REVIEW DINAMIKA HUBUNGAN CINA AMERIKA SE

REVIEW
DINAMIKA HUBUNGAN CINA–AMERIKA SERIKAT
Hubungan Kerja Sama ASEAN, Amerika Serikat dan China:
Sebuah Politik Luar Negeri Penyeimbang Kekuatan
Interaksi dan Dinamika dalam Politik Global Cina

Latar Belakang
Awal perkembangan ekonomi China yang berkembang pesat sampai saat ini
dimulai dengan terjadinya reformasi yang digulirkan Deng Xiaoping. Langkah
besar dalam melakukan reformasi ekonomi, China mengikuti pola negara industri
baru yaitu memberikan prioritas kepada sektor ekonomi yang dapat menghasilkan
pertumbuhan pesat tanpa intervensi pemerintah yang besar melalui program
industrialisasi. Langkah revolusioner yang dilakukan suatu negara dengan sistem
komunis, yaitu membuka China untuk penanaman modal asing.
Salah satu faktor pendorong utama kesuksesan China adalah keberhasilan
reformasi sistem perekonomian perdagangan China. China mengembangkan suatu
sistem yang menggabungkan antara seni membuka pasar dengan tetap
mempertahankan kontrol negara. Upaya China untuk membenahi sektor domestik
dan kebijakan luar negeri nya kemudian menjadi penyebab meningkatnya
hubungan dagang antar China dengan negara-negara besar seperti negara-negara
Eropa Barat, Kanada, bahkan Amerika Serikat, yang merupakan salah satu negara

yang cukup kritis terhadap kebijakan China.
Pada awal masa perang dingin, Amerika Serikat turut campur dalam konflik
China - Taiwan dan mengerahkan pasukannya ke Teluk Taiwan. Amerika Serikat
membutuhkan Taiwan sebagai bufferzone dalam membendung komunisme di
Asia. Karena kepentingan itulah, AS kemudian mendukung Taiwan. Kemudian
pada tahun 1960 Taiwan mencoba menyatakan kemerdekaannya terhadap China.
Pada saat itu China belum memiliki hubungan dengan negara-negara lain. Tetapi
pada tahun 1971 AS dan negara-negara lainnya mulai mengembangkan
hubungannya dengan China, dibukanya hubungan ini mengakibatkan AS
memutuskan perjanjian pertahanan dengan Taiwan, kemudian China menerapkan
kebijakan “One China policy” yaitu negara yang menginginkan hubungan
diplomatic dengan China, berarti tidak boleh mempunyai hubungan diplomatic
dengan Taiwan. Kemudian AS menyadari pentingnya untuk menjalin hubungan

dengan China demi menjaga balance of power untuk mencegah koalisi antara
China dan Soviet.
Namun faktanya sekarang, Amerika Serikat sendiri malah menjalin
hubungan dengan Taiwan dan membantu Taiwan untuk memperkuat militernya
dengan penyuplaian senjata secara terang-terangan.
Pergerakan Sistem Internasional

Setelah berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1989 dan diikuti dengan
runtuhnya komunisme di Eropa Timur sekaligus jatuhnya USSR (Union Soviet of
Socialist Republics) pada tahun 1991,

tidak bisa dilepaskan bahwa hal-hal

tersebut berdampak pada munculnya beberapa pergolakan dan perubahan yang
berujung pada terbentuknya suatu sistem internasional baru dunia.
Dengan runtuhnya komunisme, dinamika baru bagi sistem internasional
yakni berkembangnya kapitalisme, kembali muncul. Selain berkembangnya
kapitalisme, pembaharuan hegemoni Amerika Serikat juga menjadi dinamika baru
setelah berakhirnya Perang Dingin dan jatuhnya USSR. Amerika Serikat dengan
pengaruh kuatnya sering berperan seperti wasit dalam berbagai konflik
internasional seperti misalnya mendesak negara-negara yang sedang berkonflik
untuk melakukan perjanjian.
Namun, di lain pihak terkait dengan jatuhnya Uni Soviet, muncul sebuah
kekuatan baru yaitu China. China yang dikenal juga sebagai salah satu negara
komunis semakin berkembang dan maju dalam sistem perekonomian dunia. Hal
ini


dikarenakan

China

berhasil

dalam

sistem

perekonomiannya

yang

mengkombinasikan komunisme dan kapitalisme. China berubah menjadi saingan
baru Amerika Serikat dan menjadi fokus dari policy-makers Amerika Serikat.
Dinamika baru hubungan internasional di akhir Perang Dingin ternyata
menghasilkan hasil yang kontradiksi di negara-negara yang belum berkembang.
Perkembangan yang tidak merata di bidang ekonomi dapat memunculkan
berbagai permasalahan baru seperti contohnya masyarakat miskin dapat


