Menjadi Manusia Yang Seutuhnya dengan

“ Refleksi Pendidikan Dalam Semangat Kemerdekaan RI Yang Ke-70 “
“Memanusiakan Manusia yang se-Utuhnya”
Kemerdekaan RI yang ke-70 kini telah tiba, semangat nasionalisme dalam berbangsa sebagai
warga negara Indonesia kembali dibaharukan khususnya bagi kami kaum intelektual. Sebagai kaum
intelektual, kami merasa perlu merefleksikan bagaimana peranan Pendidikan dalam mengiringi
perkembangan bangsa ini karena peranan Pendidikan sangat menentukan kearah mana perkembangan
dan kemajuan bangsa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam memajukan dan
meningkatkan pembangunan pendidikan nasional, kita telah memiliki satu acuan pedoman yaitu UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut telah menegaskan
bahwa penyelenggaraan dan pengembangan sistem pendidikan nasional merupakan tanggungjawab
keluarga, masyarakat, dan pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan. Kita seringkali sebagai
awam menitikberatkan pengembangan dan penyelenggaran pendidikan hanya menjadi tanggungjawab
Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan jajarannya, padahal tanggungjawab
masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengembangan sistem pendidikan sangat diperlukan peran
sertanya sebagai mitra pemerintah demi kemajuan dunia pendidikan khususnya di Indonesia.
Terciptanya output pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas standar pendidikan di seluruh aspek,
seperti yang telah di atur dalam UU NO.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, PP
NO.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional (SNP), PP NO.17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggeraan Pendidikan, PP NO.48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan,
PERMENDIKNAS NO.16 Tahun 2007 tentang Standar Guru, PERMENDIKNAS NO.24 Tahun 2007
tentang Standar Sarana dan Prasarana, PP NO.37 Tahun 2009 tentang Standar Dosen,

PERMENDIKBUD NO.4 Tahun 2015 Tentang Ekuivalensi Kegiatan Pembelajaran/Pembimbingan
Bagi Guru yang Bertugas pada SMP/SMA/SMK yang melaksanakan Kurikulum 2013 menjadi
Kurikulum 2006 dan juga beberapa peraturan perundang-undangan yang mendukung terciptanya
pendidikan yang bermutu. Dengan semangat kemerdekaan RI yang ke-70 ini dan juga PMKRI
sebagai Ormas Pengkaderan, kami merefleksikan sejauh mana perjalanan dan perkembangan
pendidikan di Indonesia selama ini. Di Indonesia perkembangan pendidikan sudah di mulai sejak
zaman kerajaan Sriwijaya yang pada saat itu lebih mengarah ke ajaran Budha, di zaman penjajahan
Belanda pendidikan hanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang
mendukung kekuasaan Belanda. Di Zaman pendudukan Jepang penyelenggaraan pendidikan sudah
bisa dirasakan oleh semua kalangan yang tentunya tetap demi kepentingan Jepang bukan karena
kebutuhan bangsa indonesia, pendidikan formal seperti TK dan SD yang kita kenal saat ini dapat
dirasakan bangsa Indonesia ketika Kihajar Dewantara membuka Sekolah Taman Siswa (National
Onderwijs) di zaman itu tepat pada tanggal 3 juli 1922. Lalu, di zaman Orde Baru dunia pendidikan
semakin berkembang walaupun disaat itu sistem pendidikan lebih ke pendalaman dan pengamalan
Pancasila dalam memerangi bahaya laten Komunis. Pada zaman Reformasi wajib belajar 9 tahun
digaungkan menandai pentingnya pendidikan dan menjadi awal tonggak kemajuan dunia pendidikan
seperti yang kami rasakan saat ini. Setelah melalui perjalanan panjang perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia, apakah pendidikan sudah melahirkan manusia-manusia yang berpengetahuan
sekaligus berkarakter yang penuh moral dan etika ? Apakah kemajuan bangsa Indonesia yang kita
nikmati saat ini merupakan hasil Pendidikan yang selama ini kita lalui murni karena usaha manusia

