Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)

BAB II
LANDASAN TEORI

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
1. Definisi Psychological Well-Being
Konsep well-being pada awalnya berasal dari seorang filsuf Yunani
Aristippus of Cyrene (435 – 356 B.C.) yang mengungkapkan sebuah doktrin yaitu
hedonism/ hedonic well-being yang berarti kebaikan mendasar adalah kesenangan
dan kenyamanan. Hedonic well-being didefinisikan sebagai efek positif yang
tinggi, efek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup yang tinggi. Konsep
subjective well-being hedonic bukanlah satu-satunya cara untuk melihat wellbeing pada diri seseorang (Boslovic & Jengic, 2008).
Perspektif lain muncul dari Aristoteles (384 -322 B.C) yaitu konsep
eudemonia/ eudaimonic well-being yang artinya segala tindakan yang baik dan
berguna adalah semua yang menciptakan kesejahteraan ataupun kebahagiaan pada
diri seseorang (Boslovic & Jengic, 2008). Waterman (1993, dalam Boslovic &
Jengic, 2008) mengungkapkan bahwa well-being tidak hanya merupakan hasil
akhir dari sesuatu yang dialami oleh individu, melainkan sebuah proses
pemenuhan atau realisasi diri seseorang dan pencapaian potensi diri individu
tersebut. Pada tahun 1984, Waterman (Ryff, 1989) juga mengungkapkan bahwa
eudemonia adalah perasaan yang mengikuti suatu perilaku dan mengarahkan
potensi seseorang dan konsisten terhadap potensi tersebut.


Universitas Sumatera Utara

Konsep psychological well-being oleh Ryff (1989) merujuk kepada konsep
eudemonia dan sebagai pembanding konsep hedonistic of subjective well-being
(Boslovic & Jengic, 2008). Psychological well-being pada dasarnya berfokus pada
perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan
hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Psychological well-being bukan hanya
kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif namun juga
melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup
(Ryff, 1989). Psychological well-being berupa perasaan yang mengarahkan
seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang
terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989).
Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being dan dimensidimensinya dengan mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization
dari Maslow (1968), fully functioning person dari Roger (1961), individuation dari
Jung (1933), dan maturity dari Allport (1961). Ryff (1989) juga merujuk pada
teori-teori perkembangan kehidupan manusia seperti psychosocial stage model
dari Erikson (1959), kecenderungan dasar dalam memenuhi hidup dari Buhler
(1935), deskripsi perubahan kepribadian pada masa dewasa dan lansia dari
Neugarten (1968), serta kriteria positif kesehatan mental dari Jahoda (1958).

Integrasi dari teori kesehatan mental, klinis, dan life-span development tersebut
merupakan gambaran dari psychological well-being oleh Ryff.
Ryff dan Singer (2006) menggambarkan psychological well-being dalam
dua poin yaitu pertama, terdiri dari pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan
manusia yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh konteks dimana seseorang

Universitas Sumatera Utara

itu hidup sehingga mampu untuk merealisasikan dirinya secara tepat. Kedua,
sangat berpengaruh terhadap kesehatan dengan memperbaiki regulasi sistem
fisiologis secara efektif. Psychological well-being pada dasarnya merupakan suatu
kemampuan untuk merealisasikan diri dan mengoptimalkan kehidupannya (Ryff,
1989). Realisasi diri adalah kemampuan individu untuk tetap bertumbuh yaitu
dengan mampu mengatasi setiap tantangan hidupnya dan memenuhi setiap
kebutuhannya (Ryff & Singer, 2008).
Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu
dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri. Dorongan ini
dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan sehingga
memiliki psychological well-beingnya rendah atau berupaya memperbaiki
kehidupannya sehingga psychological well-beingnya meningkat (Bradburn, dalam

Ryff dan Keyes, 1995). Ryff (1989) mengungkapkan bahwa individu dengan
psychological well-being yang tinggi akan mampu menerima dirinya sendiri,
menjalin hubungan positif dengan orang lain, berotonomi, mampu menguasai
lingkungan, bertujuan hidup, dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang
individu.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan psychological wellbeing adalah penilaian subjektif seseorang atas hidupnya dimana dapat
mengarahkan individu tersebut untuk mampu menerima dirinya secara utuh,
menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, menentukan arah hidupnya
tanpa bergantung pada orang lain, mengelola lingkungannya yang sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

kebutuhannya, bertujuan hidup yang terarah, dan mengalami pertumbuhan dalam
dirinya.

2. Dimensi Psychological Well-Being
Setiap dimensi psychological well-being ini memiliki tantangan yang
berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya dan
sehingga dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes,
Ryff, Shmotkin, 2002). Menurut Ryff (1989), Ryff & Singer (2008), dan Ryff &

Keyes (1995) ada enam dimensi psychological well-being yaitu:
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima
setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan
mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan
karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal
functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten,
seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan
diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan
kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk
menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Seseorang yang baik dalam dimensi
penerimaan diri akan memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengetahui dan
menerima seluruh aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif,
menanggapi masa lalu secara positif. Di lain pihak, seseorang yang kurang baik

