ANALISIS TERHADAP DISPARITAS PEMIDANAAN PUTUSAN PENGADILAN PERKARA TINDAK PIDANA PORNOGRAFI (STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)”

(1)

ANALISIS TERHADAP DISPARITAS PEMIDANAAN PUTUSAN PENGADILAN PERKARA TINDAK PIDANA PORNOGRAFI (STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)” Oleh

FENI ANGGRAINI

Pada tahun 2010 di tengah-tengah masyarakat Indonesia beredar video mesum yang diduga diperankan oleh Aril Peterpan dengan Luna Maya dan Cut Tari, mereka ini adalah para selebritis dan artis yang selalu dipuja dan dipuji oleh banyak kalangan bahkan mereka memiliki fans yang sangat loyal dan solid. Tentu perbuatan mesum yang direkam tersebut merupakan perbuatan yang memalukan dan sangat tidak sesuai dengan moral dan jati diri bangsa ini . Proses hukum yang lumayan panjang dan menegangkan telah pula sampai ke meja hijau untuk diputus dan diadili, Aril Peter Pan dan Rejoi perkaranya dipisahkan (split). Mereka di majukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Bandung sebab perbuatan yang dialukan masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Bandung. Hakim memutus Aril Peter Pan dengan Penjara 3 tahun 6 bulan dan Rejoi divonis dengan pidana penjara selama 2 tahun. Tentu perbedaan vonis ini menimbulkan persepsi berbeda baik di kalangan masyarakat baik dikalangan elit. , yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana Pornografi ? 2. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana tindak pidana pornografi ?

Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dari lapangan dan kepustakaan dengan jenis data yaitu : data primer dan data sekunder. Populasi yang diambil penulis dari hakim pengadilan negri kelas 1 A bandung dan hakim pengadilan tinggi bandung, advokat diBandar Lampung, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Untuk menganalisis data menggunakan analisis kulaitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana pornografi : Tuntutan jaksa penuntut umum, Alat bukti, Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, Petunjuk-petunjuk lain dalam persidangan dan barang bukti.Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana terhadap tindak pidana pornografi : Adanya perspektif hakim melihat siapa yang melakukan perbuatan, tentu apabila seorang pelaku tindak pidana adalah seorang publik figure tentu sudut pandangnya berbeda. Faktor personal terdakwa dalam


(2)

menjalani persidangan, seseorang yag kooperatif dan sopan selama persidangan akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus berat ringannya penjatuhan pidana. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2) KUHP memungkinkan hak sepenuhnya dari hakim sangat berperan besar dalam memberikan suatu putusan mengenai berat ringannya pidana. Hal demikian tidak menutup kemungkinan dapat terjadi disparitas pidana (disparity of sentencing), yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat dibandingkan (offences of comparable seriouesness)tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah : Perlu diadakan pedoman baku untuk menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara dan menjatuhkan pemidanaan dengan mencantumkan ketentuan tentang tujuan pidana, pedoman pemidanaan dan aturan pemberian pidana sehingga putusan pengadilan dapat tepat dari segi lamanya (strafmaat). Perlu adanya pertimbangan kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku. Hal tersebut akan dapat menjadi pedoman hakim dalam pertimbangan putusannya, sehingga putusan tersebut dapat adil dan tidak menimbulkan disparitas pidana.


(3)

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi dengan perkembangan hukum yang begitu lambat dan relatif labil. Beberapa permasalahan hukum terkadang tidak dapat diselesaikan dengan instrument hukum yang ada. hal ini bukanlah suatu yang baru, pesatnya perkembangan dalam masyarakat merupakan ciri khas bahwa kehidupan dan tata cara berpikir dan bertindak dalam suatu masyarakat pada tiap periodenya berbeda-beda.

Informasi dan telekomunikasi merupakan salah satu aspek kehidupan yang perkembangannya dapat dikategorikan semakin meningkat. Pemannfaatan media informasi sesuai dengan kebutuhan dan peruntukannya akan membawa dampak positif baik bagi pengguna maupun bagi measyarakat luas, lain hal apabila informasi dan teknologi tersebut disaahgunakan baik oeh pengguna maupun orang lain.

Pada tahun 2010 di tengah-tengah imasyarakat Indonesia beredar video mesum yang diduga diperankan oleh Aril Peterpan dengan Luna Maya dan Cut Tari, mereka ini adalah para selebritis dan artis yang selalu dipuja dan dipuji oleh banyak kalangan bahkan mereka memiliki fans yang sangat loyal dan solid. Tentu perbuatan mesum yang direkam tersebut merupakan perbuatan yang memalukan dan sangat tidak


(4)

sesuai dengan moral dan jati diri bangsa ini. www.okezone.com//Aril+luna+vonis+/hgt/bbc/ dibrowsing pada tanggal 12 Oktober 2011.

Perbuatan yang demikian meresahkan membuat beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat mengambil langkah hukum dimana para pelaku video mesum harus dibawa ke ranah hukum, dengan demikian Aril Peterpan dan Luna Maya serta Cut Tari dijadikan sebagai Tersangka. Polisi menetapkan Aril peterpan, Luna Maya dan Cut Tari selaku tersangka berdasarkan bukti-bukti yang ada. Proses penyidikan yang rumit memakan waktu penyidikan lumayan lama, hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai tekanan-tekana organisasi islam termasuk Front Pembela Islam, Forum Umat Islam mendesak proses hukum Aril segera diselesaikan. Http:www.detik.com/putusan+aril+rejoi/jakarta/jkkll/ dibrowsing pada tangga 12 Oktober 2011

Banyak kalangan dan ahli dalam hal ini Prof. O.C Kaligis menilai bahwa Aril Peterpan tidak bersalah dalam hal perbuatan mesum tersebut sebab kejadian yang dilakukan adalah pada tahun 2006 dimana tidak satu pun undang-undang yang melarang terhadap perbuatan tersebut justru dalam hal ini Aril Peter Pan adalah korban, yang patut dipersalahkan adalah orang yang menyebarkan video mesum tersebut.

Setelah penyidikan dilakukan oleh Polisi dengan menggunakan sarana tekonologi yang canggih, pelaku penyebar video mesum Aril Peterpan dapat diungkap, pelaku tidak lain adalah sahabat Aril sendiri yaitu Reza alias Rejoi, dia bekerja pada band


(5)

Peter Pan sebagai editor lagu. Kejadian ini terjadi akibat kelalaian Aril yang memeberikan hardisk berisikan lagu Peter Pan yang mau diedit dan di dalam hardisk itu pula terdapat video mesum Aril dengan Luna Maya dan Cut Tari.

