sejarah perkembangan kaligrafi dunia pdf
Sejarah Perkembangan Kaligrafi di Dunia Islam
Posted on January 11, 2009 by hilyatulqalam
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan
sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulismenulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di
belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat
prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa
India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa
Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan
pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan
ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya
nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah
tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka
sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal
pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai
pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding
Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal
Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328
M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada,
dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orangorang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya
menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami
Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah
selatan Jazirah Arab.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat
dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya
utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah
yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun
dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya
kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan
gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya
inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya
Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh
terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh
perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik
pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun
hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq
(berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit
berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar
biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru
maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama,
surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan
kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar,
Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya
dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri
tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh,
gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk
komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi
istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat
luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena
khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar
peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa
contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun
Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah
kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini
semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang
hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn
Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786
M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan
Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu
Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan
huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar
adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal
al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena
penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi
yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia
tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus
dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang
berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (alAqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’
yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer
dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat
Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal
diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua
muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab
mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal
dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian
besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun
karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an
dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode
baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam
gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah
Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara
Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman
yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer
Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau
mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih
dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada
Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik
yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di
sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari
negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat
Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk
kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi
Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang
ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya
tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh
tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan
kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh
Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun
dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia
memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni
kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki
beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang
menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb,
Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti
Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa
besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat
perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian besar terhadap kaligrafi dan
memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah
Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang
menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah
Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer
terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera
digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun
1736. pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong
perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang
sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan dari Ta’liq adalah
Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya
menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin
sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa
tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal
tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikalnya yang ramping. Sedangkan
di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas
penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh
dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa
ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti
Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini
hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki.
Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang
luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman
tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak
segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya
Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang
sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi
yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan
sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi
yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah
Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah)
adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya
dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya
adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15
oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah.
Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan
bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru
yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni
(kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para
muridnya.
About these ads
Filed under: Sejarah dan Perkembangan
https://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafidi-dunia-islam/
http://ilmiproduction.blogspot.com/2014/03/sejarah-dan-perkembangan-kaligrafiarab.html
Studi al-Qur’an-Abu Aswad ad-Dawly
Nama
NIM
: Mustofa Kamal
: 09210030
1.
Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga
saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda
bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris
depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca)
saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab
kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali
huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba,
nun, syin, sin, shad, tho’, dan sebagainya walaupun tidak mengetahui
terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di
seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Alquran. Semua
itu tentunya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit
tabiin.Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai
dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan
Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal.
Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase.
Fase Pertama
Pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan
Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat
dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua
Pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu
menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk
memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya,
huruf baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa
dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin
‘Ashim dan Hay bin Ya’mar
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah
semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan
Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk
menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya
keseragaman bacaan Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun
non-Arab (‘ajami).
Fase ketiga
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah,
fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam
dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian
baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang
ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin
Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimatkalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad
untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran,
khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid
yang berupa isymam, rum, dan mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat
dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida
(memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang
terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi’, yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan
penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat,
seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras
dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran.
Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih
baik, terutama dalam membaca Alquran.
Berdasarkan paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa syakal tidak
termasuk Al qur’ an, karena Al qur’an diturunkan Allah dengan tidak bersyakal.
2.
Di dalam buku tajwid karangan KH. Imam Zarkasyi diterangkan bahwa
membaca Al qur’ an dengan baik dan benar (sesuai dengan ilmu tajwid) itu
hukumnya fardlu ‘ain. Dan kita tahu bahwasanya yang menciptakan hukum
bacaan tajwid adalah manusia.
Dan jika kita membaca Al qur’an tanpa ilmu tajwid maka bacaan kita tidak sesuai
dengan arti kata dalam Al qur’an. Contohnya:
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika
ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak
mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta
bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata,
مما أ مححمسنن ال سمسمماءء
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang
ayah mengatakan,
جحونممها ميا بنن مي سمنة
نن ن
“Wahai anakku, Bintang-bintangnya”
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
ب
ت التس ممع سن
اءن س ممما ا ممرحد ن
ج م
“Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
مما ا مححمسمن ال سمسممامء
“Betapa indahnya langit.”
Bukan,
مما ا مححمسنن ال سمسمماءء
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan memfathahkan hamzah…
3.
