Strategi Membangun Reputasi Industri Rot

Strategi Membangun Reputasi Industri Rotan sebagai Pusat
Keunggulan Ekonomi Kreatif Indonesia di Era AFTA1
Oleh: Iwan Koswadhi2
Reputation Management Head, PT. Bank CIMB Niaga Tbk

Latar Belakang
Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional
Industri Rotan bertema, “Menggugah Peningkatan Peran Ekonomi Rotan di Cirebon ”,
yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi salah satu pembicara
dalam acara seminar ini. Sungguh ini sebuah kehormatan yang semoga saja saya dapat
menyampaikan hal-hal yang bermanfaat bagi kemajuan industri rotan di Indonesia.
Sebagai seorang praktisi yang bergelut di sektor perbankan, yang menyadari bahwa
pengetahuan saya tentang industri rotan sangat minim, ijinkan saya menyampaikan
makalah yang justru ingin mengajak kita melihat upaya memajukan industri rotan –
bukan dari sisi produksi dan perdagangan rotan maupun perbankan, tetapi dari sudut
pandang strategi pengelolaan reputasi industri rotan memasuki era AFTA.
Pendekatan manajemen reputasi industri rotan, selain manajemen reputasi merupakan
tugas dan aktivitas utama profesi saya di perbankan, saya melihat faktor yang
terpenting untuk dibangun bersama memajukan industri rotan di tanah air – terutama
di Cirebon adalah reputasi industri rotan itu sendiri.
Ada beberapa alasan, mengapa reputasi industri rotan menjadi penting untuk kita

perhatikan dan perbaiki atau perkuat di masa-masa mendatang, terutama menghadapi
era AFTA tahun 2015 yang sudah di depan mata, antara lain:
Pertama, adanya fakta bahwa Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di
dunia, dimana diperkirakan 80-85% bahan baku rotan seluruh dunia dihasilkan oleh
Indonesia3, namun pangsa pasar yang dikuasainya hanya 32%, seharusnya menguasai
70% pangsa pasar dunia4. Bandingkan dengan China dalam hal komoditas bambu,

1

Makalah ini disampaikan pada acara Seminar Nasional Industri Rotan di Cirebon, Hotel Bentani, 5 Maret 2014
Pemakalah menyampaikan paper ini dalam kapasitas sebagai pribadi, tidak mengatasnamakan PT. Bank CIMB
Niaga Tbk. Jika ada kesalahan dalam penyampaian data dan informasi, sepenuhnya tanggung-jawab pribadi.
3
Pernyataan Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retraubun dalam Tempo.co.id diakses 1 Maret 2014.
4
Pernyataan Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Gusmardi Bustami, ibid.
2

1


sebagai produsen bambu terbesar dunia, China mampu menguasai 65% pangsa pasar
bambu dunia.
Kedua,pertumbuhan industri rotan nasional terus meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Sekjen AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia), Abdul
Sobur, pihaknya menargetkan penjualan rotan dan barang olahannya bisa mencapai
US$500juta (Rp5,5 triliun) dalam lima tahun mendatang5. Industri rotan memiliki
nilai tambah untuk dikembangkan sebagai produk unggulan. Industri rotan bahkan
mampu menyerap lapangan kerja cukup besar hingga 100 ribu tenaga kerja untuk satu
perusahaan. Tetapi, mengapa tidak termasuk secara spesifik menjadi salah satu
industri prioritas untuk dikembangkan oleh Pemerintah?

Dalam Visi pembangunan Industri Nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Presiden Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional adalah Indonesia
menjadi Negara Industri Tanguh pada tahun 2025, dengan visi antara pada tahun 2020
sebagai Negara Industri Maju Baru, karena sesuai dengan Deklarasi Bogor tahun 1995
antarpara Kepala Negara APEC dimana pada tahun 2020 liberalisasi perdagangan di
negara-negara APEC sudah harus terwujud. Ternyata, dalam kedua pendekatan
kebijakan industri nasional, baik pendekatan “Top-Down” melalui pengembangan 35
klaster industri prioritas, industri rotan tidak dicantumkan secara spesifik, jelas dan
tegas. TIDAK ADA kata “rotan” atau “industri rotan” dalam kebijakan industri

