BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pembagian Kerja Secara Seksual - Eksistensi dan Mobilitas Sosial Karyawan Perempuan di Perkebunan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pembagian Kerja Secara Seksual

  Pembagian kerja seksual adalah pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin. Dikebanyakan masyarakat ada pembagian kerja seksual di mana beberapa tugas dilaksanakan oleh perempuan dan beberapa tugas lain semata-mata dilakukan oleh laki- laki. Kesadaran akan perbedaan pendefenisian maskulinitas dan feminitas disetiap masyarakat ini membawa kesadaran akan adanya bentuk-bentuk pembagian kerja seksual yang berbeda.

  Hal ini berkaitan dengan visi yang melihat bahwasannya kaitan antara ada tidaknya dominasi dalam pembagian kerja seksual dengan struktur masyarakat dan perubahan sosial bisa dibagi kedalam empat golongan. Pertama, mereka yang mengatakan pembagian kerja seksual berlaku universal, tetapi selalu berarti dominasi laki-laki. Kedua,ada yang mengatakan bahwa posisi perempuan secara tradisional tidak tersubordinasi, tetapi dengan kolonialisme mejadi termarjinalisasi. Ketiga, adapula yang mengatakan bahwa posisi perempuan selalu tersubordinasi baik pada zaman feodal, kolonial, pasca kolonial, tetapi bentuk subordinasinya berbeda-beda sesui dengan sistem yang ada saat itu. Keempat, ada yang mengatakan bahwa subordinasi terdapat pada saat perempuan terkungkung dalam lingkup domestik dalam sistem feodal yang masih patriakal. (Saptari dan Holzner, 1997)

  Situasi budaya yang mengutamakan laki-laki atau dikenal budaya patriarkhi menjadi suatu pisau analisis didalam melihat peran laki-laki dan perempuan. Peran tradisional dahulu menempatkan laki-laki sevagai pencari nafkah di sektor publik dan perempuan melakukan aktifitas dalam rumah tangga di sektor domestik.

  Tetapi dalam perkembangannya, masyarakat kita tidak bisa menghindari telah terjadinya pergeseran peran dimana sebagian perempuan juga aktif di aktivitas kerja (publik) ataupun aktivitas sosial lainnya. Bahkan sekarang ini fenomena wanita yang bekerja maupun berkarir menjadi bagian dari perkembangan kemajuan perempuan untuk mencapai posisi kesetaraan dan kemanjuan relasi sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan. (Harmona, D. 2007)

  Dalam teori nature, perbedaan psikologis antara pria dan wanita disebabkan oleh faktor-faktor biologis yang membentuk keduanya. Sedangkan dalam teori nurture, perbedaan ini muncul karena dibentuk oleh lingkungan tempat dimana mereka dibesarkan.

  Menurut Aristoteles, wanita adalah adalah laki-laki yang tidak lengkap. Sedangkan menurut Schopenhauer, Wanita dalam segala hal terbelakang, tidak memiliki kesanggupan untuk berpikir dan berefleksi..posisinya ada diantara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak pada akhirnya wanita diciptakan hanya untuk mengembangkan keturunan. Menurut Frederick Engles, pembagian kerja secara seksual memang bersifat timbal balik sebelum laki-laki mengambil alih kekuasaan, pekerjaan didalam maupun diluar rumah tangga sama saja, keduanya tidak akan membuat keadaan yang bekerja di dalm maupun diluar lebih kaya dari yang lainnya. Namun ketimpangan terjadi pada saat pekerjaan diluar rumah memberikan kekayaan yang tidak seimbang dengan pekerjaan yang didalam rumah. Hal inilah yang kemudian menjadikan pria berada dalam posisi yang lebih kuat dalam masyarakat, sedangkan wanita menjadi lebih lemah.

