BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat antihipertensi - Reaksi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh Obat Antihipertensi dan Perawatannya (Laporan Kasus)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat antihipertensi

  Obat antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengobati hipertensi dan bertujuan untuk mengontrol tekanan darah. Dosisnya bergantung pada tingkat keparahan hipertensinya. Obat ini dapat diberikan secara tunggal dengan dosis

  13 yang rendah ataupun dikombinasi dengan 2 obat antihipertensi golongan berbeda.

  Selain untuk mengobati hipertensi penggunaan obat ini juga dianjurkan pada individu

  14 yang memiliki penyakit kardiovaskular.

2.1.1 Klasifikasi obat antihipertensi

  Terdapat beberapa golongan obat antihipertensi diantaranya dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (

  β-blocker),

  penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor

  15 angiotensin (angiotensin receptor blocker), dan antagonis kalsium.

2.1.1.1 Diuretik

  Salah satu kelompok obat pada terapi hipertensi adalah diuretik.Obat ini diindikasikan sebagai monoterapeutika pada penderita hipertensi usia tua. Diuretik

  16

  merupakan kombinasi yang penting pada penanganan hipertensi. Mekanisme kerjanya berlangsung dalam 2 fase, pertama penurunan tekanan darah dan meningkatkan ekskresi ginjal untuk pengeluaran sodium.Pada fase kedua natrium, air, klorida di ekskresi sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Contoh obat antihipertensi dari golongan ini adalah furosemid, hidrokorotiazid,

  

15-16

bumetanid, amilorid, metolazon, torsemid.

  2.1.1.2 Penyekat Reseptor Beta Adrenergik ( β-blocker)

  Obat antihipertensi golongan beta bloker pertama kali diperkenalkan untuk mengobati anginadansaat ini digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner, dapat

  14,15

  diberikan bersama dengan diuretik atau obat antihipertensi yang lain. Mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian beta bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1 yaitu penurunan frekuensi denyut jantung, hambatan sekresi

  14

  renin di ginjal dan efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis. Contoh

  14,15 obat antihipertensi golongan ini adalah atenolol, metoprolol, labetalol, propanolol.

  

2.1.1.3 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-inhibitor)

  Penggunaan ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat, juga menunjukkan efek positif pada terapi gagal jantung kongestif dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes,

  15

  dislipidemia dan obesitas. ACE-inhibitor menghambat pembentukan angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan peningkatan kadar bradikinin. Contoh obat antihipertensi golongan ini adalah kaptopril, lisinopril, perindropril, enalapril,

  15-17 ramipril, quinapril.

  2.1.1.4 Penghambat Reseptor Angiotensin (Angiotensin receptor blocker)

  Angiotensin receptor blocker (ARB) adalah golongan obat antihipertensi yang sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung.Mekanisme ARB mirip dengan ACE- inhibitor, tetapi tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin. Contoh obat antihipertensi golongan ini adalah losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan,

  15 candesartan.

  2.1.1.5 Antagonis Kalsium

  Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan antihipertensi tahap pertama, sebagai monoterapi obat ini memberikan efektivitas yang sama dengan golongan lain dan terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang

  15

  rendah seperti pada usia lanjut. Golongan antagonis kalsium juga dianjurkan pada penderita insufisiensi jantung atau penyakit saluran nafas obstruktif.Bekerja secara vasodilatasi, menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel otot, sehingga akan menurunkan resistensi perifer dan akan bekerja menurunkan tekanan darah.

  Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan vasokonstriksi. Contoh obat antihipertensi golongan ini adalah nifedipin, amlodipin,

  15,16 felodipin, diltiazem, verapamil.

2.1.2 Efek Samping Penggunaan Obat Antihipertensi

  Penggunaan obat-obatan antihipertensi secara umum berpotensi menyebabkan efek samping yang dapat terjadi secara sistemik maupun lokal pada rongga

  5

  mulut. Beberapa efek samping sistemik dapat terjadi pada setiap individu yang mengonsumsi obat antihipertensi, bergantung pada dosis dan toleransi dari tubuh

  16

  penderita terhadap obat tersebut. Efek samping sistemik diantaranya yaitu batuk, pusing, lelah, sakit kepala dan mual, sementara yang lebih berat timbulnya nyeri dada, hipotensi, pembengkakan pada leher, tangan dan wajah, gangguan pernafasan,

  14-16 gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat, dan kerusakan parenkim hati.

