BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Penelitian Terdahulu - Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Perempuan Pekerja Seks (PPS) Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Penelitian Terdahulu

  Dalam peneltian ini penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis teliti. Diantaranya sebagai berikut.

  1. Menurut Dhani Prajuritno jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang Tahun 2012 yang berjudul ‘’ Interaksi Sosial Pekerja Seks Komersial

  dengan Masyarakat Setempat di Lokalisasi Gang Sadar Kawasan Wisata Baturraden Kabupaten Banyumas’’

  . Hasil penelitian menunjukkan bahwa Interaksi sosial yang terjadi antara PSK dengan masyarakat setempat sangat beragam. Interaksi antar sesama PSK terjadi hubungan sosial yang baik, para PSK menjalankan tugas dan peran masing-masing sehingga tidak pernah terjadi bentrok atau keributan antara PSK. Dalam berinteraksi dengan orang tua asuh terjalin suatu hubungan yang begitu akrab antara PSK dengan bapak-ibu asuh (mamih), mereka seperti satu ikatan keluarga.

  2. Menurut Jajuli jurusan Bimbingan Konseling Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2010 yang berjudul ‘’ Motivasi dan Dampak Psikologis Pekerja Seks Komersial’’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara motif yang melatar belakangi seorang untuk menjadi PSK secara Sosiogenetis adalah faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi, motif kemewahan dan motif kepuasan, akibat kurangnya faktor pendidikan dan juga tidak memiliki skill khusus sehingga mereka mudah terpengaruh.

  3. Menurut Sakinatul jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Malang Tahun 2011 ‘’

  

Studi Kehidupan Ekonomis Pekerja Seks Pelajar (Studi Kasus Pelajar Di Kota Malang)

’’.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja seks pelajar yeng berasal dari keluarga kurang mampu alasan yang utama dalam melakukan praktik prostitusi adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selalu mempertimbangkan pembelian yang akan dilakukannya, cenderung untuk menabung dan memfokuskan pengeluaran pada anggaran pendidikan. Pekerja seks pelajar dari keluarga mampu terjun ke dunia prostitusi disebabkan pengaruh lingkungan budaya yang mempengaruhi untuk berperilaku konsumtif, menjalani profesi ini karena gaya hidup hedonisme, berkecukupan tidak ada keinginan untuk menabung dan berinvestasi. Pekerja seks yang telah profesional atau yang menjalani pekerjaan seperti ini sejak lama, lebih berorientasi untuk menabung dan berinvestasi.

  Berdasarkan ketiga penulisan sebelumnya, belum ada yang secara spesifik atau khusus membahas mengenai kehidupan sosial ekonomi pekerja seks. Dalam hal ini yang ingin penulis tekankan adalah seperti apa kehidupan sosial ekonomi pekerja seks yang ada di Losmen Serasi Baru.

2.2 Sosial Ekonomi

2.2.1 Pengertian

  Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah meski saling memiliki keterkaitan. Pengertian sosial dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat, sedangkan pada departemen sosial menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan dan kesejahteraan sosial.

  Sejarah sosial ekonomi berhubungan dengan keadaan-keadaan dimana manusia-manusia itu hidup, kemungkinan-kemungkinan perkembangan materi dan batas-batasnya yang tidak bisa diikuti manusia. Penduduk dan kepadatan penduduk, konsumsi dan produksi pangan, perumahan, sandang, kesehatan dan penyakit, sumber-sumber kekuatan dan pada tingkat dasarnya faktor- faktor ini berkembang tidak menentu dan sangat drastis mempengaruhi kondisi-kondisi dimana manusia itu harus hidup (Ahmad, 1992:45).

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI,1996:958). Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain disekitarnya. Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat.

  Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum. Maka secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Ini adalah pengertian yang paling sederhana. Namun seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah lebih luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti keuangan, perindustrian dan perdagangan).

  (KBBI,1996:251).