2.2 Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan Perempuan

  Paragraf 3 Perempuan Pasal 76 UU. No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 76 berisi larangan untuk mempekerjakan pekerja/buruh perempuan yang

  berumur kurang dari 18 tahun, antara pukul 23.00 s/d 07.00; pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s/d 07.00. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

  a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

  b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

  Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul

  05.00. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 81 Memuat tentang perijinan bagi pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid

  merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha untuk tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid; pelaksanaan ketentuan ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

  Pasal 82

  (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

  (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

  Pasal 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

2.3 Peran dan Hak Perempuan di Sektor Publik

  Dilihat dari ketenagakerjaan, jumlah penduduk yang merupakan angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara sebesar 5. 402. 178 orang, di mana sejumlah 5. 262. 622 orang diantaranya bekerja, sedangkan 139. 556 orang merupakan pencari kerja. Dari hasil SP 2010, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Provinsi Sumatera Utara sebesar 62,64 persen, di mana TPAK laki-laki lebih tinggi daripada TPAK perempuan, yaitu masing-masing sebesar 79,51 persen dan 46,33 persen. Sementara itu, bila dibandingkan menurut perbedaan wilayah, TPAK di perkotaan lebih rendah daripada perdesaan, masing-masing sebesar 55,98 persen dan 69,62 persen. Tiga kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan TPAK tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Humbang Hasundutan (88,73), Kabupaten Samosir (88,23), dan Kabupaten Dairi (86,35). Dengan jumlah pencari kerja sejumlah 139. 556 orang, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di provinsi ini mencapai 2,58 persen.

  Pemberdayaan kaum perempuan yang menjadi cita-cita Kartini saat ini telah dapat dinikmati oleh sebagian besar perempuan. Sebagian dari kita tidak saja telah dapat menemukan pekerjaan sesuai passion, tetapi juga telah memperoleh kebebasan finansial. Dari total populasi 112 juta jumlah pekerja di Indonesia (data Badan Pusat Statistik tahun 2012), saat ini ada 43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itu artinya, jumlah pekerja perempuan hampir sama besarnya dengan pekerja laki-laki. Adapun yang lebih penting, pada saat yang sama perempuan juga menemukan kebebasan untuk tetap menjalankan perannya sebagai ibu. Hal ini dimungkinkan berkat semakin banyaknya peluang untuk bekerja secara freelance. Tren bekerja secara

  

freelance ini menjadi peluang baru bagi jutaan perempuan yang ingin membutuhkan

penghasilan tambahan, maupun yang ingin bekerja dengan cara yang lebih fleksibel.

  Karena bagaimana pun, kita datang dari latar belakang yang berbeda-beda sehingga tidak semua dari kita bisa bekerja di luar rumah penuh waktu. (kompas.com) Menurut Dra. Lina Sudarwati, M. Si (dalam Jurnal Unpublished Perempuan dan

  Struktur Sosial, 2003) Keberadaan dan keterlibatan wanita dalam pasar tenaga kerja ditinjau dari perspektif Karl Marx erat kaitannya dengan perkembangan sistem kapitalis.

  Memperhatikan faktor di atas terlihat bahwa keterlibatan wanita dalam pasar tenaga kerja merupakan pengaruh dari:

1. Faktor ekstern yang merupakan faktor penarik untuk bekerja yakni adanya kesempatan kerja yang ditawarkan oleh kapitalis.

2. Faktor intern, yang merupakan faktor pendorong untuk bekerja yakni desakan/kesulitan ekonomi keluarga.

  Faktor kesempatan kerja dan faktor untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi inilah yang pada hakekatnya menghantarkan kaum wanita untuk bekerja di sektor publik.

  

2.2.1 Wanita dan Pekerjaan

  Wanita dan pekerjaan yang dapat dipertukarkan merupakan nilai tukar tenaga kerja wanita belum dihitung secara efektif, wanita juga tidak mendapat ganti kerugian atas kehilangan upah dan keuntungan, kesempatan-kesemptana pengembangan karir, dan akses untuk waktu yang senggang. Kegunaan tenaga kerja ini telah direndahkan oleh budaya patriarkis dan kolonisasi yang menanamkan pekerjaan semacam itu sebagai pekerjaan wanita. Namun, pekerjaan yang direndahkan itu telah menghasilkan pelayanan- pelayanan yang bermanfaat bagi masyarakat yakni pendidikan, perawatan kesehatan, dukungan spiritual dan emosional, serta tanggungan perawatan bayi kaum tua atau anak- anak yang menjadi tanda-tanda bagi defenisi kami sendiri sebagai suatu “peradaban”.