melakukan pergerakan yang ditujukan pada negara-negara maju seperti di Eropa
dan Amerika Serikat melalui aksi terorisme.
Geopolitik dan Geoekonomi China dan AS
Pada bulan Februari 1972 kunjungan Presiden Nixon ke Beijing untuk
memperbaiki hubungannya dengan China sekaligus bersama-sama menghadapi
Uni Soviet. Namun, normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan China itu baru
dilakukan 1 Januari 1979. Hubungan itu memberikan banyak keuntungan bagi
China, antara lain meningkatnya perdagangan, partisipasi damai dalam
keseimbangan regional dan global serta mencegah ancaman agresi Uni Soviet.
Dalam invasi China ke Vietnam tahun 1979, AS bereaksi diam, hal ini
menunjukkan bahwa Washington mau menerima peran China yang independen
dalam keseimbangan regional.
Tahun 1978 hubungan direalisasikan dengan pengiriman ratusan ribu warga
China ke AS dan Eropa untuk mendalami fondasi perekonomian pasar. Lalu pada
1979, China memutuskan meliberalisasi sektor keuangan dengan memanfaatkan
kehadiran bank. Dana pembangunan yang sebelumnya mengandalkan alokasi
anggaran pemerintah, mulai diserahkan ke lembaga perbankan, yang juga bagian
dari pengenalan kepada mekanisme pasar yang relative lebih efektif mengenai
alokasi kredit.

Saat itu pula perbaikan ekonomi China semakin tergantung pada Amerika
Serikat. Amerika Serikat menjadi mitra dagang ketiga China setelah Jepang dan
Hongkong. Kemudian hubungan itu berkembang di tahun 1986, dimana Amerika
Serikat menyetujui penyediaan energi dan teknologi nuklir untuk pembangunan
industry listrik di China. Di samping itu AS tetap mengawasi pengembangan
teknologi nuklir karena khawatir jika teknologi nuklir tersebut digunakan untuk
pengembangan senjata militer atau senjata nuklir yang sebaliknya mengancam AS
sendiri sebagai super power.
Seiring dengan perbaikan ekonomi dan politik China di akhir 1980-an
terjadi peristiwa Tiananmen 4 Juni 1989 yaitu peristiwa pembantaian terhadap

para demonstran di antaranya mahasiswa dan rakyat sipil yang dilakukan oleh
TPR (Tentara Pembebasan Rakyat) membuat dunia internasional mengecam keras
China dalam pelaksanaan HAM dan demokratisasi. Kecaman dunia internasional
terhadap China direalisasikan penerapan sanksi dan pembekuan hubungan
diplomatic. AS menerapkan sanksi kepada China dengan menghentikan
pertukaran pejabat tingkat tinggi antar kedua Negara.
Pasca Tiananmen AS mengupayakan pendekatan bilateral kepada China
sejak Oktober 1983 dengan melakukan kunjungan Menham William J. Perry dan
juga pejabat Pentagon guna memberi penjelasan mengenai Tentara Pembebasan

Rakyat China yang telah terlibat dalam peristiwa Tiananmen. Upaya ini dianggap
sebagai niat baik untuk mengembangkan transparansi, perbaikan hubungan
dengan China yang merupakan kebijakan strategis AS dan memajukan demokrasi
serta HAM di Asia Pasifik.
Pada 26 Maret 1997 Wapres Al Gore melakukan kunjungan ke China serta
berhasil mengajak Beijing menandatangani kontrak dagang senilai 2,2 miliar
dollar AS, dengan perusahaan-perusahaan Amerika, Boeing, dan General Motors.
Wapres Al Gore dan PM Li Peng juga akan menandatangani perjanjian politik
lain, yakni sepakat mempertahankan kehadiran konsulat AS di Hongkong setelah
kota Hongkong dikembalikan kepada Beijing tanggal 1 Juli 1997. Tujuan utama
kunjungan Wapres Al Gore ialah untuk mempersiapkan rencana kunjungan
Presiden Bill Clinton dengan Presiden Jiang Zemin guna meningkatkan hubungan
kerjasama yang selama ini kurang harmonis. Bagi China, pengembalian
Hongkong kepada China 1 Juli 1997 memiliki arti politis tersendiri, yakni untuk
mempertahankan kedaulatan nasional China.
Meskipun diakui bahwa hubungan AS-China memburuk ketika sebuah
pesawat militer AS mengadakan perjalanan ke Pulau Hainan pada bulan April
2001, namun Powell menyatakan bahwa hubungan AS-China sekarang adalah
yang terbaik sejak Presiden Nixon mengunjungi Beijing tahun 1971 karena AS
menjadi sponsor China menjadi anggota WTO.


