Sosiologi Konflik Horisontal di Indonesi

KONFLIK HORISONTAL DI INDONESIA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu Dr. Setia Gumilar, M.Si. dan Heri Setiawan, M. Hum.

.
Oleh:
Kelompok I

Kelas

: Eka Fitri Yuliani

(1145010038)

Farsa Armalatul K

(1145010043)

Gilang Agus Budiman

(1145010051)


Ibnu Siri

(1145010059)

Ilma Dianingrum

(1145010064)

Jawad Mughofar KH

(1145010071)

Khorru Sujjada S

(1145010073)

: SPI/II-B
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrohiim,

Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat,
dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan
apapun sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah Sosiologi. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun
harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Bandung, 26 Maret 2015


Penyusun,

i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................

1

B. Rumusan Masalah ..........................................................................

1

C. Tujuan ............................................................................................

1


BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama ..........................................................................

3

B. Peranan Agama dalam Masyarakat ................................................

6

C. Peranan Agama Menurut Teori Fungsional. ..................................

8

D. Peranan Agama Menurut Teori Konflik. .......................................

11

E. Permasalahan Konflik di Indonsesia. .............................................

14


F. Konflik Horisontal di Indonesia. ....................................................

16

BAB III PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan antar kelompok telah menjadi perhatian dari berbagai pihak
di Indonesia. Pemerintah dan juga lembaga-lembaga tertentu yang berada di
Indonesia telah melakukan berbagai usaha dalam menjawab permasalah hubungan

antar kelompok di negeri Nusantara ini, yang pada dasarnya adalah wilayah yang
terbungkus oleh lingkungan multikultural. Akan tetapi, dalam pandangan
masyarakat awam, langkah yang ditempuh oleh pihak-pihak yang harus
bertanggung jawab tersebut, terkesan tidak memberikan hasil. Hal ini dinilai dari
fakta dan realita yang ada, terutama yang diketahui dari berbagai media massa,
bahwa masalah konflik antar kelompok ini tidak pernah menemukan titik temu
untuk menyatakan damai.
Salah satu masalah yang sangat sensitif, berhubungan dengan konflik antar
kelompok ini, adalah permasalahan agama. Karena dianggap sebagai suatu
kepercayaan yang sakral dan suci, dan berlandaskan kepada keyakinan dan
moralitas agama tersebut, banyak konflik yang terjadi di masyarakat. Bahkan
dalam beberapa kasus telah terjadi proses kriminalisasi terhadap kelompokkelompok minoritas oleh kelompok dominan, dengan mempermasalahkan
penodaan suatu agama dan mengganggu ketertiban umum.
Di Indonesia struktur masyarakatnya merupakan masyarakat majemuk,
terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, kelompok, dan agama―muncul praktekpraktek eksklusi sosial. Praktek eksklusi berdasar agama ini menyebabkan
pengabaian, pengasingan dan pencabutan hak atas orang atau sekelompok orang
disebabkan oleh pemahaman tentang agama. Praktek eksklusi ini sering menimpa
kelompok minoritas yang memiliki aliran kepercayaan dan kelompok sekte
keagamaan yang berbeda dari apa yang telah ditentukan oleh negara. Pihak yang
mempunyai daya untuk melakukan praktek eksklusi sosial terhadap kaum

minoritas ini adalah kaum dominan (kelompok agama yang berkuasa) demi
memperoleh kekuatan dan perhatian dari penguasa. Pluralitas agama di Indonesia

1

2

ini di satu sisi menjadi kekayaan bangsa namun di sisi lain juga menjadi ancaman
yang berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial di
masyarakat, bahkan disintegrasi nasional.1
Hal inilah yang menjadi alasan kami untuk membahas tentang konflik
horisontal yang terjadi di Indonesia mengacu pada pembahasan mata kuliah
Siologi, kami pun mengangkat masalah hubungan antar agama ini dan melihatnya
dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis, yang menekankan kepada Teori
Fungsional dan Teori Konflik

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut;
a. Apa itu agama?

b. Bagaimana pernanan agama dalam masyarakat?
c. Bagaimana pernanan agama dalam teori fumgsional?
d. Bagaimana pernanan agama dalam teori konflik?
e. Apa yang menajadi permasalahan konflik di Indonesia?
f. Bagaimana konflik horisontal yang terjadi di Indonesia?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan ini adalah untuk:
a. Mengetahui pengertian agama
b. Mengetahui peranan agama dalam masyarakat
c. Mengetahui peranan agama menurut teori fungsional
d. Mengetahui peranan agama menurut teori konflik
e. Mengetahui permasalahan konflik di Indonesia
f. Mengetahui konflik horisontal yang terjadi di Indonesia.

