Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Pe

ARTIKEL PENELITIAN

Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker
Pediatrik Usia Sekolah
FRANSISCA M. SIDABUTAR, ANGGIE REGIA ANANDARI, EZRA C., INGRID KARLI, YUSNITA KATAGORI,
HENNY E. WIRAWAN
Program Studi Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara
Diterima 6 Januari 2012; Direview 9 Januari 2012; Disetujui 16 Januari 2012

ABSTRACT
Having high quality of life is a challenge for school-age children (6-12 years old) who suffer from cancer. They have to
undergo cancer treatments that bring pain and negative side-effects for years. Repeated hospitalization also separates
them from family and school, the essential contexts in school-age children development. By using qualitative approach
with interview and observation, this research intended to get quality of life description in ive school-age children who
were undergoing cancer treatments. The result shows that the subject who had the most severe side effects from cancer
treatments could also have good quality of life in physical, psychological, social, and cognitive dimension. This research
suggests volunteers and medical staffs to give chances for pediatric patients to study and interact in their room in the
hospital and provide more psychological therapy schedule to help the children to cope with negative emotion they
experience during the treatment.
Key words: quality of life, school-age children, cancer


ABSTRAK
Memiliki kualitas hidup yang tinggi merupakan tantangan tersendiri bagi anak usia sekolah (6-12 tahun) yang
mengalami kanker. Hal ini disebabkan mereka harus menjalani proses pengobatan kanker yang menyakitkan serta
menimbulkan efek samping yang negatif dan menahun. Pengobatan kanker juga memisahkan anak dari keluarga dan
sekolah. Padahal, kedua konteks tersebut adalah konteks yang sentral dalam menjalani tugas perkembangannya
sebagai anak usia sekolah. Dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara dan observasi, penelitian ini bertujuan
mendapatkan gambaran kualitas hidup lima anak usia sekolah yang sedang menjalani pengobatan kanker. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun subyek mengalami dampak pengobatan yang berat, ia tetap dapat memiliki
kualitas hidup yang baik pada dimensi isik, psikologis, sosial, dan kognitif. Saran bagi relawan dan staf medis agar
menyediakan kesempatan bagi pasien anak untuk belajar dan saling berinteraksi di dalam kamar di rumah sakit, serta
penambahan jadwal terapi psikologis untuk membantu anak menangani emosi negatif yang dialaminya selama proses
pengobatan.
Kata kunci: kualitas hidup, anak usia sekolah, kanker

KORESPONDENSI:
Fransisca M. Sidabutar,
S.Psi
Email:
[email protected]


PENDAHULUAN

K

emajuan teknologi medis memberi harapan yang lebih tinggi kepada pasien
kanker pediatrik. Tingkat kesembuhan pasien kanker pediatrik kini meningkat
menjadi 75 persen.1 Namun, pasien anak menghadapi tantangan yang berat akibat
proses pengobatan kanker. Secara lebih spesiik, anak usia sekolah (6-12 tahun)

Indonesian Journal of Cancer Vol. 6, No. 2

April - June 2012

73

Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Pediatrik Usia Sekolah 73-78

yang mengalami kanker menghadapi situasi yang
berbeda dibandingkan dengan pasien di usia kanakkanak awal atau remaja. Dengan kemampuan
kognisi yang semakin berkembang namun belum

matang, anak usia sekolah harus menghadapi isu
tentang kematian, perpisahan, kehilangan, serta
pergumulan tentang kemampuan dan kendali untuk
tetap hidup.2
Selain itu, bagi anak usia sekolah, keluarga,
sekolah, dan teman-teman sebaya menjadi konteks
yang sentral pada perkembangan anak.3 Padahal,
ketika harus menjalani perawatan di rumah sakit,
pasien terpaksa harus berpisah dengan mereka.
Perkembangan motorik, emosional, dan kognitif juga
berkembang dengan pesat pada periode ini.3
Sementara, proses pengobatan kanker yang intrusif
dapat menimbulkan efek samping yang berdampak
pada berbagai ranah perkembangan anak.
Menghadapi berbagai tantangan tersebut, banyak
penelitian pada populasi kanker pediatrik kini
diarahkan pada pemahaman kualitas hidup pasien.
Penelitian tentang kualitas hidup pasien kanker
pediatrik membantu mengidentiikasi kebutuhan
mereka, terutama saat mereka harus menghadapi