Abu Al Aswad Ad Du’ali dikenal dengan Zhalim bin Amr, beliau sering
dikenal atau dipanggil dengan Abu Al Aswad Ad Du’ali rahimahullah, ada pula
yang mengatakan Ad Dili, Al Allamah, Al Fadhil, Qadhi Bashrah.
Beliau yang memberikan dasar-dasar nahwu. Beliau pula orang yang pertama kali
meletakkan titik pada huruf. Tanda-tanda itu adalah titik di atas untuk fathah dan
titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah kiri untuk dhammah, dan dua titik
untuk tanwin. Hal itu terjadi pada masa Mu’ awiyah dalam tahun 661 Masehi.
Al Jahizh berkata, “Abu Al Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia.
Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria
berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, sekaligus orang syiah. Dia botak
bagian depan kepalanya.”
Abu Al Aswad meninggal karena wabah ganas yang terjadi pada tahun 69
Hijriyah dalam usia 85 tahun.
https://mustofakamaltrenggalek.wordpress.com/2014/01/13/studi-al-quran-abuaswad-ad-dawly/
ABUL ASWAD AD DUALI (1 SH- 69 H /603-688 M)
Pakar nahwu
Dahulu, Bahasa Arab tak mengenal adanya harakat. Masyarakat Arab
menggunakan dialek kebiasaan mereka saat mengucapkan bahasa Arab.
Bayangkan betapa sulitnya membaca Al-Qur'an tanpa tanda harakat satu pun.
Oleh karena itulah, Abul Aswad Ad-Duali mejadi sosok yang berkiprah sangat
penting bagi umat Muslim. Dialah yang menemukan kaedah tata Bahasa Arab
(Nahwu), salah satunya yakni kaedah pemberian harakat.
Abul Aswad Ad-Duali memiliki nama asli Dzalam bin Amru bin Sufyan bin
Jandal bin Yu’mar bin Du’ali. Dia biasa dipanggil dengan nama kunyah
(panggilan) Abul Aswad. Sementara Ad-Duali merupakan nisbat dari kabilahnya
yang bernama Du'al dari Bani Kinanah. Abul Aswad Ad-Duali merupakan
seorang Tabi'in, murid sekaligus shahabat Khalifah keempat, Ali Bin Abi Thalib.
Ia ahir tahun 603 Masehi dan wafat pada 688 Masehi.
Sebelum menjadi pakar nahwu, Ad-Duali banyak berkiprah di dunia perpolitikan.
Ia sempat menjadi hakim di Bashrah pada era kekhalifahan Umar bin Khattab
hingga kemudian ia diangkat menjadi gubernur kota tersebut di masa
kepemimpinan Ali. Saat perang Jamal, Ad-Duali merupakan juru ruding
perdamaian antar dua kubu. Ia juga pernah diutus sahabat Rasulullah, Adullah Ibn
Abbas untuk memerangi kaum Khawarij.
Peran Abul Aswad Ad-Duali
Ia menjadi murid Ali bin Abi Thalib, dan nahwu ia pelajari sendiri darinya ( Ali
ibn Abi Thalib), yang merupakan pakar nahwu kala itu. Dia termasuk orang yang
pertama mengumpulkan mushaf dan mengarang ilmu nahwu dan peletak dasar
kaidah-kaidah nahwu, atas rekomendasi dari Ali bin Abi Thalib.
Ia juga mendapat intruksi dari Ali Bin Abi Thalib, ketika menjadi khalifah, untuk
merumuskan tanda-tanda baca pada tulisan. Sasaran pertamanya adalah mushafmushaf Al Qur’an, karena disinilah letak kekhawatiran salah baca seperti yang
kerap terjadi waktu itu.
Dalam Ensiklopedi Peradaban dikisahkan, Ad-Duali pada suatu hari melewati
seorang yang tengah membaca Al-Qur'an. Ia mendengar surah At-Taubah ayat 3
dibaca dengan kesalahan harakat di ujung kalimat. Meski hanya satu kesalahan
harakat, namun artinya sangat jauh berbeda. Ad-Duali mendengar orang itu
membaca Anna Allaha bari'um -mina-l musyrikiin wa rasuulihu seharusnya dibaca
Rasuluhu Jika diartikan akan sangat jauh berbeda. Pembacaan pertama yang salah
tersebut berarti "Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan
rasulnya.” Tentu saja arti tersebut menyesatkan, karena Allah tidak pernah
berlepas dari utusanNya. Makna kalimat yang semestinya yakni “Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” Hanya satu harakat,
tapi mengubah arti yang begitu banyak.
