TINJAUAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN DAN PENCABUTAN PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS DI WILAYAH POLRES SIGI) APRISAL MAHMUD RIDWAN TAHIR AWALIAH

  

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN DAN PENCABUTAN

PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(STUDI KASUS DI WILAYAH POLRES SIGI)

APRISAL MAHMUD

  

RIDWAN TAHIR

AWALIAH

Abstrak

  

Penelitian ini membahas tentang perbedaan pelaporan dan pengaduan yakni

pengaduan hanya dapat dilakukan oleh orang orang tertentu yang disebut dalam

UU dan dalam kejahatan tertentu, sementara laporan dapat dilakukan oleh siapa

saja dapat melaporkan, dan semua tindak kejahatan atau tindak pidana, melihat

fenomena pengaduan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang banyak

terjadi khususnya di wilayah kabupaten sigi penulis mengumpulkan data

selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif yakni

menguraikan fakta-fakta lapangan serta kajian-kajian teoritis, yang kemudian

disimpulkan secara induktif. data kasus pengaduan KDRT di polres sigi yang

terjadi di wilayah kab.sigi ( data tahun 2015

  • – 2016) cenderung dan di dominasi

    dengan kesepakatan damai antara korban dan pelaku. dimana seringkali proses

    hukum tidak dilanjutkan keproses penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan(

    dalam pasal 51 dan 52 UU 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT jelas di

    sebutkan merupakan delik aduan. Kesepakatan damai atau pencabutan

    pengaduan KDRT antara korban dan pelaku seringkali didasari atas kesadaran

    bahwa mereka masih dalam hubungan perkawinan dan akibat yang ditimbulkan

    dari proses hukum yang dilanjutkan hingga ke pengadilan dapat melahirkan

    perceraian, serta membahas akibat hukum pencabutan pengaduan kasus KDRT.

    Kata Kunci: Tindak pidana KDRT, pelaksanaan dan pencabutan perkara KDRT I.

  kepribadiannya membantu dan

PENDAHULUAN A.

  mencapai kesejahteraan spritual dan

   Latar Belakang Dalam Penjelasan Umum material.

  Undang-undang Nomor 1 Tahun Kemudian dalam pasal 33 1974 tujuan perkawinan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun membentuk keluarga yang bahagia 1974 Tentang Perkawinan dapat dan kekal. Untuk itu suami isteri dlihat dengan adanya yang perlu saling membantu dan menentukan hak dan kewajiban melengkapi, agar masing-masing suami isteri, yaitu wajib saling dapat mengembangkan mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

  Dari kedua pasal di atas menggambarkan adanya larangan kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan oleh suami terhadap isteri. Apalagi menurut pandangan bangsa Indonesia bahwa Lembaga Perkawinan adalah lembaga yang sakral. Namun kenyataan membuktikan, bahwa telah banyak terjadi kekerasan yang di alami oleh perempuan, khususnya istri yang dilakukan suami terhadap istri di Kabupaten Sigi.

  Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan hukum bagi perempuan khususnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Walaupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada beberapa pasal yang mampu menjerat perlakukan kekerasan ini, namun tindak kekerasan suami terhadap istri masih sering terjadi.

  Manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi antara yang satu dengan yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini manusia disebut sebagai zoon

  politicon . Dalam hidup

  bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu akibat.

  Dalam masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana.

  Menurut Rusli Effendy, istilah peristiwa pidana yang menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.

1 Selanjutnya menurut

  Moeljatno, memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

  Achmad Ali, yaitu pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang- Undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.

  korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu

  1 Rusli Effendy, teori hukum, Hasanuddin University Press, makassar ; 1989 , hlm.54. 2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, R ineka Cipta, Jakarta; 1993 hlm.54. 3 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, PT.

  Gunung Agung, Jakarta; 2001 hlm.251.

  pencabutan perkara yang diatur dalam Pasal 75 KUHP.

  Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangankan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.

2 Pengertian dari delik menurut

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini:

3 Pengaduan merupakan hak dari

  1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.

  2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan

  4 .

  3. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht

  Delicten

  5 .

  Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Dari beberapa pendapat diatas walaupun dirasa sudah menggambarkan secara jelas 4 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum

  Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Politeia, Bogor, 1993, hlm 87. 5 P. A. F. Lamintang, dasr-dasar hukum pidana indonesia,citra aditya 1997, hlm 217.

  bagaimana karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal “penuntutan”. Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penggunaan asas opportunitas dalam defenisi yang mereka kemukakan. Jadi walaupun hak pengaduan untuk penuntutan perkara ada pada si korban. Pada akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata- mata digantungkan kepada Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna apabila defenisi tentang delik aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas opportunitas karena dalam hal penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu dipertimbangkan pemberlakuannya. Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.

  Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang ) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya”

  6 .

  Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya. Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan. 6 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana

  Kumpulan Kuliah Bagian II , Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hlm 165.

  Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan. Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana.

  Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut

  7

  . Ia juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.

  Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu ”wettelijke

  defenitie

  ” (defenisi menurut undang- undang) tentang peristiwa pidana itu

  8 .

  Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Dalam gambaran menurut 7 Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hlm 10. 8 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hlm 252. hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.

  Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum

  9 .

  Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht)

  10 .

  B. Rumusan Masalah 9 Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur , Alumni, Bandung, 1982, hlm 50. 10 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I , Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hlm 154.

  Dari uraian latar belakang di yang harus melaporkan tindak pidana atas, maka dirumuskan permasalahan yang dilakukan oleh pelaku yang akan diteliti ialah sebagai kekerasan fisik/psikis terhadap isteri berikut : atau sebaliknya. Karena tanpa

  1. Bagaimanakah pelaksanaan adanya laporan, pihak kepolisian dan pencabutan perkara tindak tidak dapat memproses tindak pidana pidana kekerasan dalam rumah KDRT ini. Adapun akibat dari delik tangga ? aduan ini, korban kekerasan dapat

  2. Apa akibat hukum terhadap sewaktu-waktu mencabut laporan pencabutan perkara tindak kepolisian. Oleh karenanya ketentuan pidana kekerasan dalam rumah ini mengakibatkan kasus-kasus tangga ? KDRT yang terjadi tidak pernah selesai atau pelakunya tidak dapat II.

   PEMBAHASAN

  dihukum sesuai dengan perbuatan A.

   Pelaksanaan dan Pencabutan yang telah dilakukan. Perkara Tindak Pidana

  Dari data Polres Sigi, dapat

  Kekerasan Dalam Rumah

  diketahui bahwa dari tahun 2015

  Tangga

  sebanyak 55 laporan yang masuk Pada umumnya tindak pidana pada polres sigi, tersisa 5 laporan dalam undang-undang PKDRT yang masih menunggak, 1 laporan adalah delik umum, kecuali dalam yang P.21, dan 47 laporan yang ketentuan Pasal 44 ayat (4) dan Pasal dicabut dengan alasan diselesaikan 45 ayat (2) yakni perbuatan secara kekeluargaan atau damai. kekerasan fisik/psikis yang dilakukan

  Adapun 2 laporan dinyatakan tidak oleh suami terhadap isteri atau cukup bukti, sehingga total sebaliknya yang tidak menimbulkan keseluruhan laporan yang diproses penyakit atau halangan untuk sebanyak 50 laporan. menjalankan pekerjaan jabatan atau

  Dibandingkan dengan tahun mata pencaharian atau kegiatan 2015, jumlah laporan pada tahun sehari-hari adalah delik aduan. Delik 2016 sedikit berkurang. Sebanyak 38 aduan disini yaitu korban KDRT laporan, 1 diantaranya yang P.21, laporan yang dicabut sebanyak 25, namun pada tahun ini terdapat 1 laporan yang di limpahkan ke Polda, 1 laporan yang tidak cukup bukti.

  Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah hukum Polres Sigi cenderung dan di dominasi dengan kesepakatan damai antara korban dan pelaku. dimana seringkali proses hukum tidak dilanjutkan keproses penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan jika telah dilakukan perdamaian seperti terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

  Kesepakatan damai antara korban dan pelaku seringkali didasari atas kesadaran bahwa mereka masih dalam hubungan perkawinan dan akibat yang ditimbulkan dari proses hukum yang dilanjutkan hingga ke pengadilan dapat melahirkan perceraian, kasus kekerasan dalam rumah tangga berujung dengan perdamaian, inisiatif lahirnya kesepakatan damai antara pelaku dan korban merupakan keinginan kedua belah pihak setelah mendapat saran dan pandangan yang diberikan oleh pihak penyidik, .

  Bahwa dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya perempuan saja yang menjadi objek kekerasan, akan tetapi terdapat potensi terhadap suami, dan anak serta orang yang menetap dalam rumah tangga maupun orang tersebut adalah pembantu rumah tangga. Sehingga setiap kemungkinan atas objek kekerasan dapat menimpah siapa saja dalam rumah tangga, terlebih pertimbangan bahwa apabila pelaku dalam hal ini adalah seorang suami yang menjadi tulang punggung keluarga yang kesehariannya sebagai pencari nafkah dan yang menafkahi kehidupan ekonomi dalam keluaraga tersebut.