  Wanita dan pekerjaan yang bermanfaat merupakan kehidupan sehari-hari wanita berada dalam konteks beban ganda. Beban untuk memberikan pengasuhan yang tidak dibayarkan dalam pelayanan-pelayanan dalam pekerjaan rumah tangga, serta beban untuk memberikan kelangsungan hidup perekonomian melalui kerja upahan, memberikan norma kepada wanita. Tidak ada pemisahan yang rasional dari keduanya, dua hal itu merupakan aktifitas yang tak terpisahkan bagi wanita, kecuali dibawah kapitalisme, kolonisasi dan patriarki. (Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, 1996)

2.2.2 Sistem Masyarakat Patriarki

  Sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan yaitu ibu, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Kebanyakan sistem patriarki juga adalatriarki adalah konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan studi referensi feministas. Distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal eksklusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik atau agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual.

  Keuntungan Patriarkhi bagi Perempuan adalah rasa kenyamanan yang didapatkan misalnya dalam masyarakat banyak perempuan menggunakan sistem patriarki sebagai pelindung diri dan harus dilindungi laki-laki agar tidak terancam keamanannya. Sedangkan kerugian Patriarki buat Perempuan juga tidak kalah banyaknya, dalam keluarga khususnya penganut Patrilineal akan mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan dalam penerus marga misalnya, kemudian pembagian harta warisan, kepemilikan atas perempuan, belum lagi kasus kriminal seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dilapangan pekerjaan publik dan lain sebagainya yang menjadi budaya dan sistem Patriarki pada masyarakat Indonesia. Ketimpangan kelas berdasarkan jenis kelamin ini sepertinya kurang dipersoalkan di Indonesia karena sistem masyarakatnya yang bersifat patriarkal membenarkan hal ini berlangsung. Bahkan hal ini dianggap wajar karena pembagian peran kedua jenis kelamin ini memang dipersiapkan sesuai dengan nilai-nilai kodratnya masing-masing yatiu laiki-laki dan perempuan.

  Menurut MC Donough dan Horrison (1978) dalam Saptari dan Holzner 1997,menyatakan bahwa dilain pihak ada juga yang membedakan dua aspek dari patriarkhi, yaitu sebagai kontrol terhadap reproduksi biologis dan seksualitas terutama dalam perkawinan monogami, dan patriarkhi sebagai kontrol terhadap kerja melalui pembagian kerja seksual dan sistem pewarisan.

2.2.3 Status dan Peranan Perempuan

  Parson menyatakan pandangannya bahwa setiap masyarakat hanya bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya apabila keteraturan sosial (sosial order) bisa dipertahankan. Melalui konsep A.G.I.L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, and

  

Latent Maintenance), ada empat fungsi agar masyarakat atau dalam lingkup lebih kecil

  sekelompok individu dalam hal ini karyawan perempuan dapat bertahan,bertahan di sini berarti berkaitan dengan tempat,suasana dan sistem kerja.

  Pertama adalah fungsi Adaptasi, artinya karyawan perempuan harus menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan alam agar dapat bertahan dalam suasana kerja dan menjalankan subsistem ekonomi. Fungsi yang kedua adalah mencapai tujuan, setiap pekerjaan yang dilakukan selalu didasari oleh motif sesuatu, misalnya ekonomi (upah) dan pendidikan (jenjang karir) menjalankan subsistem politik. Ketiga, fungsi Integrasi, dimana setiap unsur dalam masyarakat terutama karyawan perempuan harus terjalin dan tidak berlawanan sesuai dengan nilai dan norma yang terbentuk dalam perkebunan tempat bekerja dan menjalankan subsistem hukum dan agama. Sedangkan fungsi yang terakhir yaitu mempertahankan pola, artinya bentuk hubungan sosial yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut harus dipertahankan (melalui aturan dan nilai) dalam hal ini aturan,nilai dan norma yang terdapat pada struktur organisasi kerja dan birokrasi perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Tinjowan.