  Sehingga menurut (Conyers 1991:5) kata sosial ekonomi mengandung pengertian sebagai sesuatu yang non moneter sifatnya yang bertalian dengan kualitas kehidupan insani. Sedangkan ekonomi dijelaskan sebagai lawan dari pengertian sosial yaitu dilibatkan kaitannya dengan uang. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi berdasarkan pengertian di atas merupakan suatu kondisi yang terkait secara moneter dan non moneter. Kondisi sosial ekonomi keluarga didasarkan pada pendapatan keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang orang tua dan status sosial didalam masyarakat seperti, hubungan dengan masyarakat, asosiasi dalam kelompok masyarakat, dan persepsi masyarakat atas.

  Kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat. Pemberian posisi ini disertai dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pembawa status. (Koentjaraningrat, 1990:56)

  Menurut Melly G. Tan bahwa bahwa kedudukan sosial ekonomi meliputi tiga faktor yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Pendapat diatas didukung oleh Mahbud UI Hag dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari Overseas Development Council mengatakan bahwa kedudukan sosial ekonomi dititikberatkan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan air yang sehat serta didukung oleh pekerjaan yang layak ( http://www.detikfinance.com , diakses pada tanggal 28 Mei 2014 pukul 16:40).

2.2.2 Indikator Sosial Ekonomi

  Keluarga atau kelompok masyarakat dapat digolongkan memiliki sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 1981: 38). Berdasarkan hal tersebut kita dapat mengklasifikasikan keadaan sosial ekonominya, yang dapat dijabarkan sesuai dengan indikator sebagai berikut : a.

  Pendapatan Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan ditemui dalam masyarakat yang materialis dan tradisional yang menghargai status sosial ekonomi yang tinggi terhadap kekayaan. Christopher dalam Sumardi (2004) mendefinisikan pendapatan berdasarkan kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.

  Sedangkan Biro Pusat statistik merinci pendapatan dalam kategori sebagai berikut: 1. Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya regular dan diterima biasanya sebagai balas atau kontra prestasi, sumbernya berasal dari: a) Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja lembur dan kerja kadang-kadang.

  b) Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi, penjualan dari kerajinan rumah.

  c) Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah.

  Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik.

2. Pendapatan yang berupa barang yaitu : Pembayaran upah dan gaji yang ditentukan dalam

  beras, pengobatan, transportasi, perumahan dan kreasi. Berkaitan dengan hal tersebut mendefinisikan pendapatan adalah sebagai Seluruh penerimaan baik berupa uang ataupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri, dengan jalan dinilai sejumlah atas harga yang berlaku saat ini. Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu: 1.

  Golongan Sangat Tinggi : Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan

2. Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara

  Rp. 2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan

  3. Golongan Pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawah antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000, 00 perbulan.

  4. Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp.

  1.500.000,00 per bulan (Wijaksana,1992: 52) Berdasarkan kategori tersebut, dapat dikatakan bahwa pendapatan juga sangat berpengaruh terhadap tingkat ekonomi seseorang. Apabila seseorang mempunyai pendapatan yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ekonominya tinggi juga. Disamping memiliki penghasilan pokok setiap Keluarga biasanya memiliki penghasilan lain yang meliputi penghasilan tambahan dan penghasilan insidentil.

  b.

  Perumahan Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, tersedianya listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman sebagai mana mestinya.

  Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung keluarga dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga sebagai status lambing sosial (Mukono, 2000: 25). Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992). Menurut WHO (World Health Organization), rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan kelu arga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).

  Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A, (2) Memenuhi kebutuhan kejiwaan, (3) Melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan, serta (4) Melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Sanropie, 1992: 55 dan Azwar, 1996 : 64).

  Berdasarkan Undang-undang No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, terdapat beberapa pengertian dasar, yaitu:

  1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

  2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

  3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang

  berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

  

4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan

  ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur.