Sejak peristiwa itulah, Ad-Duali mulai menekuni Nahwu dan berkeinginan
memperbaiki Bahasa Arab. Ia khawatir jika tak dibuat sebuah kaedah, Bahasa
Arab akan mudah lenyap begitu saja. Mengingat di era kekhaifan Ar-Rasyidin
pun, sudah terdapat kesalahan baca Al-Qur'an. Mulailah Ad-Duali membuat
kaedah tata bahasa Arab.
Ketika itu, belum digunakan fathah, dhamah ataupun kasrah. Ad-Duali
mengunakan sistem titik berwarna merah sebagai syakal kalimat. Titik-titik
tersebut yakni, sebuah titik di atas huruf dimaknai a yakni fathah, satu titik di
bawah huruf dibaca i atau kasrah, satu titik di sebelah kiri huruf dibaca u yakni
dhammah.
Adapun tanwin (dua fathah, dua kasrah dan dua dhammah) tinggal menambah
titik tersebut menjadi dua buah. Titik-tik tersebut dicetak merah agar membedakan
dengan tulisan Arab yang menggunakan tinta hitam.
Kaedah nahwu Ad-Duali ini dikenal mengusung mazhab Bashrah. Pada
perkembangan bahasa Arab, muncul dua mazhab yakni Bashrah dan Kufi. Kedua
mazhab tersebutlah yang sangat gencar menyebarkan ilmu nahwu ke penjuru
dunia.
Maka dari itu, Abul Aswad berjasa dalam membuat harakat Al Qur’an. Ia berhasil
mewariskan system penempatan “titik-titik” tinta berwarna merah yang berfungsi
sebagai syakal-syakal yang menunjukkan unsur-unsur kata Arab yang tidak
terwakili oleh huruf-huruf. Penempatan titik-titik tersebut, adalah:
· Tanda fathah dengan satu titik diatas huruf (a).
· Tanda kashrah dengan satu titik dibawah huruf (i)
· Tanda Dhamah dengan satu titik disebelah kiri huruf (u)
· Tanda tanwin dengan dua titik (an-in-un)
Untuk membedakan titik-titik tadi dari tulisan pokoknya (biasanya berwarna
hitam), maka titik-titik itu diberi warna (biasanya merah).
Tetapi system ini tidak dapat begitu saja menyelesaikan masalah, sebab ada
huruf-huruf yang sama bentuknya namun harus dibaca berlainan tanpa dibubuhi
tanda-tanda pembeda, huruf-huruf itu menyukarkan banyak pembaca.
Dalam perkembangannya, upaya Ad-Duali ini disempurnakan oleh beberapa
muridnya yakni Nasr Ibn ‘Ashim (w. 707 M) dan Yahya Ibn Ya’mur (w. 708 M).
Mereka melakukan penyempurnaan harakat tersebut pada masa pemerintahan
Abdul Malik Ibn Marwan di Dinasti Umayyah.
Selain keduanya, Ad-Duali juga memiliki beberapa murid lain yang juga pakar
dalam bahasa Arab. Beberapa muridnya yakni Abu Amru bin ‘alaai, Al Kholil al
Farahidi al Bashri yang merupakan pelopor ilmu arudh dan penulis Kamus Arab
pertama.
Tak hanya harakat, Ad-Duali melahirkan banyak kaedah tata bahasa Arab yang
hingga kini masih menjadi patokan atau rujukan. Sejak dikenal sebagai peletak
dasar ilmu i'rab, maka banyak orang datang untuk belajar ilmu qira'ah ataupun
dasar ilmu i'rab. ia mencurahkan hidupnya untuk menelaah ilmu nahwu, hingga
wafatnya pada tahun 688 masehi di Basrah.
Wafatnya
Abu Al Aswad meninggal karena wabah ganas yang terjadi pada tahun 69
Hijriyah dalam usia 85 tahun.