  Kemudian sudah saatnya bagi keluarga yang berwawasan maju untuk mengubah manajemen keluarga yang tradisional menjadi manajemen berdasarkan kebersamaan.

  Dapat dikatakan bahwa perkembangan status dan peranan wanita bersifat universal, dengan catatan bahwa perpindahan dari periode Wanita Pasif ke periode Wanita Aktif dan tidak bersamaan waktunya. Kesempatan kerja bagi kaum wanita yang umumnya hanya terbatas pada pekerjaan berupah rendah serta keterbatasan waktu yang bisa dicurahkan untuk bekerja diluar sektor domestik menempatkan mereka pada posisi yang rendah dalam struktur ketenagakerjaan. Sementara lelaki memperoleh posisi yang lebih baik, karena bisa mencurahkan waktunya secara penuh untuk bekerja di sektor publik, sebab mereka tidak terbebani oleh tugas-tugas di sektor domestik. Dengan demikian mereka dapat berproduksi dan memperoleh upah lebih besar dari wanita.

  Akhirnya baik di sektor domestik maupun di sektor publik wanita tetap didominasi oleh kaum lelaki, karena pada kenyataan struktur ketenagakerjaan juga menempatkan lelaki pada posisi ekonomis yang lebih kuat dari kaum wanita, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan materialnya wanita masih tergantung pada kaum lelaki.

  (dalam Jurnal Unpublished Wanita dan Struktur Sosial, Dra. Lina Sudarwati. M. Si. 2003)

  Hal ini bekrkaitan dengan ketimpangan jumlah perempuan dalam menduduki posisi jabatan struktural belum menjadi perhatian khusus bagi pimpinan instansi sehingga mereka tidak menganggap perlu adanya pelatihan khusus dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pegawai perempuan. Peran ganda perempuan menjadi salah satu penyebab mereka kurang bisa membangun jaringan dengan pihak lain, padahal kemampuan membangun jaringan merupakan unsur terpenting di samping persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh pegawai perempuan untuk bisa menjadi seorang pemimpin atau menduduki jabatanstrategis dalam suatu instansi. Dan menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan lainnya untuk meningkatkan eksistensi perempuan dalam birokrasi tersebut.

2.4 Kebijakan Pengarusutumaan Gender (PUG)

  Inpres Nomor 9 Tahun 2000 diacu oleh Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2010-2014, yang menetapkan Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) lintas Bidang pembangunan, sebagai salah satu prinsip dan landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan (RPJMN 2010-2014). Pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi keduanya dalam pengambilan keputusan dan penguasaan terhadap sumberdaya pembangunan, seperti misalnya pengetahuan, keterampilan, informasi, kredit. Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional (Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender).

  Dari kebijakan pemerintah dan dengan menyelenggarakan pengarusutamaan gender, maka dapat diidentifikasikan apakah laki-laki dan perempuan:

  1. Memperoleh akses yang sama terhadap sumberdaya pembangunan;

  2. Memiliki peluang berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, terutama dalam proses pengambilan keputusan;

  3. Memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan; dan

  4. Memperoleh manfaat yang sama atas hasil pembangunan. (Panduan Pelatihan Pengarusutamaan Gender Kementerian Keuangan)

  Penjelasan Pengarusatamaan Gender dapat menggambarkan bahwasannya posisi perempuan yang bekerja memiliki kesempatan yang sama dalam hal karir dengan laki- laki. Hal ini merupakan kesempatan karir,kenaikan golongan,posisi atau jabatan tertentu dapat diduduki oleh pekerja dengan jenis kelamin perempuan. Seperti di perkebunan yang juga terdapat pekerja atau karyawan perempuan yang bekerja sesuai dengan pertimbangan kemampuan,pendidikan dan keahlian. Agar terwujudnya kesetaraan gender antara pekerja atau karyawan perempuan dan laki-laki yang sesuai dengan proporsi dan professional dalam bekerja dan peraturan yang berlaku disetiap perusahaan.