Indonesia ? disinilah bentuk refleksi yang perlu kita selami dan dalami ketika merefleksikan
perkembangan pendidikan di Indonesia. Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari para
penjajah boleh berusia 70 tahun, namun manusia-manusia yang ada di Indonesia belum
memerdekakan pikirannya sebagaimana manusia seutuhnya dalam berbangsa dan bernegara.
Moralitas atau karakter seorang kaum terdidik sejauh ini sangat tidak relevan dengan cita-cita dan

tujuan manusia menggeluti dunia pendidikan, itu semua dibuktikan dengan banyaknya ketimpangan
yang dirasakan oleh masyarakat, maraknya Korupsi dan seringnya terjadi persaingan yang tidak sehat
antar sesama yang katanya kaum-kaum terdidik. Seharusnya pendidikan melahirkan generasi yang
berpengetahuan sekaligus beretika dan bermoral bukan generasi peghancur ataupun generasi pekerja
yang hanya mengejar Izajah maupun memenuhi permintaan pangsa pasar, hal ini dikarenakan
kurangnya pendidikan moral dalam pendidikan di Indonesia. Kami sadar bahwa sebagai Organisasi
berbasis masyarakat, peranannya sangat besar dalam menjajaki pendidikan khsusnya pendidikan
lapangan yang dapat membangun karakter seseorang yang penuh etika dan bermoral karena jika tidak
demikian sebagai Ormas (PMKRI) kami tidak akan diterima ditengah-tengah masyarakat. Pendidikan
seharusnya tidak hanya proses pembelajaran dan pengajaran formal seperti yang kita dapatkan di
sekolah maupun perguruan tinggi, proses pembelajaran dan pengajaran nonformal juga perlu di
peroleh lewat memperlebar sayap pergaulan yang nantinya mendukung hidup seseorang dikemudian
hari. Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia ketika seorang anak yang usianya
seharusnya sudah bisa membaca tetapi tidak bisa membaca langsung di cap sebagai orang bodoh dan

tidak mendapatkan keberadaan ditengah-tengah masyarakat tanpa melihat kecerdasan si anak tersebut
diluar pengetahuan membaca, bukankah tipe kecerdasan manusia itu berbeda-beda atau biasa disebut
8 kecerdasan majemuk yang diantaranya adalah Kecerdasan Linguistik (kemampuan menggunakan
kata), Kecerdasan Matematis-Logis (kemampuan menggunakan angka), Kecerdasan Visual Spasial
(Kemampuan untuk mempersepsi dunia spasial-visual), Kecerdasan Kinestetis-Jasmani (Kemampuan
Fisik), Kecerdasan Musikal (kecerdasan dan kepekaan irama), Kecerdasan Interpersonal (Kepekaan
terhadap ekspresi wajah), Kecerdasan Intrapersonal (kecerdasan memahami diri sendiri), dan
Kecerdasan Naturalis (kecerdasan mengenali fenomena alam). Seharusnya pendidikan memberikan
kebebasan untuk berkreasi sesuai minat dan kemampuan yang dimiliki seorang anak seperti yang
telah dilaksanakan di Sekolah Semi Palar Bandung yang beralamat di Jl.Sukamulya 77-79 sukagalih,
Sukajadi Bandung 40163, dimana siswa mulai dari Kelompok Bermain (KB) hingga SMP
menggunakan metode pembelajaran holistik semi palar yang aktif, tematik dan terpadu yang mengacu
berdasarkan kurikulum nasional 2006-KTSP. Namun, ketika melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu SMA, lulusan dari Sekolah Semi Palar ini tentunya tidak akan diterima di masyarakat karena
tidak sesuai dengan ketentuan lembaga pendidikan yang berlaku di Indonesia yaitu pendidikan yang
berjenjang dan formal. Kami mencoba mengulik data yang di jabarkan oleh Kemendikbud lewat web
site www.kemendikbud.go.id jelas di uraikan di Ikhtisar Data Pendidikan 2012-2013 diagram arus
siswa sekolah dasar hingga perguruan tinggi dari 26.769.680 siswa yang masuk SD hanya 5.822.143
yang masuk ke perguruan tinggi, yang artinya angka kepedulian akan pentingnya pendidikan masih
sangat minim, meskipun tidak bisa dipungkiri banyaknya penyebab putus sekolah yang diantaranya

