BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pemberian MP-ASI Dini dengan Kejadian Diare pada Bayi 0-6 Bulan Di Desa Kwala Pesilam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI)

  MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes, 2006). MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat pencernaan bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2004).

  MP-ASI merupakan peralihan asupan yang semata berbasis susu menuju kerusaknya sistem pencernaan karena perkembangan usus bayi dan pembentukan enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan memerlukan waktu 6 bulan. Sebelum sampai usia ini, ginjal belum cukup berkembang untuk dapat menguraikan sisa yang dihasilkan oleh makanan padat makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik oral. Keterampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang (Depkes,2000).

  • – Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada anak usia 6 24 bulan. Peranan makanan tambahan sama sekali bukan untuk menggantikan ASI

  8 melainkan untuk melengkapi ASI. Jadi, makanan pendamping ASI harus tetap diberikan kepada anak, paling tidak sampai usia 24 bulan (Yesrina, 2000).

  Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus - menerus. (Yesrina, 2000). Dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003). Adapun waktu yang baik dalam memulai pemberian MP-ASI pada bayi adalah umur 6 bulan.

  Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Sedangkan pengertian makanan itu sendiri adalah merupakan suatu kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh (Irianto dan Waluyo, 2004).

  Menurut WHO, yang dimaksud makanan adalah : “Food include all

  substances, whether in a natural state or in a manufactured or preparedform, wich are part of human die t.” Batasan makanan tersebut tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan. makanan yang dimaksud adalah berupa asupan yang dapat memenuhi kebutuhan akan zat gizi dalam tubuh.Menurut Irianto dan Waluyo (2004) dalam pemberian makanan pendamping ASI yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, serta makanan tersebut sehat, diantaranya : a.

  Berada dalam derajat kematangan b. Bebas dari pencemaran pada saat menyimpan makanan tersebut dan menyajikan hingga menyuapi pada bayi atau anak c.

  Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan d. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang dihantarkan oleh makanan (food borne illness) e.

  Harus cukup mengandung kalori dan vitamin f. Mudah dicerna oleh alat pencernaan

  Selain melihat kriteria diatas, menurut Depkes RI (2007) menyatakan bahwa pemberian makanan pendamping ASI hendaknya melihat juga usia pemberian makanan pendamping ASI pada anak, apakah pemberian makanan pendamping yang diberikan sudah pada usia yang tepat atau tidak.

2.1.1. Usia Pemberian Makanan Pendamping ASI

  Menurut Depkes RI (2007) usia pada saat pertama kali pemberian makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah setelah anak berusia enam bulan, dengan tujuan agar anak tidak mengalami infeksi atau gangguan pencernaan akibat virus atau bakteri. Berdasarkan usia anak, dapat diketegorikan menjadi: A.

  Pada usia enam sampai sembilan bulan 1)

  Memberikan makanan lumat dalam tiga kali sehari dengan takaran yang cukup 2)

  Memberikan makanan selingan satu hari sekali dengan porsi kecil 3)

  Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan makanan B. Pada usia lebih dari sembilan sampai 12 bulan

  1) Memberikan makanan lunak dalam tiga kali sehari dengan takaran yang cukup

  2) Memberikan makanan selingan satu hari sekali

  3) Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan makanan C.

  Pada usia lebih dari 12 sampai 24 bulan 1)

  Memberikan makanan keluarga tiga kali sehari 2)

  Memberikan makanan selingan dua kali sehari

3) Memberikan beraneka ragam bahan makanan setiap hari.