  Efek samping lokal yang dapat terjadi pada rongga mulut adalah xerostomia, ulser, pembesaran gingiva, reaksi likenoid, sindrom mulut terbakar, serta gangguan

  5,18,19 pengecapan.

2.2 Lesi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh Obat Antihipertensi

  Penggunaan obat-obatan sistemik perlu menjadi perhatian para klinisi kesehatan, karena banyak pasien mengeluhkan kondisi rongga mulutnya setelah mengonsumsi obat-obatan tersebut. Reaksi likenoid oral adalah salah satu efek

  1

  samping yang timbul akibat penggunaan obat-obatan sistemik. Likenoid oral tidak hanya disebabkan oleh obat-obatan tetapi juga termasuk bahan tambalan, penyakit kronis graft versus host disease, trauma mekanis (koebner phenomenon) yaitu endapan kalkulus, gigi yang tajam, permukaan restorasi atau protesa yang kasar, menggigit pipi dan lidah serta prosedur pembedahan pada rongga mulut dapat

  4,8,20

  memicu kemunculan lesi ini. Ditemukan banyak jenis obat yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi likenoid oral, diantaranya adalah obat-obatan

  7

  antihipertensi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa obat antihipertensi

  5,19 golongan ACE-inhibitor paling sering menyebabkan reaksi ini. Likenoid oral yang disebabkan obat antihipertensi merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 4 sehingga kadangkala lesi tidak muncul pada awal pemakaian obat. Kemunculan lesi pada rongga mulut setelah mengonsumsi suatu obat harus segera dicurigai, tetapi hal yang paling utama dalam memastikan penyebabnya adalah klinisi kesehatan dapat melakukan pengamatan terhadap kondisi lesi setelah pemberhentian obat atau penggantian dengan golongan lain. Dalam proses penyembuhan lesi tidak akan langsung menghilang tetapi membutuhkan waktu

  8,20 beberapa minggu.

  2.2.1 Definisi

  Lesi likenoid oral merupakan inflamasi kronis yang terjadi didalam rongga mulut dan secara klinis menyerupai liken planus. Lokasi yang sering dikenai adalah mukosa pipi, mukosa bibir, lidah, gusi dan juga terjadi pada mukosa palatal meskipun

  9

  jarang ditemui. Timbulnya lesi ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan

  5,21 antihipertensidan lama pemakaian obat dapat memperparah kondisi lesinya.

  2.2.2 Etiologi

  Berbagai macam etiologi dapat menyebabkan reaksi likenoid pada rongga mulut, meskipun penyebab utama kemunculannya tidak diketahui tetapi pemakaian obat antihipertensi (tabel 1) dilaporkan dapat menyebabkan reaksi likenoid oral, dan

  20 ACE-inhibitor adalah golongan yang paling utama. Banyaknya jumlah atau jenis

  obat antihipertensi yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap perkembangan

  25 lesi. Tabel 1. GOLONGAN OBAT ANTIHIPERTENSI YANG DAPAT

  5,8

  MENYEBABKAN REAKSI LIKENOID ORAL Golongan Obat Antihipertensi Jenis Obat 1.

  • 2.

  Diuretik Furosemid

  β-blocker Atenolol

  • Propanolol - Labetalol - Oxyprenolol - 3.

