BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini, populasi manusia lanjut usia (selanjutnya disebut “lansia”)

  diprediksikan akan semakin meningkat. Berdasarkan data statistik tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia sekitar 18 juta jiwa dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat menjadi 80 juta jiwa (Menkokesra). Data statistik tersebut menunjukkan bahwa beberapa tahun ke depan akan terjadi peledakan jumlah lansia di Indonesia (BPS, dalam Sumarno 2012).

  Craig (1996) membagi masa lansia ke dalam empat dekade kehidupan yaitu young-old (60-69 tahun), middle- old (70-79 tahun), old- old (80-89 tahun), dan very old-old (90-99). Masa lansia pada umumnya ditandai dengan terjadinya penurunan fungsi diri secara fisik, kognitif, serta psikososial. Selain itu, stressor pada masa lansia juga akan bertambah sehingga membuat setiap tindakannya semakin berisiko. Oleh karena itu, lansia dituntut untuk bertindak dengan lebih selektif. Kondisi ini memunculkan pandangan pada lansia bahwa mereka adalah individu yang lemah dan tidak berdaya. Pensiun pekerjaan dan kematian pasangan hidup memperburuk keadaan seorang lansia (Papalia, 2007).

  Kematian pasangan menjadi karakteristik utama dalam hubungan keluarga pada masa lansia. Kematian pasangan pada umumnya menimbulkan kedukaan mendalam bagi pasangan yang ditinggalkan. Banyak lansia membutuhkan waktu yang panjang dalam menyesuaikan diri atas peran barunya baik sebagai janda maupun duda (Lemme, 1995). Kematian pasangan menjadi suatu peristiwa yang paling traumatik bagi seorang wanita (Matlin, 2008). Harapan hidup wanita yang lebih tinggi menyebabkan kebanyakan wanita dapat menjalani masa lansianya dan berkesempatan menjadi seorang janda (Papalia, 2007). Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang wanita dengan status janda memiliki well-being yang rendah hingga 8 tahun setelah kematian suaminya (Matlin, 2008).

  Tugas perkembangan akan membantu seorang janda lansia mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya dan tindakan yang harus dilakukannya. Pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan (selanjutnya disebut living arrangement) adalah salah satu tugas perkembangan seorang lansia. Living arrangement berfungsi untuk mengatur kembali kehidupan lansia dan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan seorang lansia yaitu dengan cara menentukan bersama siapa akan melanjutkan kehidupannya (Hurlock, 2000).

  Seorang janda lansia akan diperhadapkan dengan tiga pilihan living

  

arrangement antara lain: living alone dimana lansia memutuskan untuk tinggal

  sendiri tanpa orang lain di rumahnya. Living with adult children terjadi ketika janda lansia memutuskan untuk tinggal bersama anak yang sudah dewasa. Living

  

in institutions dimana lansia tinggal di sebuah institusi yang bukan keluarga dan

  difasilitasi dengan rumah perawatan. Bagi lansia yang sudah menjadi janda atau duda pada umumnya living alone dan living with adult children menjadi pilihan yang paling umum (Papalia, 2007).

  Penentuan living arrangement tidak terlepas dari pengaruh budaya seorang lansia dalam hal ini janda lansia (Papalia, 2007). Kebudayaan yang berlaku akan mengikat dan mengatur seseorang dalam bermasyarakat (Koentjaraningrat, 2002). Masyarakat Batak Toba adalah subsuku bangsa Batak yang memiliki nilai budaya yang turun-temurun dan menjadi aturan dalam bermasyarakat (Rajamarpodang, 1992).

  Prinsip keturunan patrilineal menjadi salah satu aturan yang diberlakukan masyarakat Batak Toba (Rajamarpodang, 1992). Prinsip keturunan ini membuat anak laki-laki (selanjutnya disebut “anak”) mendominasi semua aspek kehidupan seorang Batak Toba (Vergouwen, 1964). Wanita atau ibu Batak Toba umumnya menganggap anak sebagai sosok yang harus bertanggung jawab dalam keluarga layaknya seorang suami yang bertanggung jawab pada istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992). Selain itu, kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak terlepas dari nilai lainnya seperti tiga tujuan hidup yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon (Harahap dan Siahaan, 1987).

