PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP INTENSI BERWIRAUSAHA

  

Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin:

Pengaruh Sistem Integrasi…

  PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP INTENSI BERWIRAUSAHA Siti Zahreni*, Ratna Sari Dewi Pane**

  Mahasiswa Fakultas Psikologi USU

  Abstract: The objective of this study is to know the influence of Adversity Quotienton entrepreneurial intention og college students. This research involves 80 college students from faculty of psychology Universitas Sumatera Utara with sampling technique using convinience sampling. Data obtained processed using Simple linear regression analysis. the measuring instrument used is the scale of entrepreneurial intention and the scale of adversity quotient. Result showed that Adversity Quotient significantly influencing the entrepreneurial intention’s of college students.

  Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Adversity Quotient

  terhadap intensi berwirausaha mahasiswa. Penelitian ini melibatkan 80 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan teknik pengambilan sampel menggunakan convinience sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala intensi berwirausaha dan skala Adversity Quotient. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adversity Quotient memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi berwirausaha mahasiswa.

  Keywords: Adversity Quotient, Entrepreneurial Intention.

  PENDAHULUAN

  Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, probabilitas atau kemungkinan seseorang menjadi pengangguran pun semakin tinggi. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan,mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2010) jumlah orang yang bekerja dengan pendidikan sarjana hanya sekitar 4,94 juta orang (4,60%) sedangkan tingkat pengangguran dengan pendidikan sarjana sebesar 14,23%. Padahal masih terdapat 2 juta hingga 3 juta pencari kerja baru setiap tahunnya.

  Kondisi tersebut didukung pula oleh kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja daripada pencipta lapangan pekerjaan. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sistem pembelajaran yangditerapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini lebih berfokus pada bagaimanamenyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan yang siap menciptakan pekerjaan (Bambang, 2009). Kewirausahaan pun kemudian digaungkan pemerintah dan perguruan tinggi sebagai usaha untuk menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia.

  Halim dan Sahnan (dalam Afrilia 2010) menyatakan bahwa dari puluhan ribu sarjana yang merupakan lulusanbaru, hanya sekitar 18% yang berminat menjadi wirausaha. Kondisi ini kurang mendukung program pemerintah dengan mengurangi angka pengangguran kalangan terdidik dari perguruan tinggi, sebab 82% dari mereka cenderung menjadi karyawan kantor.

  Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Hartini (dalam Wijaya, 2007) yang menyatakan bahwa sampai saat ini di antara mahasiswa-mahasiswa lulusan perguruan tinggi tidak banyak yang berorientasi dan berniat untuk bekerja sendiri atau berwirausaha dengan bekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Ada yang tertarik berwirausaha dan ada yang tidak berkeinginan untuk melakukan wirausaha. Keinginan untuk melakukan hal tersebut oleh Fishbein dan Ajzen (1975) disebut sebagai intensi.

  Ajzen (dalam Linan & Chen, 2006) menyatakan bahwa adanya intensi terhadap suatu tingkah laku akan menjadi prediktor

  Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012

  terbaik dari munculnya tingkah laku tersebut di masa depan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intense berwirausaha termasuk diantaranya faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga dan pendidikan. Sedangkan faktor internal, terdiriatas nilai personal, usia dan jenis kelamin (Wijaya, 2007).

  Nilai personal sebagai salah satu faktor internal yang mempengaruhi kecenderungan berwirausaha dibentuk oleh motivasi, dan optimisme individu. Motivasi, optimisme, kecerdasan untuk mengatasi kesulitan, kemampuan untuk bertahan, dan terus berjuang dengan gigih dibutuhkan individu untuk menghadapi kesulitan, dimana Stolzt (2000) menyebutkannya dengan istilah Adversity

  Quotient .

  Adversity Quotient

  merupakan konsep yang dapat melihat seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan. Adversity Quotient juga mampu meramalkan individu yang memiliki potensi, akan melampaui harapan atau gagal, serta siapa yang akan menyerah atau bertahan (Stolz, 2000). Besarnya hambatan dalam berwirausaha dengan resiko gagal akanberdampak pada intensi seseorang untuk berwirausaha. Tanpa adanya Adversity Quotient yang tinggi maka dikhawatirkan individu akan mengalami frustrasi dan kegamangan dalam menjalani proses menjadi seorang wirausahawan nantinya(Stoltz, 2000).