Universitas Sumatera Utara

dalam dimensi penerimaan diri akan merasa tidak puas akan dirinya, kecewa akan
masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan keadaan yang berbeda

dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes, 1995).
b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others)
Menurut Jahoda, kemampuan untuk mencintai merupakan komponen
utama dari kesehatan mental. Maslow berpendapat bahwa seorang self-ectualizer
akan memiliki perasaan empati yang kuat terhadap setiap makhluk dan memiliki
kapasitas cinta yang besar, persahabatan yang karib, dan pengenalan yang baik
akan orang lain. Kematangan seseorang akan terlihat dari kehangatan yang
dimilikinya dalam berhubungan dengan orang lain seperti yang diungkapkan
Allport. Erikson mengatakan bahwa pada masa dewasa seseorang dituntut untuk
memiliki kesatuan yang dekat dengan orang lain atau memiliki intimacy dan
mampu mengarahkan orang lain (generativity) (Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai
kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan
penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Seseorang yang baik dalam
dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang hangat,
memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, peduli
atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam perasaan,
keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain. Di lain sisi,
seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain
merupakan sosok yang kurang akrab, memiliki hubungan yang terpercaya dengan

orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain,

Universitas Sumatera Utara

terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk
terikat dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995).
c. Otonomi (Autonomy)
Maslow mengambarkan seorang self-actualizer mengurus kebutuhannya
sendiri dan mampu bertahan terhadap tekanan. Roger mengungkapkan bahwa
seseorang yang mencapai optimal functioning akan menggunakan internal locus
of control dalam bertindak, tidak memperhatikan penerimaan orang lain, tetapi
mengevaluasi seseorang dengan standar personal. Menurut Jung, karakteristik
seseorang yang individuation akan bebas dari setiap aturan, tidak bergantung pada
keyakinan kolektif, ketakutan, dan hukum massa. Erikson, Neugarten, dan Jung
mencatat pentingnya penentuan keputusan berdasarkan batin dan memperoleh
kebebasan atas norma sepanjang hidupnya (Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan seseorang untuk
menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya
berdasarkan standar personal (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam dimensi
otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap mandiri,

mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara
tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya berdasarkan
standar personal. Sebaliknya, individu yang buruk dalam dimensi otonomi
berfokus pada harapan dan evaluasi orang lain, membuat keputusan berdasarkan
penilaian orang lain, dan konformitas terhadap tekanan sosial (Ryff dan Keyes,
1995).

Universitas Sumatera Utara

d. Penguasaan Lingkungan (Environment Mastery)
Jahoda menyatakan bahwa salah satu ciri kesehatan mental adalah mampu
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.
Erikson menjelaskan mengenai pentingnya kemampuan untuk memanipulasi dan
mengendalikan lingkungan yang komplek, serta kapasitas untuk bertindak dan
mengubah dunia sekitar dengan aktivitas fisik dan mental. Allport mengatakan
bahwa kemampuan untuk memperluas diri dengan cara mampu berpartisipasi atas
orang lain merupakan ciri lain dari maturity (Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk
menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh
lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam

dimensi penguasaan lingkungan akan memiliki keyakinan untuk menguasai dan
mampu mengelola lingkungannya, menggunakan kesempatan dengan efektif, dan
mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan nilai dan
kebutuhan dirinya. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi
penguasaan

lingkungan

akan

mengalami

kesulitan

dalam

mengelola

kesehariannya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki
lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu

mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).
e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Jahoda mendefinisikan kesehatan mental sebagai pentingnya keyakinan
yang menunjukkan adanya suatu tujuan dan kebermaknaan hidup. Allport
mengungkapkan bahwa seseorang yang telah mencapai maturity harus memiliki

Universitas Sumatera Utara

tujuan hidup yang jelas. Erikson menyatakan bahwa perubahan tujuan dan target
pada diri seseorang akan menggambarkan setiap tahap kehidupan yang berbeda
(Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi
secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan
memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Seseorang yang baik
dalam dimensi tujuan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas dan hidupnya
lebih terarah, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, dan memiliki
target yang hendak dicapai dalam kehidupannya. Sementara seseorang yang
kurang baik dalam dimensi tujuan hidup memiliki makna hidup yang tidak baik,
target yang sedikit, kurang memiliki arahan hidup, tidak memiliki tujuan di masa
lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini berarti (Ryff dan Keyes,

1995).
f. Pertumbuhan Personal (Personal Growth)
Berdasarkan teori self-actualization Maslow dan kesehatan mental Jahoda,
kemampuan untuk merealisasikan potensi personal merupakan hal yang yang
dimiliki oleh seseorang yang mencapai optimal functioning. Roger juga
menggambarkan bahwa individu yang mencapai optimal functioning akan terbuka
atas pengalaman baru sehingga dirinya akan berkembang dan mampu mengatasi
masalahnya. Erikson, Neuharten, Jung, dan Buhler mengungkapkan adanya
pertumbuhan yang berlanjut dan kemamampuan untuk menghadapi tantangan
baru di sepanjang rentang hidupnya (Ryff dan Singer, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari
pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk
dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu yang baik
dalam dimensi pertumbuhan personal memiliki perasaan akan perkembangan
yang berlanjut, melihat dirinya semakin bertumbuh dan meluas, terbuka atas
pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif
dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara

merefleksikan diri menjadi lebih mengenali dirinya dan efektif. Sementara
individu yang kurang baik dalam dimensi pertumbuhan personal mengalami
stagnasi personal, kurang mengalami perubahan sepanjang waktu, bosan dan
kehilangan minat atas hidupnya, dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan
sikap dan perilaku baru (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
a. Usia
Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring
bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Secara umum,
pertumbuhan personal dan tujuan hidup pria dan wanita akan menurun. Lansia
akan selalu mengingat kehidupannya di masa lalu dan tidak memiliki keinginan
untuk berkembang di masa yang akan datang (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N.,
Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).
Penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tidak terdapat
variasi pada usia tertentu sehingga terlihat relatif stabil di usia berapapun.