2.1.2. Frekuensi Pemberian Makanan Pendamping ASI

  Menurut Depkes RI (2007) frekuensi dalam pemberian makanan pendamping ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Pemberian makanan pendamping ASI dalam frekuensi yang berlebihan atau diberikan lebih dari tiga kali sehari, kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya diare. Menurut Irianto dan Waluyo (2004), apabila dalam pemberian makanan pendamping ASI terlalu berlebihan atau diberikan lebih dari tiga kali sehari, maka sisa bahan makanan yang tidak digunakan untuk pertumbuhan, pemeliharaan sel, dan energi akan diubah menjadi lemak. Sehingga apabila anak kelebihan lemak dalam tubuhnya, dimungkinkan akan mengakibatkan alergi atau infeksi dalam organ tubuhnya dan bias mengakibatkan kelebihan berat badan (obesitas).

  2.1.3. Porsi Pemberian Makanan Pendamping ASI

  Menurut Depkes RI (2007) untuk tiap kali makan, dalam pemberian porsi yang tepat adalah sebagai berikut: a.

  Pada usia enam bulan, beri enam sendok makan b.

  Pada usia tujuh bulan, beri tujuh sendok makan c. Pada usia delapan bulan, beri delapan sendok makan d.

  Pada usia sembilan bulan, beri sembilan sendok makan e. Pada usia 10 bulan, diberi 10 sendok makan, dan usia selanjutnya porsi pemberiannya menyesuaikan dengan usia anak

  2.1.4. Konsistensi Makanan Pendamping ASI

  Dalam pemilihan jenis makanan, biasanya diawali dengan proses pengenalan terlebih dahulu mengenai jenis makanan yang tidak menyebabkan alergi, umumnya yang mengandung kadar protein paling rendah seperti serealia (beras merah atau beras putih). Khusus sayuran, mulailah dengan yang rasanya hambar seperti kentang, kacang hijau, labu, zucchini. Kemudian memperkenalkan makanan buah seperti alpukat, pisang, apel dan pir.

  Menurut Depkes RI (2007) jenis makanan pendamping ASI yang baik adalah terbuat dari bahan makanan yang segar, seperti tempe, kacangkacangan, telur ayam, hati ayam, ikan, sayur mayur dan buah-buahan. Jenis-jenis makanan pendamping yang tepat dan diberikan sesuai dengan usia anak adalah sebagai berikut: 1)

  Makanan Lumat Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan, dihaluskan atau disaring dan bentuknya lebih lembut atau halus tanpa ampas. Biasanya makanan lumat ini diberikan saat anak berusia enam sampai Sembilan bulan. Contoh dari makanan lumat itu sendiri antara lain berupa bubur susu, bubur sumsum, pisang saring atau dikerok, pepaya saring dan nasi tim saring. 2)

  Makanan Lunak Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air atau teksturnya agak kasar dari makanan lumat. Makanan lunak ini diberikan ketika anak usia sembilan sampai 12 bulan. Makanan ini berupa bubur nasi, bubur ayam, nasi tim, kentang puri.

  3) Makanan Padat

  Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair dan biasanya disebut makanan keluarga. Makanan ini mulai dikenalkan pada anak saat berusia 12- 24 bulan. Contoh makanan padat antara lain berupa lontong, nasi, lauk-pauk, sayur bersantan, dan buah-buahan.

2.1.5. Cara Pemberian Makanan Pendamping ASI

  Menurut Depkes RI (2007) pemberian makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah sebagai berikut : a.

  Selalu mencuci tangan sebelum mulai mempersiapkan makanan pada bayi atau anak, terutama bila kontak dengan daging, telur, atau ikan mentah, dan sebelum memberi makanan pada bayi atau anak. Selain itu, juga mencuci tangan bayi atau anak.

  b.

  Mencuci bahan makanan (sayuran, beras, ikan, daging, dll) dengan air mengalir sebelum diolah menjadi makanan yang akan diberikan kepada bayi atau anak.

  c.

  Mencuci kembali peralatan dapur sebelum dan sesudah digunakan untuk memasak, walaupun peralatan tersebut masih tampak bersih.

  d.

  Peralatan makan bayi atau anak, seperti mangkuk, sendok, dan cangkir, harus dicuci kembali sebelum digunakan oleh bayi atau anak.

  e.