Kebijakan Ekonomi China dan Mengenai Pembelian Surat Obligasi Amerika
Serikat Oleh China
Pembelian surat obligasi Amerika Serikat oleh China merupakan salah satu
kebijakan ekonomi luar negeri China terhadap Amerika Serikat yang tengah
menghadapi krisis ekonomi sehingga Amerika menjual surat obligasinya untuk
membayar defisit anggarannya.
Krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika Serikat merupakan dampak dari
deregulasi yang selama ini dianut oleh para praktisi keuangan di Amerika.
Regulasi yang sudah ada sejak Great Depression 1929 adalah melarang bank
komersial memperluas aktivitasnya dalam berbagai kegiatan finansial lain seperti
investasi dan asuransi. Namun sejak pemerintahan Nixon regulasi ini ditiadakan
sehingga sejak itu tidak ada regulasi yang mengatur pasar saham Wall Street. Hal
ini menyebabkan pasar modal Amerika Serikat menjadi sangat bebas dan
mengakibatkan munculnya gelombang krisis gagal bayar di Amerika Serikat.
Menurut Wayne M. Morrison dan Marc Labonte, rendahnya simpanan dana
tunai menyebabkan Amerika Serikat meminjam untuk membiayai defisit anggaran
federal dan kebutuhan modal untuk menikmati pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Sedangkan Bank sentral China merupakan pembeli utama aktivasi Amerika
Serikat, terutama karena kebijakan kurs mata uang. Dalam rangka mengurangi

apresiasi yuan terhadap dolar, maka Bank Sentral China harus membeli dolar
Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan China mengumpulkan cadangan devisa
yang sangat signifikan mencapai 1,4 triliun dolar per September 2007.
Surat obligasi Amerika Serikat merupakan alat utama yang digunakan
pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai utang federal, dimana totalnya
adalah 9 triliun dolar pada September 2007.
Presiden Barack Obama telah berkomitmen untuk merevisi peraturan
investasi dalam perjanjian perdagangan bebas Amerika Serikat, bersama dengan
reformasi kebijakan perdagangan yang telah diusulkan. Laporan dari Intitute for
Policy Studies memaparkan lima kunci peluang untuk berubah bagi Amerika

Serikat, yaitu renegosiasi perjanjian perdagangan dan investasi bilateral
perjanjian, memutar kembali komitmen Organisasi Perdagangan Dunia pada
deregulasi keuangan, dan mereformasi Bank Dunia serta mereformasi kebijakan
IMF. Investasi menjadi pilihan pemerintah China. Melalui investasi Cina berharap
dapat memperoleh peningkatan modal (capital gain).
Sebagian besar ekonomi Cina yang terletak di dalam sektor industri dan
manufaktur melakukan duplikasi produk, yang mencakup hampir separuh dari
produk domestik bruto nasional (PDB). Pada kenyataannya pembelian barang
produksi Cina oleh Amerika Serikat jauh lebih banyak dari pada pembelian

barang produksi Amerika Serikat oleh China.
China Menguasai Surat Hutang Amerika Serikat
Banyaknya hutang Amerika kepada China, membuat Amerika harus terus
berjuang untuk menstabilkan perekomiannya dengan China yang maju sangat
pesat. Penguasaan surat hutang AS oleh China turun karena saat itu sudah
mencapai USD 1,18 triliun pada Oktober 2010. China masih menjadi negara
terkuat pemegang surat hutang Amerika, yang disusul Jepang dan Inggris. Kondisi
perekonomian Amerika Serikat saat ini mengalami krisis, dan tidak mampu
menyaingi perekonomian China yang tumbuh sangat pesat, sehingga menjadi
negara dengan perekonomian ekonomi terbesar di dunia.
Kebangkitan Ekonomi Politik China
Paradoks global (John Nasbitt- 1994) “ negara besar Komunis terakhir
menjadi ekonomi pasar terbesar di dunia”. Jika China dapat mempertahankan
momentum ekonominya yang sekarang, dan hanya ada sedikit alasan mengapa
negara ini tidak dapat, maka pada tahun 2000 negara ini akan menjadi ekonomi
terbesar didunia. Lebih besar daripada Amerika Serikat, lebih besar daripada
Jepang. Sebagai negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi tercepat dan serta
cadangan devisa besar, yakni US$ 31 Triliun per April 2013 membuat China
sebagai negeri tirai bambu semakin besar.