  ACE-inhibitor Kaptropil

  • Enalapril - Methyldopa -

2.2.3 Patogenesis

  Reaksi likenoid oral merupakan penyakit yang diperantarai oleh reaksi hipersensitifitas tipe IV (gambar 1) dengan sel T dan CD8+ sebagai sel pemicu terjadinya apoptosis pada sel epitel. Peristiwa ini pada awalnya dimulai dengan stimulus dari agen endogen dan eksogen. Agen endogen dalam hal ini adalah stres sementara agen eksogen yaitu bahan tambalan, penyakit kronis graft versus host

  

disease , tembakau, trauma mekanis (koebner phenomenon) yaitu endapan kalkulus,

  gigi yang tajam, permukaan restorasi atau protesa yang kasar, obat-obatan, infeksi viral, bakteri, dan alkohol.Sel yang berperan dalam pengaktifan reaksi ini terdiri dari antigen yaitu obat, sel T, makrofag dan langerhans yang bertindak sebagai

27 APC/antigen presenting cells.

  Pengaktifan antigen diawali dengan perlekatannya pada permukaan sel langerhans yang kemudian dikenali dan diaktifkan,proses pengaktifannya

  4 berhubungan dengan major histocompatibility (MHC) kelas I pada keratinosit basal. Setelah pengaktifan terjadi maka sel langerhans yang bertindak sebagai antigen

  

presenting cells membawa antigen ke limfosit. Limfosit akan melepaskan sitokin

  yang akan mengaktifkan makrofag sehingga menyebabkan degranulasi. Makrofag menyebabkan terjadinya perlekatan molekul endotel-leukosit yang berperan dalam

  20,23 terjadinya kerusakan pada lapisan basal dan fase kronis pada penyakit ini.

  36 Gambar 1. Patogenesis reaksi likenoid oral

  Proses perusakan lapisan basal dimulai dengan sitokin yang berinfiltrasi ke sub-epitel.Sel-sel yang berperan terdiri dari sel T yang dimediasi oleh langerhans dan

  2,21

  keratinosit. Proses perusakan terjadi melalui perlekatan T limfosit diikuti dengan sitotoksik dan apoptosis keratinosis basal. Setelah semua proses maka timbul ulser disertai gambaran hyperkeratosis dalam rongga mulut pasien. Kejadian inilah yang

  20 disebut dengan reaksi likenoid oral.

  2.2.4 Gambaran Klinis dan Histopatologis

  Likenoid oral memiliki beberapa variasi klinis yaitu retikular, plak, erosif,

  4,2

  atropi, ulseratif dan bula serta distribusinya unilateral. Reaksi ini paling sering timbul pada mukosa pipi dan dapat bertahan selama beberapa bulan hingga tahun dalam rongga mulut dengan periode pasif dan eksaserbasi. Ditemukan hampir setiap kasus likenoid oral memperlihatkan gambaran keratotik pada beberapa area mukosa.Gejala yang muncul dapat bervariasi, rasa sensitif pada mukosa sampai rasa sakit yang terus-menerus.Pada periode eksaserbasi proses ulserasi terjadi sehingga timbul peningkatan rasa sakit dan sensitifitas. Periode pasif terjadi penurunan rasa sakit akibat berkurangnya ulserasi, sehingga pasien tidak sadar akan kemunculan lesi

  27 pada rongga mulutnya.

  Secara keseluruhan tipe lesi likenoid akan memperlihatkan gambaran khas yang serupa yaitu wickham’s striae, tetapi terdapat beberapa perbedaan gambaran klinis dan gejala yang ditimbulkan. Tipe retikular memperlihatkan gambaran klinis jalinan garis-garis putih keratotik yang berbatasan dengan daerah eritema. Tipe plak memiliki area garis putih yang homogen sementara pada tipe erosif terlihat gambaran

  

irregular dan daerah ulserasi disekitar lesi. Tipe atrofik memiliki gambaran

  permukaan ulserasi yang berwarna kekuning-kuningan (fibrinous exudate) pada bagian tengah dan dikelilingi area eritema. Gambaran pada tipe ulseratif yaitu daerah ulserasi yang seringkali diikuti dengan area hiperkeratotik. Tipe bula memiliki gambaran klinis berupa vesikel kecil atau bula. Tipe plak dan retikular biasanya tanpa gejala (asimtomatik) sementara pada lesi likenoid tipe erosif, atrofik dan ulseratif

  29,31 akan menimbulkan gejala seperti rasa terbakar diikuti dengan rasa sakit.

