Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING YANG POSITIF PADA JANDA LANSIA SUKU BATAK TOBA YANG TINGGAL

DENGAN “ANAK” (ANAK LAKI-LAKI)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh

ANGGUN RS SITANGGANG

101301075

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2013/2014


(2)

Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)

Anggun RS Sitanggang dan Eka Ervika

ABSTRAK

Seorang janda lansia suku Batak Toba dituntut untuk melakukan tugas perkembangannya,living arrangement yang diikat oleh adat Batak Toba yaitu tinggal dengan anak (anak laki-laki). Janda lansia akan diperhadapkan dengan tempat tinggal baru dan keluarga anak yaitu anak, parumaen (menantu perempuan), sertapahompu (cucu).Tinggal dengan anak menjadi suatu tantangan bagi janda lansia dimana dirinya harus tetap mampu melakukan realisasi diri. Kemampuan merealisasikan diri ini akan menunjukkan psychological well-beingpada individu tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orangyang diperoleh melalui konstruk operasional (operational construct sampling). Penelitian dilakukan di kelurahan Parongil, kabupaten Dairi, Sumatera Utara dengan metode pengumpulan data yaitu wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan psychological well-being pada kedua responden setelah tinggal dengananak. Pada kedua respondenditemukan perbedaan pada dimensi pertumbuhan personal. Selain itu, janda lansia jugadapat mencapai tujuan hidup dalam Batak Toba yaituhasangapon.


(3)

Positive Psychological Well-Being of Tobanese Older Widow who lives with her Adult Son

Anggun RS Sitanggang and Eka Ervika

ABSTRAK

A Tobanese Older Widow is asked for doing her development task, living arrangement which tied with Tobanese tradition that is living with her adult son. After living with her adult son, a Tobanese older widow has to deal with her adult son’s house and living with her adult son, her daughter in law, and her grandchildren. Living with her adult son becomes a new challenge for the Tobanese older widow. She has to be able to do the self-realization. Her capability of self-realization will shows her psychological well-being.

This study aims to describe how psychological well-being of the Tobanese older widow who lives with her adult son. This study uses a phenomenon qualitative method and by 2 subjects. The procedure of selecting subjects in this research is based on operational construct sampling. This study located in kelurahan Parongil, kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Meanwhile, the data collection method used is depth interview.

This study’s result shows that subjects’s psychological well-being is getting better after living with their adult son. This study also shows a difference between both subject in personal growth dimension. Not only that, but also Tobanese Older Widows are able to reach Tobanese’s goal of life, Hasangapon.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi berkat, kekuatan, dan kasih-Nya yang melimpah dalam penyelesaian skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah psychological well-being yang positif pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak (anak laki-laki). Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU, 2. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing penelitian ini, 3. Pak Ari Widiyanta, M.Si., psikolog dan Ibu Debby Anggraini Daulay,

M.Psi., psikolog selaku dosen penguji dalam penelitian ini,

4. Ibu Arliza Juairiani Lubis, M.Si., psikolog selaku dosen pembimbing akademik selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU,

5. Kedua responden yang telah bersedia membantu dan menjadi responden dalam penelitian ini. Semoga semua harapannya dikabulkan oleh Tuhan, 6. Kedua orang tua, khususnya Mama Tiasa Nainggolan (Lo Quek Lann) yang

selalu memberi kasih sayang, perhatian, semangat, dukungan materi, serta doa yang tiada henti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga selalu diberkati oleh Tuhan,

7. Keluarga besar Pinopatar Nainggolan yang telah membantu baik secara moril maupun materi, memberi dukungan, dan doa,

8. Andre Leonard Sembiring Depari yang telah sabar dan setia mendampingi selama ini, selalu berdoa, menyemangati, dan memberi perhatian terkhusus selama mengerjakan skripsi ini,


(5)

9. Gereja Penuai Indonesia (Indonesia Harvest Church) yang menjadi keluarga dan mendukung secara spiritual selama ini, terkhusus departemen Pastoral dan youth usher ministry,

10.Cell Group USU sebagai keluarga yang mendoakan, menguatkan, dan membantu supaya kembali bersemangat selama mengerjakan skripsi ini khususnya Join, Angela, Eka, Mia, Renita, Intan, dan Naomi.

11.Student Usher Ministry yaitu adikku Bazi, Rani, Nona, Jenny, Putri, Elisa, dan Galih yang memberi semangat, doa, serta mengerti keadaanku selama mengerjakan skripsi ini,

12.Sahabat terbaikku, Floria Cristin yang selalu mendukung dan menyemangati walaupun jarak berjauhan tapi tetap menaruh kasih di setiap waktunya, 13.Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU

khususnya Liliyana, Sri Riski Amanda, Vera Gandhi, Deepraj, dan Riana, Irene, Weillon, Nurul Mukhlisah, Irene, Efriyanti, dan Khairunnisah yang memberi dukungan, kritik, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini,

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan mohon maaf jika ada kesalahan yang ditemukan pada skripsi ini. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati semua pembaca. Terima kasih.

Medan, 16 Juli 2014


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel ……… vi

Daftar Lampiran……….. vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Psychological Well-Being ... 14

1. Definisi Psychological Well-Being ... 14

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 17

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being ... 22

B. Suku Bangsa Batak Toba………. 25

1. Suku Bangsa Batak Toba……… 25

3. Prinsip Keturunan………... 27

4. Hamoraon, Hasangapon, dan Hagabeon………… 28


(7)

1. Janda Lansia………. 29

2. Dekade Kehidupan Lansia……… 30

3. Tugas Perkembangan Lansia………..….…….. 32

4. Perubahan pada Lansia……….….….... 34

D. Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)………...…. 39

E. Paradigma Berpikir ……….. 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

A. Penelitian Kualitatif Fenomenologis ………... 43

B. Responden, Prosedur Pengambilan Responden, dan Lokasi Penelitian... 44

1. Karakteristik Responden Penelitian……… 44

2. Jumlah Responden Penelitian ..……….. 45

3. Prosedur Pengambilan Responden…………....………. 45

4. Lokasi Penelitian ………... 46

C. Metode Pengumpulan Data………... 46

D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 47

1. Alat Perekam (Handphone)...……. 47

2. Pedoman Wawancara... 47

E. Kredibilitas Penelitian... 48

F. Prosedur Penelitian ………. 49


(8)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ………... 50

3. Tahap Pencatatan Data ……….... 52

4. Prosedur Analisa Data ………... 52

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 55

A. HASIL ANALISIS DATA……… ………... 55

1. Responden A (Nenek LM)……….………… 55

a. Identitas Diri……….……… 55

b. Jadwal Pelaksanaan Wawancara……….………… 56

c. Gambaran Responden A………....……. 56

d. Gambaran Dimensi Psychological Well-Being pada Responden A………….…………..……… 60

2. Responden B (Nenek DM)……….………… 79

a. Identitas Diri……….……… 79

b. Jadwal Pelaksanaan Wawancara……….………… 79

c. Gambaran Responden B………....……. 80

d. Gambaran Dimensi Psychological Well-Being pada Responden B………….…………..……… 87

C. Pembahasan………... 107

BAB V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran... 123

A. Kesimpulan……….……... 118

B. Diskusi…...……….……... 125

C. Saran……...……….……... 128


(9)

(10)

Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)

Anggun RS Sitanggang dan Eka Ervika

ABSTRAK

Seorang janda lansia suku Batak Toba dituntut untuk melakukan tugas perkembangannya,living arrangement yang diikat oleh adat Batak Toba yaitu tinggal dengan anak (anak laki-laki). Janda lansia akan diperhadapkan dengan tempat tinggal baru dan keluarga anak yaitu anak, parumaen (menantu perempuan), sertapahompu (cucu).Tinggal dengan anak menjadi suatu tantangan bagi janda lansia dimana dirinya harus tetap mampu melakukan realisasi diri. Kemampuan merealisasikan diri ini akan menunjukkan psychological well-beingpada individu tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orangyang diperoleh melalui konstruk operasional (operational construct sampling). Penelitian dilakukan di kelurahan Parongil, kabupaten Dairi, Sumatera Utara dengan metode pengumpulan data yaitu wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan psychological well-being pada kedua responden setelah tinggal dengananak. Pada kedua respondenditemukan perbedaan pada dimensi pertumbuhan personal. Selain itu, janda lansia jugadapat mencapai tujuan hidup dalam Batak Toba yaituhasangapon.


(11)

Positive Psychological Well-Being of Tobanese Older Widow who lives with her Adult Son

Anggun RS Sitanggang and Eka Ervika

ABSTRAK

A Tobanese Older Widow is asked for doing her development task, living arrangement which tied with Tobanese tradition that is living with her adult son. After living with her adult son, a Tobanese older widow has to deal with her adult son’s house and living with her adult son, her daughter in law, and her grandchildren. Living with her adult son becomes a new challenge for the Tobanese older widow. She has to be able to do the self-realization. Her capability of self-realization will shows her psychological well-being.

This study aims to describe how psychological well-being of the Tobanese older widow who lives with her adult son. This study uses a phenomenon qualitative method and by 2 subjects. The procedure of selecting subjects in this research is based on operational construct sampling. This study located in kelurahan Parongil, kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Meanwhile, the data collection method used is depth interview.

This study’s result shows that subjects’s psychological well-being is getting better after living with their adult son. This study also shows a difference between both subject in personal growth dimension. Not only that, but also Tobanese Older Widows are able to reach Tobanese’s goal of life, Hasangapon.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini, populasi manusia lanjut usia (selanjutnya disebut “lansia”) diprediksikan akan semakin meningkat. Berdasarkan data statistik tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia sekitar 18 juta jiwa dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat menjadi 80 juta jiwa (Menkokesra). Data statistik tersebut menunjukkan bahwa beberapa tahun ke depan akan terjadi peledakan jumlah lansia di Indonesia (BPS, dalam Sumarno 2012).