nasional tersebut, kecuali hanya disebutkan “industri kerajinan” (klaster 30) atau
“industri furniture’ (klaster 9). Terkalahkan oleh industri gerabah, alas-kaki, dan
sebagainya.
Begitu pula dalam pendekatan kebijakan “Bottom-Up” dengan penetapan kompetensi
inti industri daerah yang merupakan keunggulan daerah, dimana pusat turut
membantu pengembangannya, sehingga daerah memiliki daya saing: TIDAK ADA
satu pun daerah, terutama daerah penghasil rotan – semisal Papua, Kalimantan dan
Sulawesi yang menjadikan industri rotan sebagai pusat keunggulan industri yang
harus diperkuat di daerah dan menjadi kompetensi inti daerah tersebut.
Mengapa fenomena tersebut terjadi? Mengapa industri rotan seolah seperti “kurang
mendapat dukungan” bahkan “tidak masuk industri prioritas” dalam kebijakan
industri nasional? Padahal sangat jelas peranan dan kontribusinya selama ini, selain
sebagai penghasil devisa juga pencipta lapangan kerja padat karya.
Makalah ini tidak bertujuan mencari “siapa yang salah”, tetapi mengajak kita semua
terutama para pengusaha dan pelaku industri rotan di tanah air untuk melakukan
introspeksi diri, dan menyusun strategi untuk membangun daya saing industri rotan
5

Disampaikan tanggal 5 September 2012, diakses dari tempo.co.id, tanggal 1 Maret 2014.


2

agar lebih besar lagi mendapat dukungan pemerintah dan seluruh stakeholders
(pemangku kepentingan) di sektor industri rotan.
Penyebab utama “belum dilirik”-nya industri rotan sebagai salah satu prioritas
kebijakan industri nasional, baik kebijakan “Top-Down” dan “Bottom-Up” tersebut
adalah: REPUTASI Industri Rotan yang tidak terlalu kuat di mata stakeholders
(khususnya pemerintah).
Reputasi industri rotan yang tidak terlalu “strong” tersebut terutama disebabkan fokus
utama para pelaku industri rotan di tanah air terletak pada persoalan ketersediaan
bahan baku dan pemasaran produk rotan, dalam menghadapi persaingan bisnis yang
ketat. Hal tersebut mudah dipahami, karena dalam perjalanannya – industri rotan
seperti “berjuang sendirian” menghadapi kerasnya persaingan dagang.
Makalah ini berupaya mengkaji strategi manajemen reputasi yang layak dan efektif
untuk diimplementasikan agar kehadiran industri rotan di tanah air mendapat tempat
di hati masyarakat dan pemerintah, sehingga dapat menciptakan fondasi industri yang
kokoh menjadi industri andalan nasional dalam meningkatkan daya saing bangsa.

Strategi Manajemen Reputasi Industri Rotan
Dalam praktek, sering dijumpai pemahaman yang kurang tepat mengenai reputasi,

dimana reputasi dianggap sama dengan pencitraan. Banyak perusahaan berusaha
meningkatkan citranya di mata publik, tetapi sesungguhnya ia belum membangun
reputasi. Citra (image) perusahaan memang penting untuk dibangun, tetapi tidak akan
banyak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan jika reputasinya tidak begitu kuat di
mata masyarakat dan Stakeholders-nya.
Industri rotan saat ini seolah masih dipandang “sebelah mata” oleh pemerintah,
terbukti tidak dimasukkan ke dalam klaster kebijakan industri nasional secara khusus.
Padahal kontribusi dan kemampuannya dalam menyumbangkan devisa dan menyerap
tenaga kerja cukup signifikan. Terlebih, potensi yang dimilikinya demikian besar.
Hal tersebut disebabkan kurangnya pemahaman dan kesadaran stakeholders terhadap
perkembangan industri rotan. Kebijakan larangan bahan baku rotan mentah memang
cukup membantu industri rotan dalam negeri dalam penyediaan bahan baku, tetapi
belum dimanfatkan secara maksimal untuk meningkatan daya saing industri rotan itu
sendiri. Mengingat reputasi perihal kemampuan strategis industri rotan terhadap daya
saing industri nasional belum pernah dikampanyekan secara efektif. Tentu saja
kekurangpahaman dan minimnya kesadaran tersebut, hendaknya menjadi tantangan
3

bagi para pelaku industri rotan agar lebih meningkatkan lagi reputasinya di mata
pemerintah (dan stakeholders lainnya).