  Adat-istiadat masyarakat Batak Toba ini melahirkan suatu adat dimana seorang orang tua lansia harus tinggal dengan anak. Keberadaan adat ini akan mendorong janda lansia untuk tinggal dengan anak. Setelah tinggal dengan anak diharapkan setiap kebutuhan janda lansia dapat terpenuhi dan janda lansia tersebut dapat mengetahui harapan masyarakat untuk dirinya sebagai seorang lansia (Hurlock, 2000). Selain itu, diharapkan juga agar janda lansia dapat mencapai tujuan hidupnya sebagai seorang Batak Toba sebab bagi masyarakat Batak Toba diyakini bahwa orang tua akan lebih terhormat apabila menjalani masa tuanya dan meninggal di kediaman anak. Hal ini diungkapkan oleh dua tokoh adat Batak Toba di Kab. Dairi yaitu Sipayung (58 tahun) dan Sianturi (73 tahun) sebagai berikut:

  “Itu dari sisi tanggung jawabnya tadi, kalau lansia itu harus tinggal di keluarga anak-nya (anak laki-laki) ”.

  (Sipayung, Komunikasi Personal, 31 Oktober 2013)

  “Bagaimanapun keadaan anak laki-laki, lebih tinggi kedudukannya daripada anak laki-laki. makanya anak laki-laki disebut raja. Orang tua akan menjadi tidak berwibawa ketika tinggal bersama marga orang lain (anak perempuannya yang sudah menikah). Kalo dalam batak, ga

mungkin marga lain menanggungjawabi orang tuanya marga lain.”

  (Sipayung, Komunikasi Personal, 31 Oktober 2013)

  “Sebagai orang tuanya itu, anak- nya (anak laki-laki) harus bertanggung jawab terhadap orang tuanya. Karena orang tuanya juga tidak sanggup lagi mencari nafkah kan, anaknya inilah yang menanggungjawabi apa yang dipentingkan keperluan orang tuanya itu. Orang tua harus ditanggungjawabi orang itu di rumah anak bukan di rumah boru (anak perempuan). Karena boru (anak perempuan) kan sudah di rumah orang lain dia itu ”.

  (Sianturi, Komunikasi Personal, 26 Pebruari 2014) Setelah tinggal dengan anak, lingkungan tempat tinggal yang baru serta keluarga anak yang terdiri dari anak, menantu perempuan (selanjutnya disebut

  “parumaen”), dan cucu (selanjutnya disebut “pahompu”) ternyata menjadi suatu tantangan baru bagi kehidupan seorang janda lansia. Janda lansia dituntut untuk tetap mampu merealisasikan dirinya walaupun berada di lingkungan baru yaitu rumah anak. Realisasi diri adalah kemampuan individu untuk tetap mengalami pertumbuhan dengan mampu mengatasi setiap tantangan hidupnya dan mampu memenuhi setiap kebutuhannya (Ryff & Singer, 2008). Kemampuan untuk merealisasikan diri merupakan poin penting yang menentukan psychological well- (Ryff & Singer, 2008).

  being

  Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan

  eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Psychological well-being yang baik dapat dapat mengarahkan tindakan seseorang dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989). Setelah tinggal di rumah anak, berbagai tantangan baru akan dihadapi oleh janda lansia yang mana dapat mempengaruhi kemampuan realisasi diri janda lansia tersebut. Hal ini dapat membuat seorang janda lansia kehilangan atau mencapai psychological well-being di hidupnya.