1 Lucia

Ratih Kusmadewi, “Relasi Sosial antar Kelompok Agama di Indonesia”,
Bahan Ajar, Mata Kuliah Sistem Sosial Indonesia , Semester Genap 2009/2010,
FISIP UI., hlm.2


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti
bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku
yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious).
Para ilmuwan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan
agama dengan tepat. Masalah pokok dalam mencapai suatu definisi yang baik
ialah dalam menentukan di mana batas-batas gejala itu harus ditempatkan.
Seperti dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), ada dua jenis utama
definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial, yang inklusif
dan eksklusif.
Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik
yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan
dilarang- kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu
komunitas moral yang disebut gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain
(Durkheim, 1965). Kami merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan
tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir
eksisitensinya (Bellah, 1964). Jadi, agama dapat dirumuskan sebagai suatu

sistem kepercayaan dan praktik di mana suatu kelompok manusia berjuang
menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger, 1970).
Definisi pertama yang dikemukakan di atas sangat terkenal dan telah dikutip
berulang kali oleh banyak sosiolog. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang
penting ialah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan
oleh manusia sebagai suci / sakti, yakni objek referensi, yang dihargai, dan
malah dahsyat. Sedangkan definisi kedua dan ketiga yang dikutip di atas
menekankan bahwa agama itu di atas segala-galanya, diorientasikan kepada
”penderitaan akhir “ (ultimate concern) umat manusia.
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, agama berasal dari kata sansekerta,
yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan

3

4

Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian menjadi
dikenal luas dalam masyarakat Indonesia.
Ada tiga pendapat yang dapat dijumpai berkenaan dengan arti harfi kata
agama itu. Pertama mengartikan tidak kacau, kedua tidak pergi (maksidnya

diwarisi turun-temurun), dan ketiga jalan berpergian (maksudnya jalan hidup).
Hampir semua agama diketahui mengandung empat unsur penting, yaitu (a)
pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi
kehidupan manusia, (b) keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia
tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan gaib
itu, (c) sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan gaib itu, seperti
sikap takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah, dan lain-lain dan (d) tingkah
laku tertentu yang dapat diamati, seperti shalat (sembahyang), doa, puasa, suka
menolong, tidak korupsi, dan lain-lain. Sebagai buah dari tiga unsur
pertama.Tiga unsur pertama merupakan jiwa agama, sedangkan unsur keempat
merupakan bentuk lahiriyah.
Masyarakat maju atau modern yang beragama, pada umumnya cenderung
pada paham monoteisme, yakni meyakini hanya ada satu Tuhan, yang
menciptakan segenap alam; tidak ada Tuhan selain Dia, seperti rumusan
syahadat (tidak ada Tuhan selain Allah).
Secara teologis, ulama islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini
menjadi dua kelompok. Pertama adalah wahyu, yakni agama yang diwahyukan
Tuhan kepada rasul-Nya yang banyak. Kedua adalah agama bukan wahyu,
yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil budaya khayal, perasaan, atau
pikiran manusia.
Dalam perspektif ilmuwan sosial definisi-definisi agama dapat diungkapkan
kembali sebagai berikut.
1. Ada dua tipe definisi yang berbeda secara fundamental tentang agama
yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan sosial. Definisi-definisi
inklusif menekankan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan dan
praktik-praktik yang diorganisasi sekitar hal-hal yang dikatakan suci atau
yang diorientasikan kepada kekhawatiran akhir manusia. Sedangkan