Universitas Sumatera Utara

Dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seorang lansia akan meningkat
(Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L.,
& Rabadan, F.E., 2010). Berkurangnya tantangan psikologis di akhir kehidupan
dan kehidupan sosial yang sudah terbatas menjadi pendukung meningkatnya
dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan (Ryff & Singer, 1996).
b. Jenis Kelamin
Ryff (1989) mengungkapkan ditemukan perbedaan tingkat psychological
well-being pada wanita dan pria terutama pada dimensi hubungan positif dengan
orang lain. Perbedaan ini dikarenakan gender stereotype yang telah melekat sejak
kecil dalam diri pria sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sedangkan wanita
adalah sosok yang pasif, tergantung, dan memiliki sensitifitas yang tinggi
terhadap perasaan orang lain (Papalia, 2007). Selain itu, wanita juga dianggap
memiliki hubungan yang lebih akrab dengan kehidupan sosial daripada pria,
sementara pria memiliki pergaulan hanya dengan lingkungan professional mereka.
Oleh karena itu, wanita lebih terintegrasi secara sosial dan lebih tinggi dalam
hubungan positif dengan orang lain dibandingkan pria (Lopez, J., Hidalgo, T.,
Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).
c. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi seperti tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, finansial, dan rekreasi turut mempengaruhi psychological well-being
seseorang. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan status
sosial ekonomi yang rendah cenderung memiliki psychological well-being yang
rendah. Sebaliknya, seseorang dengan status sosial ekonomi tinggi cenderung

Universitas Sumatera Utara

memiliki tujuan hidup, mampu menerima dirinya, mengalami pertumbuhan
personal, dan dapat menguasai lingkungannya dengan baik. Keadaan ekonomi
yang semakin membaik cenderung akan meningkatkan psychological well-being.
Selain itu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan tempat tinggal akan
mempengaruhi psychological well-being dan kesehatan individu tersebut. Hal ini
dikarenakan kehadiran orang lain di sekitar individu dan kebebasan individu
dalam bertindak di lingkungan tempat tinggalnya (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo,
B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).
d. Life Event
Pengalaman individu sejak awal kehidupan akan mempengaruhi persepsi
yang dimilikinya terhadap suatu keadaan. Sebagai contoh, pada masa lansia akan
ditemukan berbagai masalah kesehatan fisik pada wanita lansia. Hal ini akan
mengarahkan seorang wanita lansia untuk membandingkan dirinya dengan wanita
lansia lainnya terutama wanita lansia yang sehat. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa setelah membandingkan dirinya dengan wanita lansia lainnya, penilaian
wanita lansia terhadap dirinya akan berubah. Penilaian ini dapat berpengaruh
terhadap well-being wanita lansia tersebut selama hidupnya (Ryff & Singer,
1996).
Setiap pengalaman akan bervariasi pada setiap orang baik mengenai lokasi
terjadinya, tantangan, maupun upaya mengatasi tantangan tersebut. Setiap
pengalaman dan kesempatan yang ada membuat setiap individu memberikan
interpretasi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, setiap pengalaman yang dialami
oleh seorang individu turut berperan dalam menentukan apakah individu tersebut

Universitas Sumatera Utara

kehilangan atau memperoleh psychological well-being dalam hidupnya (Ryff &
Singer, 1996).
e. Keagamaan
Aktivitas keagamaan seperti berdoa, membaca kitab suci, dan kehidupan
rohani yang berkualitas sangat berkaitan dengan well-being seseorang terutama
wanita lansia (Koenig, Smiley, dan Gonzales, 1988; Santrock, 2009). Aktivitas
keagamaan menyediakan kebutuhan psikologis yang penting bagi seorang lansia,
membantu lansia dalam menghadapi kematiannya, menemukan makna hidupnya,
dan menerima setiap penurunan yang terjadi di usia tuanya (Daaleman, Perera,
dan Studenski, 2004; Santrock, 2009). Suatu penelitian menunjukkan bahwa
meskipun kehadiran seorang lansia di gereja berkurang namun perasaan
religiusitas dan kekuatan atau kenyamanan yang diterima dari agama akan tetap
stabil bahkan meningkat (Idler, Kasl, dan Hays, 2001; Santrock, 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa keagamaan berperan penting dalam membantu seorang
lansia terutama janda lansia menjalani kehidupannya.