2.5 Perempuan dalam Pekerjaan Perkebunan

  Perkebunan mempunyai struktur hirarki yang terdiri dari tenaga kerja tidak terampil dalam jumlah besar dan sekelompok kecil pegawai manajemen yang terdidik dan yang terakhir ini pada zaman kolonial juga merupakan pemilik (pengusaha individu). Karena resei yang berkepanjangan dan harga tanaman perkebunan dipasaran dunia rendah, mereka terpaksa menjual tanah milik mereka pada perusahaan nasional atau internasional yang besar. Nasionalisasi dalam proses dekolonisasi merupakan alasan lain mengapa sekarang ini perusahaan trannasional, nasional dan dari milik negara, yang sering terkait dengan dunia agribisnis merupakan pemilik perkebunan. Konsep disagregasi sulit diterapkan pada perkebunan sebab pekerja perkebunan tidak mengendalikan tanah perkebunan. Tetapi, pertambahan jumlah pekerja perkebunan didaerah perkebunan akan menambah besar jumlah kaum proletar pedesaan yang mungkin akan menekan tingkat upah, atau mungkin bisa mengarah pada permukiman kumuh atau migrasi.

  Menurut Heyzer (1986), dalam banyak kasus dia Asia (Malaysia, Filipina, Sri lanka) terdapat lebih banyak pekerja perkebunan perempuan dari pada laki-laki.

  “pekerja-pekerja perempuan ini semua dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah, sering dengan pekerjaan yang tidak tetap. Pekerja perempuan, yang merupakan istri-istri atau anak-anak dari pekerja laki- laki perkebunan, telah tersedia didaerah pekerbunan dan merupakan cadangan yang dapat digunakan selama ada kekosongan diantara pekerja laki-laki”. (Brigitte Holzner, 1997)

  Hal ini kemudian berkaitan pada keadaan dan kondisi zaman sekarang ini, seperti di PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Tinjowan, juga terdapat pekerja dan disebut karyawan perempuan yang bekerja dilapangan, baik yang memang berstatus sebagai karyawan tetap dengan gaji bulanan dan ada juga pekerja yang berstatus tidak karyawan. Perempuan-perempuan ini hanya sebagai pendamping suami mereka yang bekerja sebagai BHL (buruh harian lepas) yang bekerja secara untuk memanen buah sawit dan para perempua ini bekerja untuk mengutip buah brondolan yang jatuh. Hal tersebut terkait dengan ketersediaan perempuan pada masa kolonial dulu yang bekerja dan disediakan untuk sebagai pengganti kerja laki-laki.

2.6 Aspek Eksistensialisme

  Menurut Vandenberg (1991), penderkataan eksistensi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan inkonsistensi logis dan rasionaliasi,sseprti kasus-kasus yang berkaitan dengan agama, kepercayaan terhadap kehidupan sesudah kematian, dan kecemasan akan kematian. Pendekatan eksistensial tidak melihat mengapakita berpikir seperti in, tetapi hanya bahwa kita berpikir seperti ini. Sama halnya pertanyaan mengenai menjadi etis dan bermoral, dan rasa bersalah ketika melakukan perilaku yang tidak bermoral, dilihat sebagai aspek penting manusia dari alih-alih hanya sekedar produk sampingan dari faktor biologis. Permasalahan etis dan spiritual seharusnya tidak diabaikan ataupun dijelaskan terlalu jauh. (Friedman dan Schustack,2006)

  Hal ini kemudian ditambahkan menurut Zainal Abidin (2008) Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Oleh sebab itu, arti istilan eksistensi analog dengan ‘kata kerja’ bukan ‘kata benda’. Eksistensi adalah milik pribadi. Tidak ada dua individu yang identik. Oleh sebab itu, eksistensi adalah milik pribadi, yang keberadaannya tidak bisa disamakan satu sama lain.

  Dalam hal lainnya eksistensi manusia mengacu pada kualitas personal. Bukan sperti yang dimengerti oleh masyarakat kaum awam, yang biasanya dan selalu mengidentifikasikan eksistensinya dengan status sosial,sehingga ada anggapan bahwa orang yang eksis adalah orang yang kaya, punya wewenang besar dan memiliki power.