  Dalam pemberian makanan pendamping pada bayi atau anak, hendaknya berdasarkan tahapan usia anak.

  f.

  Jangan menyimpan makanan yang tidak dihabiskan bayi atau anak. Ludah yang terbawa oleh sendok bayi atau anak akan menyebarkan bakteri.

2.2. Faktor yang Memengaruhi Pemberian MP-ASI Dini

  Menurut Lawrence (1994) dan ( jelliffe & Jelliffe, 1978:219) dalam Dahlia Simanjuntak (2002) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku menyusui dan pemberian MP-ASI pada waktu dini adalah faktor :

1. Biologi

  Berdasarkan studi tentang pemberian makanan bayi (Ebrahim, 1986 & Winikoff, 1998 & Suharyono, 1994 dalam Dahlia Simanjuntak (2002)), faktor biologi yang berpengaruh pada keberhasilan menyusui dan pemberian MP-ASI adalah usia ibu, paritas, pemakaian kontrasepsi serta kesehatan bayi dan ibu. Usia ibu dan paritas berpengaruh pada kelangsungan hidup anak usia satu tahun ke bawah (Moesly & Chen, 1984:32). Pada umumnya kemampuan untuk menyusui pada perempuan yang lebih muda lebih baik dari yang lebih tua. Salah satu faktor penyebab mungkin semacam disuse atrophy (Ebrahim, 1986).

  Pada penelitian Winikoff et al di Semarang ditemukan bahwa ibu yang berusia < 20 tahun dan 35 tahun ke atas, lebih banyak yang sudah memberikan susu botol kepada bayinya di usia 4 bulan dibandingkan dengan ibu berusia 20 tahun sampai 34 tahun (Winikoff et al, 198 : 184). Ibu yang menyusui anak kedua dan selanjutnya cenderung lebih baik dibanding ibu yang mempunyai anak pertama. Ini menunjukkan bahwa untuk menyusui juga diperlukan trial runs (latihan) sebelum dicapai kemampuan yang optimal. Ibu dengan paritas lebih tinggi lebih sedikit memperkenalkan botol pada waktu dini dibandingkan ibu dengan paritas rendah.

2. Sosial Budaya

  Faktor sosial budaya yang mempengaruhi kegagalan menyusui (pemberian makanan selain ASI) pada usia dini di negara berkembang terutama di daerah perkotaan antara lain adalah : a.

  Pengaruh langsung budaya barat b. Urbanisasi c. Sikap terhadap payudara d. Pengaruh Iklan e. Pengaruh petugas kesehatan f. Tingkat pendidikan ibu g.

  Pekerjaan ibu (Jeliffe & Jellife, 1978 : 221).

  Laukaran et al menambahkan perilaku makan sebelumnya, pengetahuan dan sikap terhadap makanan bayi berperan dalam praktek pemberian makanan pada bayi.

  Selain faktor di atas, waktu pemberian ASI pertama kali juga turut mempengaruhi keberhasilan menyusui (Roesli, 2001 :47).

2.3. Syarat Pemberian Makanan Pendamping ASI

  Makanan tambahan untuk bayi harus mempunyai sifat fisik yang baik, yaitu rupa dan aroma yang layak. Selain itu, dilihat dari segi kepraktisan, makanan bayi sebaiknya mudah disiapkan dengan waktu pengolahan yang singkat. Makanan Pendamping ASI harus memenuhi persyaratan khusus tentang jumlah zat-zat gizi yang diperlukan bayi seperti protein, energi, lemak, vitamin, mineral dan zat-zat tambahan lainnya (Nadesul, 2007). Menurut Muchtadi (2004) hal- hal penting yang harus diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan pada bayi adalah sebagai berikut : a.

  Makanan bayi (termasuk ASI) harus mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi.

  b.

  Makanan tambahan harus kepada bayi yang telah berumur 6 bulan sebanyak 4-6 kali/hari.

  c.