  Ketergantungan terhadap keluarga anak menjadi salah satu tantangan yang sering terjadi pada janda lansia ketika tinggal dengan keluarga anak (Hurlock, 2000). Seorang janda lansia cenderung akan ketergantungan pada keluarga anak baik secara ekonomi maupun kebutuhan lainnya sehingga harus disediakan oleh keluarga anak (Degenova, 2008). Sementara keluarga anak memiliki tanggung jawab lainnya seperti merawat anak-anak dan mencukupi kebutuhan keluarga sehingga terkadang keluarga anak tidak dapat memenuhi seluruh permintaan janda lansia. Sebagai akibatnya, janda lansia dapat menjadi marah dan kecewa kepada keluarga anak. Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

  “Kalau terlambat dikasih aku makan, aku langsung marah. Misalnya baru datang anakku Pak Rano ini dari ladang, Mamak sudah makan katanyalah itu. Belum makan aku, kerja kalian itulah terus kalian

kerjakan. Ku bilanglah seperti itu pura-pura ku besarkan suaraku.”

  (komunikasi personal, 31 Mei 2014) Selain ketergantungan, janda lansia juga terkadang tidak mampu melepas peran otoriternya terhadap anak sebagai anak kandungnya (Hurlock, 2000). Janda lansia merasa sulit menerima perubahan kendali atas anaknya yang telah menikah sehingga selalu memperlakukan anak seperti ketika anak masih muda (Degenova, 2008). Hal ini kerap membuat hubungan antara janda lansia dengan parumaen diwarnai dengan ketidakharmonisan (Degenova, 2008). Tidak jarang dijumpai dimana janda lansia dan parumaen kurang saling memahami satu sama lain. Janda lansia cenderung menganggap parumaen tidak mengerti keadaannya dan senang bersungut-sungut. Hal ini diungkapkan oleh janda lansia berikut ini:

  “Masalah dengan parumaen, tapi hanya sebentar. Orang zaman sekarang susah saling mengerti. Setelah saling menjelaskan dan mengerti, ooh kata seorang ooh kata yang lain….”

  (komunikasi personal, 25 April 2014) Tinggal dengan keluarga anak juga tidak jarang membuat janda lansia mengkhawatirkan keadaan keluarga anak. Seorang janda lansia akan merasa terbeban ketika keluarga anak memiliki masalah baik di bidang keuangan, pernikahan, kesehatan, dan masalah lainnya. Melihat keadaan ini kerap terlihat janda lansia ikut membantu setiap kekurangan keluarga anak (Degenova, 2008). Janda lansia akan merasa senang apabila dirinya dapat membantu keluarga anak sebaik bantuan yang diterimanya dari keluarga anak (Marks, 1995; Degenova, 2008). Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut: “Andai enggak ku kasih uang itu sakit hatilah anakku ini samaku.

  Syukurlah sudah senang dia karena ku kasih itu. Karena uang itupun sebenarnya enggak ku pakai-pakai. Di rumah sajanya aku terus. Kenapa enggak ku kasihkan saja itu.”

  (komunikasi personal, 4 Juni 2014) Sebagai seorang nenek, janda lansia juga dituntut untuk membantu mempersiapkan masa depan yang lebih baik (Degenova, 2008). Melalui

  pahompu pengalaman hidupnya, seorang janda lansia dapat membagikan hal baik terhadap

  

pahompu nya. Sebagai orang tua di tengah-tengah keluarga anak, janda lansia

  beranggapan bahwa dirinya harus menjadi contoh yang baik bagi keluarga anak terutama pahompu. Janda lansia berupaya untuk memberikan nasihat-nasihat yang dapat membantu pahompu menjadi lebih baik lagi. Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

  “Harus baiklah sebagai ompung supaya pahompuku juga baik samaku. Kalau enggak baik aku sama orang tuanya, mana mungkin baik pahompuku ini samaku.”

