat diolah lebih
lanjut menjadi tepung singkong. Inovasi yang dihasilkan ini terbukti telah

55

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

dapat diaplikasi untuk membuat produk olahan baru, terutama membuat
mocaf yang mempunyai bau tidak menyengat. Inovasi inilah yang kemudian
membedakan dengan inovasi pengembangan mocaf lainnya. Keunikan yang
dihasilkan serta aplikasi massal di Kabupaten Trenggalek menjadikan inovasi
yang dihasilkan mempunyai nilai guna yang banyak.
Selain itu, yang perlu dicermati adalah inovasi teknologi. Inovasi teknologi
khususnya terkait dengan peralatan maupun mesin yang digunakan untuk
memproduksi mocaf kurang terjadi. Peralatan maupun mesin yang terdapat
di PT BCM maupun Koperasi GRLJ, beberapa di antaranya dibuat sendiri
dengan prinsip teknologi tepat guna. Beberapa lainnya dibeli langsung karena
prioritas pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek masih difokuskan
untuk mengembangkan ekonomi masyarakat. Sejak berdirinya pabrik tahun
2006, proses pengembangan teknologi dalam peralatan dan mesin berjalan
secara inkremental yang lambat. Fokus pada pengembangan ekonomi
masyarakat dengan produk akhir mocaf membuat pengembangan teknologi
dalam konteks ini kurang diperhatikan. Salah satu lembaga litbang nasional
yang pernah terlibat dalam pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek
juga tidak memperkaya teknologi dan inovasi, justru yang dilakukan adalah
memberikan peralatan gratis yang dibeli dari produsen tertentu3.
Pengembangan sumber daya manusia maupun unit penelitian dan
pengembangan (litbang) untuk mendukung inovasi tidak ditemukan dalam
alur bisnis pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek, baik yang
disediakan secara internal oleh PT BCM, Koperasi GRLJ dan Pemerintah
Kabupaten Trenggalek, maupun secara eksternal seperti perguruan tinggi
dan lembaga litbang. Kondisi seperti ini membuat proses pembaruan berjalan
di tempat. Dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia yang terlibat
dalam pengembangan mocaf ini pasca-inovasi yang dilakukan oleh Subagio
tampaknya juga tidak dikhususkan untuk mengembangkan pengetahuan
maupun kecapakan dalam mendukung inovasi lebih lanjut. Hal ini tentunya
memberikan indikasi lain bahwa fokus pengembangan sumber daya
manusia (termasuk pengetahuan yang melekat di dalamnya) belum menuju
pengembangan sumber daya manusia yang menunjang terjadinya inovasi
lebih lanjut. Selama ini, sumber daya manusia internal yang mempunyai
pengalaman serta diharapkan mengawal dalam proses litbang dan inovasi
adalah Cahyo Handriadi. Saat ini Cahyo berperan sebagai bendahara Koperasi
GRLJ serta sebelumnya pernah menjadi Anggota Peneliti Program Rusnas
Kementerian Riset dan Teknologi ‘Pengembangan Modiied Cassava Flour’.
3

56

Berdasarkan wawancara dengan Cahyo Hendriadi, bendahara Koperasi GRLJ pada tanggal 27
April 2012

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

Untuk inovasi dalam aspek diferensiasi produk, produk dari PT BCM
kurang bervarian. Produk utama yang dihasilkan adalah mocaf (tepung
singkong). Beberapa produk turunan lainnya berupa pembuatan kue (kering),
kue lapis, brownies, dan beragam panganan lainnya dengan penggunaan mocaf
100% (tidak menggunakan terigu). Untuk pemasaran lebih besar, mocaf ini
kemudian didistribusikan pada beberapa perusahaan, terutama mi untuk
dijadikan bahan pengganti tepung terigu. Dari perspektif diferensiasi produk
terlihat jika target pasar dari produk mocaf ini adalah perusahaan makanan
yang tidak terlalu mementingkan aspek packaging. Begitupun dengan pasar
rumah tangga yang jumlahnya terbatas dan lebih banyak lokal. Diferensiasi
produk yang terbatas ini juga terkait dengan pasokan singkong yang belum
stabil, utamanya dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang tidak menentu.