5

definisi ekslusif lebih terbatas dan membatasi pengertian agama pada
kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang mempostulatkan
kekuatan-kekuatan supernatural yang berlaku dalam dunia ini.
2. Agama adalah suatu fenomena evolusioner dalam banyak pengertian
yang sama seperti komponen-komponen masyarakat manusia yang
lainnya.
3. Studi-studi empiris menunjukkan adanya kesesuaian yang erat antara
evolusi agama dan evolusi ekonomi-politik.
4. Dalam menyebut agama sebagai “opium masyarakat” Marx berpendapat
bahwa agama berfungsi sebagai suatu cara meredakan penderitaan yang
dihasilkan oleh eksploitasi dan penindasan. Ia juga berpendapat bahwa
agama secara mendalam adalah sesuatu kekuatan yang konservatif secara
politis.
5. Namun, dalam banyak hal tesis candu masyarakat dari Marx setengah
saja yang benar. Agama kadang-kadang merupakan suatu kekuatan
radikal, bukannya konservatif.
6. Bentuk-bentuk organisasi agama modern pada dasarnya diawali dengan
munculnya Reformasi Protestan abad XVI.
7. Ada berbagai tipe organisasi religius dalam masyarakat industri modern.
Yinger mengidentifikasi lima tipe dasar kelompok agama.
8. Dalam abad terakhir, peningkatan rasionalitas ekonomi, industrialisasi,
urbanisasi, dan kemajuan ilmu telah menyebabkan meluasnya
sekularisasi masyarakat-masyarakat industri modern.
Untuk memperjelas batasan agama, kiranya perlu ditekankan kembali
bahwa pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari “pewahyuan” yang
datang dari “dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi atau pengalaman
konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini, baik dari masa lampau
(sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat,
definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak
pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai).

6

B. Peranan Agama dalam Masyarat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga
masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam
masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut:
a.

Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara
petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai,
pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan)
keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.

b.

Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup
sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa
mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk
mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan
berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia
percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup
mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan
pengampunan dan Penyucian batin.

c.

Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu:
1.

Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang
dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.

2.

Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral
(yang dianggap baik)dari serbuan destruktif dari agama baru
dan dari system hokum Negara modern.

d.

Fungsi memupuk Persaudaraan.

7

1.

Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah
kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur
kesamaan.

2.

Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama,
seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.

3.

Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama.
Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar,
seperti NATO, ASEAN dll.

4.

Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan
kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan
hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan
seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang
terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai
bersama

e.

Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk
kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan
nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat. Sedangkan menurut Thomas F.
O’Dea menuliskan enam fungsi agama dan masyarakat yaitu:
1.

Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.

2.

Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara
Ibadat.

3.

Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.

4.

Pengoreksi fungsi yang sudah ada.

5.

Pemberi identitas diri.

6.

Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut Hendropuspito lebih ringkas lagi, akan tetapi

intinya hampir sama. Menurutnya fungsi agama dan masyarakat itu adalah
edukatif, penyelamat, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan
transformatif. Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah

8

system nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk
memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku
manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah
pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari
dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang
menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama
dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah
dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
C. Peranan Agama Menurut Teori Fungsional
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling
besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang
pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan
Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh
pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis
yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat
bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan struktural
fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori
struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim,
dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert
Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian
dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari
kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang
menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi
panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat
terminology

organismik

tersebut.

Durkheim

mengungkapkan

bahwa

masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian
yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masingmasing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling

9

interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak
berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang
menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai
struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan
Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional
modern.
a. Definisi Fungsional
Teori fungsionalisme disebut juga teori strukturalisme fungsional.
Fungsionalisme merupakan teori yang menekankan bahwa unsur-unsur di
dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling bergantung dan
menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau ajaran yang
menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional.
Istilah “fungsi” disini menunjuk kepada sumbangan yang diberikan
agama atau lembaga sosial yang lain untuk mempertahankan (keutuhan)
masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terusmenerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah,
sedang dan masih dimainkan oleh aliran keagamaan dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat-masyarakat tersebut.
Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog Perancis yang pikirannya
sangat dipengaruhi oleh Auguste Comte, merupakan sosiolog yang sangat
mendambakan pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena sosial.
Teorinya berawal dari pemahaman bahwa kelompok manusia memiliki
sifat yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual
yang menyusun kelompok tersebut. Dari sini ia menerangkan banyak hal,
bahwa sistem sosial seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut
bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Inilah yang
mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini
berarti rusaknya kesetimbangan sosial; melalui ketidaknyamanan pada
individu-individu masyarakatnya. Contohnya yang terkenal adalah kasus
bunuh diri. Menurutnya, orang bunuh diri karena hilangnya rasa memiliki
dan dimiliki orang tersebut dalam masyarakat.

10

Secara ekstrim, fungsionalis berfikir bahwa masyarakat pada
awalnya disusun oleh individu yang ingin memenuhi kebutuhan
biologisnya secara bersama, namun pada akhirnya berkembang menjadi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Kelanggengan kolektif ini membentuk nilai
masyarakat, dan nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang.
Dalam hal ini ditegaskan bahwa menurut teori fungsional,
masyarakat sebagai suatu sistem struktur yang terdiri dari banyak
lembaga, dimana masing-masing lembaga memilki fungsi sendirisendiri, contoh lembaga keagamaan berfungsi membimbing pemeluknya
menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh pengabdian untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. serta sadar akan kesinambungan
berbagai macan aliran keagamaan. Namun jika tidak maka prediksi yang
sangat jelas sesuai dengan teori fungsional bahwa aliran keagamaan
nantinya akan ditinggalkan oleh para pengikutnya dan bukan dipandang
sebagai sebuah stabilitas masyarakat.

b. Agama dalam Perspektif Fungsional
Secara keseluruhan, teori fungsional memandang agama dalam
kaitan dengan aspek pengalaman yang mentransendensikan sejumlah
peristiwa sehari-hari yakni yang melibatkan kepercayaan dan tanggapan
pada sesuatu diluar jangkauan manusia.

Dari sudut pandang teori

funsional, agama menjadi penting sehubungan dengan unsur pengalaman
manusia yang diperoleh dari ketidakpastian ketidak berdayaan. Dalam hal
ini, fungsi agama menyediakan dua hal:
1. Sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau
oleh manusia (beyond), dalam arti dimana deprivasi dan frustasi
dapat dialami sebagai suatu yang memiliki makna.
2. Sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal
diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan
bagi manusia mempertahankan moralnya.

11

D. Peranan Agama Menurut Teori Konflik
Sebelum lebih jauh mengkaji peranan agama menurut teori konflik, hal
urgen yang harus dikaji lerlebih dahulu adalah apa sebenarnya yang dimasksud
dengan konflik itu.
Pengertian “Konflik” secara etimologis berasal dari bahasa latin “con” yang
berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan
demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan,
keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau
lebih. William Chang mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar
pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut,
masalah tanah, tempat tinggal, pekerjaan, uang, dan kekuasaan?”, ternyata
jawabannya tidak; dan ditanyakan oleh Cang bahwa emosi manusia sesaat pun
dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Dari pemaparan di atas secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai
perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara
individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk
saling menjatuhkan, menyingkirkan, mengalahkan atau menyisihkan.
Teori-tori konflik menurtut para ahli:
1.

Teori Konflik Mark

Teori ini muncul sebagai pengritik dari teori struktural fungsional.
Struktural fungsional lebih memandang masyarakat dari sisi
keseimbangannya. Padahal masyarakat penuh dengan ketegangan dan
selalu berpotensi melakukan konflik.
Mark mempunyai beberapa pandangan tentang kehidupan sosial
yaitu:
a. Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai
bentuk pertentangan.
b. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor
utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik
pribadi

(property),

perbudakan

(slavery),

kapital

yang

menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesamaan. Kesenjangan

12

sosial terjadi dalam masyarakat karena berkerjanya lembaga
paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan,
penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari
konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
c. Bagi Mark, konflik sosial adalah pertentangan antara segmensegmen masyarakat untuk memperebutkan asset-aset yang
bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik antara
kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik
yang paling menonjol menurut Marx adalah konflik yang
disebabkan oleh cara produksi barang barang yang material.
d. Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang
didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas
borjuis dan proletar.
e. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat
produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal
dalam usaha.
f. Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat
produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya
tidak lain hanyalah menjual tenaganya.
2.