B. SUKU BANGSA BATAK TOBA
2. Suku Bangsa Batak Toba
Menurut Koentjaraningrat (2002), budaya adalah daya budi berupa cipta,
karsa, serta rasa. Koentjaraningrat (2002) mengungkapkan bahwa kebudayaan
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Selain itu, dikatakan juga bahwa kebudayaan merupakan perwujudan keseluruhan

Universitas Sumatera Utara

perpaduan pikiran atau logika, tata cara perilaku atau etika, perasaan atau estetika,
dan keterampilan atau praktika dalam rangka perkembangan hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan (Rajamarpodang,
1992). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan nilai, karya,
ataupun tindakan yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat, bersifat
mengikat, dan mengatur kehidupan dalam bermasyarakat.
Seorang ahli Antrologi, J.J. Honigmann mengungkapkan tiga wujud
kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifact. Wujud pertama yaitu ide, gagasan,
nilai, norma, dan peraturan dalam suatu kebudayaan akan terlihat dalam adatistiadat yang diberlakukan. Wujud kedua yaitu activities terdiri atas aktivitasaktivitas manusia dalam berinteraksi dengan orang lain dan berdasarkan adat tata
kelakuan. Wujud ketiga yaitu artifact berupa karya konkret dari semua
masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan ini akan mengatur dan mengarahkan
tindakan dan karya manusia dalam bermasyarakat (Koentjaraningrat, 2002).
Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu subsuku bangsa Batak yang
memiliki nilai budaya yang berasal dari turun-temurun dan menjadi aturan dalam
kehidupan bermasyarakat (Rajamarpodang, 1992). Dalihan na tolu, sistem
keturunan patrilineal, dan tiga tujuan hidup yaitu hagabeon, hamoraon, dan
hasangapon merupakan salah satu contoh nilai budaya yang dimiliki oleh
masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba selalu diharapkan untuk bisa
menjalani hidupnya sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku (Sianipar, 2013).
Adat-istiadat yang diberlakukan ini memberi arahan kepada masyarakat mengenai

Universitas Sumatera Utara

apa yang dianggap baik atau tidak baik dalam kehidupannya (Koentjaraningrat,
2002).

3. Prinsip Keturunan
Prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal yaitu garis
turunan etnis adalah dari laki-laki (Rajamarpodang, 1992). Berdasarkan prinsip
patrilineal, anak laki-laki memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
kelanjutan generasi (Rajamarpodang, 1992). Bagi masyarakat Batak Toba, anak
laki-laki dianggap sangat penting yaitu sebagai penerus keturunan (marga ayah),
pengganti kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, serta pembawa
nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba (Pardosi, 1989).
Secara khusus bagi seorang wanita atau ibu, anak laki-laki dianggap sebagai
penanggung jawab dalam keluarga sebagaimana tanggung jawab yang dimiliki
oleh seorang suami terhadap istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992).
Keberadaan anak laki-laki dalam masyarakat Batak Toba menjadi sangat penting
dan sangat diharapkan.
Keluarga Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan dianggap Na
Punu (yang punah) karena tidak ada atau dapat melanjutkan silsilah ayah dan
tidak akan pernah lagi diingat atau diperhitungkan dalam silsilah. Na Punu artinya
generasi seseorang sudah punah atau tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Batak
Toba sebab tidak mempunyai anak laki-laki sebagai penyambung generasi
berikutnya. Pandangan akan berharganya anak laki laki-laki memunculkan
perasaan hampa akan hidupnya pada keluarga Batak Toba yang tidak mempunyai

Universitas Sumatera Utara

anak laki-laki. Selain itu, masyarakat Batak Toba yang pada dasarnya adalah
monogami akan melakukan poligami sebagai upaya untuk memperoleh anak lakilaki (Rajamarpodang, 1992).

5. Hamoraon, Hasangapon, dan Hagabeon
Masyarakat Batak Toba memiliki tiga tujuan hidup yang hendak dicapai
yaitu:
a. Hagabeon
Masyarakat Batak Toba mengartikan hagabeon sebagai keluarga yang
besar, menjadi panutan masyarakat, dan panjang umur. Sumber daya manusia
menjadi sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Kekuatan yang tangguh
hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang banyak (Harahap dan
Siahaan, 1987).
b. Hamoraon
Masyarakat Batak mengartikan hamoraon bukan hanya sekadar harta
kekayaan saja, tetapi mengenai jumlah keturunan terutama anak laki-laki
(Sihombing, 1986). Seseorang yang memiliki hamoraon artinya telah mapan
dalam karakter ekonominya. Salah satu ungkapan masyarakat Batak Toba yaitu
“anakkonki do hamoraon di au” menunjukkan bahwa anak laki-laki merupakan
kekayaan bagi seorang Batak Toba (Harahap dan Siahaan, 1987).
c. Hasangapon
Hasangapon merupakan tujuan tertinggi bagi kehidupan masyarakat Batak
Toba. Hasangapon adalah martabat dan kehormatan. Seseorang yang mencapai

Universitas Sumatera Utara

hasangapon adalah seseorang yang dapat memberi kebijakan, memiliki kearifan,
dan teladan bagi masyarakat. Hasangapon merupakan hasil yang diperoleh setelah
mencapai hagabeon dan hamoraon (Harahap dan Siahaan, 1987).