Craig (1996) membagi masa lansia ke dalam empat dekade kehidupan yaitu young-old (60-69 tahun), middle- old (70-79 tahun), old- old (80-89 tahun), dan very old-old (90-99). Masa lansia pada umumnya ditandai dengan terjadinya penurunan fungsi diri secara fisik, kognitif, serta psikososial. Selain itu, stressor pada masa lansia juga akan bertambah sehingga membuat setiap tindakannya semakin berisiko. Oleh karena itu, lansia dituntut untuk bertindak dengan lebih selektif. Kondisi ini memunculkan pandangan pada lansia bahwa mereka adalah individu yang lemah dan tidak berdaya. Pensiun pekerjaan dan kematian pasangan hidup memperburuk keadaan seorang lansia (Papalia, 2007).

Kematian pasangan menjadi karakteristik utama dalam hubungan keluarga pada masa lansia. Kematian pasangan pada umumnya menimbulkan kedukaan mendalam bagi pasangan yang ditinggalkan. Banyak lansia membutuhkan waktu yang panjang dalam menyesuaikan diri atas peran barunya baik sebagai janda


(13)

maupun duda (Lemme, 1995). Kematian pasangan menjadi suatu peristiwa yang paling traumatik bagi seorang wanita (Matlin, 2008). Harapan hidup wanita yang lebih tinggi menyebabkan kebanyakan wanita dapat menjalani masa lansianya dan berkesempatan menjadi seorang janda (Papalia, 2007). Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang wanita dengan status janda memiliki well-being yang rendah hingga 8 tahun setelah kematian suaminya (Matlin, 2008).

Tugas perkembangan akan membantu seorang janda lansia mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya dan tindakan yang harus dilakukannya. Pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan (selanjutnya disebut living arrangement) adalah salah satu tugas perkembangan seorang lansia. Living arrangement berfungsi untuk mengatur kembali kehidupan lansia dan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan seorang lansia yaitu dengan cara menentukan bersama siapa akan melanjutkan kehidupannya (Hurlock, 2000).

Seorang janda lansia akan diperhadapkan dengan tiga pilihan living arrangement antara lain: living alone dimana lansia memutuskan untuk tinggal sendiri tanpa orang lain di rumahnya. Living with adult children terjadi ketika janda lansia memutuskan untuk tinggal bersama anak yang sudah dewasa. Living in institutions dimana lansia tinggal di sebuah institusi yang bukan keluarga dan difasilitasi dengan rumah perawatan. Bagi lansia yang sudah menjadi janda atau duda pada umumnya living alone dan living with adult children menjadi pilihan yang paling umum (Papalia, 2007).

Penentuan living arrangement tidak terlepas dari pengaruh budaya seorang lansia dalam hal ini janda lansia (Papalia, 2007). Kebudayaan yang berlaku akan


(14)

mengikat dan mengatur seseorang dalam bermasyarakat (Koentjaraningrat, 2002). Masyarakat Batak Toba adalah subsuku bangsa Batak yang memiliki nilai budaya yang turun-temurun dan menjadi aturan dalam bermasyarakat (Rajamarpodang, 1992).

Prinsip keturunan patrilineal menjadi salah satu aturan yang diberlakukan masyarakat Batak Toba (Rajamarpodang, 1992). Prinsip keturunan ini membuat anak laki-laki (selanjutnya disebut “anak”) mendominasi semua aspek kehidupan seorang Batak Toba (Vergouwen, 1964). Wanita atau ibu Batak Toba umumnya menganggap anak sebagai sosok yang harus bertanggung jawab dalam keluarga layaknya seorang suami yang bertanggung jawab pada istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992). Selain itu, kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak terlepas dari nilai lainnya seperti tiga tujuan hidup yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon (Harahap dan Siahaan, 1987).

Adat-istiadat masyarakat Batak Toba ini melahirkan suatu adat dimana seorang orang tua lansia harus tinggal dengan anak. Keberadaan adat ini akan mendorong janda lansia untuk tinggal dengan anak. Setelah tinggal dengan anak diharapkan setiap kebutuhan janda lansia dapat terpenuhi dan janda lansia tersebut dapat mengetahui harapan masyarakat untuk dirinya sebagai seorang lansia (Hurlock, 2000). Selain itu, diharapkan juga agar janda lansia dapat mencapai tujuan hidupnya sebagai seorang Batak Toba sebab bagi masyarakat Batak Toba diyakini bahwa orang tua akan lebih terhormat apabila menjalani masa tuanya dan meninggal di kediaman anak. Hal ini diungkapkan oleh dua tokoh adat Batak


(15)

Toba di Kab. Dairi yaitu Sipayung (58 tahun) dan Sianturi (73 tahun) sebagai berikut:

“Itu dari sisi tanggung jawabnya tadi, kalau lansia itu harus tinggal di keluarga anak-nya (anak laki-laki) ”.

(Sipayung, Komunikasi Personal, 31 Oktober 2013) “Bagaimanapun keadaan anak laki-laki, lebih tinggi kedudukannya daripada anak laki-laki. makanya anak laki-laki disebut raja. Orang tua akan menjadi tidak berwibawa ketika tinggal bersama marga orang lain (anak perempuannya yang sudah menikah). Kalo dalam batak, ga mungkin marga lain menanggungjawabi orang tuanya marga lain.”

(Sipayung, Komunikasi Personal, 31 Oktober 2013) “Sebagai orang tuanya itu, anak- nya (anak laki-laki) harus bertanggung jawab terhadap orang tuanya. Karena orang tuanya juga tidak sanggup lagi mencari nafkah kan, anaknya inilah yang menanggungjawabi apa yang dipentingkan keperluan orang tuanya itu. Orang tua harus ditanggungjawabi orang itu di rumah anak bukan di rumah boru (anak perempuan). Karena boru (anak perempuan) kan sudah di rumah orang lain dia itu ”.

(Sianturi, Komunikasi Personal, 26 Pebruari 2014) Setelah tinggal dengan anak, lingkungan tempat tinggal yang baru serta keluarga anak yang terdiri dari anak, menantu perempuan (selanjutnya disebut “parumaen”), dan cucu (selanjutnya disebut “pahompu”) ternyata menjadi suatu tantangan baru bagi kehidupan seorang janda lansia. Janda lansia dituntut untuk tetap mampu merealisasikan dirinya walaupun berada di lingkungan baru yaitu rumah anak. Realisasi diri adalah kemampuan individu untuk tetap mengalami pertumbuhan dengan mampu mengatasi setiap tantangan hidupnya dan mampu memenuhi setiap kebutuhannya (Ryff & Singer, 2008). Kemampuan untuk merealisasikan diri merupakan poin penting yang menentukan psychological well-being (Ryff & Singer, 2008).


(16)

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Psychological well-being yang baik dapat dapat mengarahkan tindakan seseorang dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989). Setelah tinggal di rumah anak,berbagai tantangan baru akan dihadapi oleh janda lansia yang mana dapat mempengaruhi kemampuan realisasi diri janda lansia tersebut. Hal ini dapat membuat seorang janda lansia kehilangan atau mencapai psychological well-being di hidupnya.

Ketergantungan terhadap keluarga anak menjadi salah satu tantangan yang sering terjadi pada janda lansia ketika tinggal dengan keluarga anak (Hurlock, 2000). Seorang janda lansia cenderung akan ketergantungan pada keluarga anak baik secara ekonomi maupun kebutuhan lainnya sehingga harus disediakan oleh keluarga anak (Degenova, 2008). Sementara keluarga anak memiliki tanggung jawab lainnya seperti merawat anak-anak dan mencukupi kebutuhan keluarga sehingga terkadang keluarga anak tidak dapat memenuhi seluruh permintaan janda lansia. Sebagai akibatnya, janda lansia dapat menjadi marah dan kecewa kepada keluarga anak. Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

“Kalau terlambat dikasih aku makan, aku langsung marah. Misalnya baru datang anakku Pak Rano ini dari ladang, Mamak sudah makan katanyalah itu. Belum makan aku, kerja kalian itulah terus kalian kerjakan. Ku bilanglah seperti itu pura-pura ku besarkan suaraku.”

(komunikasi personal, 31 Mei 2014) Selain ketergantungan, janda lansia juga terkadang tidak mampu melepas peran otoriternya terhadap anak sebagai anak kandungnya (Hurlock, 2000). Janda


(17)

lansia merasa sulit menerima perubahan kendali atas anaknya yang telah menikah sehingga selalu memperlakukan anak seperti ketika anak masih muda (Degenova, 2008). Hal ini kerap membuat hubungan antara janda lansia dengan parumaen diwarnai dengan ketidakharmonisan (Degenova, 2008). Tidak jarang dijumpai dimana janda lansia dan parumaen kurang saling memahami satu sama lain. Janda lansia cenderung menganggap parumaen tidak mengerti keadaannya dan senang bersungut-sungut. Hal ini diungkapkan oleh janda lansia berikut ini:

“Masalah dengan parumaen, tapi hanya sebentar. Orang zaman sekarang susah saling mengerti. Setelah saling menjelaskan dan mengerti, ooh kata seorang ooh kata yang lain….”