dampak negatif akibat pengobatan kanker.4 Namun,
sebagian besar penelitian tentang kualitas hidup
sebelumnya yang ditemukan oleh peneliti dilakukan
secara kuantitatif. Padahal, kualitas hidup adalah
konstruksi yang bersifat subyektif dan fenomenologis
sehingga sebenarnya lebih cocok diteliti dengan
metode penelitian kualitatif.4 Oleh karena itu,
penelitian kali ini akan mencoba mendapatkan
gambaran kualitas hidup pasien kanker pediatrik
usia sekolah melalui metode penelitian kualitatif.
Kualitas hidup adalah evaluasi individu tentang
fungsi dan kesejahteraan dirinya di berbagai ranah
kehidupan sesuai dengan budaya, nilai, dan harapan
individu tersebut.4 Tinggi rendahnya kualitas hidup
tidak identik dengan kuantitas hidup, misalnya
panjangnya usia atau tingkat ketahanan hidup
pasien. Pasien yang memiliki usia lebih pendek bisa
jadi memiliki kualitas hidup lebih tinggi dibandingkan
pasien yang berusia lebih panjang.4 Kualitas hidup
juga tidak tergantung pada status kesehatan,

functional status, dan tingkat keparahan penyakit.4
Pada penelitian ini, peneliti memilih menggunakan
lima dimensi kualitas hidup dari James Varni.5
Dimensi pertama adalah simtom penyakit dan
dampak pengobatan. Dimensi ini mencakup paparan
simtom dan efek samping yang muncul akibat
penyakit dan pengobatannya. Dimensi kedua adalah
fungsi isik, yang meliputi status fungsional isik

74

Indonesian Journal of Cancer Vol. 6, No. 2

April - June 2012

subyek dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ketiga
adalah fungsi psikologis, yang mencakup gambaran
tekanan emosional, kekhawatiran, dan self-esteem
subyek. Dimensi keempat adalah fungsi sosial.
Fungsi ini mencakup aspek-aspek interpersonal yang

terkait dengan pengobatan kanker. Dimensi terakhir
adalah fungsi kognitif, yang meliputi dampak negatif
penyakit dan pengobatan kanker terhadap fungsi
kognitif subyek.
Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi
oleh banyak faktor.6 Faktor pertama adalah kondisi
global yang meliputi lingkungan makro yang berupa
kebijakan pemerintah dan asas-asas dalam masyarakat
yang memberikan kebijakan perlindungan bagi anak.
Faktor kedua adalah kondisi eksternal yang meliputi
lingkungan tempat tinggal (cuaca, musim, polusi,
kepadatan penduduk), status sosial ekonomi,
pelayanan kesehatan, dan pendidikan orang tua.
Faktor ketiga adalah kondisi interpersonal. Faktor
ini meliputi hubungan sosial antar-anggota keluarga,
seperti orang tua, saudara kandung, bahkan saudara
lain yang tinggal serumah dan teman sebaya yang
tinggal di sekitar rumah anak. Faktor keempat adalah
kondisi personal yang mencakup dimensi isik,
mental, dan spiritual pada diri anak sendiri, yaitu

genetik, umur, kelamin, ras, gizi, hormonal, stres,
motivasi belajar dan pendidikan anak, serta
pengajaran agama.
Penelitian sebelumnya terhadap anak usia sekolah
yang mengalami kanker mendapatkan bahwa diagnosis,
pengobatan, dan prognosis kanker mempengaruhi
perkembangan anak usia sekolah. Pada saat
mendapat diagnosis, sebelumnya anak usia sekolah
berusaha mengatasi ketakutan akan kehilangan
kendali dan ketakutan akan kematian. Anak-anak
ini memiliki pengertian yang lebih tentang penyakit
mereka, tapi anak masih percaya bahwa mereka telah
melakukan sesuatu yang salah atau tertular sehingga
mengidap kanker.7 Pengalaman dengan kanker juga
menjadi pengalaman yang signiikan bagi anak usia
sekolah karena menyebabkannya harus terpisah dari
teman-teman, sekolah, dan aktivitas normal yang
sebelumnya ia jalani.2 Menghadapi hal ini, terdapat
beberapa reaksi emosional yang umum terjadi pada
anak usia sekolah, seperti naik-turunnya mood,

perasaan berbeda dari orang lain, pemikiran tentang
kematian, bahkan perilaku regresif.2