Aril Peterpan dan Reza alias Rejoi duduk sama-sama selaku pesakitan, berkas perkara mereka dipisahkan (displit) namun Pasal yang diancamkan pada mereka sama yaitu Pasal mengenai pemberian kesempatan kepada orang lain untuk menyebarkan video mesum sebgaiamna dimaksud dan dincam dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Proses hukum yang lumayan panjang dan menegangkan telah pula sampai ke meja hijau untuk diputus dan diadili, Aril Peter Pan dan Rejoi perkaranya dipisahkan (split). Mereka di majukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Bandung sebab perbuatan yang dialukan masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Bandung. Hakim memutus Aril Peter Pan dengan Penjara 3 tahun 6 bulan dan Rejoi divonis dengan pidana penjara selama 2 tahun. Tentu perbedaan vonis ini menimbulkan persepsi berbeda baik di kalangan masyarakat baik dikalangan elit.

Masalah kontroversi antara putusan pengadilan dengan rasa keadilan masyarakat bukan hanya terjadi di Indonesia. Hal ini juga terjadi pada dunia tinternasional mengalami apa yang disebut the disturbing disparity of sentencing yang mengundang perhatian lembaga-lembaga internasional untuk memecahkannya (Muladi, 1984:52).

Menurut Muladi (1984:53), yang dimaksud dengan disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penjatuhan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang


(6)

sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Adanya disparitas pidana terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat akan terus menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, antara lain dalam perkara tindak pidana pornografi yang dianggap sangat merugikan negara dan masyarakat secara luas.

Putusan Hakim Nomor 1401/Pid.B/2010/PN.Bdg pada Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung mengenai perkara Aril Peter Pan menimbulkan kontroversi berupa ketidakpuasan dan ketidakadilan di kalangan masyarakat, karena terdapat perkara tindak pidana pornografi dijatuhi pidana yang berat, tetapi terdapat pelaku-pelaku yang lainnya dijatuhi pidana yang ringan.

Salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan untuk meringankan Rejoi alias Reza adalah dia masih muda dan mengakui serta berterus terang akan kesalahannya, demikian pula dengan Aril Peter Pan dia dihukum lebih berat karena tidak mengakui kesalahannya dan tidak menyadari akan dampak luas perbuatannya terhadap Masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas diajukan penelitian dalam rangka pembuatan Skripsi dengan judul “Analisis terhadap Disparitas Pemidanaan dalam Putusan Pengadilan Perkara Tindak Pidana Pornografi (Studi kasus Aril Peterpan pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung)”.


(7)

B. Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana Pornografi?

2. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam tindak pidana pornografi?

Ruang lingkup pembahasan skripsi ini meliputi ilmu hukum pidana dan acara pidana dengan kajian-kajian yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, serta kesadaran hukum masyarakat terhadap putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana pornografi serta ruang lingkup penelitian pada Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Tinggi Bandung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Penelitian bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana pornografi.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana tindak pidana pornografi


(8)

2. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, untuk memperluas dan memperdalam pemahaman penulis tentang disparitas putusan hakim dalam perkara tindak pidana pornografi, mengetahui pertimbangan hakim dan penerapannya.

b. Kegunaan Praktis

Secara Praktis, menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi hukum, khusus yang bergerak dalam bidang penyelenggara peradilan pidana dan kemasyarakatan serta memberikan gambaran tentang disparitas putusan hakim dalam perkara tindak pidana pornografi. Oleh karena itu tulisa ini diharapkan dapat menambah wawasan serta kesadaran hukum dari aparat penegak hukum, masyarakat ilmiah hukum, dan masyarakat luas untuk melaksanakan cita-cita serta isi yang terkandung dalam undang-undang pornografi dan undang-undang kekuasaan kehakiman.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1.Kerangka Teoritis

Menurut A.J. Cnoop Koopman (dikutip dari Kadri Husin, 1993:3) Kita dapat melihat secara umum dan juga sebagai kenyataan yang terjadi bahwa bagian penting dari aktivitas-aktivitas peradilan sangat erat hubungannya dengan gejala-gejala dan perkembangan masyarakat. Untuk menentukan suatu tindakan/perbuatan (feiten),


(9)

tugas pertama dari hakim ini memang merupakan tugas yang tidak bersifat politik, tetapi penerapan undang-undang/hukum terhadap tindakan/perbuatan tersebut dengan memberikan putusan pengadilan (vonis) merupakan tugas kedua hakim, karena tugas tersebut dipengaruhi pendapat umum dari masyarakat yang ikut bermain dan unsur-unsur politik ada didalamnya. Tetapi bukan politik dalam artian partai politik, melainkan dalam artian pemerintah negara, kebijakan pemerintah menanggulangi kejahatan.

Berdasarkan pendapat Koopman di atas, maka hakim dalam menjatuhkan pidana, selain mempertimbangkan tindak pidana yang dilakukan (strafbaarfeit), kesalahan pelaku (schuld) dan “hal-hal khusus yang perlu dipertimbangkan”, misalnya

pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, dimana opini masyarakat ini harus diperhatikan oleh hakim agar putusan hakim sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan apa yang kita namakan dengan straftoemeting atau sentencing dalam suatu proses peradilan pidana tidak lain merupakan manifestasi atau suatu pendapat dari kompleks nilai-nilai dalam penegakan hukum.

Persoalannya seringkali nilai-nilai yang dianut penguasa yang membuat undang-undang dan penegak hukum yang melaksanakan undang-undang-undang-undang sebagai kelompok kelas atas(the rulling class)tidak sama dengan nilai-nilai dari masyarakat yang pada umumnya berada pada kelas bawah (the lower class). Hal yang demikian, seyogianya tidak menyebakan kekuasaan kehakiman dan hakim khususnya dianggap sebagai sesuatu yang terpisah (hakim yang bebas) betul-betul memisahkan hakim dari masyarakat.


(10)

Hakim dalam kedudukan dan fungsinya harus mencerminkan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Kekuasaan kehakiman di alam demokrasi mencakup didalamnya kekuasaan hakim sebanyak mungkin berasal dari masyarakat, serta sedapat mungkin menyatu dengan pikiran rakyat. Hal demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) yang pada pokoknya menyatakan kewajiban hakim harus dapat menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

2. Konseptual

Untuk membatasi istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dirumuskan pengertian-pengertian sebagai berikut:

a. Analisis yuridis adalah suatu kegiatan mengkaji suatu fakta dengan fakta-fakta lainnya untuk mendapatkan kesimpulan guna memperoleh fakta yang sebenarnya berdasarkan asas-asas, norma, dan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. (Ahmad Gani. 2009 : 44).

b. Disparitas pemidanaan adalah penjatuhan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas (Muladi. 1984 : 52).

c. Pertimbangan hakim adalah suatu uraian yang berdasarkan fakta-fakta, analisis yuridis, keahlian, pengalaman dan keyakinan hakim yang menjadi dasar hakim membuat suatu putusan pengadilan. (KBBI. Depdiknas Edisi Kedua. 2004 : 1193).