(komunikasi personal, 25 April 2014) Tinggal dengan keluarga anak juga tidak jarang membuat janda lansia mengkhawatirkan keadaan keluarga anak. Seorang janda lansia akan merasa terbeban ketika keluarga anak memiliki masalah baik di bidang keuangan, pernikahan, kesehatan, dan masalah lainnya. Melihat keadaan ini kerap terlihat janda lansia ikut membantu setiap kekurangan keluarga anak (Degenova, 2008). Janda lansia akan merasa senang apabila dirinya dapat membantu keluarga anak sebaik bantuan yang diterimanya dari keluarga anak (Marks, 1995; Degenova, 2008). Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

“Andai enggak ku kasih uang itu sakit hatilah anakku ini samaku. Syukurlah sudah senang dia karena ku kasih itu. Karena uang itupun sebenarnya enggak ku pakai-pakai. Di rumah sajanya aku terus. Kenapa enggak ku kasihkan saja itu.”

(komunikasi personal, 4 Juni 2014) Sebagai seorang nenek, janda lansia juga dituntut untuk membantu pahompu mempersiapkan masa depan yang lebih baik (Degenova, 2008). Melalui


(18)

pengalaman hidupnya, seorang janda lansia dapat membagikan hal baik terhadap pahompunya. Sebagai orang tua di tengah-tengah keluarga anak, janda lansia beranggapan bahwa dirinya harus menjadi contoh yang baik bagi keluarga anak terutama pahompu. Janda lansia berupaya untuk memberikan nasihat-nasihat yang dapat membantu pahompu menjadi lebih baik lagi. Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

“Harus baiklah sebagai ompung supaya pahompuku juga baik samaku. Kalau enggak baik aku sama orang tuanya, mana mungkin baik pahompuku ini samaku.”

(komunikasi personal, 5 Juni 2014) Tantangan lain yang akan dihadapi seorang janda lansia adalah pensiun dimana dirinya kehilangan status, peran, dan prestasi yang dicapainya selama ini (Hurlock, 2000). Perubahan drastis terjadi pada status seorang janda lansia dimana awalnya sebagai pekerja yang sibuk dan memiliki banyak aktivitas, sekarang berubah menjadi seorang pengangguran yang tidak menentu (Hurlock, 2000). Seorang janda lansia akan mengalami perubahan tidak hanya dalam tempat tinggal namun juga penurunan dalam status sosial ekonomi seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Pensiun umumnya dapat memperburuk penilaian seorang janda lansia terhadap dirinya (Papalia, 2007). Kondisi ini turut berpengaruh terhadap psychological well-being janda lansia tersebut (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

Keputusan untuk tinggal dengan anak tidak hanya menjadi tantangan baru, tetapi dapat memunculkan perasaan positif bagi janda lansia tersebut. Hubungan


(19)

baik yang terjalin antara janda lansia dengan keluarga anak turut mempengaruhi perasaan janda lansia setelah di rumah anak. Setelah tinggal dengan anak, umumnya janda lansia tidak dibebani oleh tanggung jawab rumah tangga lagi. Kebutuhan janda lansia seperti makanan, pakaian, maupun kebutuhan lainnya umumnya telah disediakan oleh keluarga anak. Selain itu, janda lansia diperlakukan sebagai sosok orang tua yang berhak memberikan berbagai masukan bagi keluarga anak. Hal ini diungkapkan oleh janda lansia sebagai berikut:

“Senanglah. Kaulah dulu enggak mungkin enggak senang. Enggak ku sangka dibeli perlengkapanku seperti itu. Kapan kau beli itu, ku bilanglah. Sudah lama ku beli, Mak katanyalah itu. Makasih banyak ya, Tuhan. Karena Tuhanlah keluargaku ini bisa merawat aku sebaik ini. Iyalah memang. Karena kalau akunya mana bisa lagi ku atur seperti itu. Itu yang ada itulah ku pakai biasanya. Tapi enggak pernah itu beli yang paling murah. Janganlah dulu yang paling mahal, tapi yang lumayan dibelinya. Semua yang dibelinya lumayan harganya.”

(RB.W3. 020614/b.1874-1883/h.29) Setelah beberapa lama tinggal dengan anak, janda lansia akan cenderung merasa lebih senang dan keadaannya semakin membaik. Rasa nyaman dan betah cenderung akan mewarnai hari-hari janda lansia setelah tinggal dengan anak. Janda lansia beranggapan bahwa dirinya berumur panjang setelah tinggal dengan keluarga anak sehingga enggan berpindah ke tempat lain. Hal ini terlihat melalui pernyataan kedua responden penelitian ini sebagai berikut:

“Ah, enggak mau aku. Berat pindah-pindah ini, lagian lebih enaknya di sini.”

(komunikasi personal, 25 April 2014) “Tambah panjang umurku. Iya, makin panjang umur aku. Senang perasaanku, enggak ada beban setelah tinggal di sini.”


(20)

Selain itu, tuntutan adat yang mengharuskan seorang orang tua lansia tinggal di rumah anak memberikan kenyamanan dan pandangan bahwa dirinya telah berhasil sebagai seorang Batak Toba. Seorang janda lansia menganggap dirinya sebagai tempat bertanya dan penasihat di tengah-tengah keluarga anak. Hal ini menunjukkan bahwa janda lansia tersebut telah mencapai tujuan hidup Batak Toba yaitu hasangapon setelah tinggal di rumah anak. Seseorang yang telah mencapai hasangapon adalah seseorang yang dapat memberi kebijakan, arif, dan menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat (Harahap dan Siahaan, 1987). Hal ini diungkapkan oleh seorang janda lansia sebagai berikut:

“.. Kalau kita lakukan semua adat Batak itu, benar-benarlah kita jadi orang berhasil.”

(komunikasi personal, 31 Mei 2014) Setiap pengalaman baik pengalaman positif maupun negatif akan memberi penilaian tersendiri bagi seorang janda lansia. Sama halnya dengan janda lansia yang tinggal dengan anak, setiap janda lansia menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya di rumah anak dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan cara dan kemampuan ini akan turut berperan dalam menentukan apakah janda lansia tersebut merasa senang atau tidak di rumah anak. Setiap penilaian akan pengalaman hidupnya akan mempengaruhi psychological well-being janda lansia tersebut (Ryff dan Singer, 1996).

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri. Dorongan ini dapat menyebabkan seseorang pasrah akan keadaan sehingga memiliki psychological well-beingnya rendah. Di lain sisi, psychological well-being juga dapat membuat


(21)

seseorang berkeinginan untuk memperbaiki kehidupannya sehingga dikatakan bahwa individu itu memiliki psychological well-being yang tinggi (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

Ryff (1989) mengungkapkan bahwa individu dengan psychological well-being yang tinggi akan mampu menerima dirinya sendiri, menjalin hubungan positif dengan orang lain, berotonomi, mampu menguasai lingkungan, bertujuan hidup, dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu. Latar belakang usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, life event, dan keagamaan yang berbeda akan mempengaruhi psychological well-being janda lansia tersebut. Keputusan seorang janda lansia suku Batak Toba untuk tinggal dengan anak pada dasarnya menjadi satu upaya dimana janda lansia diperhadapkan dengan tugas perkembangannya yaitu living arrangement namun terikat dengan adat Batak Toba yaitu keharusan untuk tinggal dengan anak. Keadaan inilah yang akan mempengaruhi psychological well-being seorang janda lansia yang tinggal dengan anak.

Berdasarkan pemaparan peneliti diatas, seorang janda lansia yang tinggal dengan anak akan diperhadapkan dengan lingkungan baru yaitu rumah anak dan keluarga anak. Tinggal dengan anak tidak jarang memberikan tantangan hidup yang baru bagi janda lansia. Sebagai upaya mengatasinya, janda lansia dituntut untuk tetap mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidupnya dan memenuhi setiap kebutuhannya. Seorang janda lansia yang tinggal dengan anak harus mampu mengatasi tantangan hidupnya di rumah anak dan tetap melakukan tuntutan adat Batak Toba sehingga dipandang sebagai seorang


(22)

Batak Toba yang mencapai tujuan hidupnya. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk melihat gambaran psychological well-being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah psychological well-being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak dengan menggunakan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh Ryff (1989) yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak melalui gambaran dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan personal pada janda lansia tersebut.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan terutama yang berkaitan dengan


(23)

psychological well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi janda lansia dimana seorang janda lansia semakin mengenali dirinya, dan menerima keadaannya, serta melalui penelitian ini dapat memiliki acuan dalam mengatasi setiap tantangan yang dialaminya terutama setelah tinggal dengan keluarga anak.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I Pendahuluan

Bab I Pendahuluan berisi uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

2. Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka berisi tinjauan teori-teori penunjang penelitian ini meliputi teori psychological well being, suku bangsa Batak Toba, janda lansia, dan dinamika psychological well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak, serta diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian. 3. Bab III Metode Penelitian

Bab III Metode Penelitian berisi metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu penelitian kualitatif fenomenologis, responden, prosedur


(24)

pengambilan responden, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

4. Bab IV Hasil Analisis Data

Bab IV Hasil Analisis Data berisi penjabaran hasil analisis data ke dalam bentuk penjelasan yang lebih terperinci dan runtut disertai data pendukung lainnya.

5. Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab V terdiri dari kesimpulan, diskusi, dan saran. Kesimpulan berisi jawaban dari pertanyaan penelitian yang dituangkan dalam perumusan masalah penelitian. Diskusi membahas kesesuaian antara paradigma penelitian dengan data penelitian, dan atau ketidaksesuaian antara paradigma penelitian dengan data penelitian, dan atau ketidaksesuaian data dengan teori-teori dan penelitian-penelitian yang dipaparkan di bab II. Data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori dan penelitian-penelitian yang sudah ada, dapat dijelaskan dengan menggunakan teori lain atau logika peneliti. Saran meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian lanjutan.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being

Konsep well-being pada awalnya berasal dari seorang filsuf Yunani Aristippus of Cyrene (435 – 356 B.C.) yang mengungkapkan sebuah doktrin yaitu hedonism/ hedonic well-being yang berarti kebaikan mendasar adalah kesenangan dan kenyamanan. Hedonic well-being didefinisikan sebagai efek positif yang tinggi, efek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup yang tinggi. Konsep subjective well-being hedonic bukanlah satu-satunya cara untuk melihat well-being pada diri seseorang (Boslovic & Jengic, 2008).

Perspektif lain muncul dari Aristoteles (384 -322 B.C) yaitu konsep eudemonia/ eudaimonic well-being yang artinya segala tindakan yang baik dan berguna adalah semua yang menciptakan kesejahteraan ataupun kebahagiaan pada diri seseorang (Boslovic & Jengic, 2008). Waterman (1993, dalam Boslovic & Jengic, 2008) mengungkapkan bahwa well-being tidak hanya merupakan hasil akhir dari sesuatu yang dialami oleh individu, melainkan sebuah proses pemenuhan atau realisasi diri seseorang dan pencapaian potensi diri individu tersebut. Pada tahun 1984, Waterman (Ryff, 1989) juga mengungkapkan bahwa eudemonia adalah perasaan yang mengikuti suatu perilaku dan mengarahkan potensi seseorang dan konsisten terhadap potensi tersebut.


(26)

Konsep psychological well-being oleh Ryff (1989) merujuk kepada konsep eudemonia dan sebagai pembanding konsep hedonistic of subjective well-being (Boslovic & Jengic, 2008). Psychological well-being pada dasarnya berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Ryff, 1989). Psychological well-being berupa perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989).

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being dan dimensi-dimensinya dengan mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization dari Maslow (1968), fully functioning person dari Roger (1961), individuation dari Jung (1933), dan maturity dari Allport (1961). Ryff (1989) juga merujuk pada teori-teori perkembangan kehidupan manusia seperti psychosocial stage model dari Erikson (1959), kecenderungan dasar dalam memenuhi hidup dari Buhler (1935), deskripsi perubahan kepribadian pada masa dewasa dan lansia dari Neugarten (1968), serta kriteria positif kesehatan mental dari Jahoda (1958). Integrasi dari teori kesehatan mental, klinis, dan life-span development tersebut merupakan gambaran dari psychological well-being oleh Ryff.

Ryff dan Singer (2006) menggambarkan psychological well-being dalam dua poin yaitu pertama, terdiri dari pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan manusia yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh konteks dimana seseorang


(27)

itu hidup sehingga mampu untuk merealisasikan dirinya secara tepat. Kedua, sangat berpengaruh terhadap kesehatan dengan memperbaiki regulasi sistem fisiologis secara efektif. Psychological well-being pada dasarnya merupakan suatu kemampuan untuk merealisasikan diri dan mengoptimalkan kehidupannya (Ryff, 1989). Realisasi diri adalah kemampuan individu untuk tetap bertumbuh yaitu dengan mampu mengatasi setiap tantangan hidupnya dan memenuhi setiap kebutuhannya (Ryff & Singer, 2008).

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri. Dorongan ini dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki psychological well-beingnya rendah atau berupaya memperbaiki kehidupannya sehingga psychological well-beingnya meningkat (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995). Ryff (1989) mengungkapkan bahwa individu dengan psychological well-being yang tinggi akan mampu menerima dirinya sendiri, menjalin hubungan positif dengan orang lain, berotonomi, mampu menguasai lingkungan, bertujuan hidup, dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan psychological well-being adalah penilaian subjektif seseorang atas hidupnya dimana dapat mengarahkan individu tersebut untuk mampu menerima dirinya secara utuh, menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, menentukan arah hidupnya tanpa bergantung pada orang lain, mengelola lingkungannya yang sesuai dengan


(28)

kebutuhannya, bertujuan hidup yang terarah, dan mengalami pertumbuhan dalam dirinya.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Setiap dimensi psychological well-being ini memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya dan sehingga dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Menurut Ryff (1989), Ryff & Singer (2008), dan Ryff & Keyes (1995) ada enam dimensi psychological well-being yaitu:

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Seseorang yang baik dalam dimensi penerimaan diri akan memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif. Di lain pihak, seseorang yang kurang baik


(29)

dalam dimensi penerimaan diri akan merasa tidak puas akan dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes, 1995).

b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others)

Menurut Jahoda, kemampuan untuk mencintai merupakan komponen utama dari kesehatan mental. Maslow berpendapat bahwa seorang self-ectualizer akan memiliki perasaan empati yang kuat terhadap setiap makhluk dan memiliki kapasitas cinta yang besar, persahabatan yang karib, dan pengenalan yang baik akan orang lain. Kematangan seseorang akan terlihat dari kehangatan yang dimilikinya dalam berhubungan dengan orang lain seperti yang diungkapkan Allport. Erikson mengatakan bahwa pada masa dewasa seseorang dituntut untuk memiliki kesatuan yang dekat dengan orang lain atau memiliki intimacy dan mampu mengarahkan orang lain (generativity) (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Seseorang yang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain. Di lain sisi, seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain,


(30)

terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk terikat dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995).

c. Otonomi (Autonomy)

Maslow mengambarkan seorang self-actualizer mengurus kebutuhannya sendiri dan mampu bertahan terhadap tekanan. Roger mengungkapkan bahwa seseorang yang mencapai optimal functioning akan menggunakan internal locus of control dalam bertindak, tidak memperhatikan penerimaan orang lain, tetapi mengevaluasi seseorang dengan standar personal. Menurut Jung, karakteristik seseorang yang individuation akan bebas dari setiap aturan, tidak bergantung pada keyakinan kolektif, ketakutan, dan hukum massa. Erikson, Neugarten, dan Jung mencatat pentingnya penentuan keputusan berdasarkan batin dan memperoleh kebebasan atas norma sepanjang hidupnya (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan seseorang untuk menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya berdasarkan standar personal (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar personal. Sebaliknya, individu yang buruk dalam dimensi otonomi berfokus pada harapan dan evaluasi orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan konformitas terhadap tekanan sosial (Ryff dan Keyes, 1995).


(31)

d. Penguasaan Lingkungan (Environment Mastery)

Jahoda menyatakan bahwa salah satu ciri kesehatan mental adalah mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Erikson menjelaskan mengenai pentingnya kemampuan untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang komplek, serta kapasitas untuk bertindak dan mengubah dunia sekitar dengan aktivitas fisik dan mental. Allport mengatakan bahwa kemampuan untuk memperluas diri dengan cara mampu berpartisipasi atas orang lain merupakan ciri lain dari maturity (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan akan memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya, menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan dirinya. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam mengelola kesehariannya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).

e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Jahoda mendefinisikan kesehatan mental sebagai pentingnya keyakinan yang menunjukkan adanya suatu tujuan dan kebermaknaan hidup. Allport mengungkapkan bahwa seseorang yang telah mencapai maturity harus memiliki


(32)

tujuan hidup yang jelas. Erikson menyatakan bahwa perubahan tujuan dan target pada diri seseorang akan menggambarkan setiap tahap kehidupan yang berbeda (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Seseorang yang baik dalam dimensi tujuan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas dan hidupnya lebih terarah, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, dan memiliki target yang hendak dicapai dalam kehidupannya. Sementara seseorang yang kurang baik dalam dimensi tujuan hidup memiliki makna hidup yang tidak baik, target yang sedikit, kurang memiliki arahan hidup, tidak memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini berarti (Ryff dan Keyes, 1995).

f. Pertumbuhan Personal (Personal Growth)

Berdasarkan teori self-actualization Maslow dan kesehatan mental Jahoda, kemampuan untuk merealisasikan potensi personal merupakan hal yang yang dimiliki oleh seseorang yang mencapai optimal functioning. Roger juga menggambarkan bahwa individu yang mencapai optimal functioning akan terbuka atas pengalaman baru sehingga dirinya akan berkembang dan mampu mengatasi masalahnya. Erikson, Neuharten, Jung, dan Buhler mengungkapkan adanya pertumbuhan yang berlanjut dan kemamampuan untuk menghadapi tantangan baru di sepanjang rentang hidupnya (Ryff dan Singer, 2006).


(33)

Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam dimensi pertumbuhan personal memiliki perasaan akan perkembangan yang berlanjut, melihat dirinya semakin bertumbuh dan meluas, terbuka atas pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali dirinya dan efektif. Sementara individu yang kurang baik dalam dimensi pertumbuhan personal mengalami stagnasi personal, kurang mengalami perubahan sepanjang waktu, bosan dan kehilangan minat atas hidupnya, dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan perilaku baru (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being a. Usia

Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Secara umum, pertumbuhan personal dan tujuan hidup pria dan wanita akan menurun. Lansia akan selalu mengingat kehidupannya di masa lalu dan tidak memiliki keinginan untuk berkembang di masa yang akan datang (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

Penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tidak terdapat variasi pada usia tertentu sehingga terlihat relatif stabil di usia berapapun.