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Subyek pada penelitian ini adalah pasien kanker
pediatrik usia sekolah. Peneliti tidak membatasi jenis

FRANSISCA M. SIDABUTAR, ANGGIE REGIA ANANDARI, EZRA C., INGRID KARLI, YUSNITA KATAGORI, HENNY E. WIRAWANO. 73--78

atau stadium kanker dengan harapan mendapatkan
data yang bervariasi dan memperkaya pemahaman
kualitas hidup dari berbagai kondisi pasien kanker
pediatrik. Namun, peneliti membatasi usia subyek
penelitian ini, yaitu usia sekolah atau 6-12 tahun.
Desain deskriptif digunakan dalam penelitian dengan
mengumpulkan informasi melalui wawancara dan
observasi semi-terstruktur yang diolah secara
kualitatif.


HASIL DAN ANALISIS

Tabel 1 yang memaparkan deskripsi umum tiap
subyek. Setiap nama subyek telah disamarkan.
Setiap subyek memiliki perbedaan dalam simtom
penyakit dan dampak pengobatan. J dan An mengalami
rasa sakit akibat kanker yang lebih berat dibandingkan
subyek lainnya, misalnya mual, muntah, sakit kepala,
sakit perut, sariawan, bibir kering, dan kerontokan
rambut. Sedangkan ditinjau dari dampak pengobatan,
Ar adalah subyek yang paling mengalami dampak
negatif karena sebagian tulang di wajah dan
beberapa bagian dalam mulutnya sudah diangkat
untuk mengobati tumor di tubuhnya. Hal yang
berbeda dialami oleh S yang hanya merasakan
dampak negatif dari pengobatan yang dijalaninya,
yaitu bertambah gemuk dan rasa mual setelah
kemoterapi. Sedangkan E mengaku tidak merasakan
dampak negatif apapun dari pengobatannya.
Ditinjau dari fungsi isik, semua subyek dilarang

untuk melakukan kegiatan yang dapat membuat
tubuh mereka lelah. Di luar itu, setiap subyek
memiliki perbedaan. S dan Ar memiliki fungsi isik
yang lebih baik dibandingkan subyek lainnya karena
mereka tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk
melakukan sebagian besar aktivitas sehari-harinya.

J dan E masih membutuhkan bantuan orang lain
hanya bila kondisi kesehatannya sedang menurun.
Sedangkan An memiliki fungsi isik yang lebih
rendah. Hal ini disebabkan ia tidak dapat berjalan
sehingga membutuhkan bantuan untuk melakukan
hampir seluruh aktivitasnya dan ia juga jarang keluar
dari rumah atau kamar di rumah sakit karena
keterbatasan fungsi isiknya ini.
Sedangkan fungsi psikologis setiap subyek berjalan
dengan cukup adaptif meskipun mereka mengalami
kanker dan dirawat di rumah sakit dalam jangka
waktu lama. Ar adalah subyek yang memiliki fungsi
psikologis paling baik. Ia mengaku tidak mengalami

emosi negatif sebagai imbas dari pengobatan
penyakitnya. Begitu pula dengan E yang meskipun
mengaku khawatir akan kondisi kesehatannya, tetap
menunjukkan emosi positif dalam pergaulan dengan
teman-temannya. An dan S memiliki fungsi psikologis
yang cukup baik, dan menjadi semakin baik lagi
bila mereka bisa mengatasi kemarahan serta perasaan
bosan di rumah sakit dengan baik. Hal yang sama
juga ditemukan pada J yang dapat berfungsi lebih
baik lagi bila dapat mengatasi kekhawatiran,
kesedihan, dan kemarahannya kepada teman-teman
yang memperlakukannya secara berbeda.
Setiap subyek juga memiliki fungsi sosial yang
baik. Mereka semua tetap bergaul dengan teman
sebayanya, memiliki relasi dengan keluarga, dan
mendapat dukungan dari orang-orang di rumah
sakit, terutama relawan yayasan kanker. Namun, J
menghadapi tantangan yang lebih besar daripada
subyek lainnya karena ia diperlakukan berbeda oleh
teman-temannya di luar rumah sakit. Tantangan
dalam fungsi sosial juga dihadapi oleh An yang
lebih jarang bergaul di rumah sakit dibandingkan
subyek lainnya. Keterbatasan fungsi isiknya turut