C. JANDA LANSIA
1. Janda Lansia
Kehilangan anggota keluarga, sahabat, pasangan merupakan suatu hal
yang umum terjadi pada masa lansia. Kematian pasangan hidup menimbulkan
dukacita mendalam pada pasangan yang ditinggalkan. Kematian pasangan hidup
juga melahirkan satu status baru bagi seorang lansia dimana dirinya disebut
sebagai duda atau janda (Craig, 1996).
Menjadi janda atau duda menjadi suatu tantangan baru dimana lansia harus
mengatasi dukacita yang dialaminya sepeninggalan pasangan. Selain itu, seorang
janda ataupun duda lansia dituntut untuk membangun kehidupan baru sebagai
orang tua tunggal dan kakek atau nenek tunggal (Lemme, 1995). Kematian
pasangan hidup menyebabkan hilangnya peran dan identitas lansia sebagai
seorang pasangan yang telah terjalin lama, intim, dan memiliki peran personal
bagi mereka (Berk, 2007).
Kematian pasangan merupakan suatu peristiwa yang paling traumatik bagi
seorang wanita (Matlin, 2008). Penyesuaian terhadap kematian pasangan ini akan
sangat dipengaruhi oleh proses kematian pasangan. Ketika pasangan meninggal
terjadi secara tiba-tiba dan tanpa diperkirakan, maka pasangan yang ditinggalkan
akan mengalami perubahan hidup yang lebih dramatis. Jika sebelum kematiannya

Universitas Sumatera Utara

pasangan telah mengalami penyakit yang parah, maka pasangan yang ditinggalkan
telah menyiapkan dirinya sebelum pasangan meninggal dunia. Penyesuaian atas
kematian pasangan menjadi sangat sulit dilakukan dimana seorang janda lansia
harus menyesuaikan diri kembali pada kehidupannya yang disertai perasaan
dukacita bercampur kelegaan (Brubaker, 1985; Lemme, 1995).
Kesepian menjadi masalah terbesar yang dialami oleh lansia pada
umumnya sepeninggalan pasangan mereka (Berk, 2007). Upaya mengatasi
kesepian ini tergantung pada usia, dukungan sosial, dan kepribadian pada lansia
tersebut. Dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, teman, rekan kerja, dan
kegiatan menyenangkan lainnya menjadi faktor yang sangat dibutuhkan dalam
mengatasi masalah setelah kematian pasangan (Lemme, 1995).
Janda lansia berupaya untuk memperoleh dukungan dari keluarga, teman,
rekan kerja, maupun melakukan hobinya (Lopata, 1979; Craig, 1996). Pada
umumnya, janda lansia lebih banyak mendapat dukungan dan bantuan dari
anaknya (Spitze & Logan, 1989, 1990; Craig, 1996). Anak sangat berperan dalam
menyediakan dukungan bagi janda lansia.

2. Dekade Kehidupan Lansia
Craig (1996) membagi usia lansia ke dalam 4 dekade kehidupan yaitu:
a. Young Old (60-90 tahun)
Kebanyakan lansia yang berusia 60-an akan memulai beradaptasi terhadap
peran barunya dan berupaya mengatasi penurunan fungsi diri serta menghadapi
tahap selanjutnya (Havighurst, 1972; Craig, 1996). Penurunan penghasilan yang

Universitas Sumatera Utara

diakibatkan oleh pensiun, berkurangnya rekan kerja, dan hubungan yang mulai
renggang dengan teman akan terjadi pada usia ini. Kebanyakan pensiunan akan
menjadi mentor, memberi nasihat, dan melakukan usaha-usaha yang sederhana
(Craig, 1996).
b. Middle-Aged-Old (70-79 tahun)
Pada usia 70-an kebanyakan lansia akan berjuang dari kehilangan
keluarga, sahabat, dan rekan kerja, terutama pasangan hidup. Selain itu, kesehatan
lansia menjadi lebih bermasalah di usia ini. Penurunan kesehatan ini akan memicu
penurunan kesehatan yang lebih lanjut bahkan ketidakmampuan pada dekade
berikutnya (Craig, 1996).
c. Old-Old (80-89 tahun)
Pada usia ini seorang lansia akan hidup dalam proses yang berkelanjutan
dimana akan selalu mengingat pengalaman dulu hingga saat ini yang tersimpan
dalam memorinya. Kebanyakan lansia pada usia ini akan kesulitan dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Mereka membutuhkan
bantuan baik dalam mengelola hubungan sosial maupun berbudaya (Craig, 1996).
d. Very Old-Old (90-99 tahun)
Pada kelompok usia ini, kesehatan seorang lansia akan lebih menurun
dibandingkan kelompok usia sebelumnya. Kebanyakan lansia pada usia ini akan
tetap berhasil mengubah aktivitas mereka sehingga memperoleh apa yang mereka
butuhkan. Pada umumnya lansia pada dekade ini akan lebih bahagia, tenang, dan
tercukupi (Craig, 1996).

Universitas Sumatera Utara

3. Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Havighurst (Hurlock, 2000), tugas-tugas perkembangan seorang
lansia adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
Lansia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan berkurangnya
kekuatan dan penurunan kesehatan secara bertahap. Lansia akan melakukan
perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan baik terhadap dirinya
sendiri maupun dengan orang lain. Lansia juga diharapkan untuk mencari
kegiatan lain sebagai pengganti atas kegiatan terdahulu yang dilakukannya saat
masih muda (Hurlock, 2000).
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
keluarga
Bagi beberapa lansia mengikuti kegiatan-kegiatan sosial sangat sulit untuk
dilaksanakan karena keadaan kesehatan dan pendapatan yang berkurang setelah
pensiun. Hal ini membuat banyak lansia terpaksa mundur dari kegiatan-kegiatan
sosial. Oleh karena itu, lansia diharapkan untuk menyusun kembali pola hidup
yang disesuaikan dengan kondisi dirinya saat ini (Hurlock, 2000).
c. Menyesuaikan diri dengan kematian atau hilangnya pasangan hidup
Pada masa lansia, setiap individu dituntut untu mempersiapkan dan
menyesuaikan diri atas kematian pasangan hidupnya. Kematian pasangan hidup
lebih menjadi masalah bagi wanita lansia dibandingkan pria lansia. Kematian
suami pada wanita lansia berarti berkurangnya pendapatan, kecemasan akan hidup