(34)

Dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seorang lansia akan meningkat (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010). Berkurangnya tantangan psikologis di akhir kehidupan dan kehidupan sosial yang sudah terbatas menjadi pendukung meningkatnya dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan (Ryff & Singer, 1996).

b. Jenis Kelamin

Ryff (1989) mengungkapkan ditemukan perbedaan tingkat psychological well-being pada wanita dan pria terutama pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Perbedaan ini dikarenakan gender stereotype yang telah melekat sejak kecil dalam diri pria sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sedangkan wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, dan memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap perasaan orang lain (Papalia, 2007). Selain itu, wanita juga dianggap memiliki hubungan yang lebih akrab dengan kehidupan sosial daripada pria, sementara pria memiliki pergaulan hanya dengan lingkungan professional mereka. Oleh karena itu, wanita lebih terintegrasi secara sosial dan lebih tinggi dalam hubungan positif dengan orang lain dibandingkan pria (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010). c. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi seperti tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, finansial, dan rekreasi turut mempengaruhi psychological well-being seseorang. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan status sosial ekonomi yang rendah cenderung memiliki psychological well-being yang rendah. Sebaliknya, seseorang dengan status sosial ekonomi tinggi cenderung


(35)

memiliki tujuan hidup, mampu menerima dirinya, mengalami pertumbuhan personal, dan dapat menguasai lingkungannya dengan baik. Keadaan ekonomi yang semakin membaik cenderung akan meningkatkan psychological well-being. Selain itu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi psychological well-being dan kesehatan individu tersebut. Hal ini dikarenakan kehadiran orang lain di sekitar individu dan kebebasan individu dalam bertindak di lingkungan tempat tinggalnya (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

d. Life Event

Pengalaman individu sejak awal kehidupan akan mempengaruhi persepsi yang dimilikinya terhadap suatu keadaan.Sebagai contoh, pada masa lansia akan ditemukan berbagai masalah kesehatan fisik pada wanita lansia. Hal ini akan mengarahkan seorang wanita lansia untuk membandingkan dirinya dengan wanita lansia lainnya terutama wanita lansia yang sehat. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa setelah membandingkan dirinya dengan wanita lansia lainnya, penilaian wanita lansia terhadap dirinya akan berubah. Penilaian ini dapat berpengaruh terhadap well-being wanita lansia tersebut selama hidupnya (Ryff & Singer, 1996).

Setiap pengalaman akan bervariasi pada setiap orang baik mengenai lokasi terjadinya, tantangan, maupun upaya mengatasi tantangan tersebut. Setiap pengalaman dan kesempatan yang ada membuat setiap individu memberikan interpretasi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, setiap pengalaman yang dialami oleh seorang individu turut berperan dalam menentukan apakah individu tersebut


(36)

kehilangan atau memperoleh psychological well-being dalam hidupnya (Ryff & Singer, 1996).

e. Keagamaan

Aktivitas keagamaan seperti berdoa, membaca kitab suci, dan kehidupan rohani yang berkualitas sangat berkaitan dengan well-being seseorang terutama wanita lansia (Koenig, Smiley, dan Gonzales, 1988; Santrock, 2009). Aktivitas keagamaan menyediakan kebutuhan psikologis yang penting bagi seorang lansia, membantu lansia dalam menghadapi kematiannya, menemukan makna hidupnya, dan menerima setiap penurunan yang terjadi di usia tuanya (Daaleman, Perera, dan Studenski, 2004; Santrock, 2009). Suatu penelitian menunjukkan bahwa meskipun kehadiran seorang lansia di gereja berkurang namun perasaan religiusitas dan kekuatan atau kenyamanan yang diterima dari agama akan tetap stabil bahkan meningkat (Idler, Kasl, dan Hays, 2001; Santrock, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa keagamaan berperan penting dalam membantu seorang lansia terutama janda lansia menjalani kehidupannya.

B. SUKU BANGSA BATAK TOBA 2. Suku Bangsa Batak Toba

Menurut Koentjaraningrat (2002), budaya adalah daya budi berupa cipta, karsa, serta rasa. Koentjaraningrat (2002) mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Selain itu, dikatakan juga bahwa kebudayaan merupakan perwujudan keseluruhan


(37)

perpaduan pikiran atau logika, tata cara perilaku atau etika, perasaan atau estetika, dan keterampilan atau praktika dalam rangka perkembangan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan (Rajamarpodang, 1992). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan nilai, karya, ataupun tindakan yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat, bersifat mengikat, dan mengatur kehidupan dalam bermasyarakat.

Seorang ahli Antrologi, J.J. Honigmann mengungkapkan tiga wujud kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifact. Wujud pertama yaitu ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan dalam suatu kebudayaan akan terlihat dalam adat-istiadat yang diberlakukan. Wujud kedua yaitu activities terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan orang lain dan berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga yaitu artifact berupa karya konkret dari semua masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan ini akan mengatur dan mengarahkan tindakan dan karya manusia dalam bermasyarakat (Koentjaraningrat, 2002).

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu subsuku bangsa Batak yang memiliki nilai budaya yang berasal dari turun-temurun dan menjadi aturan dalam kehidupan bermasyarakat (Rajamarpodang, 1992). Dalihan na tolu, sistem keturunan patrilineal, dan tiga tujuan hidup yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon merupakan salah satu contoh nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba selalu diharapkan untuk bisa menjalani hidupnya sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku (Sianipar, 2013). Adat-istiadat yang diberlakukan ini memberi arahan kepada masyarakat mengenai


(38)

apa yang dianggap baik atau tidak baik dalam kehidupannya (Koentjaraningrat, 2002).

3. Prinsip Keturunan

Prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal yaitu garis turunan etnis adalah dari laki-laki (Rajamarpodang, 1992). Berdasarkan prinsip patrilineal, anak laki-laki memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kelanjutan generasi (Rajamarpodang, 1992). Bagi masyarakat Batak Toba, anak laki-laki dianggap sangat penting yaitu sebagai penerus keturunan (marga ayah), pengganti kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, serta pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba (Pardosi, 1989). Secara khusus bagi seorang wanita atau ibu, anak laki-laki dianggap sebagai penanggung jawab dalam keluarga sebagaimana tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang suami terhadap istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992). Keberadaan anak laki-laki dalam masyarakat Batak Toba menjadi sangat penting dan sangat diharapkan.

Keluarga Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan dianggap Na Punu (yang punah) karena tidak ada atau dapat melanjutkan silsilah ayah dan tidak akan pernah lagi diingat atau diperhitungkan dalam silsilah. Na Punu artinya generasi seseorang sudah punah atau tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Batak Toba sebab tidak mempunyai anak laki-laki sebagai penyambung generasi berikutnya. Pandangan akan berharganya anak laki laki-laki memunculkan perasaan hampa akan hidupnya pada keluarga Batak Toba yang tidak mempunyai


(39)

anak laki-laki. Selain itu, masyarakat Batak Toba yang pada dasarnya adalah monogami akan melakukan poligami sebagai upaya untuk memperoleh anak laki-laki (Rajamarpodang, 1992).

5. Hamoraon, Hasangapon, dan Hagabeon

Masyarakat Batak Toba memiliki tiga tujuan hidup yang hendak dicapai yaitu:

a. Hagabeon

Masyarakat Batak Toba mengartikan hagabeon sebagai keluarga yang besar, menjadi panutan masyarakat, dan panjang umur. Sumber daya manusia menjadi sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang banyak (Harahap dan Siahaan, 1987).

b. Hamoraon

Masyarakat Batak mengartikan hamoraon bukan hanya sekadar harta kekayaan saja, tetapi mengenai jumlah keturunan terutama anak laki-laki (Sihombing, 1986). Seseorang yang memiliki hamoraon artinya telah mapan dalam karakter ekonominya. Salah satu ungkapan masyarakat Batak Toba yaitu “anakkonki do hamoraon di au” menunjukkan bahwa anak laki-laki merupakan kekayaan bagi seorang Batak Toba (Harahap dan Siahaan, 1987).

c. Hasangapon

Hasangapon merupakan tujuan tertinggi bagi kehidupan masyarakat Batak Toba. Hasangapon adalah martabat dan kehormatan. Seseorang yang mencapai


(40)

hasangapon adalah seseorang yang dapat memberi kebijakan, memiliki kearifan, dan teladan bagi masyarakat. Hasangapon merupakan hasil yang diperoleh setelah mencapai hagabeon dan hamoraon (Harahap dan Siahaan, 1987).

C. JANDA LANSIA 1. Janda Lansia

Kehilangan anggota keluarga, sahabat, pasangan merupakan suatu hal yang umum terjadi pada masa lansia. Kematian pasangan hidup menimbulkan dukacita mendalam pada pasangan yang ditinggalkan. Kematian pasangan hidup juga melahirkan satu status baru bagi seorang lansia dimana dirinya disebut sebagai duda atau janda (Craig, 1996).

Menjadi janda atau duda menjadi suatu tantangan baru dimana lansia harus mengatasi dukacita yang dialaminya sepeninggalan pasangan. Selain itu, seorang janda ataupun duda lansia dituntut untuk membangun kehidupan baru sebagai orang tua tunggal dan kakek atau nenek tunggal (Lemme, 1995). Kematian pasangan hidup menyebabkan hilangnya peran dan identitas lansia sebagai seorang pasangan yang telah terjalin lama, intim, dan memiliki peran personal bagi mereka (Berk, 2007).

Kematian pasangan merupakan suatu peristiwa yang paling traumatik bagi seorang wanita (Matlin, 2008). Penyesuaian terhadap kematian pasangan ini akan sangat dipengaruhi oleh proses kematian pasangan. Ketika pasangan meninggal terjadi secara tiba-tiba dan tanpa diperkirakan, maka pasangan yang ditinggalkan akan mengalami perubahan hidup yang lebih dramatis. Jika sebelum kematiannya


(41)

pasangan telah mengalami penyakit yang parah, maka pasangan yang ditinggalkan telah menyiapkan dirinya sebelum pasangan meninggal dunia. Penyesuaian atas kematian pasangan menjadi sangat sulit dilakukan dimana seorang janda lansia harus menyesuaikan diri kembali pada kehidupannya yang disertai perasaan dukacita bercampur kelegaan (Brubaker, 1985; Lemme, 1995).