kurangnya dana dalam membiayai pendidikan dan juga minimnya akses ke sekolah yang relatif jauh
dan kurang mendukung untuk tetap melanjutkan sekolah seperti di pedesaan. semoga dengan adanya
Kartu Indonesia Pintar yang di gagas Bapak Jokowi dapat menuntaskan masalah banyaknya angka
putus sekolah ini. Kami juga menyoroti perkembangan di tubuh perguruan tinggi seperti yang
dilansirkan oleh web site www.dikti.go.id, di perguruan tinggi Universitas Gajah Mada (UGM)
jumlah dosen tetap berkisar 2.239 dosen, dengan jumlah mahasiswa aktif 60.684 mahasiswa yang
artinya rasio perbandingan dosen dan mahasiswa 1:27.1, perbandingan angka dosen tetap dengan
mahasiswa di UGM untuk zaman sekarang masih relevan namun mengapa sampai sekarang
mahasiswa-mahasiswi jebolan UGM dan perguruan tinggi lainnya belum maksimal memberikan
kontribusi dalam menyelesaikan ketimpangan yang terjadi demi kesejahteraan bangsa Indonesia.
Bahkan berdasarkan data yang dilansirkan oleh www.dikti.go.id dalam hal jumlah Program Studi
dalam kategori perguruan tinggi di semua Provinsi yang ada di Indonesia, jumlah Program Studi
dalam Pendidikan sendiri berkisar 4.400-an padahal dunia pendidikan amatlah luas, di tubuh
pendidikan dalam pertanian hanya berkisar 1.400-an program studi padahal letak wilayah geografis

Indonesia lingkupan pertanian cenderung lebih banyak namun pengetahuan yang mengarah ke
pertanian hanya dibatasi sebanyak 1.400-an program studi. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi
bangsa yang besar dan kuat dalam Pertanian dan kemaritiman sebagaimana dimuat dalam Nawacita
Jokowi kalau pengetahuan tentang pertanian dan kemaritiman belum maksimal sebagaimana
seharusnya. Berbicara tentang pendidikan secara tegas kami mengatakan bahwa sistem pendidikan di

indonesia masih sangat minim dan banyak terjadi ketimpangan dalam penerapannya, insfratruktur
pendidikan masih belum merata sepeeti yang dirasakan oleh para sahabat kami yang berada di
sulawesi, Nias, Papua, Kalimantan, Aceh dan daerah-daerah yang lain. Seharusnya penerapan di
setiap sektor lembaga pendidikan harus sama, namun tetap diperkaya latar belakang budaya dan
kebutuhan di daerah setempat, yang artinya pendidikan maupun jurusan apa yang bisa mendukung
dan berkontribusi penuh dalam kemajuan suatu daerah sehingga targetan yang diharapkan
penyelenggara pendidikan dapat terpenuhi. sudah saatnya pendidikan di Indonesia di mulai dari
daerah-daerah terpencil yang memang keberadaan pendidikan itu dapat dirasakan oleh masyarakat
disekitar sekolah (Contoh: sekelas ITB dapat dibangun di Papua, Sekelas IPB dapat dibangun di
Sumatera Utara) sehingga cita-cita pendidikan awal dapat terpenuhi yaitu menjadi manusia seutuhnya
yang di manusiakan oleh manusia. Salam Merdeka, jayalah bangsa dan negeriku.

Oleh : Santo Isi Dorus Situmorang.
Kabid.Eksternal PMKRI Cab.Bandung, Mahasiswa Fisika Universitas Parahyangan