Untuk itu, sebelum diuraikan mengenai strategi manajemen reputasi, perlu dipahami
bersama beberapa prinsip dan pandangan penting terkait reputasi industri, yaitu:
1. Definisi reputasi erat kaitannya dengan persepsi dan ekspektasi Stakeholders
terhadap perusahaan. Upaya membangun reputasi erat kaitannya dengan upaya
membangun ikatan emosional yang erat antara perusahaan dan seluruh pemangku
kepentingan. Ikatan emosional tersebut menjadi faktor penentu mengapa seseorang
masih tetap memilih perusahaan sebagai mitra bisnis, produsen, portofolio
investasi, maupun menjadi tempat bekerja idaman.
2. Reputasi merupakan asset perusahaan (intangible assets) yang perlu dikelola,
dikembangkan, dilindungi dan dibangun secara terus-menerus, serta dapat diukur
menggunakan ukuran-ukuran yang telah digunakan, misalnya: versi Fortune –
yang mengukur reputasi perusahaan melalui sembilan atribut/kriteria yang
ditetapkan. Jika reputasi sebagai asset tidak dikelola dengan baik, maka reputasi
dapat berubah dan mengandung unsur risiko sehingga dapat menjadi liabilities
bagi perusahaan.
3. Secara konsep, konsep reputasi mencakup elemen yang sangat luas dan bersifat
company-wide. Dari kriteria penilaian reputasi yang dibuat oleh Fortune saja,
tampak jelas bahwa cakupan corporate reputation management memiliki cakupan
yang sangat luas – ia merupakan stakeholders’ relations. Untuk membangun
stakeholders relation yang baik, ia membutuhkan: public relation, media relation,

community relation, employees relation, government relation, dan seterusnya. Jadi,
meski secara konsep – manajemen reputasi cakupannya luas, tetapi prakteknya
tidak dapat dipisahkan dengan semua unit yang telah lebih dahulu ada di
perusahaan. Ia tidak bersifat “menggantikan” tetapi “melekat” atau bersifat
kompelementer dan terintegrasi dengan semua fungsi dan unit yang telah ada.
4. Manajemen reputasi meliputi semua aspek dalam perusahaan dan melibatkan
seluruh elemen organisasi perusahaan. Manajemen reputasi merupakan intisari dari
tujuan organisasi yang terkait langsung dengan upaya pencapaian visi/misi
organisasi. Reputasi bukan sekadar alat mencapai tujuan, tetapi reputasi adalah
tujuan organisasi itu sendiri. Reputasi adalah keberadaan perusahaan dalam benak,
persepsi dan emosi Stakeholders. Jika kita berdiri di siang hari, menghadap
matahari, maka reputasi adalah bayangan tubuh kita sendiri.
5. Reputasi perusahaan dibangun dan dikelola bukan melalui sederet berita atau
aktivitas perusahaan yang sporadis, reaktif dan diskontinyu, tetapi dibangun
melalui sebuah cerita yang dibangun, yang melibatkan emosi publik dan
4

menggugah simpati. Produk yang ditawarkan disampaikan melalui aktivitas
“story-telling” yang berkesan, sehingga setiap pelanggan akan mudah memahami
dan merasakan apa manfaat dan kekhususan produk yang ditawarkan.