Kesepian menjadi masalah terbesar yang dialami oleh lansia pada umumnya sepeninggalan pasangan mereka (Berk, 2007). Upaya mengatasi kesepian ini tergantung pada usia, dukungan sosial, dan kepribadian pada lansia tersebut. Dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, teman, rekan kerja, dan kegiatan menyenangkan lainnya menjadi faktor yang sangat dibutuhkan dalam mengatasi masalah setelah kematian pasangan (Lemme, 1995).

Janda lansia berupaya untuk memperoleh dukungan dari keluarga, teman, rekan kerja, maupun melakukan hobinya (Lopata, 1979; Craig, 1996). Pada umumnya, janda lansia lebih banyak mendapat dukungan dan bantuan dari anaknya (Spitze & Logan, 1989, 1990; Craig, 1996). Anak sangat berperan dalam menyediakan dukungan bagi janda lansia.

2. Dekade Kehidupan Lansia

Craig (1996) membagi usia lansia ke dalam 4 dekade kehidupan yaitu: a. Young Old (60-90 tahun)

Kebanyakan lansia yang berusia 60-an akan memulai beradaptasi terhadap peran barunya dan berupaya mengatasi penurunan fungsi diri serta menghadapi tahap selanjutnya (Havighurst, 1972; Craig, 1996). Penurunan penghasilan yang


(42)

diakibatkan oleh pensiun, berkurangnya rekan kerja, dan hubungan yang mulai renggang dengan teman akan terjadi pada usia ini. Kebanyakan pensiunan akan menjadi mentor, memberi nasihat, dan melakukan usaha-usaha yang sederhana (Craig, 1996).

b. Middle-Aged-Old (70-79 tahun)

Pada usia 70-an kebanyakan lansia akan berjuang dari kehilangan keluarga, sahabat, dan rekan kerja, terutama pasangan hidup. Selain itu, kesehatan lansia menjadi lebih bermasalah di usia ini. Penurunan kesehatan ini akan memicu penurunan kesehatan yang lebih lanjut bahkan ketidakmampuan pada dekade berikutnya (Craig, 1996).

c. Old-Old (80-89 tahun)

Pada usia ini seorang lansia akan hidup dalam proses yang berkelanjutan dimana akan selalu mengingat pengalaman dulu hingga saat ini yang tersimpan dalam memorinya. Kebanyakan lansia pada usia ini akan kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Mereka membutuhkan bantuan baik dalam mengelola hubungan sosial maupun berbudaya (Craig, 1996). d. Very Old-Old (90-99 tahun)

Pada kelompok usia ini, kesehatan seorang lansia akan lebih menurun dibandingkan kelompok usia sebelumnya. Kebanyakan lansia pada usia ini akan tetap berhasil mengubah aktivitas mereka sehingga memperoleh apa yang mereka butuhkan. Pada umumnya lansia pada dekade ini akan lebih bahagia, tenang, dan tercukupi (Craig, 1996).


(43)

3. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Havighurst (Hurlock, 2000), tugas-tugas perkembangan seorang lansia adalah:

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

Lansia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan berkurangnya kekuatan dan penurunan kesehatan secara bertahap. Lansia akan melakukan perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan baik terhadap dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Lansia juga diharapkan untuk mencari kegiatan lain sebagai pengganti atas kegiatan terdahulu yang dilakukannya saat masih muda (Hurlock, 2000).

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga

Bagi beberapa lansia mengikuti kegiatan-kegiatan sosial sangat sulit untuk dilaksanakan karena keadaan kesehatan dan pendapatan yang berkurang setelah pensiun. Hal ini membuat banyak lansia terpaksa mundur dari kegiatan-kegiatan sosial. Oleh karena itu, lansia diharapkan untuk menyusun kembali pola hidup yang disesuaikan dengan kondisi dirinya saat ini (Hurlock, 2000).

c. Menyesuaikan diri dengan kematian atau hilangnya pasangan hidup

Pada masa lansia, setiap individu dituntut untu mempersiapkan dan menyesuaikan diri atas kematian pasangan hidupnya. Kematian pasangan hidup lebih menjadi masalah bagi wanita lansia dibandingkan pria lansia. Kematian suami pada wanita lansia berarti berkurangnya pendapatan, kecemasan akan hidup


(44)

sendiri. Hal ini memberikan tuntutan baru bagi janda lansia untuk melakukan perubahan pada aturan hidup (Hurlock, 2000).

d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia

Ketika anak-anak mulai bertumbuh dewasa dan mulai memiliki kesibukan sendiri, hubungan anak dengan orang tua menjadi berkurang. Oleh karena itu, lansia dituntut untuk membangun hubungan dengan orang lain yang seusia mereka. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesepian yang sering dialami oleh lansia, terutama ketika pasangan telah meninggal dunia, menghadapi pensiun, dan kegiatan sosial yang mulai berkurang (Hurlock, 2000). e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

Pengaturan kehidupan fisik ini sering disebut dengan istilah living arrangement. Setiap lansia diperhadapkan dengan tiga pilihan yaitu living alone (tinggal seorang diri di rumah sendiri), living with adult children (tinggal bersama anak yang sudah dewasa dan menikah), dan living in institutions (tinggal di instritusi seperti panti jompo) (Papalia, 2007). Pada masa lansia akan muncul suatu pertimbangan apakah keinginan dan kebutuhan yang biasa mereka penuhi pada masa-masa sebelumnya masih dapat terpenuhi atau tidak. Setiap tempat tinggal akan mempengaruhi bagaimana keadaan psikologis lansia tersebut dan pemenuhan kebutuhannya sehari-hari (Hurlock, 2000).

f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Sejak awal kehidupan, lansia telah berhubungan dengan setiap orang baik seusia maupun tidak seusia dengannya. Pada masa ini, lansia akan kembali menjalin hubungan dengan individu yang berasal dari berbagai kelompok usia


(45)

namun hal ini dianggap sulit oleh beberapa lansia. Pada masa lansia, setiap lansia akan bergabung dengan kelompok yang sebagian besar dan ditolak oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan ageism yang muncul pada masyarakat. Sebagai akibatnya, lansia kurang termotivasi untuk terlibat dengan masyarakat dan muncul anggapan bahwa itu tidak menghasilkan suatu kebanggaan bagi mereka (Hurlock, 2000).

4. Perubahan pada Lansia

a. Perubahan Kemampuan Motorik pada Lansia

Beberapa perubahan fisik terjadi pada masa lansia dan sering dikaitkan dengan aging pada lansia. Kulit lansia menjadi lebih pucat, berbercak, kurang elastis, dan kulit keriput. Urat nadi mulai terlihat pada bagian tangan. Rambut beruban dan menjadi lebih tipis. Lansia terlihat lebih pendek dikarenakan penipisan tulang yang terlihat pada bagian belakang leher. Keadaan ini menyebabkan lansia khususnya lansia wanita dapat mengalami osteoporosis (Papalia, 2007).

Kebanyakan lansia akan mengalami penurunan yang tajam baik pada kemampuan sensori maupun psikomotor. Beberapa lansia lainnya menunjukkan adanya penurunan fungsi diri yang terjadi dengan lambat. Hal ini tidak terlepas dari faktor perbedaan individu seperti life style. Masalah penglihatan dan pendengaran merupakan masalah yang paling sering muncul pada lansia. Penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan sering menjadi pemicu terganggunya lansia dalam berhubungan sosial dan mandiri. Sementara penurunan


(46)

motorik akan membatasi lansia dalam melakukan berbagai tindakan (Papalia, 2007).

b. Hubungan dengan Anak dan Cucu 1. Hubungan dengan Anak

Hubungan antara orang tua lansia dengan anak pada umumnya semakin hari kurang memuaskan. Keadaan ini tidak terlepas dari pengaruh kemampuan lansia dalam menyesuaikan diri terhadap anak serta memahami kebutuhan dan keadaan mereka di usia saat ini (Hurlock, 2000). Di samping itu, hubungan orang tua lansia dan anak di masa lalu juga dapat menentukan hubungan yang dijalin saat ini (Hurlock, 2000). Hubungan baik yang terjalin di masa lalu akan dapat melahirkan hubungan baik di masa mendatang, dan sebaliknya (Wilson, Shuey, dan Elder, 2003; Santrock, 2009). Terkhusus bagi wanita, pada umumnya hubungan ibu dan anak menjadi lebih baik dibandingkan dengan hubungan ayah dan anak. Wanita dianggap lebih luwes menyesuaikan diri dengan anak daripada pria. Selain itu, hubungan ibu dan anak dianggap sebagai suatu hubungan yang berkelanjutan sejak anak lahir (Hurlock, 2000).

Setelah memasuki masa lansia, kebanyakan lansia cenderung akan ketergantungan terhadap anak baik ketergantungan secara ekonomi maupun kebutuhan lainnya yang dibantu oleh anak. Di sisi lain, anak memiliki tanggung jawab lainnya seperti merawat anak-anak dan mencukupi kebutuhan keluarga. Ketergantungan ini pada dasarnya menjadi suatu tantangan yang sangat berat bagi seorang lansia dalam menjalani kehidupannya (Hurlock, 2000).