Bahkan saat ini 26 persen obligasi AS dikuasai oleh China, artinya banyak
hutang luar negeri AS pada China. Disinilah titik ketegangannya, AS jadi tidak
bisa serta merta menolak kebijakan luar negeri China meskipun bertentangan
dengan ideologi mereka.
Mengenai strategi politik AS menghadapi dominasi RRC, tentunya latar
belakang ideologi China yang dimainkan Amerika Serikat untuk menggalang
dukungan luar. Meski telah bergabung dengan WTO dan telah mengintegrasikan
sistem perekonomiannya pada pasar global, internasional menilai identitas lama
China yakni pondasi ideology komunis serta bangunan pemerintah tersentral
belum dapat dipisahkan. Identitas itulah yang dimanfaat AS untuk melawan
China.
Dinamika Hubungan China Dengan AS
Walaupun masih digolongkan sebagai negara berkembang, PDB per tahun
China hanya 1000 dollar AS per tahun 2003, China sudah memberi dampak
mendalam bagi dunia. Bersama Amerika Serikat, China adalah mesin utama
pertumbuhan ekonomi global. Menyumbang tidak kurang dari sepertiga
pertumbuhan output rill dunia antara tahun 2002-2005. Manifesta dari Paradoks
Global (1994) ; “semakin besar ekonomi China, semakin besar dan semakin kuat
bagian-bagiannya”.
Kebangkitan


China

sebagai

produsen

barang

termurah

di

dunia

menyebabkan penurunan tajam harga komoditas global. Permintaan barangbarang China yang sangat murah dan banyak diminati, menguntungkan konsumen
yang ada di negara-negara maju seperti Amerika. Akan tetapi, Amerika Serikat
yang mengalami defisit perdagangan besar dengan China karena banyak produk
China yang sangat murah yang membuat harga barang-barang di AS turun drastis.
China adalah eksportir terbesar ke AS, dan masyarakat AS sangat meminati
barang-barang konsumen Made In China. Dalam buku paradoks global, (John
Nasbitt-19940 mengatakan :

“ Ukuran ekonomi tidak boleh dikacaukan dengan standar hidup. Dipandang dari
segi apa pun China tidak memiliki atau tidak akan memiliki dalam waktu dekat,
standar hidup yang kaya, bahkan sesudah negara ini menjadi ekonomi terbesar
didunia”.
Bagaimana China mengalokasikan cadangan devisanya masih menjadi
persoalan besar, terutama bagi Amerika Serikat, karena sebagian besar cadangan
devisa tersebut di investasikan dalam bentuk utang dalam denominasi dollar AS.
Jika China mentransfer sejumlah signifikan asetnya ke dalam mata uang lain,
diyakini bahwa China menempatkan asetnya ke mata uang lain, diyakini bahwa
China menempatkan 60 persen lebih cadangan devisanya dalam dollar. Tindakan
ini akan langsung menekan nilai dollar dan memaksa suku bunga AS naik.
Semakin banyak jumlah yang ditransfer, semakin tajam kejatuhan dollar dan
semakin tinggi kenaikan suku bunga.
Walaupun era globalisasi saat ini dirancang dan dibuat oleh Barat, terutama
Amerika Serikat, yang diuntungkan adalah Asia Timur terutama China. Jika suatu
saat Barat harus memutuskan bahwa China adalah paling diuntungkan dan sangat
merugikan Barat, mungkin saja Barat akan menjadi semakin proteksionis dan
sistem perdagangan saat ini sangat terganggu.

Dari makalah mengenai Dinamika Hubungan China dengan Amerika
Serikat diatas, ingin menambahkan terkait dengan:
Hubungan Kerja Sama ASEAN, Amerika Serikat dan China:
Sebuah Politik Luar Negeri Penyeimbang Kekuatan
a. Abstrak
Dinamika hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara terlihat
semakin dinamis selama dan pasca Perang Dingin. Selama Perang Dingin pulalah
semangat regionalisme di kawasan ini muncul dengan terbentuknya ASEAN pada
1967. Dinamika tersebut makin hidup dengan dibukanya hubungan dengan
negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Dalam perkembangannya
hubungan yang dijalin tersebut mengalami fluktuasi mengikuti perkembangan
zaman. Tulisan ini menekankan pada hubungan internasional kontemporer antara
ASEAN, Amerika Serikat, dan China dalam perspektif politik luar negerinya.
Keywords: politik luar negeri, ASEAN, Amerika Serikat, China
b. Pengantar
Dunia global merupakan sebuah arena inter-relasi antara satu negara
dengan negara lainnya. Dalam hubungan tersebut tentunya terjadi proses saling
membutuhkan satu sama lain. Supaya kontinuitas hubungan baik yang ada tetap
terjaga maka sikap penentuan diri guna menjaga jarak antara politik luar negeri
dengan politik dalam negeri adalah sebuah keniscayaan. Bagi suatu negara, politik
luar negeri merupakan suatu upaya pencapaian maksimal guna meraih national
interest yang terumuskan dalam proses pembuatan politik luar negerinya.
Menurut J.R Childs (dalam M.A Vincsensio Dugis, 1988), politik luar
negeri merupakan isi pokok dari hubungan luar negeri suatu negara. Politik luar
negeri bersifat dinamis, artinya ia dapat berubah sesuai dengan kondisi internal
dan eksternal yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (Brian White, 1998).