  5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

  6. Rumah sebagai bangunan yang merupakan bagia dari suatu pemukiman yang utuh dan

  tidak semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan, dan pengaruh fisik belaka, melainkan juga tempat tinggal, tempat beristirahat setelah menjalani perjuangan hidup sehari-hari 7. Permukiman adalah satuan kawasan perumahan lengkap dengan prasarana lingkungan, prasarana umum, dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan kepentingan dan keselarasan pemanfaatan sebagai lingkungan kehidupan 8. Perumahan dan pemukiman merupakan kesatuan fungsional, sebab pembangunan perumahan harus berlandaskan suatu pola pemukiman yang menyeluruh, yaitu tidak hanya meliputi pembangunan fisik rumah saja, melainkan juga dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial, terutama di daerah perkotaan yang mempunyai permasalahan majemuk dan multidimensional.

  Pengertian mengenai perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. (Sastra, 2006:29) Adapun Persyaratan Perumahan dan Permukiman adalah 1.

   Persyaratan Dasar Perumahan

  Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a.

  Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat, dengan kriteria sebagai berikut:

  1) Kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi.

  2) Kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam. 3)

  Kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia). 4)

  Kriteria keindahan/ keserasian/ keteraturan (kompatibilitas), dicapai dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau danau/ setu/ sungai/ kali dan sebagainya;

  5) Kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan fisik/ pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana.

  6) Kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan.

  7) Kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/ lokal setempat.

  b.

  Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.

  Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud.

2. Persyaratan Dasar Permukiman

  Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai aspek. Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik untuk suatu permukiman yaitu harus memenuhi sebagai berikut: a.

  Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya b. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain c.

  Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun d.

  Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah e.

  Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/ tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal f.

  Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman g.

  Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya permukiman itu.

  h.

  Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon c.

  Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatanbimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

  Pada dasarnya pengertian pendidikan sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

  Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

  Menurut Ki Hajar Dewantara yang tak lain adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

  Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

  d.

  Kesehatan Pengertian Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 menyebutkan bahwa pengertian kesehatan adalah sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan. Pada tahun 1986, WHO, dalam Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan, mengatakan bahwa pengertian kesehatan adalah “sumber daya bagi kehidupan sehari-hari, bukan tujuan hidup Kesehatan adalah konsep positif menekankan sumber daya sosial dan pribadi, serta kemampuan fisik.

  Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

  e.

  Sandang dan Pangan. Sandang adalah pakaian manusia. Pakaian menjadi kebutuhan primer pertamawalaupun manusia tidak bisa hidup tanpa pakaian, tetapi karena manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat sehingga pakaian adalah hal yang paling penting. Sedangkan pangan adalah sumber makanan bagi manusia dan merupakan kebutuhan primer. Pangan ini meliputi pekerjaan dan hal- hal serupa yang bertujuan menghasilkan pangan bagi kehidupan manusia. Manusia hidup dalam masyarakat pasti butuh bekerja untuk memperoleh nafkah.

  f.

  Interaksi sosial

  Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan

  antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses   sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam amasyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok- kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.

  interaksi

  Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.

  Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan oleh Thibaut dan Kelley bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain ( http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/ oleh Haryanto, S.Pd diakses pada tanggal 1 September 2014).

2.3 Seks

  Seks secara harafiah memiliki arti berkenaan dng seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Istilah “seks” secara etimologis, berasal dari bahasa Latin “sexus” kemudian diturunkan menjadi bahasa Perancis Kuno “sexe”. Istilah ini merupakan teks bahasa Inggris pertengahan yang bisa dilacak pada periode 1150-1500 M. Seks secara leksikal (makna dasar) bisa berkedudukan sebagai kata benda (noun), kata sifat (adjective), maupun kata kerja transitif (verb of transitive). Secara terminologis seks adalah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan pendorong hidup yang biasanya disebut dengan insting/ naluri yang dimiliki oleh setiap manusia, baik dimiliki laki-laki maupun perempuan yang mempertemukan mereka guna meneruskan kelanjutan keturunan manusia.

  ( http://kbbi.web.id/seksual , diakses tanggal 27 Mei 2014 pukul 20.00 Wib)

2.3 Perempuan Pekerja Seks (PPS)

2.4.1 Pengertian

  Pelacur, lonte, Pekerja Seks komersial (PSK), wanita tuna susila (WTS), prostitute adalah kata lain sebutan dari perempuan pekerja seks (PPS) yang diunjukkan pada sesosok perempuan penjaja seks. Istilah pelacur berkata dari “lacur” yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi, kata lacur juga memiliki arti buruk laku. (Kamus Besar Bahasa indonesia,2001:265).