(47)

Di samping ketergantungan pada lansia, kebanyakan lansia merasa sulit melepaskan peran otoriternya terhadap anak (Hurlock, 2000). Lansia kesulitan menyesuaikan diri dengan “kehilangan” anaknya dan memunculkan masalah seperti overprotective dan ikut campur masalah keluarga anak. Beberapa anak terkadang lebih menghiraukan perkataan orang tua dibandingkan pasangannya sehingga tidak jarang terjadi masalah antara pasangan anak maupun orang tua lansia (Degenova, 2008).

Ketergantungan dan peran otoriter orang tua menjadi suatu hal negatif dalam hubungan antara orang tua dan anak namun di sisi lain terdapat suatu hal yang dapat menciptakan hubungan baik antara orang tua dan anak. Di masa tua, kebanyakan lansia menganggap dirinya tidak berguna dan hal ini berpengaruh terhadap well-being lansia tersebut. Di ketidakberdayaannya kebanyakan lansia akan mengalami perasaan positif ketika mereka mampu menyediakan bantuan bagi orang lain yang membutuhkan. Salah satu contohnya adalah banyak lansia yang khawatir dengan keadaan anak tanpa menghiraukan usia anak saat ini (Newman dan Newman, 2006).

Bagi seorang lansia, perhatian dan dukungan keluarga dapat mengurangi stress yang dialaminya dan melindunginya dari konsekuensi negatif seperti penyakit dan depresi (Muller dan Norris, 1991; Newman dan Newman, 2006). Setiap lansia merasa nyaman dengan kebutuhannya yang selalu disediakan namun seorang lansia akan mengalami perasaan negatif ketika tidak ada kesempatan baginya untuk membantu orang lain yang membutuhkan (Liang, Krause, dan Bennett, 2001; Newman dan Newman, 2006). Ketika anak mengalami masalah


(48)

seperti masalah pernikahan, keuangan, kesehatan, dan masalah lainnya, orang tua akan merasa terbeban dengan keadaan tersebut. Tak jarang orang tua akan terlibat dalam membantu setiap masalah yang dialami oleh anaknya. Orang tua akan merasa senang apabila dirinya dapat membantu anak sebaik bantuan yang diterimanya dari anak (Marks, 1995; Degenova, 2008). Memberikan bantuan terhadap anak walaupun tidak dibalas akan berpengaruh terhadap psychological well-being seorang orang tua daripada hanya menerima bantuan dari anak. Oleh karena itu dikatakan bahwa kehidupan anak dapat mempengaruhi psychological well-being seorang orang tua (Degenova, 2008).

2. Hubungan dengan Cucu

Seorang kakek atau nenek dapat membantu cucu dalam menciptakan kehidupannya yang lebih baik lagi. Sebagai kakek atau nenek dalam hal ini nenek dapat menciptakan perasaan nyaman dan berbagi kasih sayang dengan cucu. Kasih sayang seorang nenek akan membantu pertumbuhan cucu, memberi rasa nyaman, dan percaya bagi cucu. Cucu akan dibantu belajar memahami suatu keadaan, percaya, dan mengerti akan orang lain. Seorang nenek juga berperan dalam menyediakan suatu pondasi bagi cucu dalam menjalani kehidupannya di masa depan. Melalui pengalaman hidup yang bernilai dan pelajaran di masa lalu, seorang nenek dapat mengajarkan cucu hal-hal yang baik. Ketika anak mengalami keterbatasan baik dalam waktu maupun uang, seorang nenek bertugas mengawasi cucunya. Banyak peran baik yang dapat dilakukan seorang nenek ataupun kakek terhadap cucunya (Degenova, 2008).


(49)

Suatu hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan cucu dan nenek atau kakek akan sangat dipengaruhi oleh usia cucu (Hurlock, 2000). Cucu yang berusia remaja pada dasarnya lebih mampu memahami perkataan nenek atau kakeknya mengenai keadaan yang terjadi dibandingkan anak-anak (Degenova, 2008). Ketika cucu masih berusia kanak-kanak, nenek atau kakek biasanya berperan sebagai babysitter cucu atau teman bermain cucu terutama jika tinggal serumah. Apabila cucu sudah memasuki usia tengah baya, cucu turut bertanggung jawab terhadap kakek atau nenek mereka. Pada umumnya, lansia menganggap cucu merupakan gambaran kepribadian dan nilai-nilai dimilikinya selama ini (Craig, 1996).

c. Kehidupan Pensiun

Pensiun menjadi suatu pengalaman traumatik yang dialami oleh seorang lansia. Pensiun mengakibatkan hilangnya status, peran, dan prestasi yang pernah dicapai oleh seorang lansia. Pada dasarnya, setiap lansia telah mempersiapkan diri untuk memasuki masa pensiun namun seorang lansia akan mengalami identity crisis yang diungkapkan oleh Erikson. Lansia akan memiliki identitas yang berbeda dengan ketika dirinya masih dewasa, terkadang diperlakukan seperti anak-anak, terkadang sebagai orang tua, dan terkadang sebagai orang dewasa. Identity crisis terjadi sebagai akibat dari perubahan drastis pada lansia dimana pada kehidupan awal sebagai pekerja yang sibuk berubah menjadi seorang pengangguran yang tidak menentu (Hurlock, 2000).


(50)

D. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING YANG POSITIF PADA JANDA LANSIA SUKU BATAK TOBA YANG TINGGAL DENGAN “ANAK” (ANAK LAKI- LAKI)

Setiap janda lansia pada dasarnya dituntut untuk memenuhi setiap tugas perkembangannya di masa tua (Hurlock, 2000). Salah satu tugas perkembangan janda lansia adalah pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan (selanjutnya disebut living arrangement)(Papalia, 2007). Living arrangement berfungsi dalam mengatur kembali kehidupan seorang janda lansia dengan mempertimbangkan cara pemenuhan kebutuhan janda lansia dan penentuan bersama siapa dirinya tinggal dan melanjutkan kehidupannya (Hurlock, 2000).

Penentuan living arrangement tidak terlepas dari pengaruh nilai budaya janda lansia tersebut (Papalia, 2007). Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat masing-masing dimana jika dilanggar akan memberi sanksi atas orang tersebut misalnya suku bangsa Batak Toba (Sihombing, 1986). Kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak terlepas dari nilai lainnya seperti hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon merupakan tiga tujuan hidup masyarakat Batak Toba yang harus terpenuhi (Harahap dan Siahaan, 1987).

Prinsip keturunan patrilineal merupakan prinsip keturunan yang berlaku pada masyarakat Batak Toba. Anak laki-laki (selanjutnya disebut anak) akan mendominasi semua aspek kehidupan dalam masyarakat Batak Toba (Vergouwen, 1964). Bagi seorang wanita atau ibu khususnya, anak dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam keluarga seperti tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang suami terhadap istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992). Setiap


(51)

nilai tersebut melahirkan suatu adat di tengah-tengah masyarakat Batak Toba bahwa orang tua yang sudah lansia diharuskan tinggal dengan anak. Kekukuhan adat ini mendorong janda lansia untuk tinggal dengan anak dan diharapkan agar setiap tujuan hidup yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon dapat tercapai pada diri janda lansia tersebut.

Lingkungan tempat tinggal baru dan keluarga anak baik anak, menantu perempuan (selanjutnya disebut “parumaen”), dan cucu (selanjutnya disebut “pahompu”) menjadi suatu tantangan bagi seorang janda lansia. Seorang janda lansia dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya setelah berada di rumah anak. Seseorang yang mampu merealisasikan dirinya adalah mereka yang mengalami pertumbuhan dan mampu memenuhi kebutuhannya (Ryff & Singer, 2006). Kemampuan merealisasikan diri merupakan poin penting penentu psychological well-being (Ryff & Singer, 2006). Psychological well-being berupa perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989).

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Setelah tinggal di rumah anak, banyak tantangan yang diperoleh seorang janda lansia yang dapat mempengaruhi psychological well-being mereka. Salah satu tantangan tersebut adalah janda lansia sulit dalam menyesuaian diri terhadap anak yang dalam hal ini keluarga anak dan sulit memahami kebutuhan dan keadaannya (Hurlock, 2000). Selain itu, seorang janda lansia juga mengalami ketergantungan terhadap keluarga anak baik secara ekonomi maupun kebutuhan


(52)

lainnya (Hurlock, 2000). Kepada anak, janda lansia seringkali tidak melepaskan peran otoriternya sehingga tidak jarang ditemukan perselisihan antara janda lansia dan pasangan anaknya yaitu parumaen (Degenova, 2008).

Tinggal dengan keluarga anak tidak jarang membuat janda lansia khawatir akan keadaan keluarga anak sehingga dirinya akan membantu kesulitan keluarga anak (Degenova, 2008). Sebagai seorang nenek, janda lansia juga dituntut untuk mempersiapkan pahompu untuk masa depannya yang lebih baik (Degenova, 2008). Tantangan lain yang dihadapi oleh seorang janda lansia adalah pensiun dimana dirinya kehilangan status, peran, dan prestasi yang dicapainya selama ini (Hurlock, 2000). Setiap tantangan ini tentu akan berdampak pada psychological well-being janda lansia yang tinggal dengan keluarga anak (Ryff, 1989).