Perkataan para ulama tentangnya
Ahmad Al-Ijli berkata, “Dia tsiqah (terpercaya) dan orang yang pertama kali
berbicara tentang ilmu nahwu”. Al-Waqidi berkata, “Dia masuk Islam pada masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.” Orang lain berkata, “Abu Al
Aswad Ad Du’ali ikut perang Jamal bersama Ali bin Abu Thalib, dan dia termasuk
pembesar kelompok pendukung Ali dan orang yang paling sempurna akal serta
pendapatnya di antara mereka. Ali radhiallahu ‘anhu telah menyuruhnya
meletakkan dasar-dasar ilmu nahwu ketika beliau mendengar kecerdasannya.” Al
Waqidi berkata, “Lalu Abu Al Aswad menunjukkan kepadanya apa yang telah
ditulisnya,” Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Alangkah baiknya
nahwu yang kamu tulis ini.” Dan diriwayatkan pula bahwa dari situlah ilmu
nahwu disebut ‘nahwu’. Muhammad bin Salam Al Jumahi berkata, “Abu Al
Aswad Ad Du’ali adalah orang yang pertama kali meletakkan bab Fa’il, Maf’ul,
Mudhaf, Huruf Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Yahya bin Ya’mar lalu belajar
tentangnya.”
Al-Mubarrad berkata, Al-Mazini menceritakan kepadaku, dia berkata, “Sebab
yang melatarbelakangi diletakkannya ilmu nahwu adalah karena Bintu Abu Al
Aswad (anak perempuan Abu Al Aswad) berkata kepadanya, ‘Maa asyaddu Al
Harri (alangkah panasnya) Abu Al Aswad lalu berkata, Al Hasyba Ar Ramadha’
(awan hitam yang sangat panas)’ anak perempuan Abu Al Aswad berkata, ‘aku
takjub karena terlalu panasnya’. Abu Al Aswad berkata, ‘Ataukah orang-orang
telah biasa mengucapkannya ?’. lalu Abu Al Aswad mengabarkan hal itu kepada
Ali bin Abu Thalib, lalu dia memberikan dasar-dasar nahwu kepadanya dan dia
meneruskannya. Dialah pula orang yang pertama kali meletakkan titik pada
huruf.”
Al-Jahizh berkata, “Abu Al-Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia.
Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria
berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, pendukung Ali, sekaligus orang
bakhil. Dia botak bagian depan kepalanya.”
Posted in: tokoh bahasa arab Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF
version of this webpagePDF
Backlink checker to arabionline.blogspot.com
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Reactions:
Posting Lama Beranda
0 comments:
http://arabionline.blogspot.com/2014/04/abul-aswad-ad-duali_19.html
Posted on January 11, 2009 by hilyatulqalam
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan
sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulismenulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di
belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat
prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa
India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa
Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan
pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan
ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya
nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah
tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka
sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal
pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai
pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding
Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal
Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328
M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada,
dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orangorang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya
menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami
Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah
selatan Jazirah Arab.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat
dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya
utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah
yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun
dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya
kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan
gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya
inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya
Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh
terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh
perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik
pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun
hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq
(berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit
berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar
biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru
maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama,
surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan
kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar,
Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya
dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri
tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh,
gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk
komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi
istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat
luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena
khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar
peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa
contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun
Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah
kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini
semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang
hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn
Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786
M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan
Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu
Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan
huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar
adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal
al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena
penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi
yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia
tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus
dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang
berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (alAqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’
yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer
dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat
Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal
diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua
muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab
mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal
dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian
besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun
karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an
dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode
baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam
gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah
Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara
Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman
yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer
Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau
mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih
dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada
Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik
yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di
sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari
negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat
Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk
kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi
Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang
ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya
tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh
tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan
kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh
Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun
dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia
memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni
kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki
beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang
menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb,
Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti
Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa
besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat
perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian besar terhadap kaligrafi dan
memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah
Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang
menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah
Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer
terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera
digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun
1736. pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong
perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang
sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan dari Ta’liq adalah
Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya
menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin
sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa
tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal
tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikalnya yang ramping. Sedangkan
di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas
penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh
dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa
ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti
Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini
hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki.
Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang
luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman
tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak
segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya
Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang
sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi
yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan
sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi
yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah
Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah)
adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya
dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya
adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15
oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah.
Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan
bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru
yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni
(kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para
muridnya.
About these ads
Filed under: Sejarah dan Perkembangan
https://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafidi-dunia-islam/
http://ilmiproduction.blogspot.com/2014/03/sejarah-dan-perkembangan-kaligrafiarab.html
Studi al-Qur’an-Abu Aswad ad-Dawly
Nama
NIM
: Mustofa Kamal
: 09210030
1.
Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga
saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda
bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris
depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca)
saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab
kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali
huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba,
nun, syin, sin, shad, tho’, dan sebagainya walaupun tidak mengetahui
terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di
seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Alquran. Semua
itu tentunya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit
tabiin.Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai
dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan
Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal.
Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase.
Fase Pertama
Pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan
Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat
dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua
Pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu
menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk
memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya,
huruf baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa
dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin
‘Ashim dan Hay bin Ya’mar
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah
semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan
Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk
menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya
keseragaman bacaan Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun
non-Arab (‘ajami).
Fase ketiga
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah,
fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam
dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian
baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang
ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin
Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimatkalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad
untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran,
khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid
yang berupa isymam, rum, dan mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat
dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida
(memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang
terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi’, yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan
penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat,
seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras
dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran.
Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih
baik, terutama dalam membaca Alquran.
Berdasarkan paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa syakal tidak
termasuk Al qur’ an, karena Al qur’an diturunkan Allah dengan tidak bersyakal.
2.
Di dalam buku tajwid karangan KH. Imam Zarkasyi diterangkan bahwa
membaca Al qur’ an dengan baik dan benar (sesuai dengan ilmu tajwid) itu
hukumnya fardlu ‘ain. Dan kita tahu bahwasanya yang menciptakan hukum
bacaan tajwid adalah manusia.
Dan jika kita membaca Al qur’an tanpa ilmu tajwid maka bacaan kita tidak sesuai
dengan arti kata dalam Al qur’an. Contohnya:
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika
ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak
mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta
bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata,
مما أ مححمسنن ال سمسمماءء
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang
ayah mengatakan,
جحونممها ميا بنن مي سمنة
نن ن
“Wahai anakku, Bintang-bintangnya”
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
ب
ت التس ممع سن
اءن س ممما ا ممرحد ن
ج م
“Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
مما ا مححمسمن ال سمسممامء
“Betapa indahnya langit.”
Bukan,
مما ا مححمسنن ال سمسمماءء
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan memfathahkan hamzah…
3.
Abu Al Aswad Ad Du’ali dikenal dengan Zhalim bin Amr, beliau sering
dikenal atau dipanggil dengan Abu Al Aswad Ad Du’ali rahimahullah, ada pula
yang mengatakan Ad Dili, Al Allamah, Al Fadhil, Qadhi Bashrah.
Beliau yang memberikan dasar-dasar nahwu. Beliau pula orang yang pertama kali
meletakkan titik pada huruf. Tanda-tanda itu adalah titik di atas untuk fathah dan
titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah kiri untuk dhammah, dan dua titik
untuk tanwin. Hal itu terjadi pada masa Mu’ awiyah dalam tahun 661 Masehi.
Al Jahizh berkata, “Abu Al Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia.
Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria
berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, sekaligus orang syiah. Dia botak
bagian depan kepalanya.”
Abu Al Aswad meninggal karena wabah ganas yang terjadi pada tahun 69
Hijriyah dalam usia 85 tahun.
https://mustofakamaltrenggalek.wordpress.com/2014/01/13/studi-al-quran-abuaswad-ad-dawly/
ABUL ASWAD AD DUALI (1 SH- 69 H /603-688 M)
Pakar nahwu
Dahulu, Bahasa Arab tak mengenal adanya harakat. Masyarakat Arab
menggunakan dialek kebiasaan mereka saat mengucapkan bahasa Arab.
Bayangkan betapa sulitnya membaca Al-Qur'an tanpa tanda harakat satu pun.
Oleh karena itulah, Abul Aswad Ad-Duali mejadi sosok yang berkiprah sangat
penting bagi umat Muslim. Dialah yang menemukan kaedah tata Bahasa Arab
(Nahwu), salah satunya yakni kaedah pemberian harakat.
Abul Aswad Ad-Duali memiliki nama asli Dzalam bin Amru bin Sufyan bin
Jandal bin Yu’mar bin Du’ali. Dia biasa dipanggil dengan nama kunyah
(panggilan) Abul Aswad. Sementara Ad-Duali merupakan nisbat dari kabilahnya
yang bernama Du'al dari Bani Kinanah. Abul Aswad Ad-Duali merupakan
seorang Tabi'in, murid sekaligus shahabat Khalifah keempat, Ali Bin Abi Thalib.