  Stoltz (2000) mengemukakan bahwa AQ memiliki beberapa dimensi yaitu

  Control atau kendali, Origin dan Ownership (asal usul dan pengakuan), Reach

  (jangkauan) dan Endurance (daya tahan) membentuk dorongan bagi individu dalam menghadapi masalah yang dikenal dengan dimensi CO2RE. Control atau kendali merupakan tingkat rasa percaya diri dan optimisme individu mengenaisituasi yang dihadapi, apabila situasi berada dalam kendali individu maka dalamdiri individu akan membentuk intensi menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki kendali yang tinggi akan berinisiatif menangkap peluang yang ada, yakni mampu melihat dan memanfaatkan peluang untuk melakukan wirausaha Stoltz (2000).

  Stoltz (2000) juga menyebutkan bahwa ketika individu memandang penyebab atau asal usul kesalahan berasal dari dalam diri, bukan dari luar diri ataupun dari masalah itu sendiri, maka akan timbul intensi untuk melakukan sesuatu yang mampu menyelesaikan masalah tersebut.

  Individu yang menganggap wirausaha sebagai bagian dari masalah dalam dirinya akan memiliki inisiatif, kreativitas, serta kemandirian untuk memulai kegiatan berwirausaha.

  Lebih lanjut Stoltz (2000) mengemukakan dengan semakin banyaknya kesulitan yang dihadapi individu maka semakin rendah intensi individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Individu yang merasa peluang yang ada dapat dijangkau (Reach) akan memiliki niat atau dorongan melakukan wirausaha. Sedangkan bila ditinjau dari jangka waktu masalah yang dihadapi, ketika masalah tersebut telah lama terjadi maka intensi yang ada dalam diri individu menjadi rendah (Endurance). Individu yang menganggap peluang wirausaha bukan menjadi suatu masalah, rela menghabiskan waktu untuk menjajaki peluang usaha dan sabar melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan, akan berupaya melakukan wirausaha (Stoltz, 2000). Selain itu, individu tersebut juga akan mampu bekerja keras, memiliki daya juang yang tinggi, bekerja penuh energi, tekun, tabah, dan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tanpa mengenal putus asa.

  Seorang individu yang memiliki kecerdasan Adversity Quotient diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang (Stoltz, 2000). Individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan akan memiliki kemampuan untuk menangkap peluang usaha (wirausaha) karena memiliki kemampuan menanggung resiko, orientasi pada peluang/inisiatif, kreativitas, kemandirian dan pengerahan sumber daya, sehingga Adversity Quotient dalam diri individu memiliki pengaruh terhadap keinginan untuk berwirausaha.

  Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh antara Adverity Quotient terhadap intensi berwirausaha mahasiswa.

  Siti Zahreni, Ratna Sari Dewi Pane: Pengaruh Adversity Quotient…

  Tanggap pada saran dan kritik.

  Mampu bekerja keras, tekun, tabah dan tak kenal putus asa.

  f.

  Berpandangan luas dengan visi ke depan.

  g.

  Berani mengambil resiko yang sudah diperhitungkan.

  h.

  Dengan demikian, intensi berwirausaha merupakan keinginan atau niat di dalam diri yang terdiri dari keyakinan pada perilaku, norma dan kontrol perilaku untuk melakukan suatu proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada (inovasi) dengan kepercayaan diri dan keberanian mengambil resiko yang bertujuan untuk menerima hasil berupa imbalan dan kepuasan pribadi sebagai dampak kegiatan tersebut.

  Memiliki inisiatif, kreatif, inovatif.

  Adversity Quotient Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.

  AQmempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptualyang baruuntuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua,AQ adalah suatu ukuranuntuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yangketiga, AQ adalah serangkaianperalatan yang memiliki dasar ilmiah untukmemperbaiki respons terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).

  Adversity Quotient terdiri atas empat

  dimensi yang tercakup dalamakronim CO2REyaitucontrol, origin, owenership,

  reach dan endurance. Control berarti

  kendali, atau berapa banyakkendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan.SedangkanOrigin atau asal usul, mempertanyakan apa yang menjadi asal usul darisebuah kesulitan.

  Ownership atau pengakuan, yaitu sejauh

  e.

  d.

  Intensi Berwirausaha

  Keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut, menghasilkan kesadaran akan tekanan dari lingkungan social atau norma subyektif.

  Fishbein & Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai suatu komponen dalam diri indifidu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi juga merupakan kunci utama untuk memprediksi perilaku manusia dan sebagai sebuah konstruk psikologis yang menunjukkan kekuatan motivasi seseorang dalam hal perencanaan yang sadar dalam usaha untuk menghasilkan perilaku yang dimaksud (Eagly & Chaiken, 1993).

  Teori perilaku beralasan diperluas dan dimodifikasi oleh Ajzen (1988) dan dinamai Teori Perilaku Terencana (theory

  of planned behavior ). Inti teori

  inimencakup 3 hal yaitu: a.

  Behavioral Beliefs Keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut, menghasilkan sikap suka atau tidak suka berdasarkan perilaku individu.

  b.