  Maka dalam hal ini penyidik memberikan gambaran apabila pelaku dilakukan penahanan dan proses hukum berlanjut hingga ke pengadilan dan melahirkan amar putusan yang berkekuatan hukum tetap kemudian putusan hukum itu harus dilaksanakan oleh pelaku yang statusnya meningkat menjadi terdakwa. Maka yang menjadi bahan pemikiran bahwa siapa yang kelak akan menjadi pencari nafkah untuk menafkahi keluarga tersebut selama pelaku menjalani masa penahanan dan hukuman, sebab tidak menutup kemungkinan akan munculnya rasa hibah di kemudian hari dan pemaafan dari korban terhadap pelaku. yang mana hal tersebut merupakan beberapa dari variable pendukung yang di jadikan saran serta pertimbangan yang di berikan kepada korban.

  Penulis dalam penelitiannya menambahkan bahwa kecenderungan proses damai pada tingkat penyidikan di dukung oleh realita kasus yang sampai pada tingkat penuntutan kasus yang sampai pada tingkat penuntutan dalam pengamatan penulis terhadap wawancara yang di lakukan pada unit PPA dengan beberapa anggota kepolisian yang menangani kasus KDRT cenderung didasari oleh perasaan dendam antara pelaku dan korban dikarenakan sudah tidak adanya kesepahaman dan keinginan dalam melanjutkan kehidupan berumah tangga.

  Hal tersebut dapat dilihat dari keterangan korban maupun pelaku yang menerangkan bahwa kedua belah pihak telah mengajukan proses perceraian pada pengadilan agama, hanya saja kedua belah pihak belum sah bercerai menurut ketentuan hukum yang berlaku. Akan tetapi pengaduan akan kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi domain dari unit PPA dan di kategorikan dalam kekerasan dalam rumah tangga sebab kedua belah pihak masih memiliki akta nikah yang sah, sehingga memenuhi syarat dalam mengajukan pelaporan dikarenakan syarat untuk mengajukan pelaporan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah hubungan suami istri yang sah dalam hukum positif serta aturan perundang-undangan yang berlaku dengan menunjukkan akta nikah. Namun dalam kasus tersebut penyidik tetap berinisiatif untuk memberikan pandangan akan tujuan damai. Hal tersebut menjadi acuan tersendiri bagi pihak penyidik dikarenakan oleh tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan, maka dari itu kemanfaatan hukum menjadi faktor pendorong atas kesepakatan damai. Dari beberapa pendapat diatas walaupun dirasa sudah menggambarkan secara jelas bagaimana karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal “penuntutan”. Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penggunaan asas opportunitas dalam defenisi yang mereka kemukakan. Jadi walaupun hak pengaduan untuk penuntutan perkara ada pada si korban. Pada akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata- mata digantungkan kepada Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna apabila defenisi tentang delik aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas opportunitas karena dalam hal penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu dipertimbangkan pemberlakuannya. Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.

  Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang ) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya”

  11 .

  Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya 11 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana

  Kumpulan Kuliah Bagian II , Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hlm 165.

  (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.

  Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan. Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana.

  B. Akibat Hukum Terhadap Pencabutan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  Pengaduan merupakan hak korban untuk diadakan penuntutan atau tidak karena menyangkut kepentingan korban yang diberikan jangka waktu pencabutan perkara dalam Pasal 75 KUHP, agar korban dapat mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan. Delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No.

  23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dalam Pasal 51-53.

  Bahwasanya tidak ada aturan baku yang mengatur tentang proses damai di dalam penerapan undang- undang kekerasan dalam rumah tangga yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) meskipun itu mengatur tentang hak atas korban,sedangkan proses damai dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga lahir dari keinginan dari korban untuk memaafkan perbuatan dan mencabut pengaduan atas perbuatan tersangka terhadap korban.

  Bahwasanya ketika korban menarik laporan dan melanjutkan pada proses damai, pihak penyidik tidak serta merta mengeluarkan putusan berupa surat kesepakatan antara pelaku dan korban, (format damai) akan tetapi dalam hal ini terdapat proses lebih lanjut yaitu melakukan pemeriksaan tambahan dalam bentuk berita acara pemeriksaan (BAP), tujuan dari pemeriksaan damai tersebut yaitu menggali keterangan dari korban mengenai alasan-alasan yang mendasari keinginan korban untuk mencabut pengaduan dan berdamai dengan pelaku, hal tersebut untuk menghindari adanya unsur paksaan dari keinginan korban dalam melakukan pencabutan aduan.

  Sebab dalam melakukan keinginan damai disertai pencabutan aduan haruslah dari keinginan korban sendiri tanpa intervensi dari pihak manapun, agar dikemudian hari tidak menimbulkan masalah baru antara korban dan pelaku di sebabkan kesepakatan damai yang sifatnya memaksa dan keterpaksaan oleh korban dalam melakukan pencabutan atas pengaduan kekerasan dalam rumah tangga terhadap si pelaku.