Para pelaku industri rotan hendaknya menjadikan industri rotan (produk dan produsen
serta para pekerja) sebagai “pahlawan” yang layak dibanggakan di tingkat nasional.
Kita bisa belajar dari bagaimana perusahaan-perusahaan besar yang termasuk daftar
The Most Admired Companies versi Fortune misalnya. Fortune melakukan survey
terhadap sekitar 1.400 perusahaan. Daftar tersebut berasal dari dataFortune 1000,
dilakukan pemeringkatan terhadap 1000 perusahaan terbesar AS dalam hal
pendapatan. Kemudian, ditambah perusahaan non-AS dalam data Fortune 500 yang
meraih pendapatan 10 Miliar dolar AS atau lebih.
Kemudian, Fortune memilih 15 terbesar untuk setiap industri internasional dan 10
terbesar untuk setiap industri AS, survei total 687 perusahaan dari 30 negara. Untuk
membuat daftar 57 industri. Lalu, dibuat kuesioner kepada eksekutif, direktur, dan
analis untuk menilai perusahaan dalam industri mereka pada sembilan kriteria.
Adapun 9 (Sembilan) kriteria strategis yang dihasilkan oleh survey Fortune yang
dijadikan dasar pengukuran suatu perusahaan memiliki reputasi yang sangat baik,
yaitu sebagai berikut.
1. Ability to attract and retain talented people: kemampuan perusahaan untuk
menarik dan mempertahankan karyawan terbaik, yang berbakat dan berdedikasi
tinggi. Kemampuan perusahaan tersebut dapat dilihat dari tingkat kepuasan
karyawan, tingkat engagement yang tinggi serta mampu memposisikan perusahaan
sebagai tempat bekerja impian atau idaman bagi seluruh karyawan. Industri rotan

saatnya mulai melakukan upaya menarik tenaga-tenaga professional yang handal,
terutama untuk melakukan kampanye, promosi, marketing intelligence, designers
yang handal. Perlu kolaborasi yang erat antara produsen atau industri rotan dengan
dunia perguruan tinggi dan center of excellence di dalam dan luar negeri.
2. Quality of management: kualitas jajaran direksi dan komisaris serta manajemen
senior perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnis perusahaan. Kualitas
manajemen dapat dilihat dari kemampuannya dalam menyusun strategi dan
perencanaan bisnis serta kemampuannya dalam mengambil keputusan bisnis yang
berkualitas dan mengeksekusi keputusan yang telah diambil oleh manajemen.
Manajemen industri rotan perlu terus meningkatkan kualitas dan kapasitas
pengelolaan perusahaan menjadi korporasi besar yang modern. Meski sektor
produksi bersifat tradisional, padat karya, namun pengelolaan seluruh sumberdaya
perusahaan hendaknya selalu mengedepankan prinsip tata-kelola perusahaan
modern yang professional, efektif, efisien dan berdayasaing.

5

3. Social responsibility to the community and the environment: tanggungjawab sosial
yang dimiliki oleh perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan, sedemikian
rupa sehingga terbangun kesadaran bersama untuk membangun bisnis yang

berkelanjutan. Konsep social responsibility tercermin tidak hanya dalam bentuk
charity atau filantropi, tetapi dari proses bisnis yang diterapkan secara lebih
bertanggungjawab dan memberi nilai tambah bagi masyarakat. Industri rotan
hendaknya mulai menyadari bahwa pemberdayaan komunitas di sekeliling pabrik
rotan bukan semata dipandang sebagai salah satu faktor produksi, tetapi menjadi
asset perusahaan yang sangat berharga, sehingga perlu terus ditingkatkan kualitas
dan produktivitasnya, sehingga komunitas masyarakat yang produktif dapat
menunjang pertumbuhan industri secara berkelanjutan.
4. Innovativeness: kemampuan untuk melakukan inovasi secara terus menerus
sehingga menimbulkan kekaguman para Stakeholders, termasuk para pesaing,
terutama dalam menciptakan produk dan layanan yang bermanfaat dan bersahabat
bagi mereka. Inovasi memiliki peran tersendiri dalam menciptakan dayasaing
perusahaan, termasuk kemampuan memilih dalam area apa perusahaan bersedia
menciptakan kompetisi yang sehat. Apple misalnya, memilih untuk menolak
bersaing dalam hal harga produk, karena inovasi-inovasinya yang membuat
mereka percaya diri dan membuat kagum para konsumen fanatiknya. Inovasi
menjadi faktor kunci dalam meningkatkan dayasaing dan reputasi produk-produk
rotan Indonesia. Berbagai produk olahan yang bersifat inovatif, misalnya “papan
rotan” – yang saat ini menurut info yang saya terima hanya diproduksi di Palu,
sangat diminati oleh Malaysia, Rusia, Turki, Amerika Serikat, Inggris, Belanda