(11)

d. Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Terhadap perbuatan mana pelakunya dapat dipertanggungjawabkan (Satochid Kartanegara, 1951:74).

e. Pornografi adalah gambar, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk mediakomunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi).

E. Sistimatika Penulisan

Untuk memudahkan dan memahami skripsi ini secara keseluruhan,maka sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. Pendahuluan

Merupakan Bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan kerangka konseptual, serta sistematika penulisan.

II. Tinjauan Pustaka

Merupakan bab tinjauan pustaka yang menguraikan tentang tugas dan fungsi hakim dalam penegakan hukum pidana dan penegakan hukum terhadap tindak pidana pornografi meliputi pengertian dan peraturan perundang-undangan tentang pornografi.


(12)

III. Metode Penelitian

Merupakan Bab yang berisi uraian mengenai pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengolahan dan pengumpulan data, serta analisis data.

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pembahasan yang berisikan uraian tentang dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana tindak pidana pornografi dan disparitas pidana dalam putusan pengadilan perkara tindak pidana pornografi.

V. Penutup


(13)

A. Pidana

1. Pengertian Pidana

Menurut Sudarto (1975:7) pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, sedangkan Roeslan Saleh (1979:5) menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.

Ted Honderich (1975:15) menyatakan bahwa pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan oleh penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak pidana. Sir Rupert Cross menganggap bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.

Selanjutnya secara lebih lengkap dikemukakan oleh H.L.A. Hart (1975:357), bahwa pidana harus:

a. mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;


(14)

d. dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e. dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan sustu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

Alf Ross (1975:36) menyatakan, bahwa pidana adalah reaksi sosial yang:

a. terjadi berhubung dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum;

b. dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

c. mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan; dan

d. menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.

Berdasarkan beberapa pengertian dan ruang lingkup punishment tersebut dapat disimpulkan, bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (yang berwenang);

c. dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Muladi, 1985:25).

Tujuan hukum pidana adalah masyarakat pada umumnya dan juga penguasa dalam arti aparat penegak hukum. Untuk aparat penegak hukum dapat lebih difahami, apabila kita memandang hukum secara fungsional sebagai tool for social engineering, khususnya sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan.

Keseluruhan stelsel sanksi pidana hanya bisa terwujud secara nyata melalui aparat penegak hukum. Penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system) harus didukung oleh sekian banyak instansi, yang berhubungan erat secara berurutan.


(15)

Dalam proses pemberian pidana atau proses pemidanaan peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan penjatuhan pidana untuk orang tertentu dalam kasus tertentu. Di dalam hukum acara pidana dulu yaitu Pasal 292 HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement), terdapat dua pertimbangan oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusannya. Struktur pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

1. Pertama-tama pertimbangan tentang fakta-fakta (apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya);

2. Kemudian pertimbangan tentang hukumnya, apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa bersalah, sehingga dapat dijatuhi pidana (Sudarto, 1987:22).

Hukum acara pidana yang berlaku sekarang, yaitu KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981), perumusan tentang struktur pengambilan keputusan tersebut di atas kurang diuraikan secara jelas sebagaimana terdapat dalam HIR.

Padahal, penjatuhan pidana oleh hakim itu merupakan suatu proses dan berakhir dengan ditetapkannya olehnya bagi terdakwa jenis pidana yang paling tepat, beratnya dan cara pelaksanaannya (strafsoort, strafmaat, dan strafmodaliteit). Ditambah lagi KUHP yang berlaku sekarang kurang memberi petunjuk kepada hakim yang menyangkut masalah pemberian pidana.

Perumusan yang kurang tegas tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan serta aturan pemberian pidana, maka seringkali pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa kurang membawa hasil sebagaimana mestinya, sehingga tujuan


(16)

diadakannya pidana sebagai usaha penanggulangan kejahatan kurang efektif dan efisien.

Menurut Alf Ross, pidana mempunyai dua tujuan, pada satu pihak bertujuan untuk mengenakan penderitaan pada orang yang bersangkutan, tetapi pada pihak lain pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian bukanlah punishment manakala suatu tindakan yang bertujuan untuk menderitakan akan tetapi bukan merupakan pernyataan pencelaan. Sebagai contoh pemberian electric shock pada binatang dalam suatu penelitian untuk dapat mengamati tingkah lakunya, juga bukan punishment bilamana tindakan yang bentuknya pernyataan pencelaan tetapi tujuannya bukan untuk mengenakan penderitaan, misalnya teguran peringatan atau penyingkiran oleh masyarakat. Tidak juga dapat disebut punishment jika tindakan tersebut tidak bertujuan untuk menderitakan dan tidak merupakan pernyataan pencelaan, misalnya tindakan dokter gigi yang mencabut gigi pasien atau langkah-langkah yang diambil untuk mendidik atau merawat atau mengobati seseorang untuk membuatnya tidak berbahaya bagi masyarakat (Alf Ross, 1975:37).

2. Tujuan Pemidanaan

Sejak dahulu kala atau lebih pasti lagi sejak zamannya Protagoras orang selalu mencari dan memperdebatkan tujuan pemidanaan. Di dalam Protagoras Plato sudah berbicara tentang pidana sebagai sarana pencegahan khusus maupun pencegahan umum. Demikian pula Seneca, seorang filosof Yunani yang terkenal, telah membuat formulasi yaitu "Nemo Prudens Punit Quia Peccatum Est, Sed Ne Peccetur", yang


(17)

artinya adalah: Tidak layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud agar tidak terjadi lagi perbuatan salah.

Demikian pula Jeremy Bentham dan sebagian besar penulis modern yang lain, selalu menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang. Dilain pihak Imanuel Kant dan gereja Katolik sebagai pelopor menyatakan, bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral (Alf Ross, 1975:48).

Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan bahwa "rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung" yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot "malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis" yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat (Bambang Poernomo, 1982:27).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut (teori gabungan/verenigings theorieen).


(18)

Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan (theological retributivism) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana (Muladi, 1986:49).

B. Disparitas Pemidanaan dalam Putusan Pengadilan Perkara Pidana

Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istimewa, karena hakim selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan perintah dari pemerintah, bahkan hakim dapat menghukum pemerintah apabila pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Oleh karena itu untuk mewujudkan negara hukum yang mempunyai sistem peradilan yang baik, harus dipenuhi syarat tidak ada campur tangan atau pengaruh oleh pihak manapun dan dalam bentuk apapun dalam sistem peradilan.