Teori Konflik Ralf Dahrendof

Ralf Dahrendof menyatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua
kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang
memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki
kewenangan (subjeksi). Secara garis besar pokok-pokok teori ini
adalah:
a. Setiap kehidupan sosial berada dalam proses perubahan, sehingga
perubahan merupakan gejala yang bersifat permanen yang
mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan
kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal
maupun secara interpersonal.

13

b. Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya
sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen
yang mengisi setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan
berjalan seiring dengan kehidupan sosial itu sendiri, sehingga
lenyapnya kehidupan sosial.
c. Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi
pertumbuhan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemenelemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan
perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada
akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya
konflik.
d. Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas
penguasaan atau dominasi sejumlah kekuataan-kekuataan lain.
Dominasi kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi,
akan tetapi mengandung simpanan benih-benih konflik yang
bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik
terbuka.
3.

Teori Konflik Lewis Coser

Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali disebut
teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik
bagi

sistem

sosial

atau

masyarakat.

Coser

mulai

dengan

mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap
status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingansaingannya. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik
yaitu;
a. Koflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak
longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik
dengan

masyarakat

mempersatukan.

lain

bisa

menjadi

kekuatan

yang

14

b. Keompok dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas
didalam

kelompok

tersebut

dan

solidaritas

itu

bisa

menghantarkannya kepada aliansi-aliansi dengan kelompokkelompok lain.
c. Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat
yang terisolir menjadi berperan secara aktif.
Jadi peran agama menurut teori konflik yaitu untuk menciptakan suatu
ikatan bersama, dan meminimalisir dari berbagai macam konflik yang mungkin
akan terjadi baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial
didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama
menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
E. Permasalahan Konflik di Indonesia
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh.
Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada
rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan.
Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih
banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian
menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh
pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas
(kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu
tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak
moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah
atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa
tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok
agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.

15

Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada
pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa
dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga
negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat
perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin
kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum

kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara
langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan
terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakankebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan
dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.2
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang
konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum
minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam
konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa
untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis
sosiologis: teori konflik.
Di sini timbul dua pertanyaan, yaitu:
1.

Mengapa konflik agama bisa terjadi, padahal ketentuan dan peraturan
tentang kebebasan memeluk agama dan menjalankannya sudah diatur di
dalam UUD dan UU?

2.

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tindakan kekerasan dan
praktek ekslusi sosial dapat terjadi dalam hubungan antar agama di
Indonesia?

2 Zainal

Abidin Bagir, dkk, “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia
Tahun 2008”, Program Studi Agama dan Lintas Budaya , Center for Religious and
Cross-cultural Studies (CRCS), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada), 2008,
hlm.8

16

F. Konflik Horisontal di Indonesia
Mengacu kepada pembahasan sebelumnya, yang menjadi pertanyaan
mendasar adalah: mengapa konfik bisa terjadi?. Melihat kepada masalah
hubungan antar agama ini, tentu pertanyaan itu harus bisa dijawab terlebih
dahulu untuk mencari langkah yang tepat untuk menanggulangi masalahmasalah yang erat kaitannya dengan masyarakat yang multi-budaya.
Menjawab pertanyaan ini, penyusun mencoba menguraikan analisa
berdasarkan teori konflik Marx, yang mana dikatakan bahwa di dalam suatu
masyarakat dapat dijumpai hal yang dianggap baik oleh suatu golongan atau
kelompok, tetapi bersifat relatif, yang berarti kebaikan itu belum tentu baik pula
di mata masyarakat lain (golongan atau kelompok lain). Manusia cenderung
untuk berusaha mendapatkan hal-hal yang dianggap baik (menurut hemat
mereka sendiri) tadi. Karena itulah bisa menimbulkan persaingan antara
individu satu dengan individu yang lain atau kelompok yang satu dengan
kelompok lain, yang mencakup suatu proses untuk mendapatkan kekayaan,
kekuasaan, atau kedudukan. Dan biasanya suatu yang dianggap baik ini adalah
sesuatu yang menyangkut kepentingan kelompok yang berkuasa (atau bisa
dikatakan kelompok yang dominan). Marx menganggap bahwa proses
pertikaian ini adalah proses pertentangan kelas.3
Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya disintegrasi. Marx
mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi peran agama dalam
menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat.4 Namun, sesuai dengan
ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk
menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti
membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan,