Tabel 1: Deskripsi umum subyek
Kategori

J

E

An

S

Ar

Usia

9 tahun

6 tahun

8 tahun

11 tahun

12 tahun

Jenis kelamin

Perempuan

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

Agama

Suku bangsa

Islam
Anak ke-2 dari 3
bersaudara
Sunda

Katolik
Anak ke-1 dari 3
bersaudara
Jawa- Jakarta

Protestan
Anak ke-3 dari 3
bersaudara
Batak

Islam
Anak ke-2 dari 3
bersaudara
Sunda

Islam
Anak ke-2 dari 3
bersaudara
Jawa-Sunda

Pendidikan

SD kelas 3

Belum sekolah

SD kelas 3

SD kelas 5

SMP kelas 1

An

S

Ar

Urutan kelahiran

Kategori
Tanggal vonis kanker
Jenis kanker
yang diderita

J
5 Mei 2007
Kanker mata, stadium 4

E
29 Januari 2009

4 Oktober 2011

9 Agustus 2011

28 Juli 2005

Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL)

Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL),
standar 1/awal.

Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL),
standar 1/awal.

Ossifiying Fibroma
Jevenille Residif
(tumor jinak)

Indonesian Journal of Cancer Vol. 6, No. 2

April - June 2012

75

Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Pediatrik Usia Sekolah 73-78

berdampak pada fungsi sosialnya. An jarang bergaul
karena lebih banyak berada di kamar rumah sakit,
karena kondisi isiknya yang terbatas. Sedangkan E,
Ar, dan S cukup beruntung karena memiliki banyak
teman dan tidak dibedakan oleh teman-teman mereka
tersebut meskipun mereka mengalami kanker.
Ditinjau dari fungsi kognitifnya, sebagian besar
subyek tetap memiliki fungsi kognitif yang baik. Ar
memiliki fungsi sosial yang paling baik dibandingkan
subyek lainnya karena ia tetap bersekolah secara normal
meskipun mengalami kanker. J juga menunjukkan
fungsi sosial yang baik, dilihat dari keikutsertaannya
di kegiatan belajar di rumah sakit dan ingatannya
yang baik terhadap pelajarannya di sekolah dulu.
Sedangkan S menghadapi tantangan fungsi kognitif
karena ia melupakan pelajaran dahulu, sementara ia
mulai bersekolah secara normal. Begitu pula dengan
An, yang meskipun tidak melupakan pelajaran
dahulu dan tidak menjadi pelupa, namun justru
tidak mengikuti kegiatan belajar secara normal di
sekolah maupun di rumah sakit. Di sisi lain, E
mengalami tantangan fungsi kognitif yang lebih
besar dibandingkan subyek lainnya. Ia mengaku kini
menjadi lebih pelupa dibandingkan dahulu.

DISKUSI

Terdapat keunikan pada kualitas hidup setiap
pasien kanker pediatrik usia sekolah yang menjadi
subyek dalam penelitian ini. Namun, bila kualitas
hidup kelima subyek dibandingkan dan kemudian
disusun dalam peringkat, Ar adalah subyek yang
memiliki kualitas hidup paling baik dibandingkan
subyek lainnya. Ar memang menghadapi dampak
pengobatan yang paling berat dibandingkan keempat
subyek yang lain. Ia mengalami tumor jinak dan
diharuskan menjalani operasi berkali-kali hingga
mengangkat sebagian tulang dan beberapa bagian
di mulutnya. Meskipun begitu, ia tetap memiliki
fungsi isik, fungsi psikologis, fungsi sosial, dan
fungsi kognitif yang lebih baik. Ia tidak memerlukan
bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari, tidak
mengalami emosi negatif selama proses pengobatan,
tetap memiliki banyak teman, dan tidak dibedakan
oleh teman-temannya meskipun ia sakit, serta tetap
bersekolah secara normal.
Peneliti melihat bahwa kondisi interpersonal dan
kondisi personal subyek menjadi faktor utama yang
membedakan kualitas hidup di antara mereka. Faktor
interpersonal yang meliputi hubungan sosial antar
anggota keluarga, seperti orang tua, saudara kandung,
bahkan saudara lain yang tinggal serumah dan