  Berangkat dari kata-kata tersebut pengertian dari Pekerja seks komersial itu sendiri dapat disimpulkan adalah para pekerja yang bertugas melayani   dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah memakai jasa mereka tersebut (Koentjoro, 2004:26). Atau dengan kata lain adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan banyak laki – laki di luar pernikahan dan sang wanita memperoleh imbalan dari laki – laki yang menyetubuhin (Siregar, 1983:11)

  Biasanya pekerja seks komersial yang berada di bordil-bordil ini dipelihara oleh seseorang yang dinamakan germo atau mucikari. Ada pula pekerja seks komersial yang hanya melayani panggilan ke tempat tertentu seperti di hotel, pesanggrahan atau rumah tertentu. Pekerja seks komersial jenis ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Pekerja seks komersial tersebut diperoleh dari tempat penampungan milik germo dan sulit ditelusuri keberadaannya.

  Dari hal-hal tersebut di atas dapat ditelaah bahwa PSK sangat erat hubungannya dengan pelacuran. PSK menunjukkan kepada “orang”nya, sedangkan pelacuran menunjukkan kepada “perbuatan”.

  2.4.2 Kategori Pelacuran

  Pelacuran dapat dikategorikan dengan kelas-kelas seperti berikut : a. Pelacuran kelas rendahan seperti jalanan, bordil-bordil murahan b. Pelacuran kelas menengah seperti yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersih dan pelayanannya baik c. para pelacur tinggal di rumah sendiri

  Pelacuran kelas tinggi :biasanya (terselubung/tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit dilacak keberadaannya dan biasanya memasang tarif mahal.

  2.4.3 Sejarah Perempuan Pekerja Seks (PPS) atau Perempuan Pekerja Seks (PSK)

  Pelacuran sejak jaman dahulu telah hadir dan berkembang di kehidupan manusia, karena seiring dengan hadirnya manusia di muka bumi ini. Seperti menurut (Hull 1997: 5) menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah kemerdekaan.

  Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian akan dimasukan dalam dunia pelacuran terkait dengan sebuah sistem pemerintahan yang feodal. Bentuk pelacuran ini disebabkan oleh konsep kekuasaan raja yang bersifat agung, mulia dan tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Muncul pula anggapan bahwa, semakin banyak selir yang dimiliki raja maka semakin kuat pula posisi raja di mata masyarakat. Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti masyarakat modern ini, meskipun apa yang dilakukan pada masa itu dapat membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang sekarang.

  Setelah masa kerajaan, pelacuran muncul kembali dengan gaya yang berbeda dalam masa penjajahan Belanda. Pada periode penjajahan Belanda, bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan pemuasaan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia, dengan melalui adanya selir-selir. Juga adanya dasar alasan lain mengapa pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat, yaitu sistem perbudakan tradisional. Contohnya dalam pertumbuhan industri seks di pulau Jawa dan Sumatera, berkembang seiring pendirian perkebunan-perkebunan. Para pekerja perkebunan dengan mayoritas laki-laki akan menciptakan permintaan aktivitas prostitusi.

  Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang, selama pendudukan Jepang (antara tahun 1941-1945), semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan dan dijadikan satu dalam rumah-rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya memang sebagai wanita penghibur saja yang masuk ke rumah bordir, di masa pemerintahan Jepang banyak pula wanita yang tertipu ataupun terpaksa melakukan hal tersebut (Hull, 1997:13).

  Terdapat kaitan antara ekonomi dengan pelacuran, (Hull 1997: 43) yang menyatakan bahwa ada dua perbedaan perekonomian yang berkembang di daerah-daerah kota. Perekonomian yang pertama, kelompok perekonomian yang sifatnya komersil dimana perdagangan dan industri berlangsung dengan cara tidak melakukan kontak langsung dengan pelaku-pelaku ekonomi.