3 Soerjono

Soekanto, “Teori Sosiologi: Tentang Pribadi dalam Masyarakat”,
(Jakarta: Gahlia Indonesia, 1982), hlm.7
4 Lucia Ratih Kusumadewi, op. cit.

17

pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu
kepercayaan atau agama.5
Agama terkait dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini sangat dijunjung
tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang dijadikan pemeluk agama yang
sama dengan orang tuanya sejak lahir. Sosialisasi terhadap agama mencakup
nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya yang harus dituruti.
Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang oleh suatu
kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama atau
paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak
terbantahkan dan diikuti oleh semua penganutnya. Selain itu adanya
perkawinan antara agama dengan negara sehingga agama memiliki kekuasaan
yang besar (contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas,
seperti Indonesia. Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di
Aceh, atau Kristen di Papua).
Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir dan anak-anak, melalui
jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama tersebut sudah
menjadi hal yang lumrah dalam pola pikr masyarakat umumnya. Hal inilah
kemudian yang dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang
menentang arus dari norma dan aturan-aturan tersebut. Konflik ini kemudian
mengarah kepada tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu
yang dianggap menyimpang atau melanggar norma agama yang telah berlaku
di suatu masyarakat. Hal itu bisa kita lihat contoh pada kasus pengusiran warga
terhadap tokoh aliran Salafi di Lombok Barat, pada tanggal 12 Mei 2008,
disebabkan perbedaan pandangan atau praktik keagamaan.6
Pengaruh dominasi juga menjadi penting dalam masalah ini. Terkadang di
suatu daerah yang bermayoritas memeluk agama tertentu akan menekan
kelompok minoritas yang memeluk agama lain. Ketentuan perundang-

5 H.A.

Masyhur Effendi, “Ham dan Integritas Nasional (Sebuah Harapan)”, dalam
Ham dan Pluralisme Agama , (Surabaya: Pusat Kajian dan Strategi dan Kebijakan,
1997), hlm.11
6 Zainal Abidin Bagir, dkk, op. cit., tabel 4, hlm.13

18

undangan dan aturan serta norma dilandaskan pada ketentuan dan norma agama
yang dominan di daerah itu. Contohnya di Aceh yang menerapkan hukum
Islam. Kemudian, tekanan terhadap kaum minoritas ini juga mengungkung
kebebasan mereka untuk menjalankan ibadah. Kelompok yang memeluk agama
mayoritas merasa terganggu apabila ada kelompok minoritas yang menjalankan
ibadah menurut agama dan kepercayaan mereka, apalagi berencana untuk
membangun tempat ibadah. Situasi seperti ini juga dapat menyulut tindak
kekerasan, contohnya pengrusakan komlpeks Pura Sengkareng di Lombok
Barat, pada tanggal 16 Januari 2008.7
Kuatnya pengaruh norma agama ini juga memperngaruhi tindakan
kekerasan terhadap perempuan. Banyak tindakan kekerasan kepada perempuan
yang disebabkan tafsir agama dan patriarkhis dan pandangan materialis yang
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek.8 Mereka yang berpandangan
seperti ini menganggap bahwa tubuh perempuan dapat merusak moral
masyarakat karena dapat memicu syahwat. Selain itu ada juga kasus di daerah
tertentu (yang kekuatan agama mayoritasnya berkuasa) yang memaksakan
perempuan mengenakan jilbab, seperti di Aceh. Contoh yang cocok dengan
masalah ini adalah UU pornografi yang disyahkan pada tanggal 30 Oktober
2008. Peraturan ini kemudian menuai banyak kritikan dari berbagai pihak
terkait dengan kebebasan berkespresi dan persoalan diskriminasi.
Tiga uraian di atas (tentang perbedaan paham agama, pembangunan tempat
ibadah, serta UU pornografi) semakin menegaskan implikasi dari teori konflik,
yang mengatakan bahwa agama dapat menjadi pemicu ketidaksetaraan dalam
masyarakat. Di satu pihak mengatakan hal itu benar namun pihak yang lain
tidak berpendapat demikian sehingga memicu konflik.
Mengenai kebebasan memeluk agama dan menjalankannya, tentu menjadi
pertanyaan kembali, apa faktor yang menyebabkan konflik tetap saja terjadi
meskipun peraturan, ketentuan, serta UU tentang kebebasan beragama telah
ditetapkan. Seharusnya, sesuai logika, tentu dengan adanya UU tentang
7 Ibid.,
8 Ibid.,

