BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Perkembangan Muhammadiyah dI Banda Aceh (1923-1943)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Nama Muhammadiyah,mengandung pengertian sebagai kelompok orang yang

  berusaha mengidentifikasikan dirinya atau membangsakan dirinya sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan dakwah Rasul dalam mengembangkan tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi yang gerak perjuangannya ditujukan untuk mengembangkan suatu tata kehidupan masyarakat sebagaimana dikehendaki Islam. Usaha-usaha dilakukan

   berdasarkan yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad saw.

  Sebagai gerakan modernist Islam, Muhammadiyah mencoba memperkenalkan pembaharuan pemikiran lewat ijtihat dan berupaya memerangi bid’ah, takhyul, dan

  

khufarat (perilaku menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Hadist). Gerakan

pembaharuan dalam Islam disebut juga Gerakan Modern atau gerakan reformasi.

  Gerakan tersebut adalah gerakan yang dilakukan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan upaya pembaharuan itu para pemimpin Islam berharap agar umat Islam dapat terbebas dari ketertinggalannya, bahkan dapat mencapai kemajuan setaraf dengan bangsa-bangsa lain. 1 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam

  Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Hal 4-5

  Gerakan pembaharuan seperti ini memang terjadi di sepanjang perjalanan sejarah islam. Adapun pembagian perkembangan dalam sejarah Islam yaitu Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M) dan Periode Modern

  

  (yang dimulai tahun 1800 M). Dari periode – periode tersebut, ada beberapa contoh dari pembaharuan dalam ajaran Islam yaitu : Mutaffarika di Turki, Wahabia di Arabia, Muhammadiyah di Indonesia dan masih banyak lagi yang lainnya.

  Dari sekian banyak pembaharuan dalam ajaran Islam, gerakan Muhammadiyah yang lahir di Indonesia adalah salah satu yang terbesar dilihat dari kenyataan besarnya jumlah anggota gerakan ini, yang terbesar tidak saja di Indonesia tapi juga menembus Singapura, Malaysia, Penang serta luasnya bidang pelayanan yang digarap: sekolah, rumah sakit, poliklinik, rumah yatim dan lain-lain. Jadi pada kesimpulannya bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan reformasi Islam yang terkuat yang ada di kalangan Islam Asia Tenggara, bahkan mungkin di seluruh

   dunia.

  Pembaharuan Islam yang ditawarkan Muhammadiyah adalah Islam yang sistematik, yaitu Islam yang ajarannya merupakan kesatuan dari akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah. Islam yang bercorak demikian itu adalah hasil dari

   pemahaman agama yang berdasarkan pada Alquran dan Sunnah.

  Disini Muhammadiyah sendiri menyebut dirinya sebagai gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar, yang berakidah Islam dan bersumber pada 3 Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Harapan, 1995.

  hal 18

6 Alquran dan sunnah. Dakwah dalam hal mengajak, menyeru dan mendorong bangsa

  Indonesia supaya bangkit dari keterpurukan demi membangun kembali seluruh tatanan masyarakat melaui agama Islam. Karena Islam memang merupakan agama

   dakwah.

  Organisasi Muhammadiyah sendiri didirikan pada tanggal 18 November 1912

  

  (18 Dzulhijjah 1330) oleh K.H.A Dahlan di Yogyakarta. Menurut Solichin Salam, seorang yang banyak menulis tentang Muhammadiyah, menyebutkan adanya faktor intern dan faktor ekstern yang mendorong lahirnya gerakan Muhammadiyah. Namun, dengan mengacu pada berbagai pandangan tokoh Islam, maka dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan lahirnya gerakan pembaharuan Muhammadiyah, yaitu: Kondisi Islam di Jawa, Pengaruh gerakan

   modernisasi Islam di Timur Tengah, dan Politik Islam Pemerintah Belanda.

  Selain sebagai gerakan pembaharuan dan pemurnian pemikiran keislaman, Muhammadiyah juga disebut sebagai gerakan sosial keagamaan, yang pada dasarnya adalah sebuah lembaga yang lahir dalam lingkungan budaya dunia ketiga. Rakyat dunia ketiga pada umumnya ditandai oleh adanya tiga tantangan, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Agama Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, tetapi pada kenyatannya sebagian besar dari mereka

  6 7 Ibid, hal 2 8 Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah. Jakarta: Prenada Media,2004. hal 15 Sri Waryanti, Seno, Indriani, Sejarah Perkembangan Muhammadiyah di Aceh. Banda Aceh:

  hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai lembaga-lembaga modern dalam hal

   pendanaan, meskipun kondisi umat Islam adalah kelompok mayoritas.

  Perbaikan mutu pendidikan adalah langkah merubah pola pemikiran, cara berbuat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kodisi umat Islam yang selalu berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan tampaknya telah menempatkan Islam sebagai agama yang belum dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai yang diinginkan.