  Setelah dilakukan proses berita acara pemeriksaan terhadap korban atas pencabutan pengaduan terhadap pelaku, selanjutnya pihak penyidik memanggil serta mempertemukan korban dan pelaku untuk membuat format damai. Di dalam penyusunan redaksi formad damai atau surat kesepakatan bersama antara pelaku dan korban dapat dimasukkan keinginan korban terhadap pelaku selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum maupun perundang-undangan yang berlaku.

  Pihak atau orang yang akan menjadi saksi dalam formad damai atau surat kesepakatan bersama adalah orang-orang yang netral, dapat dari unsur masyarakat yaitu tokoh maupun pemuka masyrakat yang berada di sekitar wilayah tempat tinggal korban dan pelaku seperti ketua RW,RT,RK. yang berada di tempat tinggal korban dan pelaku.

  Pihak kepolisian tidak dapat terlibat didalam posisi saksi, untuk menghindari timbulnya spekulasi bahwa kesepakatan damai merupakan intervensi dari pihak maupun oknum kepolisian sebab dalam hal ini aggota polri yang menangani kasus tersebut hanya dalam kapasitas penyidik dan memberikan pandangan dan saran terhadap korban tanpa mempengaruhi keinginan pihak korban apabila ingin melanjutkan kasus yang dilaporkan terhadap perbuatan pelaku kepada diri korban.

  Pengadu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga setelah adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan ditingkat penyidik (kepolisian yaitu Polres Sigi) dan ditingkat penuntutan (Kejari), namun perkaranya tetap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri tetap dan menghukum suami dari pengadu. Permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan pengaduan tersebut.

  Pembahasan diatas menunjukan bahwa selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan dalam UUPKDRT. Hal tersebut diatur didalam Pasal 103

  KUHP mengenai pasal terakhir dari buku

  I. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah pada tingkat penyidikan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), pada tingkat penuntut umum dikeluarkannya SKPPK (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara), pada tingkat pengadilan hakim memberikan keputusan bahwa perkara tersebut digugurkan. Dilanjutkannya perkara sehingga sampai ke pengadilan karena baik itu didalam KUHAP atau peraturan lainnya tidak adanya ketentuan yang tegas dan sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum.

  III. PENUTUP A. Kesimpulan

  1. Perbedaan laporan dengan pengaduan dalam KUHAP, yakni pengaduan hanya dapat dilakukan pelaporan oleh orang orang tertentu yang disebut dalam UU dan dalam kejahatan tertentu, sementara laporan dapat dilakukan oleh siapa saja dapat melaporkan, dan semua tindak anti kekerasan terhadap perempuan kejahatan atau tindak pidana. dan anak serta menolak kekerasan

  2. Akibat hukum yang ditimbulkan sebagai cara untuk memecahkan adalah pada tingkat penyidikan masalah, mengadakan penyuluhan dikeluarkannya SP3 (Surat untuk mencegah kekerasan, Perintah Penghentian Penyidikan), mempromosikan kesetaraan gender, pada tingkat penuntut umum mempromosikan sikap tidak dikeluarkannya SKPPK (Surat menyalahkan korban melalui media. Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara), pada tingkat pengadilan hakim memberikan keputusan bahwa perkara tersebut digugurkan. Dilanjutkannya perkara sehingga sampai ke pengadilan karena baik itu didalam KUHAP atau peraturan lainnya tidak adanya ketentuan yang tegas dan sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum.

2. Saran

  Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat,

DAFTAR PUSTAKA A.

  Buku-buku Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, PT. Gunung Agung, Jakarta, 2002.

  Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002. P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

  R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Politeia, Bogor, 1993. Rusli Effendy, Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1989. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.

E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000.

  Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hlm 165.

  B.

  PeraturanPerundang-Undangan.

  

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara

  Republik Indonesia 1660)

  

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Lembaran Negara

  Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419)

Dokumen yang terkait

ANALISIS TERHADAP DISPARITAS PEMIDANAAN PUTUSAN PENGADILAN PERKARA TINDAK PIDANA PORNOGRAFI (STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)”

6 52 59

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA (PRT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2 16 40

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PENYALURAN RASKIN DESA SUKADAMAI NATAR LAMPUNG (STUDI KASUS PERKARA NO.18/Pid.Tpk/2013/PNTK)

2 39 63

ANALISIS UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 02/PID/TPK/2012/PNTK)

0 7 45

KEBIJAKAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI WILAYAH HUKUM POLRES TULANG BAWANG

1 30 81

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI (Studi di Wilayah Kepolisian Resort Tanggamus)

2 15 53

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA STUDI KASUS DI POLRESTA PADANG

0 0 19

PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN)

0 0 81

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK ANAK PELAKU KEJAHATAN DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK (STUDI DI POLRES METRO JAKARTA UTARA)

1 2 9

UPAYA PENANGGULANGAN KEPOLISIAN RESOR TULANG BAWANG TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN (STUDI LAPORAN POLISI NO. STPL/34/2016/SIAGA

0 0 12