   Normative Beliefs

  c.

  Berperilaku memimpin.

  Control Beliefs Keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut, menimbulkan control terhadap perilaku.

  Dalam perpaduannya, ketiga faktor tersebut menghasilkan intensi perilaku (behavior intention). Secara umum, apabila sikap dan norma subyektif menunjuk ke arah positif serta semakin kuat kontrol yang dimiliki maka akan lebih besar kemungkinan seseorang akan cenderung melakukan perilaku tersebut.

  Wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan peluang bisnis, berani mengambil resiko dan melakukan komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilisasi agar rencana dapat terlaksana dengan baik. Drucker (1985) menjelaskan beberapa aspek kewirausahaan, yaitu: a.

  Mampu menginderakan peluang usaha, yakni mampu memanfaatkan peluang untuk mengadakan langkah-langkah perubahan menuju masa depan yang lebih baik.

  b.

  Percaya diri dan mampu bersikap positif terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Memiliki keyakinan bahwa usaha yang dikelolanya akan berhasil.

  c.

  mana seseorang mau mengakuiakibat- akibat dari suatu kesulitan atau kegagalan yang terjadi. Dimensi iniberkaitan erat dengan dimensi origin, yang menunjukkan

  Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012

  Untuk keperluan penelitian ini, alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang berisi skala-skala untuk mengukur variabel-variabel penelitian. Kuesioner ini disebarkan pada para subjek penelitian untuk diiisi. Kuesioner dikumpulkan setelah para partisipan menyelesaikan pengisian. Skala intensi berwirausaha yang digunakan merupakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Ajzen (1988), Intiteori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs ), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Skala yang digunakan adalah Skala model likert yang terdiridari 25 aitemdengan 5 (lima) buah alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable).

  Adversity Quotien t memiliki pengaruh terhadap intensi berwirausaha mahasiswa.

  005), karena p(0,005) < α (0,05) maka Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa

  Berdasarkan hasil perhitungan dengan teknik analisa regresi yang menggunakan program SPSS 16.0, didapat nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0.312 dengan p(0,005). Hipotesis nol dalam penelitian ini yaitu tidak terdapat pengaruh antara Adversity Quotient terhadap intensi berwirausaha mahasiswa. Kriteria penolakan Ho adalah jika p < α (0,05). Berdasarkan hasil perhitungan, didapat nilai p(0,

  HASIL

  unfavorable .

  Likert. Skala yang digunakan adalah Skala model Likert dengan 5 (lima) buah alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan

  Ownership, Reach, Endurance. Skala Adversity Quotient ini menggunakan Skala

  Selanjutnya untuk adversity quotient, diukur dengan menggunakan skala yang terdiri dari 20 item yang disusun berdasarkan dimensi AQdari Stolz (2000) yaitu CO2RE, Control, Origin dan

  Prosedur dan Alat Ukur Penelitian

  bahwa semakin tinggitingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat pengakuannya terhadapakibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya begitu juga sebaliknya. Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh manakesulitan akan menjangkau ranah-ranah yang lain dalam kehidupan individu. Dan yang terakhirdimensiendurance mempertanyakan tentang berapa lamakesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akanberlangsung.

  Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.

  Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik Convenience

  Partisipan dalam penelitian berjumlah 80 orang, yang populasinya adalah mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Karakteristik atau cirri sampel dalam penelitian ini yaitu remaja akhir yang di khususkan kepada mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, usia 18-21 tahun, pembatasan usia remaja menurut Monks (2001), yaitu usia 18 sampai 21 tahun termasuk dalam tahap remaja akhir.

  Partisipan

  mahasiswa ini menggunakan variabel- variabel penelitian sebagai berikut, intense berwirausaha sebagai variable tergantung dan Adversity Quotient sebagai variable bebas.

  Quotient dan intense berwirausaha

  Penelitian Hubungan Adversity

  METODE

  Hasil analisa regresi dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

  Siti Zahreni, Ratna Sari Dewi Pane: Pengaruh Adversity Quotient…

  intensi berwirausaha mahasiswa, begitu pula sebaliknya semakin rendah Adversity

a. Predictors: (Constant), AdversityQuotient

  Adversity Quotient dilambangkan dengan

  X 1 . Berdasarkan rumus tersebut, persamaan garis regresinya adalah Y`=41.200+0.485X 1 , artinya nilai intensi berwirausaha bertambah sebesar 41.200+0.485 jika nilai Adversity Quotient = 1 satuan, maka semakin tinggi tingkat

  Adversity Quotient mahaiswa akan meningkatkan intensi berwirausahanya.

