Kegagalan mekanisme pasar lanjutan elastisitas

Lengkap sudah bukti-bukti empiris atas kegagalan kebijakan mekanisme pasar dan politik
perdagangan internasional yang semakin terbuka dalam sepuluh tahun terakhir ini. Untuk
mengantisipasi terulang kembalinya kejadian yang sama maka Pemerintah disarankan segera
menerapkan kebijakan perekonomian pasar yang terkendali, dengan memperhatikan
kepentingan ekonomi domestik dan ketahanan nasional.
Gejala kejanggalan atas ketidakmampuan berjalannya mekanisme pasar secara sempurna mulai
dirasakan saat gelombang siklus bisnis internasional menggeliat tak beraturan, antara lain dengan
gejolak peningkatan harga minyak bumi di atas 100 US dollar. Kemudian terekam juga keanehan
dengan meningkatnya harga-harga komoditi internasional seperti CPO, barang tambang dan barang
hasil pertanian, yang diminati oleh para pelaku peternak uang skala internasional. Mereka ini semua
memburu komoditi non-moneter, karena melemahnya nilai mata uang US dollar yang dipuja-puja
sebagai “ benchmark” dalam pola pertukaran barang dan jasa internasional. Dengan terdepresiasinya
nilai mata uang US dollar, kegiatan perdagangan internasional kemudian mengarah pada perburuan
barang dagangan, yang dikategorikan sebagai komiditi non-meneter yang “likuid” — menggantikan
peran mata uang US dollar tersebut. Kejadian ini telah berlangsung dengan demikian cepat, karena
dibantu oleh kemudahan-kemudahan pasar komoditi berjangka dan upaya memobilisasi dana
internasional untuk tujuan spekulasi. Stok pundi-pundi dana swasta internasional ini sebagian juga
dibelanjakan pada produk-produk saham dan obligasi di pasar emerging.
Nah, ceritanya keudian menjadi lucu karena oleh sementara pembuat kebijakan Pemerintah, para
pakar ekonomi dan para proponen perdagangan internasional yang bebas di tanah air, booming pasar
modal Indonesia yang terjadi sejak awal tahun 2007 sampai dengan awal tahun 2008, mereka anggap

sebagai daya tarik tersendiri dari keberadaan kekuatan perekonomian nasional Indonesia. Padahal
murid-murid pasca sarjanapun (seperti di MMUI), akan mengerti benar bahwa peristiwa masuknya arus
modal panas ke Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang kemudian berganti nama dengan BEI, disebabkan oleh
longgarnya peraturan para pengelola BEI dan perbedaan spread tingkat bunga.
Otomatis saat itupun, dilihat dari perpektif konsep ekonomi “Bak Mandi”, cadangan moneter Indonesia
dalam bentuk devisa naik berkali-kali lipat. Rupiahpun ikut terkatrol yang secara semu menyebabkan
proses menguat nya nilai tukar Rupiah mendekati angka Ro 9200. Tetapi setelah diamati beberapa
bulan kemudian, ternyata peningkatan kapitalisasi pasar modal BEI tidak dibarengi dengan adanya
peningkatan kapasitas terpasang produksi domestik kita. Terjadilah apa yang disebut “bubble
economy” di capital market. Artinya, para emitenpun sebenarnya sadar bahwa peningkatan angka
indeks umum saham hanyalah merupakan fatamorgana, yaitu mimpi di siang hari bolong. Kapanpun
uang panas ini yang ditanam investor asing di tanah air, dapat mereka tarik kembali. Kesimpulannya,
lalulintas uang masuk ke sistem bak mandi perekonomian Indonesia, telah digunakan untuk tujuan
meraup keuntungan “capital gain” secara cepat. Dan proses ini dipermudah oleh pengelola Bursa
karena tidak dilakukannya tindakan keras atau penalty keberadaan kasus-kasus saham gorengan dan
perbuatan tak terpuji dari kegiatan “short selling”.
Sebenarnya daya tahan perekonomian Indonesia sejak kenaikkan harga minyak bumi mendekati 140
US dollar sudah mulai mengendur. Hal ini terbukti dengan ketidak mampuan Pemerintah
mempertahankan subsidi minyak bumi. Struktur APBN kitapun seakan menguat yang sebenarnya
terselamatkan oleh dikeluarkannya surat hutang obligasi mata uang Republik. Nah jika kita keluarkan

posisi cadangan uang panas ini dari neraca moneter Bank Indonesia, maka mata uang kita seharusnya
sudah melemah saat kenaikkan harga minyak bumi tersebut. Ditambah dengan gonjang-ganjing politik
atas jabatan empuk Gubernur BI kemarin ini telah memperlambat upaya mengantisipasi kemungkinan
larinya uang panas dari perekonomian Indonesia.
Tepat pada hari ini kita turut berkabung….. karena pengelola BEI menutup warung dagangannya.
Mungkin ditutupnya warung tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan dari kemungkinan
melorotnya nilai tukar rupiah secara drastis dari serangan besar-besaran para pemilik modal portfolio

asing untuk mencairkan uang mereka. Nah jika hal ini benar akan tercorenglah citra Pemerintah atas
kemampuannya dalam menjalankan apa yang sementara ini dipercayainya:yaitu “berjalannya
mekanisme pasar secara murni di tanah air”.
Pembelajaran apakah yang kita dapat dari semua ini?
Mengingat likuiditas uang internasional akan semakin ketat, serta perekonomian dunia yang memasuki
krisis babak kedua, maka masing-masing negara maju dan berkembang di dunia akan
mempertahankan dirinya sendiri demi kepentingan warga negara mereka masing-masing. Buktinya
pada saat Pemerintah Amerika meminta bantuan Pemerintahan Negara-Negara G7 untuk berbuat hal
yang sama, guna menyelamatkan berjalannya mobilitas keuangan internasional sebagai urat nadi
kegiatan perdagangan bebas, ternyata tidak sepenuhnya disambut. Ke depan, negara-negara akan
semakin melakukan kebijakan proteksionisme, melupakan sementara hibauan badan WTO untuk
program penurunan tarif secara gradual. Memang belum waktunya Teori Perdagangan Internasional

secara murni diterapkan dalam kacah globalisasi yang semakin garang dan rakus sekarang ini.
Bagi Pemerintahan Indonesia, mungkin hal ini akan menjadi agenda Kabinet dari Presiden Terpilih
2009, untuk saatnya mulai menerapkan mekanisme pengelolaan pasar modal dan pasar uang yang
terkendali. Semua ini ditujukan agar kepentingan pemegang saham dan perekonomian domestik tidak
mudah tercabik-cabik oleh ulah para pemilik modal dunia. Proteksionisme untuk komoditi andalan kita,
berikut perlindungan untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut hajad hidup Usaha Kecil dan
Menengah perlu mendapatkan prioritas utama. Sementara waktu kita perlu agak keras menghadapi
perilaku negara maju (dalam kesepakatan-kesepakatan di tingkatan internasional) yang merugikan
perekonomian domestik.
(copyrights@aditiawan chandra)

http://businessenvironment.wordpress.com/2008/10/08/kegagalan-kebijakanmekanisme-pasar-dan-perdagangan-bebas/