  Sebelum berumur 2 tahun bayi belum dapat mengkonsumsi makanan orang dewasa.

  d.

  Makanan campuran ganda (multi mix) yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, dan sumber vitamin lebih cocok bagi bayi, baik ditinjau dari nilai gizinya maupun sifat fisik makanan tersebut.

  e.

  Makanan harus diolah dari bahan makanan yang bersih dan aman. Harus dijaga keamanan terhadap kontaminasi dari organ biologi berbahaya seperti kuman, virus, parasit dan zat kimia, racun yang berbahaya, mulai dari persiapan bahan makanan, pengolahan, penyimpanan, distribusi sampai dengan penyajian.

  f.

  Bahan lainnya dapat ditambahkan untuk mempertahankan konsistensi dan rasa makanan asal tidak mengandung zat berbahaya, misalnya gula, garam, cokelat dan lainnya.

  g.

  Fortifikasi makanan adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan makanan atau makanan sehingga mencapai kadar yang dapat meningkatkan status gizi . Pada MP-ASI yang penting adalah penambahan zat gizi mikro seperti

  Pendapat lain, pembuatan MP-ASI di tingkat rumah tangga masih cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila dilakukan pengaturan pada sumber makanan bergizi yang sesuai dengan bahan makanan lokasi yang tersedia baik variasi dan jumlah yang dibutuhkan masing-masing anak. Hal ini dapat terlihat dengan mengatur komposisi jumlah dan jenis makanan untuk makan pagi, makan siang dan makan sore di samping pemberian ASI yang terus dilanjutkan sampai minimal anak berusia 2 tahun seperti berikut ini:

  zat besi, yodium ke dalam biskuit, cookies, roti, garam dan makanan suplemen. Kendala penambahan zat gizi mikro ke dalam makanan adalah perubahan cita rasa dan warna, perubahan tekstur dan lain lain, sehingga memerlukan suatu aplikasi teknologi yang memadai agar dapat mencapai tujuannya. MP-ASI yang dibuat di rumah tangga ( MP-ASI tradisional ) pada umumnya kurang memenuhi kebutuhan zat gizi terutama micronutrien seperti Fe, Zn, apalagi pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah yang gambarannya dapat dilihat sebagai berikut ini: untuk memenuhi kebutuhan zat besi bayi 6

  • – 12 bulan ( 6,8 mg ) dibutuhkan 108 gr hati ayam (4 pasang ) atau 550 gr telur atau 500 gr ikan atau 450 gr daging sapi atau 350 gr kacang kacangan sehingga sulit untuk dapat diberikan dari dapur ibu (Sunawang, 2000).

  Makan pagi dengan semangkuk kecil bubur havermout, makan siang dengan sepiring sedang ( 3 sendok makan ) nasi, 1 sendok kacang merah, dan setengah butir jeruk, dan makan malam dengan sepiring sedang ( 3 sendok makan ) nasi, 1 sendok makan hati dan 1 sendok makan sayuran hijau. Dengan demikian kebutuhan energi hampir terpenuhi, demikian pula dengan kebutuhan protein, vitamin A maupun zat besi.

  Berdasarkan uraian diatas, makanan tambahan bayi sebaiknya memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

  1. Memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi.

  2. Memiliki nilai suplementasi yang baik serta mengandung vitamin dan mineral yang cocok.

  3. Dapat diterima oleh alat pencernaan yang baik.

  4. Harganya relatif murah 5.

  Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.