(19)

Mengingat pentingnya kedudukan lembaga peradilan--dalam hal ini hakim-- maka dalam menjalankan tugasnya hakim berpedoman kepada perundang-undangan yang mengaturnya sebagai berikut:

Pasal 27 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 04 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman:

1. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali mengikuti dan memahami nilai-nilai dalam masyarakat.

2. Dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa.

Pasal 41 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung:

1. Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga darah atau semenda derajat ketiga atau hubungan suami isteri meskipun sudah bercerai, dengan salah seorang hakim anggota atau panitera pada majelis yang sama dimaksud Pasal 40 ayat (1).

2. Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami isteri meskipun sudah bercerai dengan penuntut umum, oditur meliter, terdakwa, penasehat hukum, tergugat atau penggugat.

Pasal 42 ayat (1):

"Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tak langsung".


(20)

Pedoman-pedoman bagi hakim yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut dimaksud agar hakim dalam melaksanakan tugas selalu menggunakan pedoman tersebut sebagai alat kontrol terhadap dirinya. Kemudian yang lebih penting lagi adalah hakim memeriksa perkara pidana tidak memihak, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan.

Terdapat pula salah satu pasal dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan asas bagi pelaksanaan sistem peradilan, asas itu tercantum dalam Pasal 1 yaitu, "Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara untuk penyelengaraan peradilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia."

Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari tangan pihak kekuasaan negara, dan bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang untuk memberikan keadilan dan kebenaran ontologis (kebenaran hakiki). Mengenai keadilan dan kebenaran ontologis (kebenaran hakiki) yang intinya keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan yang beriklim toleransi dan kebebasan, sedangkan kebenaran diartikan sebagai hubungan persesuaian yang serasi antara proposisi dengan kenyataan yang paling mendalam dari tingkat terakhir hati murni.

Lembaga peradilan merupakan suatu lembaga yang bertugas menjalankan salah satu fungsi masyarakat, yaitu menegaskan pola tingkah laku yang diterima dalam


(21)

masyarakat. Hakim salah satu bagian dari masyarakat yang menggerakkan roda pengadilan, bertujuan menyelesaikan konflik yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu, karakteristik latar belakang hakim, pendidikannya serta bahan-bahan konkret yang dihadapinya pada waktu membuat keputusan menampilkan persepsi hakim terhadap perkara yang ditanganinya. Sehubungan dengan hal tersebut Satjipto Rahardjo (1980 : 58) berpendapat bahwa: Hakim di sini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu didalam menjalankan peranannya itu ia merupakan:

1. Pengembangan nilai-nilai yang dihayati masyarakat 2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi)

3. Sasaran pengaruh lingkungan pada waktu itu.

Menurut pendapat Satjipto tersebut sejak seorang dipersiapkan menjadi hakim, kemudian setelah seorang menjadi hakim dan menjalankan tugasnya masyarakat mempunyai peranan dalam memberikan ciri-ciri hakim tersebut. Hakim sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana, di dalam menjalankan tugasnya selalu berhubungan dan bekerjasama dengan subsistem yang lain seperti polisi, jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan. Hakim selaku lembaga koreksi (pengadilan), bahan pembentuk hukum dan masyarakat yang mendukung penegakan hukum dan kerangka pencegahan kejahatan, perlindungan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat haruslah sangat tergantung pada bagaimana putusan yang ditetapkan hakim memenuhi rasa keadilan para pihak dan masyarakat. Berarti dalam memberikan putusan, hakim harus bertanya pada diri sendiri apakah putusannya dapat digunakan sebagai kaidah hukum. Dengan kata lain putusan itu menjadi


(22)

kaidah yang mengikat hakim setaraf dengan undang-undang dan peradilan yang umum diakui, setelah pengulangan berkali-kali dan meyakinkan, walaupun ada kemungkinan akan mengalami perubahan.

Meskipun kebebasan seorang hakim terletak pada dirinya yaitu pada keyakinan untuk membuat putusan sesuai dengan panggilan suara hati murni yang menjadi sikap dan persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat namun kebebasan itu tidaklah bersifat mutlak, kebebasan itu akan dibatasi oleh proses jalannya perkara, ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Dalam hal ini peranan hakim sebagai role playing, hendaklah tidak membuat dan menjadikan putusannya dianggap kontroversial. Pemikiran itu hendaklah menjadikan putusan pengadilan yang rasional dalam perkara pidana.

Putusan hakim dikatakan rasional atau masuk akal apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan mendasar pada teori tentang pemidanaan, termasuk di dalamnya beberapa pedoman pemidanaan yang harus diperhatikan hakim, disparitas pidana yang kemungkinan akan terjadi tetap mempunyai dasar pertimbangan rasional.

Menurut Jhon Kaplan (dikutip dari Barda Nawawi Arief, 1984:58), putusan hakim tanpa suatu landasan yang rasional dapat menyebabkan terjadinya disparitas yang akibatnya dijelaskan oleh Edward. M. Kennedy yaitu dapat memelihara timbulnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada, gagal mencegah terjadinya tindak pidana, mendorong aktivitas (meningkatnya) kejahatan dan merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar. Kiranya tidak mudah untuk mengatasi disparasi pidana yang berdampak negatif, tidak mudah memberikan dasar pertimbangan dan putusan hakim yang dianggap rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, yang dapat diterima oleh pelaku, korban, aparat penegak hukum lain atau hakim tinggi pada pengadilan yang lebih tinggi serta masyarakat.

Menurut J.E. Sahetapy (1983:13) untuk menyusun teori tentang kausa kejahatan, juga dapat diterapkan untuk menganalisis tentang dasar pertimbangan dan


(23)

putusan hakim yang rasional, tergantung dari hasil proses atau interaksi dalam nilai-nilai sosial, budaya dan struktural masyarakat yang bersangkutan. Hasil proses tersebut bisa mendapatkan rangsangan dari berbagai faktor misalnya kemiskinan, pengganguran, ketidakseimbangan pribadi, ketidakpuasan, ketidakselarasan keluarga, kebijakan penguasa yang berpihak, penegakan hukum yang tidak adil, undang-undang yang buruk, ketidakpastian masa depan dan sebagainya, sehingga rangsangan yang bertalian dengan nilai-nilai sobural tersebut mempunyai dampak atau menghasilkan putusan yang tidak sama terhadap masing-masing orang. Terhadap sikap dan persepsi yang dimiliki oleh hakim dalam melahirkan putusan yang rasional menurut Soedjono K. Sisworo (1980:42), yang dibutuhkan adalah hakim yang besar menurutnya: Hakim yang besar adalah yang putusanya merupakan pancaran hati nuraninya, yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan, yang mengandung penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, yang dipahami dan diterima para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Hakim yang besar adalah yang mampu bertriwikrama yakni yang secara fundamental-proposional, memahami dan menguasai trilogi dunia hukum yaitu faktisitas (bentuk dan gerak yang nyata dalam kehidupan masyarakat) yang tidak selalu sesuai bahkan sering berlawanan dengan normativitas dan idealitas hukum in abstracto dan in concreto dalam menghadapi suatu perkara untuk diperiksa dan diadili. Hakim menyadari bahwa dirinya sekaligus berkedudukan sebagai terdakwa yang sedang diperiksa dan diadili oleh masyarakat dan dunia. Hakim yang besar adalah yang bebas dari rasa salah dan rasa munafik, yang sah berwenang berprestasi dan berpredikat sebagai hakim yang besar, berhak dan berani lantang berseru disinilah aku berdiri menjadi pandu hukum negara bangsaku.

