BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Mekanisme Koping Perawat dalam Menghadapi Stres Kerja di Intensive Care Unit (ICU) RSUD Arifin Achmad Pekanbaru: Studi Fenomenologi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Rumah sakit adalah organisasi yang unik dan sangat kompleks serta merupakan organisasi padat modal, padat karya, padat teknologi, padat profesi, dan padat masalah (Aditama, 2007). Keunikan dan kompleksitas rumah sakit membuat rumah sakit memiliki berbagai macam kegiatan seperti tindakan medis, tindakan keperawatan, aktivitas keuangan, interaksi individu maupun kelompok. Pelaksanaan kegiatan tersebut memungkinkan timbulnya perbedaan-perbedaan bahkan permasalahan yang dapat menjadi sumber stres bagi individu yang terlibat di rumah sakit (Shirey, 2006).

  Perawat merupakan mayoritas professional kesehatan yang bekerja di rumah sakit dengan tuntutan kerja tinggi (Maria, Pavlos, Eleni, & Thamme, 2010). Tugas dan tanggung jawab besar yang diberikan, dipastikan menimbulkan stres kerja pada perawat. Hal ini diperkuat dengan hasil riset terhadap 26 jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Johnson et al. (2005) ditemukan profesi perawat termasuk pekerjaan yang penuh stres. Bahkan pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang mengalami stres kerja diatas rata-rata (Parker & Kulik, 1995; Tan & Lam, 1996; Revicky & May, 1989; Wolfgang, 1991; Lang, 2008) dan lebih cenderung menderita kelelahan secara emosional atau yang dikenal dengan istilah burnout (Khan, 1993). Beberapa kondisi tersebut bisa mengakibatkan perawat keluar dari profesinya dan jika hal ini dibiarkan akan terjadi penurunan jumlah tenaga perawat (Lang, 2008).

  1 Isu di seluruh dunia saat ini adalah kekurangan tenaga perawat. Peningkatan kekurangan tenaga keperawatan merupakan suatu ancaman serius untuk mutu pelayanan kesehatan. Kondisi ini diperberat oleh berbagai tuntutan di lingkungan seperti peningkatan pasien akut, perubahan teknologi (Kurtzaman & Corrigan, 2007 dalam Lawrence, 2011), peningkatan populasi usia lanjut, dan variasi penyakit kronik (Lambert & Lambert, 2008). Oleh sebab itu, upaya penanggulangan terhadap isu tersebut perlu dilakukan oleh setiap negara dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

  Beberapa negara telah menghabiskan dana yang cukup besar terkait upaya penanggulangan stres kerja. Hasil penelitian Lambert dan Lambert (2008) ditemukan bahwa dana yang dihabiskan untuk menghadapi isu peningkatan kekurangan tenaga perawat akibat dari stres kerja sekitar $300 milyar. Hasil penelitian ini mendukung The Health and Safety Executive (2004) menyatakan bahwa pemerintah Inggris menghabiskan anggaran belanja negara sekitar £3,7 milyar setiap tahunnya dalam penanggulangan penyakit fisik dan psikologis akibat stressor pekerjaan yang diderita warga Inggris. Oleh karena itu, diperlukan penelusuran terhadap penyebab stres kerja yang terjadi pada perawat.

  Perawat rentan terkena stres. Stres yang dialami perawat dapat disebabkan oleh beberapa faktor penyebab seperti beban kerja yang berlebihan, konflik dengan dokter, konflik dengan sejawat, menghadapi pasien sekarat dan meninggal, kurang dukungan, persiapan yang tidak adekuat, dan pengobatan yang tidak pasti (Cai, Li, & Zang, 2008). Selain itu, perubahan perkembangan teknologi, konflik peran dan ambiguitas, konflik antara kerja dan keluarga, serta kurang terlibat dalam pengambilan keputusan juga merupakan faktor penyebab stress kerja perawat (Hingley & Cooper, 1986 dalam Lees & Ellis, 1990).