  6. Bersifat padat gizi.

  7. Kandungan serat kasar atau bahan lain yang sukar dicerna dalam jumlah sedikit kandungan serat kasar yang terlalu banyak justru akan mengganggu pencernaan bayi (Murianingsih dan Sulastri, 2003)

2.4. Masalah-masalah dalam Pemberian MP-ASI

  Masalah dalam pemberian MP-ASI pada bayi adalah meliputi pemberian makanan prelaktal (makanan sebelum ASI keluar). Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan bayi dan menggangu keberhasilan menyusui serta kebiasaan membuang kolostrum padahal kolostrum mengandung zat-zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari penyakit dan mengandung zat gizi yang tinggi. Oleh karena itu kolostrum jangan dibuang. Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini (sebelum bayi berumur 6 bulan) dapat menurunkan konsumsi ASI dan meningkatkan terjadinya gangguan pencernaan/diare, dengan memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan bayi untuk mengkonsumsi ASI berkurang yang berakibat menurunnya produksi ASI. Hal ini dapat mengakibatkan anak menderita kurang gizi, seharusnya ASI diberikan dahulu baru MP-ASI. Pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja di daerah kota dan semi perkotaan, ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini pada ibu-ibu yang bekerja karena kurangnya pemahaman tentang manajemen laktasi pada ibu bekerja. Ibu kurang menjaga kebersihan terutama pada saat menyediakan dan memberikan makanan pada anak. Masih banyak ibu yang menyuapi anak dengan tangan, menyimpan makanan matang tanpa tutup makanan / tudung saji dan kurang mengamati perilaku kebersihan dari pengasuh anaknya. Hal ini memungkinkan timbulnya penyakit infeksi seperti diare ( mencret) dan lain-lain (Depkes, 2009).

2.5. Pemberian Makanan Pendamping ASI Terlalu Dini

  Proses dimana bayi secara perlahan-lahan mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Dikenal juga dengan sebutan proses penyapihan. Penyapihan adalah masa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Telah diketahui bahwa terdapat resiko infeksi yang lebih tinggi, terutama penyakit diare, selama proses ini dibandingkan dengan masa sebelumnya dalam kehidupan bayi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan konsumsi ASI yang bersih dan mengandung faktor anti infeksi, menjadi makanan yang sering kali disiapkan, disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. (Muchtadi, 2004).

  Hasil penelitian Kasnodihardjo (1996) menemukan bahwa alasan ibu memberikan MP ASI kepada bayi secara dini adalah adanya anggapan bahwa ASI saja tidak cukup ntuk menunjang pertumbuhan. Mereka khawatir bayi menjadi lapar bila tidak diberi makanan tambahan.

  Menurut WHO (2005) memberi makanan tambahan terlalu cepat berbahaya karena: a) Seorang anak belum memerlukan makanan tambahan pada saat ini, dan makanan tersebut dapat menggantikan ASI. Jika makanan diberikan, maka anak akan minum ASI lebih sedikit dan ibu pun memproduksinya lebih sedikit, sehingga akan lebih sulit memenuhi kebutuhan nutrisi anak.

  b) Anak mendapat faktor pelindung dari ASI lebih sedikit, sehingga resiko infeksi meningkat.

  c) Resiko diare juga meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI.

  d) Makanan yang diberikan sering encer, buburnya berkuah atau berupa sup karena mudah dimakan oleh bayi. Makanan ini membuat lambung penuh, tetapi memberi nutrisi lebih sedikit daripada ASI, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi e) Ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali jika jarang menyusui.

  Bayi memiliki fungsi organ yang belum sempurna. Jika kemudian bayi dapat beradaptasi dengan pola makan yang tidak diperlukan, seperti pemberian makanan tambahan yang terlalu dini, bukan berarti pemberiannya dibenarkan.

  Terbukti, ada banyak kerugian jika pemberian makanan tambahan diberikan terlalu dini sebagai berikut: 1) Resiko Jangka Pendek Pemberian makanan selain ASI akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusu sehingga frekuensi dan kekuatan bayi menyusu berkurang akibat produksi ASI berkurang. Disamping itu, pemberian makanan lain merupakan kerugian bagi bayi karena pasti nilai gizinya lebih rendah dari ASI. Pemberian sereal atau sayur- mayur akan mengahambat penyerapan zat besi dalam ASI, juga dapat meningkatkan diare jika kurang bersih dalam penyediaan maupun pemberiannya.