dan tentunya akan terus berkembang. Saat ini, belum ada satu negara pun yang
mengembangkan papan rotan. Indonesia termasuk pionir dalam hal papan rotan.
Inovasi-inovasi seperti ini perlu terus dikembangkan agar reputasi rotan semakin
kuat di masyarakat dan dunia.
5. Quality of products or services: layanan dan produk yang berkualitas merupakan
kriteria yang penting dalam membangun reputasi perusahaan. Produk dan layanan
yang berkualitas, sekaligus menjadi ambassadors permanen yang paling
mempengaruhi reputasi perusahaan. Hal ini terkait dengan keeping promises
kepada nasabah, pelanggan maupun konsumen. Menjaga dan memenuhi janji atas
layanan dan produk yang berkualitas adalah elemen penggerak reputasi yang
utama dan tak bisa ditawar lagi. Tak ada kompromi dalam hal kualitas produk dan
layanan. Saat ini, pada umumnya kualitas produk dan jasa yang diberikan oleh
produsen rotan – terutama desain produk yang dihasilkan merupakan pesanan atau
order dari konsumen atau trader dari luar negeri. Produsen rotan kita umumnya
hanya menjadi “tukang jahit” yang memproduksi rotan sesuai pesanan tersebut.

6

6. Wise use of corporate assets: penggunaan yang bijak atas asset perusahaan
merupakan elemen yang dapat mendorong kekaguman Stakeholders. Diperlukan
kreativitas dalam pengelolaan asset sehingga kekayaan perusahaan terus
bertambah dan masa depan perusahaan lebih terjamin sustainabilitasnya. Industri
rotan hendaknya mulai akrab dengan bagaimana melakukan pengelolaan asset
sesuai praktek-praktek korporasi modern. Kegiatan merger dan akuisisi dengan
perbagai perusahaan di berbagai belahan dunia, untuk mendukung ekspansi bisnis
perusahaan ke seluruh dunia, perlu mendapatkan perhatian dari pemilik atau
produsen rotan. Jika berhasil dalam melakukan ekspansi dan integrasi bisnis yang
bertujuan untuk pengelolaan asset perusahaan secara bijak, maka kesinambungan
dan pertumbuhan bisnis di masa mendatang relatif lebih terjaga, sehingga menjadi
daya-tarik tersendiri bagi investor.
7. Financial soundness: kinerja keuangan merupakan prasyarat awal atau kriteria
minimal yang harus dicapai oleh setiap perusahaan dalam membangun reputasi
perusahaan. Upaya membangun reputasi yang tidak didukung oleh kinerja
keuangan yang positif, hanya akan membangun reputasi baru perusahaan yang
cenderung manipulatif, tidak sehat dan membahayakan masa depan perusahaan
sendiri. Kinerja keuangan adalah hal yang bersifat fundamental bagi pertumbuhan
perusahaan di masa mendatang. Industri rotan perlu didukung oleh kemampuan
menghasilkan kinerja keuangan yang sangat baik agar mampu melakukan
lompatan-lompatan strategis secara bisnis di masa mendatang.
8. Long-term investment value: kemampuan perusahaan dalam mengambil keputusan
investasi jangka panjang yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. Investasi
tersebut dapat dilakukan secara organik maupun anorganik, serta memberi dampak
sinergis bagi masa depan perusahaan. Aliansi strategis, ekspansi geografis,
pendirian universitas korporasi (corporate university), seperti misalnya:
merupakan beberapa contoh bagaimana elemen investasi dapat mendorong
reputasi perusahaan. Industri rotan hendaknya mulai memikirkan investasi jangka
panjang untuk memastikan kelanjutan industri ini di masa-masa mendatang.
Investasi dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, teknologi dan
inovasi, model dan design produk, strategi pemasaran yang baik dan efektif, serta
perluasan jaringan pemasaran, baik di dalam maupun luar negeri.
9. Effectiveness in doing business globally: efektifitas dalam menjalankan bisnis
global merupakan atribut penting bagi perusahaan dalam membangun reputasi di
era teknologi komunikasi dan informasi yang demikian pesat ini. Borderless
society merupakan fenomena yang tak bisa dihindari. Perusahaan yang mampu
memanfaatkan situasi masyarakat global yang dinamis seperti ini, akan menjadi
sorotan dan berdampak pada kekaguman Stakeholders pada perusahaan. Pada
gilirannya, kemampuan menjalankan bisnis global secara efektif merupakan
7