Fleksibilitas politik luar negeri adalah sebuah keniscayaan, mengingat
dinamika hubungan internasional sangat majemuk sehingga benturan dengan
situasi-situasi yang kemudian dapat merugikan national interest negara sebagai
aktor dalam hubungan internasional dapat dihindari (M.A Vincsensio Dugis,
1988). Melihat realitas tersebut, maka hubungan ASEAN dengan Amerika Serikat
dan China yang fluktuatif merupakan suatu kewajaran apalagi di Asia Tenggara
diperlukan adanya keseimbangan kekuatan negara besar.
c. ASEAN dan Amerika Serikat
Dinamisasi hubungan antara ASEAN dan Amerika Serikat semakin
nampak pasca Perang Dunia II. Perang yang melahirkan 2 negara super power
dengan ideologi yang kontradiktif -Amerika Serikat dan Uni Soviet- memaksa
negara kapitalis tersebut untuk segera menanamkan pengaruh dominannya di
kawasan Asia Tenggara. Guna menghalau pengaruh komunis sebagai bagian dari
containment policy, Amerika Serikat menjalin kerjasama dengan Philipina melalui
The Military Bases Agreement sehingga dapat membangun pangkalan militernya
di negara salah satu founding fathers ASEAN tersebut (Bambang Cipto, 2006:
163-166).
Selain itu, Amerika Serikat membuat pakta pertahanan SEATO yang
merupakan justifikasi untuk mendukung gerakan anti-komunis yang merupakan
garis ideologi pemerintahan non-komunis Vietnam Selatan. Dengan konspirasi
yang lihai, Amerika Serikat dan musuh bebuyutannya, Uni Soviet, berseteru
dalam Perang Vietnam yang ditandai dengan kekalahan di pihak Amerika Serikat.
Ini merupakan momentum awal menurunnya kiprah Amerika Serikat di kawasan
Asia Tenggara. Menurunnya kiprah tersebut juga diikuti dengan terbentuknya
ASEAN Regional Forum (ARF) yang merupakan arena utama guna membahas
isu-isu keamanan di kawasan Asia Pasifik. Tujuan didirikannya forum ini adalah
untuk menciptakan ruang dialog dan konsultasi yang konstruktif bagi para pihakpihak yang terlibat di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya
(Bambang Cipto, 2006: 209).

Dalam kaitannya dengan ASEAN ini, pangkalan laut Amerika Serikat di
Subic Bay, Philipina dan pangkalan udara di Clark Base, Singapura ditutup.
Namun beberapa negara ASEAN seperti Philipina, Thailand, Singapura, Malaysia
dan Indonesia menjalin kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat dalam
bentuk hubungan bilateral, meskipun secara implisit Malaysia dan Indonesia
kurang berkenan akan hadirnya Amerika Serikat di Asia Tenggara.
Hubungan ASEAN dan Amerika Serikat berubah drastis pasca peristiwa
9/11, dimana kemudian Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, Jr.
melakukan kebijakan politik luar negeri berupa war on terorism dan menganggap
negara yang tidak mengikuti kebijakannya ini sebagai pendukung teorisme dan
musuh Amerika Serikat. Berpihaknya ASEAN terhadap politik luar negeri
Amerika Serikat ini terlihat dalam The 9th ASEAN Ministerial Meeting yang
diselenggarakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada 31 Juli 2002
dengan agenda pembahasan utamanya yaitu isu terorisme.
Dan hal tersebut berlangsung hingga pertemuan The 10th ASEAN
Ministerial Meeting yang diadakan pada 18 Juni 2003 di Phnom Penh, Kamboja
dengan pembahasan kerja sama dalam upaya mengatasi terorisme di kawasan Asia
Pasifik. Perubahan itu juga terkait dengan kemunculan China sebagai kekuatan
ekonomi baru dunia yang dikhawatirkan dapat menyaingi dominasi dan hegemoni
Amerika Serikat di dunia dan Asia Tenggara khususnya, dimana sebelumnya
Amerika Serikat menyadari kekuatan China sudah lama bermain di kawasan ini.
d. ASEAN dan China
Sebagai salah satu negara penganut ideologi komunis, hubungan China
dan ASEAN pada awalnya dipenuhi rasa saling curiga karena sebagian besar
negara ASEAN dikendalikan oleh Amerika Serikat sebagai kampiun ideologi
liberal dan merupakan musuh ideologi komunis. Selain itu, sebagian besar
penduduk ASEAN merupakan muslim dan Nasrani yang tentunya berseberangan
dengan China yang berpaham atheis (Bambang Cipto, 2006).