  PEMBAHASAN

  Hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara Adversity Quotient dengan Intensi berwirausaha mahasiswa yang ditunjukkan dari nilai r = 0.097 artinya semakin tinggi tingkat Adversity

  Quotient maka semakin meningkatkan

  Quotient maka semakin rendah intense berwirausaha mahasiswa.

  5.153 2.897 .000 .005

  Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Stoltz (2000), yang mengatakan bahwa individu yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Selain itu, Individu tersebut akan mampu menangkap peluang usaha karena memiliki kemampuan untuk menanggung resiko, orientasi pada peluang/inisiatif, kreativitas, kemandirian dan pengerahan sumber daya.

  Selanjutnya peneliti menyadari berbagai kekurangan dari penelitian ini. Peneliti melihat lemahnya alat ukur penelitian, yaitu skala Adversity Quotient dengan model Likert. Oleh karena itu dalam penelitian selanjutnya diharapkan untuk menggunakan skala Adversity Quotient dengan model semantic differensial atau mengadaptasi skala yang telah dikembangkan oleh Stolzt (2000).

  Terakhir, Adversity Quotient hanya memberikan sumbangan efektif sebesar 9,7% terhadap intensi berwirausaha. Dengan demikian, terdapat 90,3% lagi variabel lain yang mempengaruhi intensi berwirausaha mahasiswa antara lain, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, maupun dukungan keluarga (Hirrich dan Peters, 1998) yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat melihat pengaruh dari variabel- variabel tersebut terhadap intensi berwirausaha mahasiswa.

  Ajzen, I. (1988). Attitudes, Personality and Behavior . Milton Keynes, OUP. Bambang, (2009). Pengembang Jiwa

  Kewirausahaan Di Kalangan Dosen dan mahasiswa

  (http://fe.um.ac.id/wp- diakses: 19 Januari 2011. Drucker, P.F., (1985). Innovation and

  Persamaan garis regresi pada penelitian ini adalah Y`=β + β 1 X 1 intensi berwirausaha dilambangkan dengan Y` dan

  41.200 .005 7.995 .168 .312

  Tabel 1. Koefisien determinasi

  sebesar 9.7% sedangkan sisanya 90,3% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat pada penelitian ini. Tabel 2. Hasil Analisa Varians

  Model R R square Adjusted R square Standard error of the estimate

  1 .312 a .097 .086 12.317

  Dari table diatas didapat nilai koefisien determinan (R square) sebesar 0.097 yang menunjukkan bahwa peranan

  Adversity Quotient terhadap intense

  berwirausaha pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utaraadalah sebesar 9.7%. Artinya variabel Adversity

  Quotient memberikan sumbangan efektif

  Anova Model Sum of Squares

  1 (constant) Adversity Quotient

  Df Mean Square F Sig.

  1 Regression 1273.155 1 1273.155 8.392 .005 a Residual 11833.833 78 151.716 Total 13106.988

  79

  a. Predictors: (Constant), Adversity Quotient

  b. Dependent Variable: Intensi Berwirausaha

  Tabel 3. Koefisien b dan b 1 Coefficients a

  Model Unstandardized Coefficients Standardized coefficients t Sig. B Std.error Beta

DAFTAR RUJUKAN

  Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012 Entrepreneurship: Practice and Principles. New York, William

  MadaUniversity Press. Pekerti, (2000). Intensi Dalam Perilaku Individu . Bandung, Alfabeta.

  Intelligence dengan Intensi Berwirausaha .

  Empat. Wijaya, (2007). Hubungan Adversity

  Praktis, Kiat dan Proses Menujusukses . Jakarta, Salemba

  Suryana, (2003). Kewirausahaan: Pedoman

  Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta, PT. Grasindo.

  Stoltz. (2000). Adversity Quotient:

  Sudut Pandang Psikologi. Jakarta, PT. Grasindo.

  Riyanti. B.P.D., (2003). Kewirausahaa dari

  Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta, Gadjah

  Heinemann. Eagly, A.H and Chaiken, S. (1993). The

  (2001). Psikologi Perkembangan:

  Monks, F.J; Knoers, A.M.P; Siti R.H.

  Kewirausahaan . Bandung, Alfabeta.

  Siswa SMK. Skripsi Tidak dipublikasikan. Univ Wangsa Manggala. Hirrich, M.D dan Peters M.D. (1998).

  WesleyPublishing Company Inc, Menlo Park. Hartini, (2002). Intensi Wirausaha Pada

  Attitude, Intention and Behavior: AnIntroduction to Theory and Research. California, Addison-

  Fishbein, M and Ajzen I. (1975). Belief,

  Psychology of Attitudes , Fort Worth, TX, Harcourt Brace Jovanovich.

  diakses: 15 Maret 2011.