  1 Gambar 2. Likenoid oral tipe retikular

  1 Gambar 3. Likenoid oral tipe plak

  1 Gambar 4. Likenoid oral tipe atrofik

  1 Gambar 5. Likenoid oral tipe erosif

  Reaksi likenoid oral memiliki gambaran histologis yang mirip dengan liken planus, meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan seperti sel inflamasi,

  4

  presentasi limfosit, degranulasi mast cells, gambaran epitel dan cytoid bodies. Van den haute melaporkan bahwa pada reaksi likenoid cytoid bodies lebih tinggi di daerah

  22 granular dan lapisan cornified.

  1 Gambar 6. Histologis reaksi likenoid oral

  Gambaran histopatologis pada reaksi likenoid oral yang disebabkan oleh obat- obatan dapat ditandai dengan distribusi lamina propria yang lebih difus pada superfisial sub mukosa,serta penebalan pada sub-epitheliallympho-histiocytic dan degenerasi lapisan sel basal “liquefaction degeneration”.Pada area degenerasi terdapat keratinosit yang terdiri dari (civatte, hyaline, cytoid) sel sitoplasmik dan

  20,25

  peningkatan jumlah sel granulasi di dasar membran. Sel inflamasi terlihat lebih padat pada sub epitel, lebih sedikit di jaringan konektif dan akan meningkat saat

  1,4,2 terjadi inflamasi yang lebih parah.

2.2.5 Diagnosa dan Diagnosa Banding

  Diagnosa likenoid oral dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan dengan meninjau riwayat pemakaian obat pasien serta lokasi lesi. Pasien likenoid biasanya mengeluhkan rasa sensitif saat makan panas, pedas dan asam, rasa sakit disertai luka pada mukosa, bercak merah atau putih di mukosa oral, serta kemerahan pada gusi dan ulserasi pada

  4,20

  mukosa. Diagnosa melalui anamnesis akan lebih mudah diketahui apabila pasien

  24 menderita lesi likenoid setelah baru memulai mengonsumsi obat-obatan.

  Pada pemeriksaan klinis likenoid oral dapat didiagnosa melalui distribusi

  23 lesinya yang unilateral, garis-garis putih wickham’s striae dan lokasi terjadinya.

  Lesi likenoid oral tipe retikular, erosif, ulseratif dapat terjadi pada mukosa bukal dan mukosa bibir, sedangkan tipe plak sering muncul pada dorsum lidah.

  Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan biopsi, pemeriksaan histologis dan immunofluorescent. Biopsi dilakukan untuk memperoleh diagnosa melalui gambaran histologis yang dapat digunakan untuk membedakan lesi likenoid

  27

  oral dengan lesi lain sehingga diagnosa dapat dipastikan. Pemeriksaan

  immunofluorescent terdiri dari direct dan indirect. Pemeriksaan secara direct

  digunakan untuk mendeteksi autoantibodi yang membatasi jaringan dan indirect digunakan untuk mendeteksi sirkulasi antibodi didalam darah, namun kedua teknik

  8,9 pemeriksaan ini tidak dapat digunakan secara tunggal dalam menegakkan diagnosa.

  Diagnosa dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa penyakit lain yang mirip dengan lesi likenoid oral diantaranya adalah graft versus host disease,

  epithelial dysplasia, lupus erythematosus, pemfigus vulgaris, dan hepatitis C infection

chronic hepatic disease . Diagnosa ini didukung dengan riwayat penyakit,

20,25,28 kemunculan dan distribusi lesi serta gambaran klinisnya.

2.2.6 Transformasi Keganasan

  Beberapa studi klinis menyebutkan bahwa lesi likenoid oral dapat berkembang ke arah keganasan, meskipun masih diperdebatkan. Pada beberapa kasus

  8,25 ditemui bahwa lesi ini dapat mengarah pada Squamous cell carcinoma (SCC).

  Likenoid dihubungkan dengan perubahan lesi yang berkembang menjadi kanker oral, disebutkan pada salah satu literatur bahwa sebanyak 5,3% kasus likenoid berubah kearah ganas dengan tipe atropik dan erosif sebagai frekuensi terbanyak.Resiko

  4 keganasan akan semakin meningkat bila pasien merokok dan mengonsumsi alkohol.

