Kerangka Kerja Yang Mendasari Kolaborasi

Kerangka Kerja Yang Mendasari Kolaborasi Komunitas Minoritas Dengan Masyarakat Luas
Perdebatan mengenai relasi negara dan agama baik teori maupun praktik memang tiada pernah
habisnya, diskursus ini terekam dalam sejarah lahirnya konsitusi, konstitusi hadir untuk menjamin hak
asasi manusia (HAM) bukan sebaliknya. Isu HAM terkait kebebasan beragama di Indonesia masih
menjadi tema yang menarik bahkan tiap rezim kekuaaan memiliki politik hukumnya sendiri, mengacu
pada Nonet dan Selznick, kemudian disitir oleh Mahfud MD, bahwa karakter suatu hukum paralel
dengan karakter politiknya. Rezim Orde Lama dan Baru pada saat itu mengatur mengenai soal agama
sangat terbatas dan cenderung mereduksi, sebagaimana kita ketahui beberapa kebijakan pelarangan
terhadap suatu golongan agama tertentu serta memberikan kualifikasi tertentu (Tuhan, Nabi, Kitab Suci)
untuk diakui menjadi suatu agama. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka politik hukum yang
dijalankan oleh rezim orde lama dan baru bersifat represif dan otoriter. Lain halnya pasca reformasi
1998, berbagai kebijakan bercirikan responsif dan demokratis, sebagaimana keberanian pemerintahan
Gus Dur dalam politik pluralismenya, misal etnis tionghoa tidak lagi merasakan intimidasi dalam
berkeyakinan.
Demokrasi saat ini tidak jua tumbuh besar dan kuat selayaknya personifikasi tanaman bonsai.
cita-cita negara madani masih jauh, masih terjadi kasus intoleransi. Intoleransi berangkat dari
pemahaman eksklusif teks-teks dogmatik dalam kitab suci, kemudian mendeduksikan dalam konteks
kehidupan saat ini, sesuatu yang diterima umum dipaksakan berlaku pada situasi khusus, demikian
terjadilah pemerkosaan terhadap apa yang sesungguhnya nyata dan beragam dalam masyarakat.
Komunitas agama tertentu mengidentifikasi secara eksklusif (kami) memandang keliyanan di luar
dirinya sebagai musuh (mereka) dalam relasi mayoritas vi a vis minoritas. Mengingat kasus kekerasan

dan penindasan oleh FPI terhadap kelompok aliansi kebebasan beragama, penyerangan terhadap
pemukiman dan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah.
Menurut Rawls, hal mendasar ketika memperdebatkan agama adalah bagaimana
mempertemukan titik taut yang bersamaan, diawali dengan menyediakan saluran berdemokrasi yang
memungkinkan bagi para pihak untuk berada pada posisi yang setara. Implementasi teori Rawls belum
berjalan efektif karena komunitas minoritas masih belum diberikan kesempatan yang setara untuk
menyampaikan segala nilai-nilai dari ajarannya, jutru sudah apriori dengan term-term sesat. Pada
prinsipnya toleransi hanyalah ekses dari prasayarat yang paling awal yakni “jauhi prasangka”.
Permasalahan mendasar intoleransi adalah kurang terbukanya sarana-sarana demokratis warga negara,
usaha ini dapat dibangun dan ditradisikan dalam suatu bentuk Doa Bersama, sebagaimana kegiatan ini
telah dilakukan oleh komumitas Baha’i bersama lintas agama.
Usaha secara sistematik terus digencarkan untuk menghancurkan kelompok minoritas melalui
pengujian UU PNPS 1965 yang secara substansi sudah tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat
demokratis saat ini. Kegagalan memaknai agama secara sempit, menurut Geertz, makna agama (sosioantro) adalah sesuatu yang diakui dan diyakini gaib oleh kelompok komunitas tertentu. Definisi agama
(yuridis) dalam UU PNPS 1965 tidak memberikan pengertian yang memadai (kekosongan hukum),
sampai beberapa waktu lalu masih dijadikan senjata ampuh untuk menindas minoritas dengan delik
penodaan agama. Peran negara (pemerintah) dengan kewenangan yang sah sesuai amanah konstitusi,
bahwa negara menjamin dan melayani masyarakatnya tanpa memilah-milah latar belakang keagamaan.
Komitmen pemerintah untuk menjamin dan melayani belum dirasakan signifikan, fakta di lapangan
masih ditemui praktik disksriminatif pelayanan hak-hak sipil bagi penganut agama minoritas dalam

pencatatan administrasi kependudukan berupa KTP, KK, Akta Kelahiran, Akta Nikah terkait pengisian
kolom agama.