  Dengan jumlah anggota dan partisipasinya yang boleh dikatakan cukup besar Muhammadiyah perlu memantapkan jati dirinya secara prima agar berbagai tantangan dapat diubah menjadi peluang. Mengubah tantangan menjadi peluang adalah makna dari sebuah gerakan pembaharuan. Peluang-peluang sejenis hendaklah dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara serta dijadikan tulang punggung menghadapi tantangan.

  Kebangkitan ilmu dan amal di kalangan Muhammadiyah khususnya di abad kelima belas Hijriah diharapkan mampu memandang dan menatap realitas sosial secara tajam dan dapat memperhitungkan karakteristik secara tepat. Keberadaan kaum intelektual yang berwawasan luas untuk menerjemahkan ajaran-ajaran dasar Islam ke dalam kehidupan nyata sangat dibutuhkan sehingga pemurnian ajaran Islam kedalam kehidupan keseharian bukan merupakan sebuah keniscayaan.

  Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia lahir atas dorongan kondisi-kondisi yang hadir dan mengelilingi dunia Islam Indonesia pada permulaan abad ke-20, antara lain kondisi sosial-politik, kultural dan keagamaan. Deliar Noer agaknya cukup tepat dalam memformulasikan kondisi itu, ketika dia menulis :

  Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatan- kekuatan yang menentang dari pihak Kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah ini dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada kawan-kawan mereka seagama di Abad Tengah untuk mengatasi barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh atau mempergunakan metode-metode baru yang telah di bawa ke Indonesia oleh kekuasaan Kolonial serta pihak misi Kristen.

  Pengamatan Noer yang cermat sebagaimana diungkap dalam kutipan di atas mungkin bisa dijadikan semacam dalil utama tentang sebab-sebab munculnya

   gerakan pembaharuan, yang terjadi di kalangan Islam Indonesia.

  Setelah beberapa tahun berdiri, barulah Muahammadiyah mengembangkan sayapnya ke daerah-daerah lain diluar pulau Jawa. Untuk wilayah Sumatera, yang menjadi sentral pengembang Muhammadiyah adalah Sumatera Barat. Dari Sumatera Barat kemudian disebar kader-kader Muhammadiyah ke berbagai pelosok Sumatera, seperti ke Sumatera Selatan, Bengkulu, Tapanuli, Sumatera Timur, termasuk juga ke

   daerah Aceh, bahkan ke Kalimantan dan Sulawesi.

  Di Aceh sendiri, khususnya Kuta Raja (sekarang Banda Aceh) sudah muncul gagasan-gagasan tentang Muhammadiyah pada tahun 1923. Orang yang pertama memperkenalkan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam ialah Djaja- Soekarta. Beliau adalah seorang pegawai Pemerintah Belanda asal Sunda yang selalu ditugaskan oleh pemerintah untuk berkunjung ke daerah-daerah guna melakukan pemantauan dan pemeriksaan. Djaja-Soekarta menyampaikan gagasan-gagasan Muhammadiyah pertama kalinya di musholla yang terletak di pinggiran jalan Seutui, Banda Aceh. Namun, meskipun gagasan-gagasan Muhammadiyah telah mulai disemaikan sejak tahun 1923, secara resmi Muhammadiyah baru berdiri pada tahun 1927 di Banda Aceh. Jumlah anggotanya yang resmi terdaftar pada saat itu adalah 102 orang laki-laki dan 52 orang perempuan. Dan pada akhir tahun 1932 jumlah anggota organisasi ini menjadi 191 orang laki-laki dan 132 orang perempuan, yang anggota tersebut pada umumnya adalah orang-orang yang berdinas dalam

   pemerintahan yang terdiri dari para perantau Minangkabau dan Jawa.

  Di Aceh sendiri, khususnya Banda Aceh pada awal dilancarkannya pembaharuan ini, ada tiga aspek yang menjadi sasaran pembaharuan Muhammadiyah tersebut, yaitu sosial kemasyarakatan, pendidikan dan paham keagamaan.

  Kehadiran Muhammadiyah di Aceh tidaklah disambut dengan tangan terbuka. Hal ini adalah wajar-wajar saja, karena Muhammadiyah ingin menembus kejumudan,

  

khufarat dan bid;ah yang telah terbentuk dan terbentang selama berabad-abad.

  Berbagai macam kenduri seperti kenduri sawah, kenduri laut, kenduri 100 hari dan kenduri dirumah orang kematian, pembacaan qunut pada salat subuh dan sebagainya

   merupakan objek kritikan dari da’i Muhammadiyah.