Ia ahir tahun 603 Masehi dan wafat pada 688 Masehi.
Sebelum menjadi pakar nahwu, Ad-Duali banyak berkiprah di dunia perpolitikan.
Ia sempat menjadi hakim di Bashrah pada era kekhalifahan Umar bin Khattab
hingga kemudian ia diangkat menjadi gubernur kota tersebut di masa
kepemimpinan Ali. Saat perang Jamal, Ad-Duali merupakan juru ruding
perdamaian antar dua kubu. Ia juga pernah diutus sahabat Rasulullah, Adullah Ibn
Abbas untuk memerangi kaum Khawarij.
Peran Abul Aswad Ad-Duali
Ia menjadi murid Ali bin Abi Thalib, dan nahwu ia pelajari sendiri darinya ( Ali
ibn Abi Thalib), yang merupakan pakar nahwu kala itu. Dia termasuk orang yang
pertama mengumpulkan mushaf dan mengarang ilmu nahwu dan peletak dasar
kaidah-kaidah nahwu, atas rekomendasi dari Ali bin Abi Thalib.
Ia juga mendapat intruksi dari Ali Bin Abi Thalib, ketika menjadi khalifah, untuk
merumuskan tanda-tanda baca pada tulisan. Sasaran pertamanya adalah mushafmushaf Al Qur’an, karena disinilah letak kekhawatiran salah baca seperti yang
kerap terjadi waktu itu.
Dalam Ensiklopedi Peradaban dikisahkan, Ad-Duali pada suatu hari melewati
seorang yang tengah membaca Al-Qur'an. Ia mendengar surah At-Taubah ayat 3
dibaca dengan kesalahan harakat di ujung kalimat. Meski hanya satu kesalahan
harakat, namun artinya sangat jauh berbeda. Ad-Duali mendengar orang itu
membaca Anna Allaha bari'um -mina-l musyrikiin wa rasuulihu seharusnya dibaca
Rasuluhu Jika diartikan akan sangat jauh berbeda. Pembacaan pertama yang salah
tersebut berarti "Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan
rasulnya.” Tentu saja arti tersebut menyesatkan, karena Allah tidak pernah
berlepas dari utusanNya. Makna kalimat yang semestinya yakni “Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” Hanya satu harakat,
tapi mengubah arti yang begitu banyak.
Sejak peristiwa itulah, Ad-Duali mulai menekuni Nahwu dan berkeinginan
memperbaiki Bahasa Arab. Ia khawatir jika tak dibuat sebuah kaedah, Bahasa
Arab akan mudah lenyap begitu saja. Mengingat di era kekhaifan Ar-Rasyidin
pun, sudah terdapat kesalahan baca Al-Qur'an. Mulailah Ad-Duali membuat
kaedah tata bahasa Arab.
Ketika itu, belum digunakan fathah, dhamah ataupun kasrah. Ad-Duali
mengunakan sistem titik berwarna merah sebagai syakal kalimat. Titik-titik
tersebut yakni, sebuah titik di atas huruf dimaknai a yakni fathah, satu titik di
bawah huruf dibaca i atau kasrah, satu titik di sebelah kiri huruf dibaca u yakni
dhammah.
Adapun tanwin (dua fathah, dua kasrah dan dua dhammah) tinggal menambah
titik tersebut menjadi dua buah. Titik-tik tersebut dicetak merah agar membedakan
dengan tulisan Arab yang menggunakan tinta hitam.
Kaedah nahwu Ad-Duali ini dikenal mengusung mazhab Bashrah. Pada
perkembangan bahasa Arab, muncul dua mazhab yakni Bashrah dan Kufi. Kedua
mazhab tersebutlah yang sangat gencar menyebarkan ilmu nahwu ke penjuru
dunia.
Maka dari itu, Abul Aswad berjasa dalam membuat harakat Al Qur’an. Ia berhasil
mewariskan system penempatan “titik-titik” tinta berwarna merah yang berfungsi
sebagai syakal-syakal yang menunjukkan unsur-unsur kata Arab yang tidak
terwakili oleh huruf-huruf. Penempatan titik-titik tersebut, adalah:
· Tanda fathah dengan satu titik diatas huruf (a).
· Tanda kashrah dengan satu titik dibawah huruf (i)
· Tanda Dhamah dengan satu titik disebelah kiri huruf (u)
· Tanda tanwin dengan dua titik (an-in-un)
Untuk membedakan titik-titik tadi dari tulisan pokoknya (biasanya berwarna
hitam), maka titik-titik itu diberi warna (biasanya merah).