  Berdasarkan beberapa faktor tersebut, mayoritas perawat di berbagai negara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan USA mengindikasikan beban kerja berlebih merupakan stresor utama. Hal ini diperparah dengan situasi umum di tempat kerja perawat yang selalu menghadapi pasien sekarat dan meninggal (Lambert & Lambert, 2008). Lees dan Ellis (1990) juga menyatakan penyebab stres tersebut akan membuat perawat merasa tertekan dan tidak berdaya

  Ketidakberdayaan dan perasaan tertekan pada perawat dalam menghadapi stresor pekerjaan akan memberikan berbagai dampak negatif. Stres yang berlebihan dapat menyebabkan kelelahan fisik dan emosional. Selain itu, stres juga akan mempengaruhi produktivitas kerja perawat seperti penurunan kepuasan kerja (Jhonson et al, 2005), penurunan kinerja perawat (Jehangir, Kareem, Khan, Jan, & Soherwardi, 2011), peningkatan absteeism dan turnover (Lambert & Lambert, 2008) sehingga akan mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien (Coffey, 1999 dalam Mansour, Al-Gamal, Puskar, Yacoub, & Marini, 2011). Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan terhadap berbagai dampak tersebut perlu dilakukan.

  Berbagai cara yang dilakukan perawat untuk mengatasi stres kerja, salah satunya adalah strategi koping. Hasil penelitian yang dilakukan Lambert dan Lambert (2008) ditemukan mayoritas strategi koping yang digunakan oleh perawat Cina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Amerika, Australia, dan New Zealand adalah planful-problem solving, seeking sosial support, self-control, dan

  positive reappraisal . Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fathi, Nasae, dan

  Thiangchanya (2010) ditemukan mayoritas strategi koping perawat Indonesia, khususnya di Medan berfokus pada emosi. Selain itu, juga ditemukan bahwa agama sebagai koping yang paling umum digunakan. Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut, ditemukan perbedaan dalam penggunaan strategi koping dalam mengatasi stres kerja. Lambert dan Lambert (2008) juga menemukan bahwa perbedaan ini dapat dilatar belakangi oleh karakteristik perawat dan budaya lingkungan kerja perawat.

  Strategi koping yang dipilih oleh perawat untuk mengatasi stres kerja merupakan suatu fenomena yang unik yang dialami oleh perawat. Keunikan fenomena tersebut dapat terlihat dari proses alamiah pengalaman perawat ketika menghadapi stres, memaknai stresor yang dihadapi, dan dasar dalam pengambilan strategi yang dipilih untuk mengatasi stres. Menurut Van Manen (2007) pengalaman hidup sehari-hari perlu dipahami untuk menghasilkan sebuah wawasan dari suatu fenomena. Oleh karena itu, pengalaman perawat dalam menghadapi stres kerja juga perlu dipahami.

  Pengalaman kerja perawat ICU berbeda dengan perawat di unit lain. Perawat ICU dituntut memiliki pengetahuan dan ketrampilan khusus untuk bekerja cepat dalam mengatasi kondisi pasien yang kritis (Hays, All, Mannahan, Cuaderes, & Wallace, 2006). Hays et al. juga menyatakan perawat ICU dituntut mahir dalam penggunaan peralatan dengan teknologi canggih. Berbagai tuntutan tersebut dapat memicu timbulnya stres pada perawat ICU.

  Perawat ICU mudah mengalami stres kerja dibanding perawat umum. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Mealer (2007) didapatkan hasil dari 230 perawat

  ICU, terdapat 54 perawat (24%) yang mengalamai Post Traumatic Stress

  

Disoreder (PTSD), sedangkan dari 121 perawat umum terdapat 17 perawat (14%)

  yang mengalami PTSD. Kondisi ini diperparah dengan mayoritas stresor utama di

  ICU adalah exhausting (kelelahan) dan demoralizing (Lawrence, 2011). Kondisi tersebut akan mempengaruhi mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien khususnya di ICU dan juga akan mempengaruhi mutu rumah sakit secara umum karena ICU merupakan bagian dari pelayanan di rumah sakit (Mansour et al, 2011).

  Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru merupakan Rumah Sakit Tipe B dan pusat rujukan seluruh kabupaten di Provinsi Riau. Rumah sakit ini memiliki fasilitas pelayanan ICU dengan kapasitas 7 tempat tidur. Berdasarkan hasil survey awal pada Bulan Desember 2012 diperoleh Bed

  (BOR) ICU diatas 95%. Hal ini ditandai tempat tidur yang

  Occupancy Rate

  tersedia selalu terisi penuh setiap harinya. Tingginya BOR ICU tersebut, perawat dituntut memberikan pelayanan yang baik sesuai harapan keluarga dan pihak rumah sakit. Hasil wawancara dengan salah seorang perawat ICU di RSUD Arifin Achmad menyatakan bahwa “saya cukup stres bekerja di ruangan ini, apalagi pasien yang dirawat harus dimonitor setiap saat, memang lelah tetapi mau bagaimana lagi ini sudah pekerjaan saya”. Selain dari hasil wawancara, observasi singkat juga dilakukan di ruang ICU dan ditemukan seringkali perawat di ruangan tersebut menghadapi masalah yang sulit untuk dipecahkan karena keterbatasan pengetahuan dan wewenang. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan stres bagi perawat. Hal ini didukung oleh data yang diperoleh bahwa tenaga perawat di

  ICU berjumlah 23 orang, namun tenaga yang telah mendapatkan pelatihan perawatan intensif baru 11 orang (47,8%).

  Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam bagaimana pengalaman stress kerja yang dialami oleh perawat ICU dan mekanisme koping yang digunakan untuk mengatasi stres kerja. Penelitian terhadap stres dan koping perawat di RSUD Arifin Achmad perlu dilakukan karena belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti tentang stres dan koping di rumah sakit tersebut. Selain itu, pentingnya penelitian ini dilakukan adalah akan mempengaruhi program rekruitmen dan retensi perawat yang akan mempengaruhi mutu pelayanan keperawatan yang diberikan. Penelitian ini akan dilakukan secara fenomenologi karena masih sangat sedikit penelitian terkait stres dan koping yang dilakukan secara kualitatif. Selain itu, melalui desain kualitatif akan memperoleh berbagai informasi baru yang lebih banyak dan mendalam terkait fenomena stres dan koping perawat ICU yang belum tentu dapat diperoleh melalui desain kuantitatif.

1.2 Permasalahan

  Perawat ICU rentan mengalami stres kerja. Stres ini disebabkan oleh berbagai tuntutan di lingkungan kerja ICU seperti kemampuan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus serta bekerja cepat tanggap dalam mengatasi kondisi pasien yang kritis.

  Kondisi ICU di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dapat memicu stres pada perawat. Berdasarkan hasil survey awal diperoleh gambaran BOR ICU cukup tinggi (95%) dan jumlah perawat yang telah mendapatkan pelatihan hanya 11 orang dari 23 perawat (47,8%). Hal ini juga didukung oleh hasil wawancara dan observasi singkat, diperoleh perawat terlihat mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah karena keterbatasan pengetahuan dan wewenang.

  Kondisi stres yang dialami oleh perawat ICU merupakan suatu fenomena yang unik. Keunikan fenomena tersebut terlihat dari proses alamiah ketika perawat menghadapi stres kerja, memaknai stres tersebut, dan dasar pengambilan strategi yang dipilih untuk mengatasi stres. Oleh karena itu, fenomena yang dialami perawat ICU perlu digali lebih dalam dan dipahami (Van Manen, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang dinyatakan dengan pertanyaan penelitian :

1. Bagaimana pengalaman stres kerja yang dialami oleh perawat di ICU ? 2.

  Bagaimana pengalaman perawat menggunakan mekanisme koping dalam menghadapi stres kerja di ICU ?

1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengeksplorasi bagaimana pengalaman stres kerja yang dialami oleh perawat di ICU.

2. Mengeksplorasi bagaimana pengalaman perawat menggunakan mekanisme koping dalam menghadapi stres kerja di ICU.

1.4 Manfaat Penelitian

  1.4.1 Praktik Keperawatan (Nursing Practice)

  Hasil penelitian dapat dijadikan dasar bagi administrator keperawatan dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi tingkat stres kerja perawat atau mendesain program/ intervensi yang dapat membantu meringankan/ mengurangi stres kerja perawat. Selain itu juga membantu administrator khususnya manajer sumber daya manusia dalam melakukan proses rekruitmen dan retensi perawat.

  1.4.2 Pendidikan Keperawatan (Nursing Education)

  Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan ilmu keperawatan jiwa khususnya terkait konsep stres dan mekanisme koping perawat serta bermanfaat bagi institusi pendidikan dalam mempersiapkan mahasiswa yang akan melakukan praktik lapangan di ICU.

  1.4.3 Penelitian Keperawatan (Nursing Research)

  Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based dan pertimbangan bagi penelitian keperawatan dalam melakukan penelitian selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan stres dan koping perawat.