cerminan dari kualitas manajemen dan kematangan budaya perusahaan yang dapat
mendorong memperkuat reputasi perusahaan. Industri rotan perlu segera
membenahi diri terkait upaya membangun keahlian ini, yakni keahlian melakukan
bisnis global secara efektif, agar mampu menjadikan industri rotan sebagai pusat
keunggulan ekonomi kreatif bangsa.
ACTION PLAN Industri Rotan Cirebon Menghadapi Era AFTA
Dengan mengimplementasikan strategi membangun reputasi industri rotan yang
berdasarkan 9 kriteria penggerak reputasi tersebut, diharapkan menjelang
pemberlakukan era AFTA (ASEAN Free Trade Area ), industri rotan di tanah air dapat
semakin mendapatkan dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya (kalangan
perbankan, pasar modal, pemerintah daerah dan tenaga kerja, termasuk mitra kerja di
luar negeri), terutama dalam memperoleh dukungan yang komprehensif dari
pemerintah terhadap kemajuan industri rotan di tanah air – khususnya di Cirebon.
Salah satu dukungan yang cukup mendesak dan hendaknya menjadi target kalangan
industri rotan di tanah air adalah: upaya mengatasi dampak kebijakan pemerintah
berupa larangan ekspor bahan rotan mentah hendaknya diikuti dengan berbagai
investasi dan perbaikan kapasitas industri hilir rotan dalam negeri. Hal ini perlu segera
diantisipasi mengingat pada saat yang sama, larangan tersebut justeru membangkitkan
pesaing Indonesia, seperti Filipina dan Vietnam, dalam ekspor bahan baku rotan.
Upaya membangun reputasi industri rotan – terutama di Cirebon, hendaknya
diarahkan dalam upaya menjamin ketersediaan dan keberlanjutan pasokan sumber
bahan baku rotan. Dengan reputasi yang baik, berarti memposisikan industri rotan
sebagai industri strategis di Cirebon, menempatkan industri rotan sebagai “pahlawan
devisa” dan pencipta lapangan kerja terbesar di Cirebon. Lebih dari itu, menjelang
AFTA perlu diperkuat reputasi industri rotan di Cirebon sebagai industri penunjang
ekonomi kreatif yang utama di Jawa Barat bahkan di tanah air.
Berikut adalah beberapa Action Plan yang saya usulkan kepada para pelaku industri
rotan di Cirebon, khususnya terkait upaya membangun reputasi industri rotan agar
mampu menjadi “kelompok penekan” (pressure group) sekaligus menjadi pusat
keunggulan (center of excellence) dalam meraih dukungan pemerintah dan
stakeholders, terutama dalam penyediaan bahan baku rotan.
1. Perlunya segera dibentuk sebuah lembaga “think tank” khusus industri rotan di
tingkat nasional yang bertugas memperjuangkan opini publik dan mempengaruhi
para pengambil keputusan dan kebijakan industri nasional agar industri rotan
masuk ke dalam prioritas pengembangan industri nasional di masa depan.
8