76

Indonesian Journal of Cancer Vol. 6, No. 2

April - June 2012

teman sebaya yang tinggal di sekitar rumah anak
turut mempengaruhi kualitas hidup anak.6 Hal ini
dapat diamati pada ketiga subyek yang memiliki
kualitas hidup tertinggi, yaitu Ar, E, dan S. Meskipun
mengalami kanker yang membuat kondisi isik
mereka agak berbeda dengan anak-anak sebayanya
yang sehat, mereka tetap memiliki banyak teman dan
tidak dibeda-bedakan oleh teman-temannya. Secara
keseluruhan, kondisi isik mereka juga mendukung
mereka untuk tetap bergaul. Meskipun tubuh mereka
lebih lemah sehingga tidak boleh melakukan kegiatan
yang terlalu berat dan melelahkan, mereka tetap dapat
berinteraksi dan bermain sebagaimana anak-anak
pada umumnya.
Di samping itu, faktor personal yang mencakup
dimensi isik, mental, dan spiritual pada diri anak juga
mempengaruhi perbedaan kualitas hidup antar-subyek.6
An adalah subyek yang memiliki kualitas hidup
paling rendah dibandingkan subyek lainnya. Hal ini
disebabkan ia paling banyak mengalami dampak
negatif akibat pengobatan kanker dan paling terbatas
fungsi isiknya dibandingkan subyek lainnya. Dampak
negatif pengobatan dan keterbatasan isik tersebut
turut mempengaruhi fungsi psikologis, sosial, dan
kognitif An. Ia sering marah-marah bila tidak segera
dilayani permintaannya, jarang bergaul, dan tidak
bersekolah di rumah maupun rumah sakit karena
keterbatasan isiknya. Sedangkan subyek lainnya
yang tidak mengalami keterbatasan dalam fungsi
isik memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini
disebabkan mereka tidak mengalami dampak negatif
dari pengobatan yang mereka jalani sebanyak yang
dialami An. Tiap pasien kanker anak dapat mengalami
efek samping pengobatan yang berbeda, tergantung
pada kondisi tubuh mereka masing-masing.1
Selanjutnya, bila ditinjau dari teori perkembangan
anak usia sekolah, pemenuhan tugas perkembangan
juga mempengaruhi perbedaan kualitas hidup antarsubyek. Sebenarnya, Ar mengalami dampak negatif
pengobatan yang lebih berat dari An. Sebagian
tulang dan organ di daerah mulut Ar sudah diangkat
secara permanen melalui operasi. Sedangkan An
memang saat ini tidak bisa berjalan, padahal
kondisi tersebut hanya bersifat sementara. Bila
ditinjau dari tugas perkembangan isik anak usia
sekolah, keterbatasan isik An lebih mempengaruhi
kualitas hidupnya dibandingkan kecacatan yang
dialami Ar. Anak usia sekolah mengembangkan
banyak keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk
keseimbangan, seperti berlari, meloncat, dan melempar.8
Dengan kondisinya yang sekarang, berjalan dengan
lancar pun menjadi satu tugas berat untuk An.

FRANSISCA M. SIDABUTAR, ANGGIE REGIA ANANDARI, EZRA C., INGRID KARLI, YUSNITA KATAGORI, HENNY E. WIRAWANO. 73--78

Sementara, Ar tetap dapat melakukan kegiatan isik
meskipun kondisi mulutnya cacat.
Dari segi perkembangan emosi, menurut tugas
perkembangan anak usia sekolah adalah mengungkapkan
perasaannya dalam perilaku yang dapat diterima
secara sosial.9 Anak usia sekolah mulai belajar
untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi
emosinya melalui proses peniruan dan latihan yang
dipengaruhi oleh orang tua. Ditinjau dari hasil
penelitian, J adalah subyek yang mengalami emosi
negatif paling banyak dibandingkan subyek lainnya.
Peneliti melihat bahwa rendahnya kualitas hidup J
turut dipengaruhi oleh ketidakmampuannya untuk
mengungkapkan emosi negatifnya secara sesuai. J
mengaku mengalami kekhawatiran, kesedihan, dan
rasa marah selama proses pengobatan. Emosi-emosi
negatif tersebut cenderung hanya dipendam dalam
dirinya sehingga tidak dapat diatasi secara tuntas.
Anak usia sekolah juga memiliki tugas perkembangan
untuk bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya.
Dalam pergaulan dengan kelompok sebaya, anak
belajar aspek-aspek yang penting dalam sosialisasi,
seperti belajar mematuhi aturan-aturan kelompok,
belajar setia kawan, belajar tidak bergantung pada
orang dewasa, belajar bekerja sama, mempelajari
tingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan,
belajar menerima tanggung jawab, belajar bersaing
dengan orang lain secara sehat, serta mempelajari olah
raga dan permainan kelompok.8 Tugas perkembangan
inilah yang juga mempengaruhi J dan An untuk
tidak memiliki kualitas hidup sebaik subyek lainnya.
Mereka memang memiliki banyak teman, namun
relasi mereka dengan teman-temannya tidaklah
sebaik subyek lainnya. J diperlakukan dengan berbeda
karena perbedaan isiknya akibat pengobatan kanker,
yaitu mata kanannya memerah seperti mata kucing.
Sedangkan An sebenarnya memiliki banyak teman
dan tidak diperlakukan secara berbeda oleh mereka,
namun isiknya yang terbatas menghalanginya untuk
bergaul secara aktif dengan anak-anak sebayanya.
Ia cenderung hanya bermain sendirian di rumah
sakit atau di rumah karena keterbatasan geraknya.