Gambar 3.7 (a) Produk mocaf PT BCM, (b) kue kering, (c) kue lapis
Sumber: Soeharto (2008)

Potensi pengembangan produk lain di luar mocaf dari bahan dasar
singkong dapat dilakukan. Ubi kayu dapat dimanfaatkan baik dari
umbi, batang, maupun daunnya. Mocaf sendiri merupakan produk yang
dikembangkan dari bagian umbi, khususnya pati yang telah difermentasikan.
Beberapa produk lainnya yang dapat dikembangkan adalah pakan ternak,
papan partikel, briquet, etanol, tepung tape, roti casabe, asam sitrat, glukosa,
dan maltosa sirup. Gambar 3.8 berikut ini memberikan detail mengenai
produk turunan singkong.

57

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Gambar 3.8 Produk turunan singkong
Sumber: Bappenas (2009)

Inovasi yang dihasilkan oleh Subagio tidak akan berdampak terhadap PEL
jika jaringan produksi dan pemasaran di Kabupaten Trenggalek khususnya
yang dilakukan oleh Bupati Trenggalek, Koperasi GRLJ, dan PT BCM
tidak memfasilitasinya. Soeharto, Bupati Trenggalek menunjukkan beberapa
inisiatif dalam mendorong pengembangan mocaf secara massal, salah satunya
adalah dengan membangun pabrik pengolahan (menjadi bagian dari PT
BCM)4. Pengembangan pabrik ini sangat penting untuk memproduksi secara
massal mocaf. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Trenggalek juga memberikan
bantuan dari APBD untuk mengembangkan industri ini, antara lain mesin
slicer dan press, mesin pengering, dan beberapa bentuk bantuan lainnya.

58

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

(a)

(b)

Gambar 3.9 (a) Kondisi dalam pabrik; (b) mesin slicer dan mesin press
Sumber: Soeharto (2008)

Peran Soeharto, Bupati Trenggalek, dalam memasarkan mocaf maupun
turunannya sangat besar. Dia terjun langsung dari pameran ke pameran,
baik yang dimaksudkan sebagai promosi ke masyarakat luas dan kalangan
bisnis maupun untuk mempromosikan manfaat singkong pada masyarakat
Kabupaten Trenggalek sendiri. Upaya ini menjadi indikasi kuatnya komitmen
pimpinan daerah dalam mengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek,
khususnya yang dipimpin oleh Soeharto pada periode 2005–2010.

(a)

(b)

Gambar 3.10 (a) Pameran di JCC April 2007, (b) Pameran di Kab. Trenggalek
April 2008
Sumber: Soeharto (2008)

Pengembangan ekonomi lokal dalam kasus mocaf di Kabupaten
Trenggalek dijalankan dalam payung prioritas pengentasan kemiskinan.
Jumlah petani singkong yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin

59

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

menjadikan prioritas PEL untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten
Trenggalek, terutama untuk membuka lapangan kerja baru maupun
meningkatkan penghasilan para pekerja yang bergerak di industri mocaf.
Pada tahun 2008, ada 1.236 tenaga kerja yang terlibat dalam pengembangan
industri mocaf di Kabupaten Trenggalek, di mana 1.060 orang di klaster
(petani), 159 orang sebagai pengepul dan buruh, dan 17 orang di pabrik
(Soeharto 2008). Gambaran ini memang belum mencerminkan penyerapan
tenaga kerja yang signiikan, terutama jika melihat terdapat sekitar 120.000
petani singkong di Kabupaten Trenggalek. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
pasokan singkong masih menjadi kendala karena petani bebas menjual ke siapa
pun dengan harga pasar. Petani tidak mempunyai ikatan kontrak pada klaster,
sehingga mempunyai posisi tawar yang baik khususnya terkait dengan harga.
Kondisi ini juga membuat industri sering kali membeli singkong dari luar
untuk memenuhi produksinya. Gambaran ini bisa mengindikasikan potensi
PEL yang belum tergali di Kabupaten Trenggalek dengan pengembangan
mocaf saja. Potensi ini menjadi lebih besar jika mempertimbangan keragaman
produk turunan singkong yang dapat dikembangkan lebih lanjut selain mocaf.
Potensi yang masih besar inilah yang tampaknya perlu intervensi pemerintah
yang lebih besar, khususnya untuk menciptakan keterkaitan antara aktivitas
hulu-hilir yang lebih kuat.