Universitas Sumatera Utara

sendiri. Hal ini memberikan tuntutan baru bagi janda lansia untuk melakukan
perubahan pada aturan hidup (Hurlock, 2000).
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia
Ketika anak-anak mulai bertumbuh dewasa dan mulai memiliki kesibukan
sendiri, hubungan anak dengan orang tua menjadi berkurang. Oleh karena itu,
lansia dituntut untuk membangun hubungan dengan orang lain yang seusia
mereka. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesepian yang
sering dialami oleh lansia, terutama ketika pasangan telah meninggal dunia,
menghadapi pensiun, dan kegiatan sosial yang mulai berkurang (Hurlock, 2000).
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
Pengaturan kehidupan fisik ini sering disebut dengan istilah living
arrangement. Setiap lansia diperhadapkan dengan tiga pilihan yaitu living alone
(tinggal seorang diri di rumah sendiri), living with adult children (tinggal bersama
anak yang sudah dewasa dan menikah), dan living in institutions (tinggal di
instritusi seperti panti jompo) (Papalia, 2007). Pada masa lansia akan muncul
suatu pertimbangan apakah keinginan dan kebutuhan yang biasa mereka penuhi
pada masa-masa sebelumnya masih dapat terpenuhi atau tidak. Setiap tempat
tinggal akan mempengaruhi bagaimana keadaan psikologis lansia tersebut dan
pemenuhan kebutuhannya sehari-hari (Hurlock, 2000).
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Sejak awal kehidupan, lansia telah berhubungan dengan setiap orang baik
seusia maupun tidak seusia dengannya. Pada masa ini, lansia akan kembali
menjalin hubungan dengan individu yang berasal dari berbagai kelompok usia

Universitas Sumatera Utara

namun hal ini dianggap sulit oleh beberapa lansia. Pada masa lansia, setiap lansia
akan bergabung dengan kelompok yang sebagian besar dan ditolak oleh
masyarakat. Hal ini berkaitan dengan ageism yang muncul pada masyarakat.
Sebagai akibatnya, lansia kurang termotivasi untuk terlibat dengan masyarakat
dan muncul anggapan bahwa itu tidak menghasilkan suatu kebanggaan bagi
mereka (Hurlock, 2000).

4. Perubahan pada Lansia
a. Perubahan Kemampuan Motorik pada Lansia
Beberapa perubahan fisik terjadi pada masa lansia dan sering dikaitkan
dengan aging pada lansia. Kulit lansia menjadi lebih pucat, berbercak, kurang
elastis, dan kulit keriput. Urat nadi mulai terlihat pada bagian tangan. Rambut
beruban dan menjadi lebih tipis. Lansia terlihat lebih pendek dikarenakan
penipisan tulang yang terlihat pada bagian belakang leher. Keadaan ini
menyebabkan lansia khususnya lansia wanita dapat mengalami osteoporosis
(Papalia, 2007).
Kebanyakan lansia akan mengalami penurunan yang tajam baik pada
kemampuan sensori maupun psikomotor. Beberapa lansia lainnya menunjukkan
adanya penurunan fungsi diri yang terjadi dengan lambat. Hal ini tidak terlepas
dari faktor perbedaan individu seperti life style. Masalah penglihatan dan
pendengaran merupakan masalah yang paling sering muncul pada lansia.
Penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan sering menjadi pemicu
terganggunya lansia dalam berhubungan sosial dan mandiri. Sementara penurunan