  2) Resiko Jangka Panjang Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini dan tidak tepat mengakibatkan kebiasaan makan menjadi kurang baik dan menyebabkan gangguan kesehatan, antara lain obesitas, hipertensi, arterosklerosis dan alergi makanan (Huliana, 2003).

2.6. Dampak Pemberian Makanan Tambahan Dini

  1. Bayi lebih sering menderita diare karena pembentukan zat anti oleh susu bayi yang belum sempurna.

  2. Bayi mudah alergi terhadap zat makanan tertentu. Keadaan ini terjadi akibat usus bayi masih permeabel, sehingga mudah dilalui oleh protein asing.

  3. Terjadi malnutrisi/gangguan pertumbuhan anak karena zat essensial yang diberikan secara berlebihan untuk jangka waktu yang panjang akan mengakibatkan penimbunan zat gizi tersebut sehingga menimbulkan keadaan obesitas dan dapat merupakan racun bagi tubuh.

  4. Produksi ASI menurun. Karena bayi sudah kenyang dengan makanan tambahan tadi, maka frekuensi menyusu menjadi lebih jarang, akibatnya dapat menurunkan produksi ASI dan bayi kekurangan zat

  • – zat yang dibutuhkan sebelum usia 4 bulan atau 6 bulan yang tidak dapat diberikan oleh makanan lain.

  5 . Tingginya solute load dari makanan tambahan yang diberikan, sehingga dapat menimbulkan hiperosmolaritas yang meningkatkan beban ginjal

  6. Menurunkan daya tahan tubuh bayi karena bayi kekurangan protein yang sangat dibutuhkan selama masa pertumbuhan.

  7. Terjadi obstruksi usus karena usus bayi belum mampu melakukan gerak peristaltik secara sempurna (Narendra, 2002)

2.7. Diare

2.7.1. Pengertian

  Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004).

  Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih dari tiga kali dalam satu hari (Departemen Kesehatan RI, 2011).

  Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir darah/lendir saja (Ngastiyah,2005, p.224).

  Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan volume, keenceran dan frekuensi dengan atau tanpa lendir darah, seperti lebih dari 3 kali/hari dan pada neonatus lebih dari 4 kali/hari (Aziz, 2005, p.101).

2.7.2. Klasifikasi

  a. Klasifikasi diare menurut terjadinya, yaitu : 1) Diare Akut

  Diare akut adalah kumpulan gejala diare berupa defekasi dengan tinja cair atau lunak dengan atau tanpa darah atau lendir dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari dan berlangsung kurang dari 14 hari dan frekuensi kurang dari 4 kali per hari.

  2) Diare Kronik Diare kronik adalah diare yang berlanjut 2 minggu atau lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare tersebut. b. Klasifikasi diare menurut derajat dehidrasi Diare dibagi menjadi diare tanpa dehidrasi dan diare dengan dehidrasi ringan- sedang dan diare dengan dehidrasi berat (Ngastiyah, 2005, p.234).

  2.7.3. Frekuensi Diare

  Frekuensi diare adalah banyaknya/berapa kali kejadian diare yang dialami dalam kurun waktu tertentu. Menurut WHO (1999), dikatakan diare bila keluarnya tinja yang lunak atau cair dengan frekuensi 3x atau lebih per hari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.

  Menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari.

  Frekuensi buang air besar yang lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah atau hanya lendir saja (FK UI 1997)

  2.7.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Diare pada Bayi

  a. Pada garis besarnya kejadian diare dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: 1) Pemberian ASI

  Pemberian ASI ekslusif pada bayi sampai berusia 6 bulan akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti kekebalan dari

  ASI, maka bayi ASI eksklusif dapat terlindung dari penyakit diare (Roesli,2005, p.3).