Tetapi system ini tidak dapat begitu saja menyelesaikan masalah, sebab ada
huruf-huruf yang sama bentuknya namun harus dibaca berlainan tanpa dibubuhi
tanda-tanda pembeda, huruf-huruf itu menyukarkan banyak pembaca.
Dalam perkembangannya, upaya Ad-Duali ini disempurnakan oleh beberapa
muridnya yakni Nasr Ibn ‘Ashim (w. 707 M) dan Yahya Ibn Ya’mur (w. 708 M).
Mereka melakukan penyempurnaan harakat tersebut pada masa pemerintahan
Abdul Malik Ibn Marwan di Dinasti Umayyah.
Selain keduanya, Ad-Duali juga memiliki beberapa murid lain yang juga pakar
dalam bahasa Arab. Beberapa muridnya yakni Abu Amru bin ‘alaai, Al Kholil al
Farahidi al Bashri yang merupakan pelopor ilmu arudh dan penulis Kamus Arab
pertama.
Tak hanya harakat, Ad-Duali melahirkan banyak kaedah tata bahasa Arab yang
hingga kini masih menjadi patokan atau rujukan. Sejak dikenal sebagai peletak
dasar ilmu i'rab, maka banyak orang datang untuk belajar ilmu qira'ah ataupun
dasar ilmu i'rab. ia mencurahkan hidupnya untuk menelaah ilmu nahwu, hingga
wafatnya pada tahun 688 masehi di Basrah.
Wafatnya
Abu Al Aswad meninggal karena wabah ganas yang terjadi pada tahun 69
Hijriyah dalam usia 85 tahun.
Perkataan para ulama tentangnya
Ahmad Al-Ijli berkata, “Dia tsiqah (terpercaya) dan orang yang pertama kali
berbicara tentang ilmu nahwu”. Al-Waqidi berkata, “Dia masuk Islam pada masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.” Orang lain berkata, “Abu Al
Aswad Ad Du’ali ikut perang Jamal bersama Ali bin Abu Thalib, dan dia termasuk
pembesar kelompok pendukung Ali dan orang yang paling sempurna akal serta
pendapatnya di antara mereka. Ali radhiallahu ‘anhu telah menyuruhnya
meletakkan dasar-dasar ilmu nahwu ketika beliau mendengar kecerdasannya.” Al
Waqidi berkata, “Lalu Abu Al Aswad menunjukkan kepadanya apa yang telah
ditulisnya,” Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Alangkah baiknya
nahwu yang kamu tulis ini.” Dan diriwayatkan pula bahwa dari situlah ilmu
nahwu disebut ‘nahwu’. Muhammad bin Salam Al Jumahi berkata, “Abu Al
Aswad Ad Du’ali adalah orang yang pertama kali meletakkan bab Fa’il, Maf’ul,
Mudhaf, Huruf Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Yahya bin Ya’mar lalu belajar
tentangnya.”
Al-Mubarrad berkata, Al-Mazini menceritakan kepadaku, dia berkata, “Sebab
yang melatarbelakangi diletakkannya ilmu nahwu adalah karena Bintu Abu Al
Aswad (anak perempuan Abu Al Aswad) berkata kepadanya, ‘Maa asyaddu Al
Harri (alangkah panasnya) Abu Al Aswad lalu berkata, Al Hasyba Ar Ramadha’
(awan hitam yang sangat panas)’ anak perempuan Abu Al Aswad berkata, ‘aku
takjub karena terlalu panasnya’. Abu Al Aswad berkata, ‘Ataukah orang-orang
telah biasa mengucapkannya ?’. lalu Abu Al Aswad mengabarkan hal itu kepada
Ali bin Abu Thalib, lalu dia memberikan dasar-dasar nahwu kepadanya dan dia
meneruskannya. Dialah pula orang yang pertama kali meletakkan titik pada
huruf.”
Al-Jahizh berkata, “Abu Al-Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia.
Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria
berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, pendukung Ali, sekaligus orang
bakhil. Dia botak bagian depan kepalanya.”
Posted in: tokoh bahasa arab Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF
version of this webpagePDF
Backlink checker to arabionline.blogspot.com
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Reactions:
Posting Lama Beranda
0 comments:
http://arabionline.blogspot.com/2014/04/abul-aswad-ad-duali_19.html