Meskipun begitu, di tengah kecurigaan tersebut, produk-produk ekonomi
China sudah memasuki pasar ASEAN. Perubahan terjadi sejak pemerintahan
Deng Xiao Ping yang mulai mereformasi politik luar negeri dan ekonomi China.
Kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke beberapa negara ASEAN seperti ke
Indonesia dan Singapura serta kehadiran Menteri Luar Negeri China, Qian
Qichen, dalam pertemuan ASEAN di awal tahun 1990an menjadikan hubungan
kedua belah pihak semakin harmonis. Pemerintah China meyakinkan ASEAN
bahwa ada perubahan mendasar dalam politik luar negerinya di ASEAN. Hal ini
dibuktikan dengan mengurangi dukungan terhadap gerakan komunis di ASEAN
dan dibuktikan dengan menutup radio komunis di Thailand dan Malaysia.
Hubungan China dan ASEAN tidaklah berjalan mulus. Di satu sisi,
terdapat beberapa hal sensitif, seperti keterlibatan China dalam G 30 S/ PKI di
Indonesia, Vietnam yang pernah ”di-agresi” dan menduduki kepulauan Paraced
serta klaim atas Kepulauan Spratly, konflik China-Philipina atas Kepulauan
Mischief Reef. Namun di sisi yang lain, Myanmar memiliki hubungan khusus
dengan China serta Singapura dan Malaysia dengan alasan etnis juga menjalin
hubungan dengan China. Tetapi kehadiran China di kawasan Asia Tenggara
sebagai penyeimbang kekuatan, mutlak diperlukan oleh ASEAN.
Kebangkitan ekonomi China awal 1990an, juga turut memiliki pengaruh
terhadap kebijakan ASEAN untuk tetap menjalin kerjasama dengan negeri Tirai
Bambu tersebut. Ini terbukti dengan munculnya China sebagai mitra dialog
ASEAN melalui mekanisme ASEAN+3.
Sejak akhir abad ke-20, China mulai merealisasikan konsep baru kebijakan
luar negerinya sehingga hubungan dengan kawasan Asia Tenggara baik dalam
bentuk hubungan bilateral maupun kolektif semakin banyak. Hal ini juga terkait
dengan national interest China guna mendapatkan dukungan politik atas kasus
Taiwan. Mengingat di Asia Tenggara diperlukan adanya keseimbangan kekuatan,
maka ASEAN harus berusaha semaksimal mungkin menjaga hubungan baik

dengan Amerika Serikat dan China, sekaligus mengambil keuntungan maksimal
dari kerja sama tersebut.
Membaca hubungan kerja sama antara ASEAN, Amerika Serikat dan
China dapat disimpulkan bahwa tesis utama dalam kebijakan luar negeri berupa
national interest tetap merupakan faktor kunci. Di sini saya melihat kepiawaian
ASEAN dalam memainkan ”kartu”nya demi mendapatkan manfaat maksimal
terutama dipandang dari perspektif regional.
Hubungan kerja sama dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan super
power yang tersisa usai Perang Dingin dan ketergantungan ASEAN terhadap
negara besar ini tentu tak dapat dipungkiri. Apalagi sejak peristiwa 9/11, Amerika
Serikat sangat berkepentingan akan kawasan yang mayoritas penduduknya adalah
muslim (yang oleh Amerika Serikat dianggap amat berbahaya setelah Perang
Dingin usai).
Lain Amerika Serikat lain pula China. Selain tumbuh sebagai kekuatan
ekonomi baru, China merupakan salah satu dari 5 kekuatan besar dunia dan
tentunya tidak ingin dominasinya di kawasan Asia Tenggara ”diambil alih” oleh
kekuatan lain. Karenanya, hubungan kerja sama China dengan ASEAN lebih
merupakan upaya mendapat kepercayaan guna eksisnya kekuatan dominasi dan
hegemoni China di Asia Tenggara, selain karena ingin mendapat dukungan politik
atas kasus Taiwan. ASEAN ibarat the paddy sedangkan China laksana the dragon
dan karenanya diperlukan the nexus yang tentu harus dapat dicapai ASEAN ke
depannya.
Masa depan ASEAN lebih ditentukan akan ”lihai”nya mereka dalam
mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari kerjasama dengan Amerika
Serikat dan China sebagai bentuk kebijakan penyeimbang kekuatan besar dunia di
kawasan Asia Tenggara dengan tetap menjaga hubungan baik antara keduanya.