SARAN

Berdasarkan setiap kesimpulan dan diskusi
penelitian ini, peneliti akan memberikan saran
berkaitan dengan penelitian selanjutnya dan saran
praktis terkait penanganan kualitas hidup pasien
kanker pediatrik usia sekolah. Penelitian selanjutnya
bisa meneliti keterkaitan antara tingkat keparahan
penyakit kanker dengan kualitas hidup penderitanya.

Pada penelitian ini, subyek yang mengalami kanker
pada stadium awal justru memiliki kualitas hidup
lebih rendah daripada subyek yang mengalami
kanker pada stadium lanjut. Penelitian selanjutnya
dapat mengeksplorasi apa saja hal-hal yang secara
spesiik membuat pasien kanker pediatrik stadium
lanjut memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Selain itu, untuk menambah kekayaan hasil
penelitian, penelitian berikutnya dapat meneliti
bagaimana peran orang tua dalam meningkatkan atau
justru menurunkan kualitas hidup anaknya yang
mengalami kanker pediatrik. Penelitian kali ini tidak
mendapatkan data yang secara spesiik menggambarkan
hal tersebut. Padahal, ditinjau dari teori perkembangan,
fungsi isik, psikologis, sosial, dan kognitif anak usia
sekolah sangat dipengaruhi oleh relasinya dalam
keluarga, terutama dengan orang tuanya.
Penelitian selanjutnya juga dapat menyertakan
dimensi spiritual pada kualitas hidup pasien kanker
pediatrik. Hal ini disebabkan salah satu subyek
dalam penelitian ini, yaitu An, sempat mencetuskan
pendapatnya bahwa penyakit kankernya adalah
hukuman dari Tuhan. Teori kualitas hidup yang
digunakan dalam penelitian ini memang tidak
menyertakan dimensi spiritual, namun teori lain
dari World Health Organization Quality of Life Group,
menyertakan dimensi spritual dalam kualitas hidup
pasien.10
Secara praktis, penelitian ini menghasilkan beberapa
rekomendasi kepada keluarga, staf medis, konselor,
atau pekerja sosial yang menangani kanker pediatrik.
Pertama, peneliti melihat ada baiknya keluarga atau
pihak rumah sakit memberikan kesempatan bagi
pasien anak untuk saling berinteraksi di dalam kamar.
Sejauh ini, peneliti mengamati pasien anak biasanya
saling berinteraksi di ruang bermain atau perpustakaan.
Padahal, ada anak-anak yang sebenarnya kondisinya
cukup stabil dan tidak sedang diisolasi atau menjalani
kemoterapi, namun mengalami keterbatasan gerak.
Peneliti juga melihat ada baiknya pekerja sosial
atau guru yang melayani pendidikan pasien kanker
pediatrik lebih proaktif dalam mengajak anak-anak
untuk belajar. Selama ini, kegiatan belajar hanya
diadakan di perpustakaan rumah sakit dan anakanaklah yang harus datang ke sana bila ingin belajar.
Sebenarnya, pekerja sosial atau guru di rumah
sakit dapat mendatangi anak-anak yang tidak dapat
belajar di kamarnya di rumah sakit, untuk kemudian
mengadakan kegiatan belajar di sana. Durasi dan
materi yang digunakan dalam kegiatan belajar pun
dapat disesuaikan dengan kondisi dan minat anak
sehingga mereka lebih termotivasi untuk belajar.