table 5, hlm.18
hlm.4

19

kebebasan beragama, tidak mungkin terjadinya konflik. Namun kenyataan serta
data-data yang ada berkata lain.
Dalam menjawab pertanyaan yang kedua ini, penyusun mencoba
melihatnya dari pendapat Marx, yang mengatakan bahwa agama adalah
kendaraan politik kaum elite dalam mempertahankan status quonya.
Sebagai contoh, dari data Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia Tahun 2008, pada bulan Juni 2008, Menteri Agama, Menteri Dalam
Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang
membatasi langkah gerak anggota dan pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia.
Masalah yang dianggap sebagai penodaan agama ini diawali oleh konflik antar
masyarakat dan kemudian berlanjut ke pengadilan. Pada tingkat tertentu, sudah
jelas bahwa MUI (yang pastinya akan menegakkan hukum-hukum Islam) dan
beberapa ormas keislaman dan kelompok kepentingan memiliki andil besar
untuk mendorong proses munculnya tuduhan penodaan agama Islam di tingkat
masyarakat sipil. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian kasus konflik di
tingkat masyarakat (umumnya di lingkungan masyarakat yang tidak mengerti
tentang masalah multi-budaya) jatuh kepada usaha penyerangan atau tindakan
kekerasan kepada kelompok minoritas (Ahmadiyah) tersebut.9
Selain itu bisa kita lihat contoh pada beberapa kasus lain seperti pentingnya
agama dalam menentukan siapa berhak memilih siapa dalam jabatan publik,
yang mana hal ini mengakibatkan ketegangan antar kelompok keagamaan.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), Sumatera Barat,
puluhan aktivis organisasi Islam menolak rencana pengangkatan Viktor, S.H
sebagai ketua Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pasaman Barat, disebabkan
perbedaan agama. Menurut mereka, di negeri Minangkabau yang mayoritas
berpenduduk muslim tidak sepatutnya memiliki seorang pemimpin yang
beragama Kristen. Contoh lain adalah kasus Rudolf M. Pardede, mantan
Gubernur Sumatera Utara, yang sempat menyerukan masyarakat untuk memilih
calon gubernur yang seiman (Kristen).10
9 Ibid., hlm.10
10 Ibid., hlm.29

20

Politisasi agama di dalam Pemilu juga menjadi salah satu faktor timbulnya
konflik. Banyak kaum elite yang menggunakan agama untuk mendukung
kepentingan mereka, atau dengan agama pemerintah dapat menentukan
kebijakan. Akan tetapi penggunaan dasar agama ini tentu hanya berdasar pada
satu agama tertentu saja (mayoritas) yang dapat menimbulkan kecemburuan
sosial. Contohnya MUI di empat propinsi di Kalimantan merekomendasikan
bahwa Golput adalah tindakan yang dilarang agama. Meskipun kekritisan umat
dan pemimpin agama cukup tinggi dalam hal politisasi agama, namun usahausaha ke arah politisasi agama masih terus terjadi.11
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat implikasi dari teori konflik
Marx yang menyatakan bahwa agama menjadi kekuatan kaum elite politik atau
kelompok-kelompok