C. Faktor Yang Menjadi Pedoman Hakim Menemukan Hukum

Putusan yang termuat dalam undang-undang haruslah juga diuji dengan kerangka penilaian atau pengaturan intersubyektif yang aktual. Dalam uraiannya Wicker (dikutip dari W. van Gerven, 1990 : 19) menunjukan lima faktor yang dapat menjadi pedoman hakim dalam penemuan hukum di luar undang-undang yakni :


(24)

1. Asas-asas yang dinyatakan dalam undang-undang atau naskah dasar lainnya. 2. Trends Of life atau standar cenderung hidup. Ini merupakan norma yang

diterima oleh kalangan kebudayaan tertentu untuk kehidupan bersama manusia.

3. Asas-asas keadilan putusan hakim yang telah mendapatkan kepastian 4. Sifat benda(natur der sache)

5. Ajaran yang berlaku dalam ilmu pengetahuan dan yurisprudensi tetap.

Utrecht (dikutip dari Martiman Prodjohamidjojo, 1990:24) berpendapat, bahwa sikap dan persepsi seorang hakim terhadap pemenuhan kekosongan ruang dalam suatu perundang-undangan (penemuan hukum di luar undang-undang) didasarkan atas kontruksi hukum yang didasarkan pada pengertian-pengertian hukum (asas-asas hukum) dari undang-undang yang bersangkutan dan tidak diperkenankan menggunakan unsur-unsur dari luar sistem materiil hukum positif.

Sehubungan sikap dan persepsi hakim dalam proses peradilan pidana ini dalam prakteknya hakim sedikit banyak terikat juga pada surat dakwaan dengan selalu juga memperhatikan tujuan beracara pidana adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tetap dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan. Menurut Andi Hamzah (1984:19) tujuan mencari kebenaran materiil tersebut hanyalah merupakan tujuan antara dari seluruh tertib hukum Indonesia dalam hal ini mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil dan sejahtera.

Untuk mencari kebenaran materiil, Mander (dikutip dari Martiman Prodjohamidjojo, 1990 : 25) menambahkan bahwa dalam penjatuhan pidana hakim memperhatikan:


(25)

1. Personalia terdakwa, yang antara lain menurut agama yang dianut kebangsaan, pelajaran, pendidikan, hidup dalam hubungan keluarga atau tidak dan lain-lainnya.

2. Keterangan-keterangan tentang suami/isteri dan anak-anak antara lain membuat keterangan tentang hubungan antara suami isteri.

3. Pekerjaan dan penerimaan(income).

4. Akibat dari perbuatan, khususnya dalam hubungan dengan atasan/majikannya. 5. Keterangan-keterangan tentang perbuatan pidana, yang antara lain memuat

hal-hal mengenai kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut pihak yang terkena, apakah terdakwa melakukan perbuatan itu sendiri atau dengan orang lain dan lain-lain.

6. Keadaan hukum pidana dahulu.

7. Sudah pernah bersangkutan dengan polisi/justitie di luar putusan-putusan memuat hukum.

8. Penerangan mengenai terdakwa, baik yang terdapat dossiernya dalam laporan penerangan apapun dalam laporan psikoanalisis.

9. Pemeriksaan pendahuluan dan tindakan-tindakan hukum khusus seperti penyidikan, penyitaan, penahanan dan lain-lain

10. Data-data lain.

Meskipun telah terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa, namun dalam praktek masih banyak dijumpai:


(26)

1. Penegakan hukum yang lebih ringan dibandingkan dengan perbuatan jahatnya. 2. Masih ada celah-celah kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan untuk

melakukan kejahatan

3. Kemampuan aparat penegak hukum yang masih perlu diangkatkan agar ada satu tindak pidana yang lolos dari jangkauannya.

4. Moral dari para penegak hukum yang masih memerlukan tempaan yang efektif agar terhindar dari kemungkinan penyimpangan-penyimpangan.

5. Adanya undang-undang yang sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat yang pesat.

6. Masih adanya perbedaan pendapat antara aparat penegak hukum terhadap penafsiran dan materi ketentuan hukum.

Soedjono K. Sisworo (1985 : 70) mengatakan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana masih terdapat momen-momen nasional dalam menimbang-nimbang kejadian/posita dan bukti-bukti yang dapat mengotori keyakinan dan putusan hakim antara lain:

1. Ketidaksukaan hakim melawan putusan tanpa pemidanaan/hukuman terhadap perkara-perkara penting atau berat, yang semakin meningkat jumlahnya.

2. Ketakutan hakim bahwa putusan yang membebaskan terdakwa dari segala tuduhan dan tuntutan hukum, akan mendapatkan tanggapan yang negatif dari masyarakat yang menjadi gempar, padahal pihak jaksa telah berangapan bahwa kesalahan terdakwa telah semakin terang.

3. Anggapan dan mungkin kesadaran bahwa putusan pembebasan itu akan menciptakan akibat/efek yang bersifat tidak mendidik kepada terdakwa.


(27)

4. Pendapat bahwa tidak mengenakan hati, apabila membebaskan terdakwa padahal dia telah sedemikian lama dalam tahanan sementara.

5. Keseganan hakim yunior untuk memiliki dan menetapkan pendapat hakim senior, berdasarkan anggapan yang beretikat baik bahwa karena pengalaman yang lebih banyak maka semestinya hakim senior lebih berkemampuan..

Putusan hakim dikatakan rasional apabila dengan putusan tersebut terdapat mengarah kepada pencapaian tujuan, jika dikaitkan dengan politik kriminal maka putusan tersebut mengaruh kepada tercapainya tujuan pemidanaan. Pada Konsep Rancangan KUHP 2009 ditentukan bahwa hakim mempunyai pegangan dalam membuat putusan, selanjutnya dengan keyakinannya dapat menilai apakah putusan itu rasional atau irasional. Penilaian didasarkan pada kondisi pelaku serta keadaan lain yang lebih luas.