  (komunikasi personal, 5 Juni 2014) Tantangan lain yang akan dihadapi seorang janda lansia adalah pensiun dimana dirinya kehilangan status, peran, dan prestasi yang dicapainya selama ini

  (Hurlock, 2000). Perubahan drastis terjadi pada status seorang janda lansia dimana awalnya sebagai pekerja yang sibuk dan memiliki banyak aktivitas, sekarang berubah menjadi seorang pengangguran yang tidak menentu (Hurlock, 2000). Seorang janda lansia akan mengalami perubahan tidak hanya dalam tempat tinggal namun juga penurunan dalam status sosial ekonomi seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Pensiun umumnya dapat memperburuk penilaian seorang janda lansia terhadap dirinya (Papalia, 2007). Kondisi ini turut berpengaruh terhadap psychological well-being janda lansia tersebut (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

  Keputusan untuk tinggal dengan anak tidak hanya menjadi tantangan baru, tetapi dapat memunculkan perasaan positif bagi janda lansia tersebut. Hubungan baik yang terjalin antara janda lansia dengan keluarga anak turut mempengaruhi perasaan janda lansia setelah di rumah anak. Setelah tinggal dengan anak, umumnya janda lansia tidak dibebani oleh tanggung jawab rumah tangga lagi. Kebutuhan janda lansia seperti makanan, pakaian, maupun kebutuhan lainnya umumnya telah disediakan oleh keluarga anak. Selain itu, janda lansia diperlakukan sebagai sosok orang tua yang berhak memberikan berbagai masukan bagi keluarga anak. Hal ini diungkapkan oleh janda lansia sebagai berikut:

  “Senanglah. Kaulah dulu enggak mungkin enggak senang. Enggak ku sangka dibeli perlengkapanku seperti itu. Kapan kau beli itu, ku bilanglah. Sudah lama ku beli, Mak katanyalah itu. Makasih banyak ya, Tuhan. Karena Tuhanlah keluargaku ini bisa merawat aku sebaik ini. Iyalah memang. Karena kalau akunya mana bisa lagi ku atur seperti itu. Itu yang ada itulah ku pakai biasanya. Tapi enggak pernah itu beli yang paling murah. Janganlah dulu yang paling mahal, tapi yang lumayan dibelinya. Semua yang dibelinya lumayan harganya.”

  (RB.W3. 020614/b.1874-1883/h.29) Setelah beberapa lama tinggal dengan anak, janda lansia akan cenderung merasa lebih senang dan keadaannya semakin membaik. Rasa nyaman dan betah cenderung akan mewarnai hari-hari janda lansia setelah tinggal dengan anak. Janda lansia beranggapan bahwa dirinya berumur panjang setelah tinggal dengan keluarga anak sehingga enggan berpindah ke tempat lain. Hal ini terlihat melalui pernyataan kedua responden penelitian ini sebagai berikut:

  “Ah, enggak mau aku. Berat pindah-pindah ini, lagian lebih enaknya di sini.”

  (komunikasi personal, 25 April 2014)

  “Tambah panjang umurku. Iya, makin panjang umur aku. Senang perasaanku, enggak ada beban setelah tinggal di sini.”

  (komunikasi personal, 6 Juni 2014) Selain itu, tuntutan adat yang mengharuskan seorang orang tua lansia tinggal di rumah anak memberikan kenyamanan dan pandangan bahwa dirinya telah berhasil sebagai seorang Batak Toba. Seorang janda lansia menganggap dirinya sebagai tempat bertanya dan penasihat di tengah-tengah keluarga anak.

  Hal ini menunjukkan bahwa janda lansia tersebut telah mencapai tujuan hidup Batak Toba yaitu hasangapon setelah tinggal di rumah anak. Seseorang yang telah mencapai hasangapon adalah seseorang yang dapat memberi kebijakan, arif, dan menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat (Harahap dan Siahaan, 1987). Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

  “.. Kalau kita lakukan semua adat Batak itu, benar-benarlah kita jadi orang berhasil.”

  (komunikasi personal, 31 Mei 2014) Setiap pengalaman baik pengalaman positif maupun negatif akan memberi penilaian tersendiri bagi seorang janda lansia. Sama halnya dengan janda lansia yang tinggal dengan anak, setiap janda lansia menginterpretasikan pengalaman- pengalamannya di rumah anak dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan cara dan kemampuan ini akan turut berperan dalam menentukan apakah janda lansia tersebut merasa senang atau tidak di rumah anak. Setiap penilaian akan pengalaman hidupnya akan mempengaruhi psychological well-being janda lansia tersebut (Ryff dan Singer, 1996).

  Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri. Dorongan ini dapat menyebabkan seseorang pasrah akan keadaan sehingga memiliki psychological nya rendah. Di lain sisi, psychological well-being juga dapat membuat

  well-being seseorang berkeinginan untuk memperbaiki kehidupannya sehingga dikatakan bahwa individu itu memiliki psychological well-being yang tinggi (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

  Ryff (1989) mengungkapkan bahwa individu dengan psychological well-

  being yang tinggi akan mampu menerima dirinya sendiri, menjalin hubungan

  positif dengan orang lain, berotonomi, mampu menguasai lingkungan, bertujuan hidup, dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu. Latar belakang usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, life event, dan keagamaan yang berbeda akan mempengaruhi psychological well-being janda lansia tersebut.

  Keputusan seorang janda lansia suku Batak Toba untuk tinggal dengan anak pada dasarnya menjadi satu upaya dimana janda lansia diperhadapkan dengan tugas perkembangannya yaitu living arrangement namun terikat dengan adat Batak Toba yaitu keharusan untuk tinggal dengan anak. Keadaan inilah yang akan mempengaruhi psychological well-being seorang janda lansia yang tinggal dengan

  anak .

  Berdasarkan pemaparan peneliti diatas, seorang janda lansia yang tinggal dengan anak akan diperhadapkan dengan lingkungan baru yaitu rumah anak dan keluarga anak. Tinggal dengan anak tidak jarang memberikan tantangan hidup yang baru bagi janda lansia. Sebagai upaya mengatasinya, janda lansia dituntut untuk tetap mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidupnya dan memenuhi setiap kebutuhannya. Seorang janda lansia yang tinggal dengan anak harus mampu mengatasi tantangan hidupnya di rumah anak dan tetap melakukan tuntutan adat Batak Toba sehingga dipandang sebagai seorang Batak Toba yang mencapai tujuan hidupnya. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk melihat gambaran psychological well-being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak.

  B. PERUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah psychological well-

  

being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak dengan

  menggunakan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh Ryff (1989) yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

  well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak melalui

  gambaran dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan personal pada janda lansia tersebut.

  D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan terutama yang berkaitan dengan

  

psychological well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan

anak .

2. Manfaat Praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi janda lansia dimana seorang janda lansia semakin mengenali dirinya, dan menerima keadaannya, serta melalui penelitian ini dapat memiliki acuan dalam mengatasi setiap tantangan yang dialaminya terutama setelah tinggal dengan keluarga anak.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bab I Pendahuluan

  Bab I Pendahuluan berisi uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

  2. Bab II Tinjauan Pustaka

  Bab II Tinjauan Pustaka berisi tinjauan teori-teori penunjang penelitian ini meliputi teori psychological well being, suku bangsa Batak Toba, janda lansia, dan dinamika psychological well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak, serta diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

  3. Bab III Metode Penelitian

  Bab III Metode Penelitian berisi metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu penelitian kualitatif fenomenologis, responden, prosedur pengambilan responden, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

  4. Bab IV Hasil Analisis Data

  Bab IV Hasil Analisis Data berisi penjabaran hasil analisis data ke dalam bentuk penjelasan yang lebih terperinci dan runtut disertai data pendukung lainnya.

  5. Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

  Bab V terdiri dari kesimpulan, diskusi, dan saran. Kesimpulan berisi jawaban dari pertanyaan penelitian yang dituangkan dalam perumusan masalah penelitian. Diskusi membahas kesesuaian antara paradigma penelitian dengan data penelitian, dan atau ketidaksesuaian antara paradigma penelitian dengan data penelitian, dan atau ketidaksesuaian data dengan teori-teori dan penelitian- penelitian yang dipaparkan di bab II. Data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori dan penelitian-penelitian yang sudah ada, dapat dijelaskan dengan menggunakan teori lain atau logika peneliti. Saran meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian lanjutan.