tertentu

untuk

mempertahankan

pengaruhnya

(kekuasaannya) sehingga akan terjadi konflik karena kaum minoritas akan
melakukan brontak untuk merebut kekuasaan (sesuai dengan teori dialektis).
Penyebab terakhir yang mungkin bisa menjadi bahan renungan adalah
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makna pluralisme itu sendiri. Oleh
karenanya, masyarakat lebih mementingkan apa yang baik untuk agama atau
golongan yang mereka anut. Di sini lah dituntut kebijakan dari pemerintah
untuk mengambil langkah dalam menyelesaikan malasah ini. Seyogyanya
pemerintah mengambil langkah untuk menanamkan makna pluralisme tersebut
kepada masyarakat melalaui sistem pendidikan nasional dan dimulai dari usia
dini.

11 Ibid.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa
semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Agama pula dapat dirumuskan
sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik di mana suatu kelompok manusia
berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia.
Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut:
a.

Fungsi edukatif.

b.

Fungsi penyelamatan.

c.

Fungsi pengawasan sosial (social control)

d.

Fungsi memupuk Persaudaraan.

e.

Fungsi transformatif.

fungsi agama dalam teori fungsional yaitu:
1. Sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh
manusia (beyond), dalam arti dimana deprivasi dan frustasi dapat dialami
sebagai suatu yang memiliki makna.
2. Sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar
jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia
mempertahankan moralnya.
Peran agama menurut teori konflik yaitu untuk menciptakan suatu ikatan bersama,
dan meminimalisir dari berbagai macam konflik yang mungkin akan terjadi baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajibankewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan
nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus
dalam masyarakat.

21

22

Mengenai masalah yang terjadi antara agama-agama di Indonesia (dalam sudut
pandang teori konflik), antara lain sebagai berikut:
1. Di Indonesia masih banyak terjadi konflik yang disebabkan oleh agama itu
sendiri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya toleransi antar umat beragama
karena masih merasa agama yang mereka anut adalah yang paling benar.
2. Masih terdapatnya kelompok agama yang dominan di beberapa daerah di
Indonesia yang dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang
memarginalkan kelompok lain.
3. Banyak aturan-aturan baru dari suatu agama yang membuat rumit agama itu
sendiri sehingga menimbulkan pertentangan dengan norma-norma yang
ada, yang mengakibatkan konflik.
4. Penyebab utama terjadinya konflik agama adalah disebabkan oleh pengaruh
kelompok agama itu sendiri yang sangat dominan di masyarakat. Selain itu
agama juga menjadi alat bagi kaum elite tertentu untuk mempertahankan
kekuasaannya.
Dari sekian banyak kasus yang telah diuraikan, pemerintah sudah berupaya
mengeluarkan kebijkan-kebijakan untuk menangggulangi atau menyelesaikan
konflik tersebut. Namun, penerapan upaya tersebut kurang maksimal karena masih
banyak sifat egois dari masing-masing penganut agama yang fanatik sehingga tidak
mau mengindahkan kebijakan-kebijakan tersebut.

22

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Achmad, Nur. 2001. Pluralitas Agama . Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS
E O’Dea Thomas, 1995. Sosiologi Suatu Pengenalan Awal, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Huwaydi, Fahmi. 1996. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Mizan.
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama , Jakarta: PT. Ghalia IndonesiaUMM Press.
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan: Individu Masyarakat dan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Press.
Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Maliki Zainudin. 2008. Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta: UGM Press.
Setiadi, Elly M. dan Kolip Usman, 2011. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Kencana
Soekanto, Soerjon.1982. Teori Sosiologi: Tentang Pribadi Dalam Masyarakat.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Thayib, Anshari dkk. 1997. HAM dan Pluralisme Agama . Surabaya: Pusat Kajian
Strategi dan Kebijakan (PKSK)
Thomas McCharty. 2009. Teori Kritis. Bantul: Kreasi Wacana