  Perekonomian yang ke dua adalah, ekonomi bazaar terdiri dari berbagai macam kegiatan ekonomi ditujukan untuk melayani kebutuhan konsumen dan dikelola oleh sekolompok penjual yang berkompetisi ketat, dan saling berkomunikasi melalui transaksi. Masa penjajahan, komersialisasi seks diikuti oleh bentuk perdagangan seks yang berkembang mencerminkan dualistik dari struktur perdagangan ekonomi komersial dan bazaar.

  Terdapat perbedaan kehidupan wanita tuna susila dari kedua masa penjajahan tersebut (Belanda dan Jepang), yang ditegaskan dalam sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Tempo (1992:7:45) yang menyebutkan bahwa wanita-wanita yang dijadikan pelacur pada kedua masa penjajahan tersebut lebih menyukai kehidupannya yang nyaman pada masa penjajahan Belanda dibanding dengan masa penjajahan Jepang. Hal ini dikarenakan banyak

  Sinyo

  yang memberi hadiah (pakaian, uang, perhiasan, tempat tinggal), sedangkan orang Jepang terkenal pelit dan lebih suka kekerasan (Hull, 1997:15).

  Kemudian pelacuran lebih bervariatif pada tahun 1980-an dengan diawali munculnya fenomena baru yaitu hadirnya perek , yang biasa diartikan sebagai perempuan eksperimental.

  Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah, masih bersekolah, dan bekerja sebagai pekerja seks. Menurut (Hull 1997:31) menyatakan bahwa mereka menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan, dengan atau tanpa bayaran. Biasanya seorang perek adalah seseorang wanita muda, dengan memiliki jiwa petualang dan mempunyai sikap melawan.

  Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan, tidak sedikit mengangkat wacana seksualitas. Penelitian bertemakan seksualitas biasanya dibalut dengan isu politik, gender, kemiskinan, budaya, kesenian, agama, mata pencaharian, gaya hidup, dan masih banyak lainnya.

2.4.4 Ciri-Ciri Perempuan Pekerja Seks (PPS)

  Kartono Kartini (2005:209) menyebutkan beberapa cirri khas dari Pekerja Seks Komersial ialah sebagai berikut : 1.

  Wanita, lawan pelacur adalah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki).

  2. Cantik, molek, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria

  3. Masih muda-muda & 5% dari pelacur di kota-kota ada dibawah usia 30 tahun. Yang terbanyak adalah usia 17-25 tahun

  4. Pakaiannya sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh-aneh (eksentrik) untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu wajah, rambut, pakaian, alat-alat kosmetik dan parfum yang wangi semerbak.

  5. Bersifat sangat mobil, kerap berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Biasanya mereka memakai nama samara dan sering berganti nama, juga berasal dari tempat lain, bukan di kotanya sendiri agar tidak dikenal oleh banyak orang 6. Mayoritas berasal dari strata ekonomi social rendah. Mereka umumnya tidak memiliki keterampilan (skill) khusus dan kurang pendidikannya. Modalnya adalah kecantikan dan kemudaaannya.

  Pada umumnya seorang PSK adalah wanita yang memiliki kesempurnaan secara fisik. Hal ini mutlak dibutuhkan karena merupakan modal dasar perempuan tersebut untuk terjun, hidup dan laku sebagai PSK. Mereka dituntut untuk tetap mempertahankan kecantikan agar tetap bertahan pada profesinya tersebut.

2.4.5 Faktor-Faktor Penyebab Pelacuran

  Faktor-faktor penyebab wanita terjun kedunia pelacuran sangat beragam. Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran (Koentjoro, 2004:16), yaitu:

1. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial.

  2. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang dimaksud adalah uang

  3. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar nikah.

  Berbeda dengan pendapat di atas, (Koentjoro, 2004:34) mengemukakan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor kepribadian.

  Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi pelacur.