  Dalam kurun waktu yang cukup lama perkembangan Muhammadiyah di Aceh telah diwarnai oleh suatu fenomena yang menarik untuk dikaji. Fenomena tersebut dimulai pada dekade tahun 1930-an dimana gerakan selain bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, pendidikan, keagamaan juga pada gerakan politik yang jika dikaji lebih lanjut ternyata berawal dari tataran gagasan dan visi ke-Islaman dan

   kemanusiaan yang cukup tajam seiring dengan situasi saat ini.

  Selama ini kebanyakan orang menyadari pengaruh Muhammadiyah di Aceh hanya mencakupi bidang agama saja, maka disini penulis ingin lebih menjelaskan tentang besarnya pengaruh Muhammadiyah pada awal abad 19 dan akhir abad 20 di Aceh yang meliputi berbagai aspek, seperti faham keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik telah membawa pengaruh besar pada perkembangan masyarakat Aceh secara luas dana Banda Aceh khususnya. Skop waktu penelitian ini diawali pada tahun 1927 karena tahun tersebut merupakan awal berdirinya Muhammadiyah di Aceh secara resmi. Adapun tahun 1942 sebagai batasan akhir dari penelitian ini dikarenakan pada tahun ini merupakan akhir masa pemerintahan Belanda di Aceh. Dan dari awal berdirinya tersebut sampai akhir pemerintahan Belanda di Aceh, banyak terjadi 14 M. Hasan Su’ud, “Kontribusi Gerakan Muhammadiyah Bagi Pembangunan Daerah

  

Istimewa Aceh”, dalam Zamroni dkk, Muhammadiyah Dalam Perspektif Cendikiawan Aceh. (Banda pergerakan-pergerakan berbau politik dan pertumbuhan pendidikan di Aceh yang turut di pengaruhi oleh Muhammadiyah dan juga melibatkan cendikiawan- cendikiawan Aceh yang secara langsung terjun dalam organisasi Muhammadiyah.

  Maka dari itu, sebagai suatu gerakan pembaharuan Islam yang besar yang lahir di Indonesia, Muhammadiyah tidak bisa di pandang sebelah mata. Namun, kelahiran Muhammadiyah harus kita mengerti adalah sebagai wujud nyata respon umat Islam terhadap masalah-masalah sosial, pendidikan, keagamaan dan politis yang menyelimuti bangsa Indonesia pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

2. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah merupakan suatu landasan yang digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan di bahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Berdasarkan latar belakang diatas untuk mempermudah menghasilkan penelitian yang objektif, maka perlu diberikan batasan masalah terhadap penelitian tentang “Perkembangan Muhammadiyah di Banda Aceh” untuk itu dibuatlah pokok permasalahan yang kemudian dirangkum dalam beberapa pertanyaan, antara lain :

  1. Bagaimana perkembangan pergerakan Muhammadiyah di Banda Aceh sejak munculnya pada tahun 1923, resmi berdirinya 1927, awal perkembangan 1938, sampai dengan tahun 1942, terutama yang menyangkut dalam usaha dibidang sosial, pendidikan, politik dan faham keagamaan?

2. Apa yang menjadi andil Muhammadiyah dalam pembangunan masyarakat di

  3. Apakah usaha Muhammadiyah untuk mendapat sambutan baik dari masyarakat maupun pemerintah Banda Aceh?

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Di dalam sebuah penelitian tentunya memiliki suatu tujuan dan manfaat dari penelitian yang dilakukan. Sehingga sedikit banyaknya dapat menjawab mengapa penelitian tersebut dilakukan. Dalam prosesnya penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Sehingga harus relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian penulis.

  1. Untuk mengetahui perkembangan pergerakan Muhammadiyah di Banda Aceh sejak muculnya pada tahun 1923, resmi berdirinya 1927, awal perkembangan 1938, sampai dengan tahun 1942, terutama yang menyangkut dalam usaha dibidang sosial, pendidikan, politik dan paham kegamaan.

  2. Untuk mengetahui andil Muhammadiyah dalam pembangunan masyarakat di Banda Aceh.

  3. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat maupun pemerintah Banda Aceh.

  Sehubungan dengan penulisan dan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka manfaat dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Guna memberikan tambahan pengetahuan dalam rangka pengembangan Ilmu Sejarah, khususnya yang berkaitan dengan sejarah Muhammadiyah di Banda

  2. Menambah wawasan masyarakat Aceh, khususnya Banda Aceh tentang Muhammadiyah dan mengisi syariat Islam di Aceh melalui ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh gerakan Muhammadiyah.

  3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan umum tentang sejarah perkembangan Muhammadiyah di Banda Aceh.