3.5 Potensi Keberlanjutan Mocaf
di Kabupaten Trenggalek
Pascakepemimpinan Soeharto sebagai Bupati Kabupaten Trenggalek
berakhir, keberlanjutan pengembangan mocaf tampak kurang signiikan.
Hal ini banyak disebabkan oleh adanya fokus pembangunan daerah yang
bergeser dari pimpinan daerah yang menggantikannya4. Padahal salah
satu syarat utama keberlanjutan dari PEL ini adalah perlunya pemahaman
terhadap konsep evolutif pembangunan ekonomi (evolutionary concepts of
economic development). Konsep evolutif memandang bahwa PEL berjalan
pada jalur tertentu yang terkoneksi secara historis (path dependent), sehingga
perubahan yang terjadi lebih bersifat inkremental. Pembangunan ekonomi
merupakan hasil dari kumulasi pembelajaran dari praktik (learning by doing)
dan pembelajaran dari interaksi (learning by interacting) (Nelson dan Winter
2002). Cunningham and Meyer-Stemer (2005) menegaskan bahwa ekonomi
4

60

Berdasarkan wawancara dengan salah satu Staf Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten
Trenggalek pada tanggal 27 April 2012

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

evolutif (evoltionary economics) lebih menggambarkan realita perekonomian
sesungguhnya karena ekonomi lokal penuh dengan kegagalan pasar dan
idiosyncracies5 (keistimewaan). Selain itu, PEL tidaklah hanya menyangkut
pembelajaran dari sektor swasta semata, tetapi juga para pemangku kepentingan
lokal lainnya termasuk perbedaan tujuan masing-masing. Oleh karena itu,
konsistensi kebijakan pemerintah daerah masih memegang peranan penting
bagi PEL yang masih dalam tahap tumbuh (infant).
Status pengembangan mocaf sebagai bagian dari PEL merupakan proses
yang berjenjang dan kontinu. Inovasi utama yaitu enzim yang dikembangkan
oleh Achmad Subagio merupakan pengungkit bagi berkembangnya ekonomi
dan industri di Kabupaten Trenggalek. Dengan dukungan Soeharto,
saat itu perkembangan mocaf dan PEL terlihat meskipun dengan derajat
inkremental yang sedang. Oleh karena itu, perubahan fokus kebijakan di
daerah akan memengaruhi “rumah yang sudah dibangun”. Pengembangan
PEL di Kabupaten Trenggalek bisa mengalami perkembangan yang kurang
signiikan jika sektor swasta utama yang terlibat, yaitu Koperasi GRLJ dan
PT BCM tidak mampu meningkatkan daya kreativitas dan keinovatifan
di tengah kebijakan yang berubah. Pengalaman yang ada menunjukkan
komitmen Koperasi GRLJ sebagai pusat dari aktivitas pengembangan mocaf
sangat tinggi. Komitmen inilah yang menjadi faktor internal kunci dalam
kontinuitas pengembangan mocaf dan PEL di Kabupaten Trenggalek.
Inovasi yang relatif berjalan lambat, termasuk kurang tersedianya dukungan
perguruan tinggi maupun lembaga litbang lokal mengindikasikan perlunya
keterlibatan perguruan tinggi maupun lembaga litbang luar.
Beberapa kerja sama yang pernah dibangun sebelumnya, seperti dengan
Universitas Jember bisa dikembangkan lebih lanjut dengan bentuk inovasi
dan produk lainnya. Adapun dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang
lainnya yang pernah terlibat dalam pengembangan mocaf dan produk turunan
lainnya dari singkong perlu direorientasi kembali sehingga mempunyai nilai
tambah lebih bagi Kabupaten Trenggalek.
Meskipun faktor internal cukup kuat, kebijakan daerah akan sangat
menentukan arah ekonomi daerah, termasuk pengembangan mocaf. Saat
Soeharto tidak terpilih kembali menjadi Bupati Trenggalek, kebijakan daerah
yang diusung oleh pimpinan baru berpotensi berbeda, meskipun tidak
berkonotasi negatif. Dalam visi dan misinya pada pemilu kepala daerah tahun
5

Dideinisikan secara umum sebagai sesuatu yang istimewa/berbeda dari kondisi umum yang
ada. Kondisi yang istimewa ini, dalam konteks kebijakan memerlukan pendekatan dan perlakukan
yang khusus