  2) Status Gizi Diare dapat menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan yang baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi (Purnawati,2005). 3) Laktosa Intoleran

  Laktosa hanya dapat diserap oleh usus setelah dihidrolisis menjadi monosakarida oleh enzim laktose, namun dalam keadaan tertentu aktivitas laktosa menurun atau tidak ada sama sekali, sehingga pencernaan laktosa terganggu dan laktosa pun tidak dapat dicerna. Laktosa yang tidak dapat dicerna tersebut akan masuk ke usus besar dan di dalam usus besar ini akan difermentasi oleh mikro flora usus sehingga dihasilkan asam laktat dan beberapa macam gas. Adanya beberapa gas ini menyebabkan diare.

  b. Beberapa faktor penyebab diare, diantaranya : 1) Faktor Infeksi (a) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral meliputi:

  (1) Infeksi bakteri : Vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas.

  (2) Infeksi virus : Enterovirus (virus ECHO, Coxackie, Poliomyelitis) Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus.

  (3) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strogyloides); protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis); jamur (Candida albicans)

  (b) Infeksi parenteral ialah infeksi dari luar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), tonsillitis / tonsilofaringitis, bronkopneumoni, ensefalitisdan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak berusia dibawah 2 tahun (Ngastiyah, 2005, p.224).

  Proses ini diawali dengan adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa intestinal yang dapat menurunkan daerah permukaan intestinal sehingga terjadinya perubahan kapasitas dari intestinal yang mengakibatkan gangguan fungsi intestinal dalam absorbsi cairan dan elektronik. Adanya toksin bakteri juga akan menyebabkan sistem transpor menjadi aktif dalam usus, sehingga sel mukosa mengalami iritasi dan akhirnya sekresi cairan dan elektrolik akan meningkat (Aziz, 2005, p.101).

  2) Faktor Malabsorbsi

  a) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa. b) Malabsobsi protein : Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare.

  3) Faktor Makanan Faktor makanan yang dapat menyebabkan diare diantara adalah makanan basi, beracun, makanan yang merangsang, alergi terhadap makanan. Apabila terdapat toksin yang tidak mampu diserap dengan baik dan dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang akhirnya menyebabkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan. 4) Faktor Psikologi, Rasa Takut dan Cemas

  Faktor tersebut dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus dapat mempengaruhi proses penyerapan makanan (Aziz, 2005, p.102).

2.7.5. Pencegahan Penyakit Diare

  Menurut Wahyudi (2009) ada beberapa cara untuk pencegahan penyakit diare, diantaranya : a.

  Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif sampai umur 6 bulan. Pemberian ASI mempunyai banyak keuntungan bagi bayi atau ibunya. Bayi yang mendapat ASI lebih sedikit dan lebih ringan episode diarenya dan lebih rendah resiko kematiannya jika dibanding bayi yang tidak mendapat ASI. Dalam 6 bulan pertama kehidupan risiko mendapat diare yang dibutuhkan perawatan di rumah sakit dapat mencapai 30 kali lebih besar pada bayi yang tidak disusui daripada bayi yang mendapat ASI penuh. Hal ini disebabkan karena ASI tidak membutuhkan botol, dot, dan air yang mudah terkontaminasi dengan bakteri yang mungkin menyebabkan diare. ASI juga mengandung antibodi yang melindungi bayi terhadap infeksi terutama diare, yang tidak terdapat pada susu sapi dan formula. Saat usia bayi mencapai 6 bulan, bayi harus menerima buah- buahan dan makanan lain untuk memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat, tetapi ASI harus tetap terus diberikan paling tidak sampai umur 24 bulan.

  b.

  Hindarkan penggunaan susu botol. Sering kali para ibu membuat susu yang tidak langsung habis sekali minum, sehingga memungkinkan tumbuhnya bakteri. Dot yang jatuh langsung diberikan bayi tanpa di cuci. Botol juga harus dicuci dan di rebus untuk mencegah pertumbuhan kuman.

  c.