e. Kesepakatan Investasi Bilateral antara China dan A.S. Dapat
Memperkuat Hubungan dan Ekonomi
Perjanjian investasi bilateral yang sedang dikejar oleh China dan Amerika
Serikat menawarkan prospek hubungan yang menguntungkan dengan potensi
yang hampir tak terbatas untuk kedua ekonomi terbesar dunia tersebut.
"Hal ini bisa menjadi langkah maju yang signifikan," kata John Frisbie,
presiden U.S.-China Business Council, yang berfungsi sebagai penghubung antara
perusahaan A.S. yang beroperasi di China dan para pejabat China.
Kedua negara sepakat untuk memulai menetapkan dasar perjanjian yang
akan secara signifikan membuka pasar China bagi barang dan produk A.S.
"Ada tujuan bersama, yaitu mencoba menemukan cara untuk mengurangi
dan meringankan perbedaan serta hambatan yang ditempatkan oleh kedua belah
pihak dalam hubungan dagang dan investasi kami,” kata Menteri Perdagangan
Chinese Gao Hucheng kepada China-Briefing.com.
Rekanan Gao dari Amerika, Menteri Keuangan Negara A.S. Jacob Lew,
sama-sama merasa optimis.
"Kesepakatan Investasi Bilateral A.S.-China yang berstandar tinggi
merupakan prioritas bagi Amerika Serikat dan akan dapat menyeimbangkan ajang
permainan bagi para pekerja dan pebisnis Amerika dengan membuka pasar
dengan persaingan yang sehat," kata Lew dalam sebuah pernyataan.
"Komitmen yang dibuat hari ini menunjukkan suatu terobosan yang
signifikan

dan menandai

pertama

kalinya

China

setuju

merundingkan

Kesepakatan Investasi Bilateral, yang mencakup semua sektor dan tahapan
investasi, dengan negara lain," katanya.
Kesepakatan baru ini akan memungkinkan penyerapan besar-besaran atas
barang, jasa, dan produk pertanian A.S. bagi konsumsi China.

Dengan penduduk yang berjumlah 1,35 miliar jiwa, populasi China dan
pasar dengan daya beli potensialnya mendekati empat kali nilai pasar A.S. sebesar
315 juta. Selain itu, di samping mempertahankan gaya pemerintahan Partai
Komunisnya, pemerintahan Presiden Xi Jinping tampak bertekad menuju
reformasi ekonomi dan gaya perekonomian serta standar kehidupan yang lebih
menyerupai gaya Barat.
Gao mengatakan pada tanggal 11 Juli bahwa perundingan tentang
kesepakatan tersebut akan dimulai secepat mungkin.
Terpacu oleh inisiatif perekonomian global mantan Presiden A.S., George
W. Bush, para pejabat A.S. dan Chinese bertemu pada tahun 2008 untuk
menetapkan sejumlah bentuk kesepakatan investasi.
Bahkan seandainya para pejabat China menyetujui kesepakatan, hal ini
dapat mengalami berbagai masalah di A.S., karena ratifikasi perjanjian apa pun
akan memerlukan persetujuan Kongres.
Kecuali ketetapannya disatukan ke dalam kesepakatan yang menanggapi
berbagai masalah, termasuk peretasan cyber dan pencurian hak kekayaan
intelektual, ratifikasi tersebut bisa mengalami kemacetan.
f. Penurunan Ekonomi yang Tidak Terduga
China mungkin saja ingin mempercepat kesepakatan, setelah ada laporan
tentang meningkatnya biaya tenaga kerja dan kenaikan nilai mata uang yuan yang
menyebabkan ekspor China merosot 3,1 persen pada bulan Juni dibandingkan
bulan yang sama tahun lalu, penurunan pertama sejak Januari 2012. Impor juga
menurun 0,7 persen pada bulan Juni.
Para ahli ekonomi memprediksikan ekspor akan meningkat sekurangnya 4
persen dan impor 8 persen, menurut International Venture Capital Post
[IVCPost.com].

“Ekspor pada kuartal ketiga tampak suram,” kata juru bicara pabean
China, Zheng Yuesheng.
Para investor Amerika sudah berbisnis dengan China, demikian juga
mereka yang mencari celah di pasar yang luas ini, sudah membatasi jumlah
investasi yang dapat mereka lakukan, terutama karena banyak industri manufaktur
China dijalankan oleh negara.
Xi, yang bertemu dengan Obama pada awal Juni di California, sudah
mengisyaratkan niatnya untuk bergeser ke arah perekonomian yang didorong oleh
konsumsi domestik.
Pada saat yang sama, ekspor China ke A.S. juga bisa meningkat, seperti
pula halnya dengan investasi dalam bisnis di tanah Amerika, menurut Wakil
Perdana Menteri Chinese, Wang Yang.
Dengan menyetujui perundingan kesepakatan investasi, China juga ingin
meminimalkan keberatan A.S. untuk berinvestasi lebih jauh dalam investasi yang
hanya berdasarkan alasan keamanan nasional, kata Wang.
g. Langkah Kecil Menuju Penyelesaian Masalah
China telah membanjiri perekonomian A.S. dengan barang yang
diproduksi dengan tenaga kerja dan bahan baku yang murah.
Pada saat yang sama, produk A.S. secara substansial mengalami kesulitan
untuk memasuki pasar China, karena pembatasan impor dan peraturan yang
mencegah perusahaan asing menguasai kepemilikan mayoritas di banyak
perusahaan China.
BIT merupakan langkah berikutnya, karena Xi dan Obama bersama-sama
berupaya membina hubungan yang lebih kuat.