(53)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak

(Anak Laki-Laki)

Pahompu (Cucu) Parumaen

(Menantu Perempuan) Anak

(Anak Laki-laki) Lingkungan

Baru

Kemampuan untuk merealisasikan diri

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Penerimaan Diri

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain 3. Otonomi

4. Penguasaan Lingkungan 5. Tujuan Hidup

6. Pertumbuhan Pribadi Usia

Jenis Kelamin Status Sosial Ekonomi

Life event Keagamaan

: Membutuhkan : Mencapai

: Faktor yang Mempengaruhi Variabel yang Diteliti : Variabel yang diteliti


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENELITIAN KUALITATIF FENOMENOLOGIS

Penelitian kualitatif fenomenologis adalah suatu pendekatan penelitian kualitatif yang berfokus pada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dari segala sesuatu hal yang ada di sekelilingnya. Penelitian kualitatif fenomenologis menekankan pada aspek subjektif dari perilaku seorang individu. Peneliti dengan pendekatan fenomenologis akan berupaya untuk masuk ke dunia konseptual responden sedemikian rupa sehingga mendapat pemahaman mengenai apa dan bagaimana arti dari fenomena yang diteliti bagi responden tersebut. Fenomenologis tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti dari fenomena yang ditelitinya bagi responden. Peneliti fenomenologis meyakini bahwa setiap individu memiliki cara masing-masing dalam menginterpretasikan pengalaman- pengalamannya dan penilaian akan pengalaman tersebut merupakan gambaran diri seorang individu (Moleong, 2004).

Melalui pendekatan kualitatif fenomenologis, peneliti berharap agar dapat memperoleh gambaran menyeluruh dan mendalam mengenai psychological well- being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak laki-laki (selanjutnya disebut “anak”). Setiap janda lansia yang tinggal dengan anak akan mengalami suatu tantangan baik dari lingkungan tempat tinggal barunya yaitu rumah anak maupun keluarga anak. Tantangan kehidupan ini menuntut seorang janda lansia untuk mampu merealisasikan dirinya dengan kondisi yang sedang


(55)

dihadapinya. Ketika seorang janda lansia mampu merealisasikan dirinya, maka janda lansia tersebut akan mencapai psychological well-being.

Psychological well being akan berbeda-beda bergantung pada bagaimana seorang janda lansia menilai setiap pengalaman atau tantangan setelah di rumah anak. Selain itu, faktor seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, life-event, dan keagamaan seorang janda lansia turut mempengaruhi psychological well-beingnya. Oleh karena itu, penelitian kualitatif fenomenologis digunakan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai pengalaman subjektif responden berupa psychological well-being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak.

B. RESPONDEN, PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN, DAN

LOKASI PENELITIAN

1. Karakteristik Responden Penelitian

Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu sebagai berikut:

a. Merupakan janda lansia b. Bersuku Batak Toba

c. Tinggal menetap bersama anak dimana terdapat parumaen (menantu perempuan) dan pahompu (cucu) dalam rumah yang sama.


(56)

2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (Poerwandari, 2007), desain penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes sehingga tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah responden yang harus diambil. Jumlah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Sarantakos (Poerwandari, 2007) mengatakan bahwa prosedur penentuan subjek dalam penelitian kualitatif umumnya mempertimbangkan karakteristik berikut ini:

a. Tidak menggunakan jumlah sampel yang besar,

b. Tidak ditentukan secara kaku sehingga dapat berubah baik jumlah maupun karakteristik sampel sesuai dengan kebutuhan penelitian, dan

c. Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.

Karakteristik di atas mengungkapkan bahwa jumlah responden penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas. Berdasarkan karakteristik tersebut, peneliti merencanakan dua orang responden yaitu dua orang janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak (anak laki-laki). Peneliti memiliki keterbatasan dalam menemukan responden penelitian ini.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Teknik pengambilan subjek dalam penelitian ini yaitu pengambilan subjek berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan yaitu konstruk operasional yang


(57)

sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek benar-benar representatif artinya dapat mewakili fenomena yang diteliti (Poerwandari, 2007).

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian direncanakan di kelurahan Parongil, kabupaten Dairi, Sumatera Utara, sesuai dengan tempat tinggal responden penelitian. Pengambilan data akan dilakukan di rumah responden penelitian. Lokasi pengambilan data ini dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada kenyamanan dan keinginan responden.

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in depth-Interview). Wawancara mendalam (in depth-Interview) bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif pada seorang individu yang sesuai dengan kriteria penelitian, dan membantu dalam mengeksplorasi topik yang diteliti. Wawancara mendalam (in depth-Interview) tetap menggunakan pedoman wawancara yang berisi open-ended question yang dapat membantu untuk mengarahkan wawancara sehingga tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Peneliti juga melakukan observasi terhadap situasi, dan kondisi, serta perilaku responden selama wawancara berlangsung. Observasi dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data yang dapat melengkapi data wawancara.


(58)

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA 1. Alat Perekam (Handphone)

Alat perekam yang digunakan dalam penelitian ini adalah handphone yang berguna untuk mempermudah dalam pengolahan informasi dari responden. Alat perekam (handphone) juga membantu peneliti dalam mengingatkan kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Jika hasil wawancara yang diperoleh kurang jelas atau belum memenuhi kebutuhan peneliti, maka peneliti dapat menanyakan kembali kepada responden.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara bertujuan untuk mengingatkan peneliti mengenai informasi yang ingin diperoleh dari responden dan sebagai daftar pengecek (checklist) atas aspek-aspek yang telah dibahas (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara dibuat berdasarkan teori-teori yang tertera pada Bab II yaitu teori psychological well-being, dan suku bangsa Batak Toba, serta janda lansia sehingga peneliti mempunyai kerangka berpikir atas hal-hal yang akan ditanyakan. Peneliti menggunakan pedoman wawancara yang berkaitan dengan psychological well-being pada janda lansia Batak Toba yang tinggal dengan anak (anak laki-laki) tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku, melainkan secara flesksibel sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat(Poerwandari, 2007).


(1)

Sumarno, J. (2012). Memaknai Lanjut Usia dalam Lingkungan Keluarga dan Masyarakat.[Onlin Vergouwen, J.C. (1964). Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta:


(2)

(3)

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

Latar Belakang

1. Data pribadi seperti usia, tempat kelahiran, latar belakang pendidikan dan pekerjaan, latar belakang penyakit, latar belakang tempat tinggal sebelumnya.

2. Data mengenai suami seperti latar belakang pekerjaan dan pendidikan suami, pernikahan, menjanda sejak kapan, dan hubungan dengan suami. 3. Data mengenai anak-anak seperti jumlah anak-anak (anak dan boru), latar

belakang pekerjaan dan pendidikan anak, hubungan dengan anak-anak baik yang tinggal serumah maupun tidak, dan kunjungan dan bantuan yang diperoleh dari anak-anak.

4. Data mengenai orang tua seperti latar belakang pekerjaan orang tua, orang tua meninggal kapan, dan hubungan dengan orang tua.

5. Data mengenai saudara-saudara seperti jumlah saudara, latar belakang pendidikan dan pekerjaan saudara, tempat tinggal saudara, dan hubungan dan komunikasi dengan saudara.

6. Data mengenai perpindahan ke rumah anak seperti sudah berapa lama tinggal dengan anak, tinggal dengan anak ke berapa, jumlah cucu di rumah anak, alasan tinggal dengan anak, aktivitas sehari-hari di rumah anak, dan konflik yang dialami setelah tinggal dengan anak.


(4)

7. Bagaimana pengaruh nilai budaya Batak Toba terhadap keputusan tinggal dengan anak?

8. Bagaimana pelaksanaan nilai Batak Toba pada responden?

Penerimaan Diri

9. Bagaimanakah Anda menggambarkan diri Anda?

10.Bagaimana pendapat Anda mengenai keadaan Anda saat ini?

11.Coba Anda ceritakan apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan Anda? 12.Coba Anda ceritakan mengenai kehidupan masa lalu Anda?

Hubungan Positif dengan Orang Lain

13.Bagaimana hubungan Anda dengan anak, parumaen, dan pahompu?

14.Ketika anak, parumaen, dan pahompu mengalami kesulitan, bagaimana tanggapan dan tindakan Anda?

15.Bagaimana bantuan yang dapat Anda berikan kepada anak, parumaen, dan pahompu?

Otonomi

16.Jika pendapat Anda ditolak oleh anak, parumaen, dan pahompu, bagaimana tindakan Anda?

17.Jika anak, parumaen, dan pahompu memberikan penilaian yang negatif, bagaimana tanggapan Anda?


(5)

Penguasaan Lingkungan

18.Bagaimanakah tindakan Anda jika lingkungan sekitar tidak sesuai dengan keinginan Anda?

19.Bagaimana tindakan Anda jika anak, parumaen, dan pahompu mengalami suatu masalah?

20.Bagaimana upaya Anda dalam mengatasi setiap masalah yang terjadi dengan diri Anda?

Tujuan Hidup

21.Coba ceritakan harapan-harapan yang Anda miliki terhadap keluarga anak?

22.Coba ceritakan harapan-harapan yang ingin Anda capai di usia sekarang?

Pertumbuhan Personal

23.Sejauh ini, adakah keinginan Anda yang mungkin belum tercapai baik untuk keluarga anak maupun untuk diri sendiri? Bagaimana tindakan yang Anda lakukan untuk memenuhinya?

24.Sejauh ini, bagaimana perubahan yang Anda alami sepanjang kehidupan Anda?


(6)

Lampiran 2

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden

Judul penelitian : Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan “Anak” (Anak Laki-Laki)

Peneliti : Anggun RS Sitanggang

NIM : 101301075

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini. Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai responden dalam penelitian mengenai psychological well-being yang positif pada janda lansia suku batak toba yang tinggal dengan “anak” (anak laki-laki). Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiaan yang dilakukan. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi serta menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Parongil (Sidikalang), April 2014