2. Lembaga “think tank” bukan bertugas sebagai “speaker” atau juru bicara, dimana
tugas tersebut sudah dijalankan oleh asosiasi terkait (AMKRI) dan sebagainya.
Lembaga tersebut dapat saja didukung oleh asosiasi terkait, tetapi lingkup
pekerjaannya lebih kepada strategi pemenangan opini dan implementasi strategi
manajemen reputasi.
3. Menyusun agenda kebijakan pengembangan industri rotan berbasis pendekatan
“bottom-up” dimana industri rotan di Cirebon “dinobatkan” menjadi klaster industi
unggulan daerah Kabupaten Cirebon atau Provinsi Jawa Barat.
4. Menyusun rencana strategis dan rencana aksi bekerjasama dengan pihak perguruan
tinggi di seluruh Indonesia dan counterpart-nya di ASEAN agar bersama-sama
bersinergi memanfaatkan pasar rotan dunia, “mengalahkan” China (bila perlu).
5. Membentuk “Indonesia Rattan Academy” yang merupakan pusat pengkaderan dan
sosialisasi kemajuan industri rotan di tanah air. Selain bertugas menghasilkan
pengusaha baru rotan, karyawan professional yang mampu mengantarkan rotan
Indonesia menguasai pangsa pasar dunia, akademi tersebut menjadi sebagai ajang
tukar-pikiran dan pembuatan naskah kebijakan pengembangan industri rotan di
tanah air.
6. Meningkatkan kampanye cinta produk dalam negeri, khususnya pemakaian produk
rotan di tanah air, dengan harga-harga yang bersaing dan premium.
7. Baik lembaga “think tank” maupun “Indonesia Rattan Academy” hendaknya fokus
juga pada issue-issue AFTA: a) mengantisipasi kemungkinan ASEAN sebagai
basis produksi untuk memasok kebutuhan rotan dunia melalui penghapusan tariff
dan non-tariff barriers, b) mengantisipasi dampak upaya-upaya menarik investasi
langsung ke ASEAN dalam hal industri rotan di tanah air.
8. Mengusulkan program “Indonesian Rattan Global Campaign ” yang didukung oleh
seluruh kedutaaan besar dan atase perdagangan Indonesia di seluruh dunia, untuk
mulai menggalang kekuatan, opini, dan penetrasi pasar yang lebih dalam lagi,
dengan memaksimalkan fungsi market intelligence yang efektif bagi upaya
membangun reputasi rotan Indonesia dan mendorong transaksi perdagangan rotan
Indonesia di dunia.
Demikian disampaikan beberapa gagasan dan pemikiran sebagai upaya untuk
mendorong peran industri rotan di Cirebon, melalui penerapan strategi manajemen
reputasi industri rotan.
Akhirnya, masa depan – apa pun itu dinamikanya - hendaknya dipandang sebagai
sebuah peluang dan tantangan, bahwa di ujung lorong sana, selalu ada harapan yang
lebih baik untuk memajukan industri rotan di tanah air – khususnya di Cirebon.
Semoga! ***
9

Curriculum Vitae
Ir. Iwan Koswadhi, lahir di Kuningan – Jawa Barat, adalah Sarjana
Teknik Kimia – Institut Teknologi Bandung (ITB) lulusan tahun 1996.
Aktif di kampus sebagai Ketua Badan Perwakilan Anggota Himpunan
Mahasiswa Teknik Kimia (BPA-Himatek ITB), Ketua Pengembangan
Pendidikan dan Pelatihan Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa
(Kokesma-ITB), Pendiri dan Ketua Umum Unit Pembinaan
Kewirausahaan Mahasiswa (UPKM)-ITB, dan menjadi Pembicara serta
Instruktur di berbagai Acara Seminar dan Pelatihan. Setelah lulus,
sempat bekerja sebagai engineer trainee di perusahaan minyak SHELL
Nederland Raffinaderij BV. (1996-1997) di Rotterdam, kemudian
menjadi konsultan produktivitas IMPAC Inc (Improved Management
Profitability and Control) berkantor pusat di Punta Gorda, Florida-USA
(1998-2003). Sempat menjadi Staf Ahli Wakil Ketua Dewan Perwakilan
Daerah (DPD-RI) – 2004-2006. Menjadi Advisor to CEO PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk (2005-2007), dan sejak 2008 menjadi
Special Assistant to CEO PT. Bank CIMB Niaga Tbk, sebelum akhirnya
mendirikan divisi baru di perusahaan tempatnya bekerja, bernama
Corporate Reputation Management dan menjadi Reputation
Management Head PT. Bank CIMB Niaga Tbk.
Selain bekerja sebagai professional, aktif di berbagai komunitas sosial
antara lain: Ketua Umum Ikatan Alumni SMP Negeri Cilimus –
Kuningan angkatan 1985, Ketua Badan Perwakilan Anggota – Koperasi
Alumni ITB (2012-sekarang), Mantan Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian Sosial Jakarta
(2007-2008).
Selain itu, pernah aktif menjadi Co-Writer beberapa buku para tokoh
terkemuka, saat ini ia segera menerbitkan buku karyanya sendiri tentang
Strategic Reputation Management (2014).
Jakarta, 4 Maret 2014
***
10