  Hakikat eksistensi yaitu gabungan dari unsur-unsur yang subjektif seperti etos, moral, kemampuan, kompetensi dan kecakapan.

2.7 Mobilitas Sosial

  Mobilitas sosial menurut Horton and Hunt (1987),dapat diartikan sebagai gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan biasanya termasuk pula segi penghasilan yang dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Kemudian mobilitas sosial memiliki dua faktor yang mempengaruhi secara keseluruhan mobilitas sosial,yaitu faktor individu dan faktor struktural. (Suyanto dan Narwoko,2013)

  Dalam hal ini, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh dikelas sosial yang lebih rendah yang disebut sebagai mobilitas sosial. Dengan demikian,jika kita berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak selalu diartikan sebagai bentuk perpindahan dari tingkat yang rendah kesuatu tingkat yang lebih tinggi,karena sesungguhnya mobiltas tersebut terbentuk dalam dua arah. Sebagaian orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi,beberapa orang mengalami kegagalan,dan selebihnya tetap tinggal pada status yang sama hanya bergeser,bergerak dan berpindah ketempat yang berbeda atau kesamping kanan ataupun kiri.

  Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Sehingga Mobilitas Sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Bentuk-bentuk mobilitas sosial :

  1. Mobilitas Vertikal (naik dan turun) adalah pepindahan status sosial yang dialami seseorang atau sekelompok warga pada lapisan sosial yang berbeda.

  2. Mobilitas Horizontal (dalam lapisan sosial) perpindahan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam lapisan sosial tertentu.

  3. Mobilitas antargenerasi (inter generasi dan intra generasi) Menurut Pitirim A.Sorokin, mobilitas sosial dapat dilakukan melalui beberapa saluran berikut : Angkatan Bersenjata, Lembaga Pendidikan, Organisasi Politik, Lembaga

  Keagamaan, Organisasi Ekonomi, Organisasi Profesi, Perkawinan Organisasi, Keolahragaan, dan lain sebagainya. Selain lima saluran tersebut,masih banyak lagi saluran yang berkaitan dengan mobilitas sosial lainnya,seperti saluran perkawinan,organisasi-organisasi professional dan lain sebaginya. (Suyanto dan Narwoko,2013)

  Mobilitas Sosial dalam penelitian ini untuk melihat Jabatan, golongan, jenjang karir, perpindahan kerja dan atau mutasi kerja karyawan perempuan di PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Tinjowan,dimana terdapat stratifikasi dan status pekerjaan yang dimiliki karyawan perempuan, sebagai berikut menurut bentuk dan jenisnya : a.

  Karyawan Pimpinan (staff) b. Karyawan Pelaksana (nonstaff) c. Karyawan Tetap (bulanan) di lapangan dan di kantor d. Karyawan Tidak Tetap (out sourching) dan Buruh Harian Lepas (BHL)

2.8 Aspek Jaringan Sosial

  Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam satu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok ainnya.

  Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun dalam bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerja sama atau koordinasi antar warga yang di dasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprositas atau pertukaran. (Damsar, 2002:157)

  Dalam hal ini jaringan sosial merupakan organisasi sosial modern yang dikendalikan dan memiliki aturan. Ada prosedur-prosedur tertentu yang disepakati untuk mengajukan atau mengambis keputusan tertentu, dan tanggung jawab biasanya didefenisikan secara jelas berdsarkan pertimbangan pribadi. Namun ketika ingin mewujudkan sesuatu,banyak orang mengabaikan prosedur dan taggung jawab formal ini,dan mulai berbicara dengan seseorang yang dikenalnya. Keputusan-keputusan penting hampir selalu mengandung ketidakpastian dan resiko, seperti halnya jika seseorang mencari pekerjaan baru atau berencana menunjuk seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tersebut sehingga terbentuklah hubungan secara tidak langsung namun saling terkait karena aturan-aturan yang berlaku didalamnya.