Universitas Sumatera Utara

motorik akan membatasi lansia dalam melakukan berbagai tindakan (Papalia,
2007).
b. Hubungan dengan Anak dan Cucu
1. Hubungan dengan Anak
Hubungan antara orang tua lansia dengan anak pada umumnya semakin
hari kurang memuaskan. Keadaan ini tidak terlepas dari pengaruh kemampuan
lansia dalam menyesuaikan diri terhadap anak serta memahami kebutuhan dan
keadaan mereka di usia saat ini (Hurlock, 2000). Di samping itu, hubungan orang
tua lansia dan anak di masa lalu juga dapat menentukan hubungan yang dijalin
saat ini (Hurlock, 2000). Hubungan baik yang terjalin di masa lalu akan dapat
melahirkan hubungan baik di masa mendatang, dan sebaliknya (Wilson, Shuey,
dan Elder, 2003; Santrock, 2009). Terkhusus bagi wanita, pada umumnya
hubungan ibu dan anak menjadi lebih baik dibandingkan dengan hubungan ayah
dan anak. Wanita dianggap lebih luwes menyesuaikan diri dengan anak daripada
pria. Selain itu, hubungan ibu dan anak dianggap sebagai suatu hubungan yang
berkelanjutan sejak anak lahir (Hurlock, 2000).
Setelah memasuki masa lansia, kebanyakan lansia cenderung akan
ketergantungan terhadap anak baik ketergantungan secara ekonomi maupun
kebutuhan lainnya yang dibantu oleh anak. Di sisi lain, anak memiliki tanggung
jawab lainnya seperti merawat anak-anak dan mencukupi kebutuhan keluarga.
Ketergantungan ini pada dasarnya menjadi suatu tantangan yang sangat berat bagi
seorang lansia dalam menjalani kehidupannya (Hurlock, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Di samping ketergantungan pada lansia, kebanyakan lansia merasa sulit
melepaskan peran otoriternya terhadap anak (Hurlock, 2000). Lansia kesulitan
menyesuaikan diri dengan “kehilangan” anaknya dan memunculkan masalah
seperti overprotective dan ikut campur masalah keluarga anak. Beberapa anak
terkadang lebih menghiraukan perkataan orang tua dibandingkan pasangannya
sehingga tidak jarang terjadi masalah antara pasangan anak maupun orang tua
lansia (Degenova, 2008).
Ketergantungan dan peran otoriter orang tua menjadi suatu hal negatif
dalam hubungan antara orang tua dan anak namun di sisi lain terdapat suatu hal
yang dapat menciptakan hubungan baik antara orang tua dan anak. Di masa tua,
kebanyakan lansia menganggap dirinya tidak berguna dan hal ini berpengaruh
terhadap well-being lansia tersebut. Di ketidakberdayaannya kebanyakan lansia
akan mengalami perasaan positif ketika mereka mampu menyediakan bantuan
bagi orang lain yang membutuhkan. Salah satu contohnya adalah banyak lansia
yang khawatir dengan keadaan anak tanpa menghiraukan usia anak saat ini
(Newman dan Newman, 2006).
Bagi seorang lansia, perhatian dan dukungan keluarga dapat mengurangi
stress yang dialaminya dan melindunginya dari konsekuensi negatif seperti
penyakit dan depresi (Muller dan Norris, 1991; Newman dan Newman, 2006).
Setiap lansia merasa nyaman dengan kebutuhannya yang selalu disediakan namun
seorang lansia akan mengalami perasaan negatif ketika tidak ada kesempatan
baginya untuk membantu orang lain yang membutuhkan (Liang, Krause, dan
Bennett, 2001; Newman dan Newman, 2006). Ketika anak mengalami masalah

Universitas Sumatera Utara

seperti masalah pernikahan, keuangan, kesehatan, dan masalah lainnya, orang tua
akan merasa terbeban dengan keadaan tersebut. Tak jarang orang tua akan terlibat
dalam membantu setiap masalah yang dialami oleh anaknya. Orang tua akan
merasa senang apabila dirinya dapat membantu anak sebaik bantuan yang
diterimanya dari anak (Marks, 1995; Degenova, 2008). Memberikan bantuan
terhadap anak walaupun tidak dibalas akan berpengaruh terhadap psychological
well-being seorang orang tua daripada hanya menerima bantuan dari anak. Oleh
karena itu dikatakan bahwa kehidupan anak dapat mempengaruhi psychological
well-being seorang orang tua (Degenova, 2008).
2. Hubungan dengan Cucu
Seorang kakek atau nenek dapat membantu cucu dalam menciptakan
kehidupannya yang lebih baik lagi. Sebagai kakek atau nenek dalam hal ini nenek
dapat menciptakan perasaan nyaman dan berbagi kasih sayang dengan cucu.
Kasih sayang seorang nenek akan membantu pertumbuhan cucu, memberi rasa
nyaman, dan percaya bagi cucu. Cucu akan dibantu belajar memahami suatu
keadaan, percaya, dan mengerti akan orang lain. Seorang nenek juga berperan
dalam menyediakan suatu pondasi bagi cucu dalam menjalani kehidupannya di
masa depan. Melalui pengalaman hidup yang bernilai dan pelajaran di masa lalu,
seorang nenek dapat mengajarkan cucu hal-hal yang baik. Ketika anak mengalami
keterbatasan baik dalam waktu maupun uang, seorang nenek bertugas mengawasi
cucunya. Banyak peran baik yang dapat dilakukan seorang nenek ataupun kakek
terhadap cucunya (Degenova, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Suatu hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan cucu dan nenek atau
kakek akan sangat dipengaruhi oleh usia cucu (Hurlock, 2000). Cucu yang berusia
remaja pada dasarnya lebih mampu memahami perkataan nenek atau kakeknya
mengenai keadaan yang terjadi dibandingkan anak-anak (Degenova, 2008).
Ketika cucu masih berusia kanak-kanak, nenek atau kakek biasanya berperan
sebagai babysitter cucu atau teman bermain cucu terutama jika tinggal serumah.
Apabila cucu sudah memasuki usia tengah baya, cucu turut bertanggung jawab
terhadap kakek atau nenek mereka. Pada umumnya, lansia menganggap cucu
merupakan gambaran kepribadian dan nilai-nilai dimilikinya selama ini (Craig,
1996).
c. Kehidupan Pensiun
Pensiun menjadi suatu pengalaman traumatik yang dialami oleh seorang
lansia. Pensiun mengakibatkan hilangnya status, peran, dan prestasi yang pernah
dicapai oleh seorang lansia. Pada dasarnya, setiap lansia telah mempersiapkan diri
untuk memasuki masa pensiun namun seorang lansia akan mengalami identity
crisis yang diungkapkan oleh Erikson. Lansia akan memiliki identitas yang
berbeda dengan ketika dirinya masih dewasa, terkadang diperlakukan seperti
anak-anak, terkadang sebagai orang tua, dan terkadang sebagai orang dewasa.
Identity crisis terjadi sebagai akibat dari perubahan drastis pada lansia dimana
pada kehidupan awal sebagai pekerja yang sibuk berubah menjadi seorang
pengangguran yang tidak menentu (Hurlock, 2000).