BIT dapat menggiring ke inisiatif yang lebih mengedepankan hak asasi
manusia di China. Hubungan di antara kedua bangsa akan meningkat dan menjadi
"lebih kuat, lebih stabil dan lebih inovatif jika [China] menghormati norma-norma
hak asasi manusia internasional," kata Wakil Presiden A.S., Joseph Biden dalam
pidatonya baru-baru ini.
Semakin lama perundingan mengenai BIT tertunda, semakin lama hasil
akhir yang positif akan tertunda. Kesepakatan ini dapat meluas ke negara-negara
lain.
China telah ikut ke dalam BIT dengan 90 negara lainnya, tetapi ini akan
merupakan kesepakatan bilateral pertama China dengan Amerika Serikat yang
memiliki BIT dengan 48 negara lainnya.
Meskipun sejumlah industri tertentu kemungkinan akan dikecualikan
untuk menjadi bagian dari kesepakatan A.S.-China, seperti manufaktur peralatan
pertahanan, BIT dapat mempercepat hubungan yang lebih luas dengan negara
lainnya juga – khususnya bagi A.S.
Ketika Amerika Serikat dan China setuju untuk merundingkan BIT, India –
negara adi daya lainnya – mencari kesepakatan investasi serupa dengan A.S.
“Ya, kami siap untuk itu. Kami mendukung kesepakatan investasi
bilateral," kata Menteri Perdagangan India, Anand Sharma kepada kantor berita
Press Trust of India.
“Kegiatan perekonomian dalam perdagangan dan investasi, meskipun
kuat, namun potensinya masih rendah, mengingat peluang yang ditawarkan oleh
negara yang ekonominya tumbuh seperti India, dan peluang di negara yang
memiliki perekonomian terbesar, seperti Amerika Serikat.”

KESIMPULAN
Sudah tidak diragukan akan kekuatan ekonomi China di era kontemporer
ini. Hal ini terbukti dari akan kekuatan perekonomian China yang mampu
terbilang menyaingi Amerika Serikat. Di saat Amerika Serikat mengalami krisis
atau shutdown, China justru membantu Amerika dengan membeli sebagian besar
surat hutang Amerika. Di saat Asia pun terancam krisis, China justru kekuatan
perekonomiannya tidak tergoyahkan. Justru China menawarkan bantuan atau
pinjaman kepada negara-negara yang mengalami krisis dengan syarat yang
disebut sebagai Beijing Consensus.
Hubungan kerja sama China dengan Amerika Serikat terlihat bahwa
produk-produk China telah membanjiri perekonomian A.S. dengan barang yang
diproduksi dengan tenaga kerja dan bahan baku yang murah. Pada saat yang sama,
produk A.S. secara substansial mengalami kesulitan untuk memasuki pasar China,
karena pembatasan impor dan peraturan yang mencegah perusahaan asing
menguasai kepemilikan mayoritas di banyak perusahaan China. Hal tersebut yang
dilakukan pemerintah China, meskipun perekonomiannya berbasis liberal namun
kebijakan pemerintahnya tetap terbilang sosialis dengan sedikit proteksionis akan
produk-produk yang masuk ke arus pasar China. Pemerintah China pun
mencanangkan kepada masyarakatnya untuk lebih utama menggunakan produk
dalam negeri China dibandingkan produk-produk impor.
Selain dengan Amerika, hubungan kerja sama China dengan ASEAN pun
berjalan lancar yang lebih merupakan upaya untuk mendapatkan kepercayaan
guna eksisnya kekuatan dominasi dan hegemoni China di Asia Tenggara, selain
karena ingin mendapat dukungan politik atas kasus Taiwan.
China saat ini sudah mampu memberi dampak mendalam bagi dunia
khususnya dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Bersama Amerika Serikat, China
adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi global.

DAFTAR PUSTAKA
Sinamo, Jansen. Eben Ezer Siadari. 2013. The Chinese Ethos: Memahami
Adidaya China Abad 21 dari Perspektif Budaya dan Sejarah. Jakarta: Institut
Darma Mahardika.
Jacques, Martin. 2011. When China Rules The World. Jakarta : Kompas.
Sutopo, FX. 2009. China Sejarah Singkat. Yogyakarta : Garasi.
Naisbitt, John & Doris. 2010. China’s Megatrends: 8 Pilar Yang Membuat
Dahsyat China. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
IVCPost.com
China-Briefing.com