61

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

2010 (untuk jabatan periode kedua), pasangan Soeharto dan Samsuri tetap
memberikan fokus besar pada pengembangan mocaf dengan menargetkan
untuk menjadikan Kabupaten Trenggalek sebagai pusat produksi dan pelatihan
mocaf serta membentuk kawasan agribisnis. Artinya jika Soeharto kembali
terpilih menjadi Bupati Trenggalek, besar kemungkinan akan melanjutkan
pengembangan mocaf dan mampu mengeskalasi aktivitas dan dampaknya.
Pada kenyataannya, Kabupaten Trenggalek mempunyai kepala daerah yang
baru untuk periode 2010–2015. Untuk melihat sejauh mana kebijakan
pembangunan yang ada dapat tetap mengawal pengembangan mocaf, perlu
kiranya meninjau sekilas Recana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kabupaten Trenggalek 2010–2015.
RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015 secara umum mendukung
pengembangan aktivitas agroindustri dan agribisnis dalam bidang pertanian
tanaman pangan. Pengembangan agroindustri dan agribisnis ini didekati
dengan pendekatan klaster6. Lebih lanjut lagi, strategi ini dijabarkan dalam
arah kebijakan, yaitu “pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan
kewilayahan terpadu dan pendekatan konsep pengembangan agribisnis”. Strategi
dan arah kebijakan ini dapat digunakan sebagai payung pengembangan mocaf
di Kabupaten Trenggalek yang juga menggunakan pendekatan kewilayahan.
Meskipun secara umum mendukung, RPJMD Kabupaten Trenggalek kurang
memiliki prioritas pembangunan tertentu7. Dalam pembahasan yang lebih
detail, yaitu komoditas pertanian (tanaman pangan), tidak teridentiikasi jenis
komoditas yang diprioritaskan untuk dikembangkan lebih lanjut. Tentunya
kekurangjelasan prioritas dalam dokumen akan berkonsekuensi terhadap fokus
sumber daya yang tersedia, baik manusia, waktu, dan inansial. Lebih detail
mengenai dukungan RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015 terhadap
pengembangan singkong dan mocaf dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.
Fokus kebijakan yang dicerminkan dari dokumen RPJMD Kabupaten
Trenggalek 2010–2015 kurang mencerminkan dukungan yang jelas
terhadap pengembangan singkong dan mocaf. Secara garis besar, kondisi
ini dapat menyebabkan intensitas dukungan kebijakan pemerintah daerah
yang menurun. Keberlanjutan pengembangan mocaf dalam aspek ini dapat
dikatakan dalam kondisi yang kurang kondusif. Namun, jika RPJMD
6

7

62

Pendekatan ini dapat dilihat dari bagian strategi untuk menjawab bagian tujuan “revitalisasi
pertanian dan pengembangan agroindustri/agrobisnis”.
Dalam RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015, ada 16 program prioritas pembangunan
daerah. Jika merujuk pada deinisi prioritas, seharusnya lebih tajam dan mengerucut. Program
prioritas yang ada dalam dokumen ini secara umum dapat digunakan dalam dokumen RPJMD
kabupaten lainnya yang mempunyai sektor pertanian dominan.

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu:
Kasus di Kabupaten Trenggalek

Kabupaten Trenggalek 2010–2015 dapat dijadikan payung besar (karena secara umum bersifat makro dan kurang fokus)
dan dimanfaatkan secara kreatif oleh pihak swasta, perguruan tinggi maupun lembaga litbang, serta satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) terkait, maka pengembangan mocaf akan tetap berjalan dengan baik. Prasyaratnya adalah inisiatif yang
muncul khususnya dari pihak swasta, yaitu Koperasi GRLJ perlu semakin meningkat. Inisiatif yang tumbuh semakin baik
di pihak swasta merupakan salah satu penghela PEL (Stohr 1993).
Tabel 3.2 Arah pengembangan agroindustri agribisnis dalam RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015
Tujuan
Revitalisasi
pertanian dan
pengembangan
agroindustri/
agrobisnis

Sasaran
Meningkatnya
ketersediaan
pangan
daerah
Meningkatnya
produktivitas,
produksi,
daya saing dan
nilai
tambah produk
tanaman pangan,
hortikulktura dan
perkebunan

Strategi

Arah Kebijakan

Kebijakan Umum

Mengembangkan
revitalisasi pertanian,
peternakan,
kehutanan, perikanan
dan kelautan, serta
agroindustri/agrobisnis
berbasis cluster

Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan
secara berkelanjutan serta meningkatkan produksi,
ketersediaan dan konsumsi pangan sumber
karbohidrat nonberas dan pangan sumber protein

a. Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan secara
berkelanjutan serta meningkatkan produksi, ketersediaan,
dan konsumsi pangan sumber karbohidrat nonberas dan
pangan sumber protein
b. Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan
kewilayahan terpadu dan pendekatan konsep
pengembangan agribisnis
c. Meningkatkan pengembangan komoditas unggulan
daerah melalui bantuan saprodi kepa