  5. Tinjauan Pustaka

  Dalam penyelesaian penelitian ini tentunya dibutuhkan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian tentang Muhammadiyah dan perkembangannya di Aceh, khususnya Banda Aceh. Ada beberapa buku yang digunakan sebagai tinjauan pustaka untuk mendekatkan konsep-konsep teori yang diajukan dalam penelitian ini dan diharapkan mampu mendekatkan dengan pokok permasalahan yang ada. Dalam hal ini, buku yang digunakan antara lain, Weinata Sairin dalam bukunya “Gerakan

  Pembaharuan Muhammadiyah”, (1995). Sri Waryani, Seno, Indriani dalam buku “Sejarah Perkembangan Muhammadiyah di Aceh”, (2005). Syaifullah dalam

  bukunya “Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi”, (1995). Dan Moh. Ali Aziz dalam bukunya “Ilmu Dakwah”, (2004).

  Wienata Sairin dalam bukunya “Gerakan Pembaharuan

  Muhammadiyah”, (1995). Menjelaskan tentang sebab-sebab gambaran umum lahirnya

  gerakan pembaharuan Muhammadiyah. Selain itu, buku ini juga menjelaskan pemikiran-pemikiran K.H.A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah serta pengaruhnya bagi gerakan Muhammadiyah dan juga partisipasi Muhammadiyah

  Sri Waryani, Seno, Indriani dalam buku “Sejarah Perkembangan

  

Muhammadiyah di Aceh”, (2005). Buku ini menjelaskan tentang masuknya

  Muhammadiyah di Aceh dan perkembangan organisasi itu sendiri di aceh. Dalam buku ini juga diterangkan bagaimana system organisasi yang di kembangkan Muhammadiya di Aceh serta sejauh mana Organisasi Muhammadiyah berkiprah di Aceh sejak masuknya tahun 1923 yang diresmikan tahun 1927 sampai berkembangnya tahun 1938.

  Syaifullah dalam bukunya “Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi”, (1995). Juga menjelaskan tentang latar belakang lahirnya Muhammadiyah dan gerak perilaku Muhammadiyah dalam percaturan politik Indonesia, termasuk juga didalamnya kontribusi Muhammadiyah dalam bidang politik di Indonesia dan kecendrungan corak politik Islam yang dianut Muhammadiyah dalam kurun waktu tahun 1945-1959, yaitu menjelang Republik Indonesia merdeka sampai akhir demokrasi liberal.

  Moh. Ali Aziz dalam bukunya “Ilmu Dakwah”, (2004). Menerangkan tentang proses-proses perjalanan dalam penyebaran agama Islam, yaitu melalui jalan yang disebut “Dakwah” (penyampaian agama Islam keepada orang lain dengan cara bijaksana untuk tercitanya individu dan masyarakat yang menghayati dan

  

  mengamalkan ajaran Islam dalam semua lapangan kehidupan). Buku ini juga menjelaskan makna dan cara penyebaran Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.

6. Metode Penelitian

  Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu petunjuk teknis. Dalam rangka menuliskan sebuah peristiwa bersejarah ini penulis menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses menguji dan menganalis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu dapat menjadi kisah sejarah

   yang dapat dipercaya.

  Langkah-langkah dalam penelitian sejarah tersebut adalah: 1. Heuristik yaitu langkah awal untuk mengumpulkan sumberyang terkait dengan objek penelitian penulis. Dalam hal ini penulis menggunakan metode

  library research (studi kepustakaan) yaitu mengumpulkan berbagai sumber

  tertulis seperti buku, skripsi (belum diterbitkan), makalah dan sumber-sumber lainnya yang dianggap penting. Sebagian sumber buku, penulis dapatkan di perpustakaan wilayah Banda Aceh (PUSWIL), Pusat Dokumentasi dan Arsip Aceh (PDIA), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh dan juga perpustakaan Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA).

  Penelitian ini tidak menggunakan sumber lisan seperti wawancara, karena penelitian ini berkisar sekitar abad 19 dan awal abad ke-20.

  2. Kritik sumber (verifikasi), yaitu proses yang dilakukan peneliti untuk mencari nilai kebenaran data sehingga dapat menjadi penelitian yang objektif. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keaslian sumber yang telah dikumpulkan.Dimana dalam pendekatan intern yang harus dilakukan yakni menelaah dan memferifikasi kebenaran isi atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku, artikel, laporan, dan arsip). Kritik ektstern yang dilakukan dengan cara memverifikasi untuk menentukan keaslian sumber.

  Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang benar – benar objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan keobjektifannya tanpa ada unsur subjektifitas yang mempengaruhi hasil penulisan.

  3. Interpretasi, yaitu tahap dimana peneliti berusaha untuk menghubungkan data- data yang didapatkan dilapangan dengan fakta yang ada. Sehingga diharapkan data tersebut menjadi data yang objektif.

  4. Historiografi, merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang dilakukan. Penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan). Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangung sesuai dengan prosedur yang digunakannya tepat atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki validitas yang memadai atau tidak, dan lain sebagainya. Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.