Bagaimana segala sesuatu yang berhubumgan dengan pelaksanaan tugas hakum baik dan buruknya tergantung dari manusia-manusia pelaksanaan in casu para hakim, maka perlulah senantiasa dipersyaratkan yang harus di penuhi oleh hakim yaitu jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh baik dari dalam maupun dari luar. Untuk syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan oleh undang-undang diletakkan suatu tanggung jawab yang lebih berat dan mendalam dengan menginsyafkan kepadanya sumpah jabatan, bahwa hakim bertanggungjawab kepada hakim, kepada diri sendiri, kepada rakyat dan terpenting kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(28)

D. Tindak Pidana Pornografi dan Undang-Undang yang Mengatur

Pengertian tindak pidana pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penggambaran tingkah laku seccara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birah, atau bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi.

Menurut Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi adalah gambar, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk mediakomunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Berdasarkan kedua defenisi tersebut memberikan penekanan pada unsur-unsur sebuah pornografi yaitu :

1. Penggambaran tingkah laku (melalui gambar, sketsa ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau pesan ;

2. Yang memuat kecabulan atau eksploitasi seks ;

3. Melalui berbagai media komunikasi dan/atau didampaikan di muka umum ; 4. Yang dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi.

Menurut Pasal 39 undang-undang nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 tergolong :


(29)

Pasal 29

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana


(30)

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,


(31)

persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.


(32)

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana

penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.


(33)

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha;

c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; d. dan pencabutan status badan hukum.


(34)

A. Pendekatan Masalah

Menurut Soeryono Soekanto bahwa untuk mencari, menemukan dan menganalisa suatu masalah yang akan diteliti, digunakan metode-metode tertentu yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode Penelitian tersebut diperlukan dalam upaya memperoleh data yang benar-benar obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dan penelitian ini, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Pendekatan Yuridis Normatif

Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menganalisis teori-teori, konsep-konsep, serta perundang-undangan yang berkaitan dengan penjatuhan pemidanaan terutama yang tercantum dalam KUHAP.

b. Pendekatan Yuridis Empiris

Yaitu dilakukan dengan penelitian di lapangan yakni pendekatan dengan menganilisis putusan Nomor Regiseter Perkara 1401/Pid.B/2010/PN.Bdg di Pengadilan Negeri Bandung.

Pendekatan secara normatif empiris ini dimaksudkan agar memperoleh memperoleh gambaran yang jelas dan cermat tentang suatu gejala atau keadaan dari obyek yang akan diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang


(35)

bertujuan untuk menggambarkan sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompoktertentu.

Adapun Iangkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :

a. Mengkaji ketentuan hukum positif serta penjelasannya guna menentukan penerapannya.

b. Mengkaji pelaksanaannya dalam bentuk perbuatan hukum yang didukung dalam pemprosesan hakim dalam pemeriksaan, mengadili dan memutus perkara Nomor Regiseter Perkara14 01/Pid.B 2010/PN.Bdg.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan dan lapangan. Sedangkan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan pada obyek yang diteliti, beberapa keterangan dari aparat penegak hukum di kepolisian dan pengadilan negeri yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2. Data Sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersumber dari :

1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1991 tentang Kejaksaan.


(36)

3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. 4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentan Pornografi.

5. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder , yaitu bahan hukum yang bersumber dari :

1. Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

3. Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No-M-01-PW-07 003 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

5. Peraturan lain yag timbul dalam praktik.

c. Bahan hukum tersier , yaitu bahan hukum yang bersumber dari : karya -karya ilmiah, bahan seminar, literatur dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit yang ciri-cirinya akan diduga. (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1989 : 152 ).


(37)

Menurut S. Nasution yang dimaksud dengan sampel adalah suatu kelompok atau bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri tertentu yang dipilih untuk memberikan atau memperoleh informasi tentang suatu kegiatan.

Populasi yang diambil penulis adalah polisi, hakim, dan advokat. Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan metode purposive sampling yang berarti bahwa dalam menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah mewakili populasi terhadap masalahyang hendak diteliti. Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasiyang akan diteliti secara hierarki sebagaimana tersebut di atas maka sampel dalam penelitian ini

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Bandung = 1orang 2. Hakim pada Pengadilan Tinggi Bandung = 1orang 3. Advokat di Bandar Lampung = 1 orang 4. Dosen Fakultas hukum Univ. Lampung = 1 orang Sehingga jumlah responden secara keseluruhan = 4 orang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Data Primer, dilakukan dengan mengadakan studi lapangan di Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung.


(38)

Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer adalah :

1. Pengamatan tidak terlibat (non participan observation), yaitu dengan langkah melakukan pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti ;

2. Wawancara yang dilakukan dengan tujuanuntuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada responden yang terdiri 2 orang hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung, seorang advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

b. Data Sekunder dilakukan dengan cara :

1. Studi Dokumentasi, yaitu mempelajari bahan-bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan;

2. Studi pustaka, yaitu dengan mempelajari hukum tersier yang berhubungan dengan pennjatuhan pemidanaan yang didasarkan pada KUHAP.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yangtelah diperoleh baik yang berupa data sekunder amaupun data primer akan diolah melalui beberapa cara antara lain :

a. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh diperiksa ulang dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan amupun kebenaran yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis sesuai dengan permasalahan.


(39)

c. Editing, yaitu dengan cara memeriksa dan meneliti ulang terhadap data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah data-data tersebut lengkap atau tidak kejelasannya dan relevansinya bagi penelitian. (Bambang Sunggono.1996 : 129) d. Sistematisasi, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi dengan

tujuan agar tercipta keteraturan dalam menjwab permasalahan.

E. Analisis Data

Pada kegiatan ini yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu untuk mendiskripsikan data yang dihasilkandari penelitian di lapangan ke dalam bentuk penjelasan, yakni mengenai keterangan-keterangan yang diberikan oleh aparat penegak hukum yang mengetahui masalah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. (Soerjono Soekanto. 1986 : 122).


(40)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana Aril Peterpan dan Reza alias Rejoi yaitu ada atau tidak ada alasan-alasan pemaaf dan pembenar dalam menentukan berat ringannya hukuman, ini dianalisis dari alat-alat bukti, faktor dari si pelaku. faktor korban sejauh mana pengaruh tindak pidana terhadap masyarakat apakah sangat mengganggu atau tidak. Sedangkan faktor lain yaitu mendidik dan membina, sebagai prospek untuk politik hukum pidana terhadap pelaku dan masyarakat.