  Penyimpangan dan penyiapan makanan pendamping ASI dengan baik, untuk mengurangi paparan dan perkembangan bakteri.

  d.

  Penggunaan air bersih untuk minum. Pasokan air yang cukup, bisa membantu membiasakan hidup bersih seperti cuci tangan, mencuci peralatan makan, membersihkan WC dan kamar mandi.

  e.

  Mencuci tangan (sesudah buang air besar dan membuang tinja bayi, sebelum menyiapkan makanan atau makan).

  f.

  Membuang tinja, termasuk tinja bayi secara benar. Tinja merupakan sumber infeksi bagi orang lain. Keadaan ini terjadi baik pada yang diare maupun yang terinfeksi tanpa gejala. Oleh karena itu pembuangan tinja anak merupakan aspek penting pencegahan diare.

2.8. Kerangka Teori

  Faktor predisposisi :

  1. Pengetahuan

  2. Pendidikan

  3. Umur ibu

  4. Pengalaman

  5. Lingkungan Pemberian MP ASI Dini : 1.

  Frekuensi pemberian Pendorong :

  MP-ASI Kejadian

  1. Dukungan keluarga

  2. Diare pada Porsi Pemberian MP-

  2. Tenaga kesehatan ASI Bayi 0-6

  3. Tokoh Masyarakat 3. bulan

  Konsistensi MP-ASI 4. Cara Pemberian MP-

  ASI Pendukung :

  1. Sarana dan prasarana kesehatan

  2. Jarak pelayanan kesehatan = Diteliti = Tidak Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  Sumber: L. Green, 1993 dalam Notoatmodjo 2003. Modifikasi

2.9. Kerangka Konsep

  Pemberian MP-ASI Dini : 1. Frekuensi pemberian MP-ASI

  Kejadian Diare pada 2. Porsi Pemberian MP-ASI

  Bayi 0

  • – 6 Bulan 3.

  Konsistensi MP-ASI 4. Cara Pemberian MP-ASI

  Karakteristik Dukungan Keluarga; Petugas

  • Pengetahuan Ibu Kesehatan - Pendapatan - Pekerjaan - Pendidikan

Dokumen yang terkait

Hubungan Pemberian MP-ASI Dini dengan Kejadian Diare pada Bayi 0-6 Bulan Di Desa Kwala Pesilam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Tahun 2014

3 74 98

Pemberian Makanan Tambahan Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Desa Sumber Mukti Kabupaten Aceh Singkil

0 33 92

Hubungan Pemberian Mp-Asi Dini Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Pada Bayi 0-6 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Sindar Raya Kecamatan Raya Kahean Kabupaten Simalungun Tahun 2012

6 72 105

Hubungan Antara Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Dengan Insiden Diare Pada Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas Aek Goti Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

3 49 75

Hubungan Sosial Budaya dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI Pada Bayi 0-6 Bulan Dusun IX Desa Bandar Setia Tahun 2015

8 82 74

Hubungan Pemberian MP-ASI Dini Dengan Status Gizi Bayi Umur 0-6 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Rowotengah Kabupaten Jember

2 31 19

Hubungan Pemberian MP-ASI Dini dengan Status Gizi Bayi Umur 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Rowotengah Kabupaten Jember (THE CORRELATION BETWEEN GIVING EARLY COMPLEMENTARY BREASTFEEDING AND LEVEL BABY NUTRITION 0-6 MONTH IN WORK AREA OF ROWOTENGAH CO

2 23 6

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Berusia 6-12 Bulan Di Kelurahan Bendungan Kecamatan Cilegon Bulan Agustus 2010

0 7 81

Hubungan ASI Ekslusif dengan Kejadian Diare pada Bayi Usia 0-12 Bulan di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Tahun 2013

1 44 66

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare 2.1.1. Definisi Diare - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (1-<5) Tahun di Kota Padang sidempuan Tahun 2015

0 1 37