Indonesian Journal of Cancer Vol. 6, No. 2

April - June 2012

77

Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Pediatrik Usia Sekolah 73-78

Saran terakhir berkaitan dengan penanganan
emosi negatif yang dialami anak sebagai dampak
pengobatan kanker yang dijalaninya. Pihak rumah
sakit dapat menyediakan sarana bagi anak untuk
belajar mengungkapkan emosinya dengan adaptif.
Salah satunya melalui terapi seni, baik seni musik
maupun seni gambar. Terapi musik sendiri telah
dilakukan secara rutin di rumah sakit tempat penelitian
ini diadakan, namun intensitasnya hanya sekali
seminggu dengan satu orang terapis sehingga hanya
bisa melayani sebagian kecil pasien anak di rumah
sakit tersebut. Oleh karena itu, ada baiknya jadwal
terapi musik dibuat menjadi dua kali seminggu dengan
tiga orang terapis. Setiap anak dapat mengikuti
terapi selama 40-60 menit setiap pertemuan, sehingga
setiap anak mendapat kesempatan mengikuti terapi
setidaknya satu kali seminggu.
Sedangkan terapi seni juga telah dilakukan di rumah
sakit ini, namun yang menjadi targetnya adalah ibu
pasien kanker pediatrik. Peneliti menyarankan agar
pasien anak pun dapat diikutsertakan dalam terapi
seni ini. Melalui gambar, terapis dapat menggali
pemahaman dan pengalaman anak selama menjalani
pengobatan kanker untuk selanjutnya memberi
dukungan emosional dan edukasi yang tepat sasaran
bagi setiap anak. Selain terapi musik dan seni, pihak
rumah sakit sebenarnya juga bisa memberikan terapi
cerita (story-telling therapy) di mana anak dibacakan
sebuah buku cerita dan kemudian berdiskusi
mengenai pesan moral yang ada di dalamnya. Terapis
dapat memilihkan cerita-cerita yang memotivasi
anak untuk terus berjuang menghadapi kanker atau
cerita edukatif tentang kanker anak. Namun, lagi-lagi,
terapi ini tergantung pada keberadaan sumber daya
yang dapat memfasilitasi agar terapi ini dilakukan
secara kontinu di rumah sakit.

78

Indonesian Journal of Cancer Vol. 6, No. 2

April - June 2012

Daftar Pustaka

1. Izraeli, S., & Rechavi, G. Cancer in Children – An Introduction. Kreitler,
S. & Weyl Ben Arush, M.. Psychosocial Aspect of Pediatric Oncology.
Chichester: John Wiley & Sons. 2004
2. Sourkes, B.M & Proulx, R. My Family and I Are In This Together. Baider,
L., Cooper, C. L. & De-Nour, A. K. Cancer and The Family (2nd ed).
Chichester: John Wiley & Sons. 2000
3. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. Human Development
(8th ed.). New York: McGraw-Hill. 2002.
4. Kreitler, S., & Kreitler, M. M. Quality of Life in Children With Cancer:
Definition, Assessment, and Results. Kreitler, S. & Weyl Ben Arush,
M.. Psychosocial Aspect of Pediatric Oncology. Chichester: John Wiley
& Sons. 2004
5. Varni, J. W., Rode, C. A., Seid, M., Katz, E. R., Friedman-Bender, A., &
Quiggins D. J. L. The Pediatric Cancer Quality of Life Inventory-32
(PCQL-32): Feasibility and Range of Measurement. Journal of
Behavioral Medicine. 1999.
6. 4. Lindstrom, B. Measuring and Improving Quality of Life for Children.
Lindstrom, B. & Spencer, N. Social Paediatrics. Oxford: Oxford
University Press. 1995
7. Drell, M. J., & White, T. J. H. Children’s Reaction to Illness and
Hospitalization. Sadock, B. J. & Sadock, V. A. Kaplan & Sadock’s
Comprehensive Textbook of Psychiatry Volume 2 (7th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2004
8. 5. Munandar, S.C.U. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak
Sekolah. Jakarta: Grasindo. 1999.
9. 10. Yusuf, S. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2004.
10. Power, M. J. Quality of Life. Lopez, S. J. & Snyder, C. R. Positive
Psychological Assessment: A Handbook of Models and Measures.
Washington: American Psychological Association. 2003