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan ancaman pidana atas perkara tindak pidana didasarkan pada :

a. Tuntutan jaksa penuntut umum.

Tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Aril selama 5 (lima) tahun penjara dan divonis selama 3 tahun 6 bulan penjara


(41)

Tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Reza selama 4 (empat) tahun penjara divonis selama 2 tahun penjara.

b. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP yaitu 1. Saksi

2. Keterangan Ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

Adapun alat bukti yang disita yaitu :

- 1 (satu) buah CD-R multi speed 700 MB/80 min warna putih.

- 1 (satu) bundel print out dari media massa cetak online di internet (warta kota, tribun kaltim, indopos, wanita indonesia, tempo interaktif).

- Flashdisk merk kingston warna putih yang berisi 3 file video porno berupa adegan persenggamaan antara Aril peterpan- Luna Maya 2 file dan antara Aril Peterpan dan Cut Tari 1 file.

- 1 (satu) unti CPU dengan hardisk merk western digital model WD800BB size 80 GB S/N : WCAM9H272296 (hardisk data CPU). - 1 (satu) unit hardisk merk maxtor model diamond Max plus 9 size

160 GB S/N : Y4317LE (hardisk eksternal tanpa casing).

- 1 (satu) unit hardisk merk seagate model ST340016A size 40 GB S/N : 3HS5AC1P (hardisk eksternal dengan casing).


(42)

- 1 (satu) unit hardisk merk seagate model ST320011A size 20 GB S/N : 3HT343YM9 (hardisk eksternal dengan casing).

- 1 (satu) unit HP Blackberry Gemini warna hitam. c. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. d. Petunjuk-petunjuk lain dalam persidangan dan barang bukti.

2. Faktor-faktor penyebab disparitas pemidanaan dalam putusan pengadilan Perkara pidana Aril Peterpan dan Reza alias Rezoi :

a. Adanya perspektif hakim melihat siapa yang melakukan perbuatan, tentu apabila seorang pelaku tindak pidana adalah seorang publik figure tentu sudut pandangnya berbeda.

b. Faktor personal terdakwa dalam menjalani persidangan, seseorang yag kooperatif dan sopan selama persidangan akan menjadi pertmbangan hakim dalam memutus berat ringannya penjatuhan pidana.

c. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2) KUHP memungkinkan hak sepenuhnya dari hakim sangat berperan besar dalam memberikan suatu putusan mengenai berat ringannya pidana. Hal demikian tidak menutup kemungkinan dapat terjadi disparitas pidana (disparity of sentencing), yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tidak pidana yang sifat bahayanya dapat dibandingkan (offences of comparable seriouesness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.


(43)

B. Saran

Selanjutnya disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu diadakan pedoman baku untuk menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara dan menjatuhkan pemidanaan dengan mencantumkan ketentuan tentang tujuan pidana, pedoman pemidanaan dan aturan pemberian pidana sehingga putusan pengadilan dapat tepat dari segi lamanya (strafmaat).

2. Perlu adanya pertimbangan kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku. Hal tersebut akan dapat menjadi pedoman hakim dalam pertimbangan putusannya, sehingga putusan tersebut dapat adil dan tidak menimbulkan disparitas pidana.


(44)

(STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)

(Skripsi)

Oleh

FENI ANGGRAINI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2012


(45)

Hal I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 01

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 04

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan... 05

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 06

E. Sistematika Penulisan ... 09

Daftar Pustaka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan tujuan Pemidanaan ... 12

B. Disparitas Pemidanaan dalam Putusan Pengadilan Perkara Pidana ... 17

C. Faktor yang menjadi Pedoman Hakim Menemukan Hukum ... 22

D. Tindak Pidana Pornografi dan Undang-Undang yang mengatur ... 27

Daftar Pustaka III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

E. Analisis Data ... 39

Daftar Pustaka IV. PEMBAHASAN A. Karakterstik Responden dan Gambaran Kasus ... 41

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Aril Peterpan dan Reza Alias Rejoi. ... 46


(46)

Daftar Pustaka V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 68


(47)

Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kartanegara, Satochid, 1951. Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah). Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.

Muladi, 1985.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1980. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No. 4 Tahub 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Http :www.okezone.com//Aril+luna+vonis+/hgt/bbc/dibrowsing pada tangga 12 Oktober 2011 Http:www.detik.com/putusan+aril+rejoi/jakarta/jkkll/ dibrowsing pada tangga 12 Oktober 2011


(48)

Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 1996. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Undip, Semarang.

---, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Baktyi, Bandung.

---, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kartanegara, Satochid, 1951. Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah). Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.

Loqman, Loebby, 1987.Pra-peradilan di Indonesia.Ghalia Indonesia, Jakarta.

---, 1997. "Tentang Putusan Bebas". Makalah dalam Diskusi Panel; Permasalahan dalam Pelaksanaan KUHAP dan Pemecahannya. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Muladi, 1985.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1980. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No. 4 Tahub 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(49)

Sunggono, Bambang.1996.Metodologi Penelitian Hukum.Jakarta : Raja Grasindo.

Singarimbun, Masri Dan Sofian Efendi. 1989.Metodologi Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES Soerjono Soekanto.1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press


(50)

Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 1996. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Undip, Semarang.

---, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Baktyi, Bandung.

---, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kartanegara, Satochid, 1951. Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah). Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.

Loqman, Loebby, 1987.Pra-peradilan di Indonesia.Ghalia Indonesia, Jakarta.

---, 1997. "Tentang Putusan Bebas". Makalah dalam Diskusi Panel; Permasalahan dalam Pelaksanaan KUHAP dan Pemecahannya. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Muladi, 1985.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1980. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No. 4 Tahub 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(51)

Education is passion of human sense

(Feni Anggraini)

Life is choice, no matter what you do just do with all of your heart.

(Feni Anggraini)

Berjuanglah untuk mendapatkan sesuatu, bukan hanya menunggu

untuk mendapatkannya.

(Feni Anggraini)

Study hard, pray, and believe it God always be with us.