Universitas Sumatera Utara

D. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING YANG POSITIF PADA JANDA
LANSIA SUKU BATAK TOBA YANG TINGGAL DENGAN “ANAK”
(ANAK LAKI- LAKI)
Setiap janda lansia pada dasarnya dituntut untuk memenuhi setiap tugas
perkembangannya di masa tua (Hurlock, 2000). Salah satu tugas perkembangan
janda lansia adalah pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan (selanjutnya
disebut living arrangement) (Papalia, 2007). Living arrangement berfungsi dalam
mengatur kembali kehidupan seorang janda lansia dengan mempertimbangkan
cara pemenuhan kebutuhan janda lansia dan penentuan bersama siapa dirinya
tinggal dan melanjutkan kehidupannya (Hurlock, 2000).
Penentuan living arrangement tidak terlepas dari pengaruh nilai budaya
janda lansia tersebut (Papalia, 2007). Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat
masing-masing dimana jika dilanggar akan memberi sanksi atas orang tersebut
misalnya suku bangsa Batak Toba (Sihombing, 1986). Kehidupan masyarakat
Batak Toba juga tidak terlepas dari nilai lainnya seperti hamoraon, hasangapon,
dan hagabeon. Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon merupakan tiga tujuan
hidup masyarakat Batak Toba yang harus terpenuhi (Harahap dan Siahaan, 1987).
Prinsip keturunan patrilineal merupakan prinsip keturunan yang berlaku
pada masyarakat Batak Toba. Anak laki-laki (selanjutnya disebut anak) akan
mendominasi semua aspek kehidupan dalam masyarakat Batak Toba (Vergouwen,
1964). Bagi seorang wanita atau ibu khususnya, anak dianggap sebagai sosok
yang bertanggung jawab dalam keluarga seperti tanggung jawab yang dimiliki
oleh seorang suami terhadap istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992). Setiap

Universitas Sumatera Utara

nilai tersebut melahirkan suatu adat di tengah-tengah masyarakat Batak Toba
bahwa orang tua yang sudah lansia diharuskan tinggal dengan anak. Kekukuhan
adat ini mendorong janda lansia untuk tinggal dengan anak dan diharapkan agar
setiap tujuan hidup yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon dapat tercapai
pada diri janda lansia tersebut.
Lingkungan tempat tinggal baru dan keluarga anak baik anak, menantu
perempuan (selanjutnya disebut “parumaen”), dan cucu (selanjutnya disebut
“pahompu”) menjadi suatu tantangan bagi seorang janda lansia. Seorang janda
lansia dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya setelah berada di rumah anak.
Seseorang yang mampu merealisasikan dirinya adalah mereka yang mengalami
pertumbuhan dan mampu memenuhi kebutuhannya (Ryff & Singer, 2006).
Kemampuan merealisasikan diri merupakan poin penting penentu psychological
well-being (Ryff & Singer, 2006). Psychological well-being berupa perasaan yang
mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan
potensi yang terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989).
Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan
eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin,
2002). Setelah tinggal di rumah anak, banyak tantangan yang diperoleh seorang
janda lansia yang dapat mempengaruhi psychological well-being mereka. Salah
satu tantangan tersebut adalah janda lansia sulit dalam menyesuaian diri terhadap
anak yang dalam hal ini keluarga anak dan sulit memahami kebutuhan dan
keadaannya (Hurlock, 2000). Selain itu, seorang janda lansia juga mengalami
ketergantungan terhadap keluarga anak baik secara ekonomi maupun kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

lainnya (Hurlock, 2000). Kepada anak, janda lansia seringkali tidak melepaskan
peran otoriternya sehingga tidak jarang ditemukan perselisihan antara janda lansia
dan pasangan anaknya yaitu parumaen (Degenova, 2008).
Tinggal dengan keluarga anak tidak jarang membuat janda lansia khawatir
akan keadaan keluarga anak sehingga dirinya akan membantu kesulitan keluarga
anak (Degenova, 2008). Sebagai seorang nenek, janda lansia juga dituntut untuk
mempersiapkan pahompu untuk masa depannya yang lebih baik (Degenova,
2008). Tantangan lain yang dihadapi oleh seorang janda lansia adalah pensiun
dimana dirinya kehilangan status, peran, dan prestasi yang dicapainya selama ini
(Hurlock, 2000). Setiap tantangan ini tentu akan berdampak pada psychological
well-being janda lansia yang tinggal dengan keluarga anak (Ryff, 1989).

Universitas Sumatera Utara

E. PARADIGMA BERPIKIR
Janda Lansia Suku Batak Toba
yang Tinggal dengan Anak
(Anak Laki-Laki)

Lingkungan

Anak

Parumaen

Pahompu

Baru

(Anak Laki-laki)

(Menantu Perempuan)

(Cucu)

Kemampuan untuk merealisasikan diri

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
Usia
1. Penerimaan Diri

Jenis Kelamin

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain
Status Sosial Ekonomi
Life event

3. Otonomi
4. Penguasaan Lingkungan
5. Tujuan Hidup

Keagamaan

6. Pertumbuhan Pribadi

:

Membutuhkan

:

Mencapai

:

Faktor yang Mempengaruhi Variabel yang Diteliti

:

Variabel yang diteliti

Universitas Sumatera Utara