  Hal ini ditambahkan Giddens (1984), menurutnya jaringan yang dimiliki orang sehatusnya dipandangsebagai bagian dari hubungan dan norma yang lebih luas yang memungkinkan orang mencapai tujuan-tujuan mereka, dan juga mengikat masyarakat bersama dalam suatu ikatan kesepakat bersama dalam aturan. (John Field,dalam Nurhadi (penerjemah), 2010)

  Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kadang-kadang orang menganggap bahwa pilihan dikekang oleh aturan sehingga mereka dapat menuai keberhasilan mereka melalui koneksi yang disebut jaringan sosial mereka yang mereka miliki. Seperti para karyawan yang bekerja dalam perusahaan mereka harus menjalin hubungan baik dengan atasan dan sesama pekerja untuk mempermudah paling tidak menjalin hubungan kerja secara harmonis dan membentuk jaringan sosial mereka masing-masing.

2.9 Manajemen Karir

  Perkembangan karir karyawan saat ini sudah mengalami perubahan, tidak lagi mengikuti jenjang hirarkis tetapi telah berubah dengan model yang lebih horizontal dalam arti kata karir karyawan tidak lagi menanjak keatas tapi bisa berkembang kesamping (horizontal).

  Seperti yang diuangkapkan Mathis dan Jackson (2006) dalam Betty Nasution 2010,bahwa perkembangan karir karyawan baru-baru ini telah mengalami peubahan dalam tiga cara signifikan yakni : a.

  Sekarang, “tangga” manajemen menengah dalam organisasi meliputi gerakan yang lebih horizontal dari pada gerakan ke atas.

  b.

  Banyak perusahan menargetkan usahanya untuk memastikan bahwa bisnis mereka berfokus pada kompetensi inti.

  c.

  Pertumbuhan kerja yang berbasis pada proyek mebuat karir-karir menjadi satu rangkaian proyek, tidak hanya melangkah keatas dalam organisasi yang ada. Perencamaan karir dan pengembangan karir karyawan merupakan suatu aktifitas yang penting dalam menghadapi tantangan dan perubahan. Setiap organisasi harus membantu karyawannya dalam mengelola karir karyawannya. Jika tidak ada perhatian dan bantuan dari pihak manajemen bisa terjadi perpindahan karyawan keluar organisasi dan bisa menyebabkan turunnya produktivitas. Secara tradisional perkembangan karir karyawan adalah merupakan pergerakan karir yang mengikuti hirarkis dari bawah keatas.

  Saat ini perkembangan karir karyawan telah mengalami perubahan tidak hanya mengikuti jenjang hirarkis tetapi juga secara horizontal (kesamping). (Betty Nasution, 2010 : 198) Penjelasan tersebut secara Sosiologis dapat tergolong kedalam konsep Mobilitas sosial seorang karyawan laki-laki dan perempuan dalam pekerjaannya, dimana terdapat pergerakkan atau pergeseran karyawan laki-laki dan perempuan disetiap bagian kerja karyawan, baik pergeseran secara horizontal maupun vertikal. Pergeseran tersebut dilakukan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam struktur organisasi kerja dan birokrasi PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Tinjowan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MOTIVASI BEALAJAR BAHASA MANDARIN 1. Definisi Motivasi Belajar - Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

1 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Infeksi - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik FKG USU tentang Standard Precautions pada Pasien HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan TBC pada Tahun 2015

0 1 22

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik FKG USU tentang Standard Precautions pada Pasien HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan TBC pada Tahun 2015

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan - Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015

0 0 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Pendukung Keputusan - Implementasi Metode System Development Life Cycle (SDLC) dan Algoritma Profile Matching untuk Penentuan Karyawan Berprestasi

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi Kurang - Pengaruh Pemberian cookies Substitusi Tepung Tempe terhadap Pertumbuhan Anak Batita Gizi Kurang di Kelurahan Pakuan Baru Kota Jambi Tahun 2013

0 0 24

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton - Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

0 0 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian - Eksistensi dan Mobilitas Sosial Karyawan Perempuan di Perkebunan

0 0 83