  Sedangkan Supratiknya (1995:27) berpendapat bahwa secara umum alasan wanita menjadi pelacur adalah demi uang. Alasan lainya adalah wanita-wanita yang pada akhirnya harus menjadi pelacur bukan atas kemauannya sendiri, hal ini dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam atau pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi pelacur.

  Kemudian secara rinci Kartini Kartono (2005:34) menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut:

  1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.

  2. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami 3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik 4. Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian- pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.

  5. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya 6. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan banditbandit seks.

  7. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja , mereka lebih menyukai pola seks bebas

  8. Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda 9. Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.

  10. Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi

  11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain.

  12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.

  13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan- pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin 14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran

  15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.

  16. Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus

  17. Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacam-macam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.

  18. Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.

  19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.

  20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.

  21. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.

  Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.

2.5 Pendampingan

  Pengertian pendampingan dikalangan dunia pengembangan masyarakat istilah “pendampingan” merupakan istilah baru yang muncul sekitar 90-an, sebelum itu istilah yang banyak dipakai adalah “pembinaan”. Ketika istilah pembinaan ini dipakai terkesan ada tingkatan yaitu ada Pembinaan dan yang dibina, pembinaan adalah orang atau lembaga yang melakukan pembinan sedangkan yang dibina adalah masyarakat. Kesan lain yang muncul adalah pembinaan sebagai pihak yang aktif sedang yang dibina pasif atau pembinaan adalah sebagi subjek yang dibina adalah objek. Oleh karena itu istilah pendampingan dimunculkan, langsung mendapat sambutan positif dikalangan praktisi Pengembangan Masyarakat .

  Karena kata pendampingan menunjukan kesejajaran (tidak ada yang satu lebih dari yang lain), yang aktif justru yang didampingi sekaligus sebagai subjek utamanya, sedang pendamping lebih bersifat membantu saja. Dengan demikian pendampingan dapat diartikan sebagai satu interaksi yang terus menerus antara pendamping dengan anggota kelompok atau masyarakat hingga terjadinya proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh anggota kelompok atau masyarakat yang sadar diri dan terdidik ( tidak berarti punya pendidikan formal)

  Pendampingan adalah suatu proses pemberian kemudahan (fasilitas) yang diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan dapat diwujudkan (Direktorat Bantuan Sosial, 2007:4)

  Pendampingan sosial merupakan suatu proses relasi sosial antara pendamping dengan klien yang bertujuan untuk memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta meningkatkan akses klien terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya (Departemen Sosial RI, 2009:122)

  Pendampingan merupakan suatu upaya yang terus menerus (berkelanjutan) dan

sistematis dalam menfasilitasi individu/ kelompok/ komunitas anak-anak untuk mengembangkan

diri mereka, memberikan ketrampilan dalam mengatasi permasalahan dan membantu

menyiapkan kemampuan-kemampuan dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk masa

depan mereka dan juga individu/ kelompok/ komunitas orang dewasa untuk membantu mereka

menciptakan lingkungan yang mendukung dan menguatkan bagi anak. (http:

//kamuspsikososial.wordpress.com-/tag/definisi-pendampingan/, diakses tanggal 25 Mei 2014

pukul 17.00 Wib)

  Oleh karena itu kegiatan pendampingan sebagai upaya strategis sangat menarik untuk

dikembangkan kepada wanita pekerja seks komersial dilokalisasi. Keterlibatan pekerja seks

komersial sebagai dampingan yang membutuhkan pengetahuan dan informasi tentang resiko

dari pekerjaannya, sangat dipengaruhi oleh tenaga pendamping (Outreach Worker) dilapangan

yang berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dimanisator.

2.6 Kesejahteraan Sosial

  Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan

bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan

  

sosial warga negara dan dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya.

  Menurut Suharto (2009:1) pengertian kesejahteraan sosial sebagai berikut :Kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.

  Tujuan kesejahteraan sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial, keuangan, kesehatan dan rekreasi semua individu masyarakat. Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 11 tahun 2009 tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan: 1.

  Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; 2. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; 3. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial

  4. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam

  penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan 5. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan

  6. Meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

  Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini ditujukan kepada: perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat. Sedangkan yang menjadi prioritas adalah mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, dan penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

2.7 Kerangka Pemikiran

  Lapangan pekerjaan merupakan salah satu bentuk kegiatan pemenuhan sosial ekonomi keluarga n.amun saat ini lapangan pekerjaan semakin sempit dengan jumlah tenaga kerja yang semakin bertambah. Kenyataannya, banyak masyarakat yang tidak memiliki kemampuan sesuai pekerjaan tersebut. Ini memaksa masyarakat khususnya perempuan semakin bingung untuk bisa memenuhi sosial ekonomi keluarga. Banyak perempuan yang harus memilih pekerjaan lainnya yang dirasakan cukup membantu sosial ekonomi keluarga walaupun itu sangat memalukan.

  Salah satu pekerjaan yang dirasa para wanita sangat mudah untuk bisa mendapatkan uang untuk memenuhi sosial ekonomi keluarga adalah sebagai pelacur..

  Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua kehidupan manusia itu sendiri. Pelaku Prostitusi yaitu pekerja seks komersial (PSK) adalah bagian dari dunia pelacuran tersebut.Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Namun PSK tidak terbatas pada perempuan saja, tetapi seseorang yang menukar jasa seksual dengan uang, narkoba, atau komoditas lain yang diinginkan. Pekerja seks komersial adalah wanita yang kelakuannya tidak pantas dan bisa mendatangkan malu/celaka dan penyakit, baik kepada diri sendiri ataupun orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada dirinya sendiri.

  Fenomena prostitusi hingga kini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, baik upaya preventif maupun upaya yang bersifat represif dan kuratif untuk menanggulangi masalah prostitusi belum menampakkan hasil maksimal hingga kini. Upaya-upaya dalam penanggulangan pelacuran dan prostitusi tersebut bukan hanya menjadi masalah pemerintah. Salah satu lembaga yang berperan dalam mengurangi dampak akibat aktivitas seks adalah P3M (Perempuan Peduli Pedila Medan). Beberapa program seperti penyuluhan atau sosialisasi kondom (Outreach Kondom), memberikan pelayanan klinik kesehatan fisik bagi perempuan pekerja seks, memberikan bimbingan konseling dalam membantu perempuan pekerja seks mampu menjalani interaksi dengan lingkungannya, dan pelatihan keterampilan bagi perempuan pekerja seks. Program-program tersebut menunjang kebutuhan akan hal sosial ekonomi perempuan pekerja seks. Berdasarkan tarif yang ada Perempuan Pekerja seks dapat memenuhi kebutuhannya baik untuk memenuhi sandang pangan, lingkungan, kesehatan dan pelayanan-pelayanan lainnya.

  Bagan Alur Pikir

PEREMPUAN PEDULI PEDILA MEDAN (P3M)

  PEREMPUAN PEKERJA SEKS (PPS) di Lokalisasi Losmen SERASI BARU Medan

SOSIAL EKONOMI

  Pendapatan Perumahan Pendidikan Pangan Kesehatan Sandang Interaksi    

   

2.8 Definisi Konsep

  Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009:23).

  Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah menunjukkan bahwa untuk mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti oleh peneliti. Peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sipeneliti, jadi definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 136 &138).

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

1 74 108

Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Perempuan Pekerja Seks (PPS) Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M)

1 78 92

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu - BAB II

0 2 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nasabah Memilih Menabung di Bank Sumut Cabang Syariah Medan

0 1 38

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pembagian Kerja Secara Seksual - Eksistensi dan Mobilitas Sosial Karyawan Perempuan di Perkebunan

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Seks - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

0 0 13

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REMAJA MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL (Studi Deskriptif : PSK Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan) SKRIPSI

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Pengaruh Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW)Terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo

0 0 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respon 2.1.1. Pengertian Respon - Respon Keluarga Terhadap Keluarga Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) Perempuan Dampingan Rumah Singgah Caritas Pengembangan Sosial Ekonomi Medan

0 0 46