(Feni Anggraini)


(52)

Puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karna dengan segala rahmat dan hidayahnyalah yang selalu memberkahiku sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, serta kepada nabi tercinta kita Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan dan menjadi suri tauladan yang baik bagiku dan juga bagi seluruh umat islam di dunia, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada:

Yang tercinta bapak dan mama di kasui, terimakasih atas segala kesabarannya selama ini yang telah banyak berkorban dengan segala ketulusan dan kasih sayangnya selalu untukku yang telah membesarkanku dan merawatku dengan baik sehingga akupun tumbuh menjadi sebaik ini sekarang, yang kuyakin takkan mungkin pernah dapat aku membalasnya, dan juga kepada kakak-kakakku Desy, Fuad, Fitri serta seluruh keluarga besar semuanya yang senantiasa memberikan dorongan dan semangat bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Untuk Almamater

Untuk Fakultas hukum


(53)

Penulis dilahirkan di Jaya Tinggi Kecamatan Kasui Kabupaten Way Kanan pada tanggal 4 Februari 1989. Merupakan anak terahir dari 4 bersaudara dari pasangan Ayahanda Hi. Marsudi Hasim dan Ibunda Hj. Sri Paulina.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SDN 1 jaya tinggi pada tahun 2001. Dan kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negri 19 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA YP Unila (Yayasan Pembina Universitas Lampung) di Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2007. Dan pada tahun yang sama yaitu tahun 2007 Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(54)

Assalamualikum Wr. Wb

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “Analisis Terhadap Disparitas Pemidanaan Dalam Putusan Pengadilan Perkara Tindak Pidana Pornografi (Study Kasus Ariel Peterpan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Negri Kelas 1A Bandung)”

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, petunjuk, arahan dan bimbingan yang baik serta saran dan kritik dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Hi. Dr. Heryandi, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung dan sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang sangat baik pula dalam penulisan skripsi ini.


(55)

waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang baik dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H selaku Sekertaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai pembahas I yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Rini Fathonah, S.H.,M.H selaku pembahas II yang telah memberikan kritik dan sarannya dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Sudirman, S.H.,M.H selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan petunjuk-petunjuk yang baik dan juga pengarahannya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan moril dalam penulisan skripsi ini.

8. Mbak Sri dan Mbak Yani yang selalu berbaik hati memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

9. Saudara Sukriadi Siregar S.H yang telah meluangkan waktu dan memberikan bantuan pengetahuan tentang ilmu hukum dan sebagainya serta petunjuk-petunjuk penulisan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Keluarga tercinta dikasui Bapak, Mama, Kakak-kakak tersayang semuanya yang ada disana yang selalu memberikan doanya dan dorongan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(56)

bersabar memberikan doa, support dan semangatnya selalu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman Fakultas Hukum Non Reguler 07’ yang selalu memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman-teman Basbus (Imeh, Caca, Nana, Cintana, Hesty, dan Anggi.) yang selalu memberikan semangat dan dukungan serta bantuannya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman-teman Dingdong (Dafie,Fara,Jesika,Anjar,Debby,Gagu) yang selalu penuh kasih sayang memberikan supportnya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa kripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan banyak harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan ketulusan kalian yang telah banyak membantu serta memberikan ridho-nya kepada kita semua. Amin Ya Rabb.

Bandar Lampung, 6 February 2012

Penulis


(57)

(STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)

(Skripsi)

Oleh

FENI ANGGRAINI Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(58)

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati S.H,M.H …………

Sekretaris /Anggota :Firganefi S.H,M.H …………

Penguji Utama :Tri Andrisman S.H,M.H …………

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

Dr. Heryandi S.H, M.H NIP : 196211091987131003


(59)

TINDAK PIDANA PORNOGRAFI (STUDI KASUS

ARIL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI KELAS I A BANDUNG)

Nama Mahasiswa : FENI ANGGRAINI

Nomor Pokok Mahasiswa : 0742011149

Bagain : HUKUM PIDANA

Fakultas : HUKUM

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati S.H,M.H Firganefi S.H,M.H

NIP : 19620817 1987032003 NIP : 19631217 1988032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati S.H,M.H NIP : 19620817 1987032003


(1)

SANWACANA

Assalamualikum Wr. Wb

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “Analisis Terhadap Disparitas Pemidanaan Dalam Putusan Pengadilan Perkara Tindak Pidana Pornografi (Study Kasus Ariel Peterpan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Negri Kelas 1A Bandung)”

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, petunjuk, arahan dan bimbingan yang baik serta saran dan kritik dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Hi. Dr. Heryandi, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung dan sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang sangat baik pula dalam penulisan skripsi ini.


(2)

3. Ibu Firganefi, S.H.,M.H selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang baik dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H selaku Sekertaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai pembahas I yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Rini Fathonah, S.H.,M.H selaku pembahas II yang telah memberikan kritik dan sarannya dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Sudirman, S.H.,M.H selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan petunjuk-petunjuk yang baik dan juga pengarahannya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan moril dalam penulisan skripsi ini.

8. Mbak Sri dan Mbak Yani yang selalu berbaik hati memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

9. Saudara Sukriadi Siregar S.H yang telah meluangkan waktu dan memberikan bantuan pengetahuan tentang ilmu hukum dan sebagainya serta petunjuk-petunjuk penulisan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Keluarga tercinta dikasui Bapak, Mama, Kakak-kakak tersayang semuanya yang ada disana yang selalu memberikan doanya dan dorongan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(3)

11. Calon suami tersayang Tommy Soebroto yang selalu setia menunggu dan bersabar memberikan doa, support dan semangatnya selalu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman Fakultas Hukum Non Reguler 07’ yang selalu memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman-teman Basbus (Imeh, Caca, Nana, Cintana, Hesty, dan Anggi.) yang selalu memberikan semangat dan dukungan serta bantuannya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman-teman Dingdong (Dafie,Fara,Jesika,Anjar,Debby,Gagu) yang selalu penuh kasih sayang memberikan supportnya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa kripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan banyak harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan ketulusan kalian yang telah banyak membantu serta memberikan ridho-nya kepada kita semua. Amin Ya Rabb.

Bandar Lampung, 6 February 2012

Penulis


(4)

ANALISIS TERHADAP DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN PERKARA TINDAK PIDANA PORNOGRAFI

(STUDI KASUS ARIEL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BANDUNG)

(Skripsi)

Oleh

FENI ANGGRAINI Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati S.H,M.H …………

Sekretaris /Anggota :Firganefi S.H,M.H …………

Penguji Utama :Tri Andrisman S.H,M.H …………

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

Dr. Heryandi S.H, M.H NIP : 196211091987131003


(6)

Judul Skripsi : ANALISIS TERHADAP DISPARITAS PEMIDANAAN

DALAM PUTUSAN PENGADILAN PERKARA

TINDAK PIDANA PORNOGRAFI (STUDI KASUS

ARIL PETERPAN PADA WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI KELAS I A BANDUNG) Nama Mahasiswa : FENI ANGGRAINI

Nomor Pokok Mahasiswa : 0742011149

Bagain : HUKUM PIDANA

Fakultas : HUKUM

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati S.H,M.H Firganefi S.H,M.H

NIP : 19620817 1987032003 NIP : 19631217 1988032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati S.H,M.H NIP : 19620817 1987032003