  Proses terjadinya keganasan pada lesi likenoid oral yaitu ketika lesi tidak terdeteksi dan berada dalam rongga mulut pada waktu yang lama sehingga

  8

  menyebabkan perubahan sel epitel menjadi epithelial dysplasia. Perubahan ini dapat dideteksi melalui biopsi dengan melihat gambaran histopatologis dan

  25

immunofluoresecent . Biopsi penting dilakukan untuk memperoleh diagnosa yang tepat dan melihat gambaran histologis sel displasia yang dapat berkembang ke arah

  8,17 keganasan.

2.2.7 Perawatan

  Tujuan utama perawatan likenoid oral adalah menghilangkan gejala rasa sakit, menyembuhkan lesi, penurunan resiko kanker rongga mulut dan pemeliharaan oral

  20

  higiene. Dalam mencapai tujuan tersebut dapat digunakan modalitas perawatan farmakologik maupun non-farmakologik. Berbagai macam bahan farmakologik seperti kortikosteroid,retinoid, cyclosporin dan tacrolimus telah digunakan untuk merawat likenoid oral. Dari sekian banyak pilihan obat, kortikosteroid merupakan pilihan utama yang paling sering dianjurkan karena memiliki efek imunosupresan dan

  27,29 anti inflamasi yang sesuai dengan patogenitas likenoid.

  Pemberian obat-obatan golongan kortikosteroid dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara lokal ataupun sistemik.Dalam pengobatan farmakologik secara lokal, kortikosteroid topikal paling banyak dipilih untuk merawat lesi atropik dan

  20

  erosif. Kortikosteroid topikal bermanfaat dalam mengurangi rasa sakit serta inflamasi. Pilihan obat yang dapat digunakan adalah triamcinolone acetonide 0,1%,

  

bethametasone valerate gel 0,05%, clobetasol proprionate gel 0,05%, dan

fluocinonide acetonide 0,05% ditemukan efektif pada lesi likenoid yang lebih parah

  dan tidak merespon golongan lain. Obat ini juga dianjurkan terhadap pasien yang memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes karena memiliki efek

  28,29

  samping yang lebih sedikit. Cara penggunaan obat-obatan tersebut yaitu pasien diinstruksikan untuk mengaplikasikan selapis tipis pada lesi sebanyak 3 kali sehari, setelah makan dan sebelum tidur.Pada pasien yang lesinya meluas dan pemberian topikal akan memberikan rasa tidak nyaman maka penggunaan suspensi berbentuk obat kumur dapat diindikasikan, pemilihan obatnya yaitu aqueous triamcinolone

  

acetonide 1,0 mg/ml atau dexamethasone elixir 0,1 mg/ml. Pasien diinstruksikan

  untuk berkumur dengan 5 mL larutan selama 2 menit setelah makan dan sebelum

  29 tidur.

  Terapi kortikosteroid secara sistemik merupakan pengobatan paling efektif pada penderita dengan lesi likenoid oral yang meluas serta sulit disembuhkan.

  Pengobatan ini juga dianjurkan terhadap lesi yang tidak responsif terhadap terapi topikal.Prednison dipilih sebagai pengobatan awal pada pasien likenoid oral dengan

  30

  dosis 30-60 mg per hari. Pengobatan harus tetap dilanjutkan sampai lesi terkontrol.Obat-obatan lain yang dapat dipilih adalah golongan methyl prednisolone.

  Pengobatan secara injeksi intralesi dapat dilakukan dengan pilihan obat intralesional

corticosteroids sebanyak 0,2-0,4 ml atau triamcinolone acetonide 1,0 ml.

  Kekurangan dari pengobatan ini adalah timbulnya rasa sakit serta tidak selalu efektif

  27,28 dan akan timbul efek lokal seperti pembesaran mukosa.

  Untuk mengurangi efek samping yang dapat terjadi, kortikosteroid sistemik sering digunakan bersama topikal agar memperoleh hasil pengobatan yang efektif.Dosis yang digunakan bervariasi, bergantung dengan respon pasien. Dosis harus disesuaikan dengan individu yaitu melihat keparahan lesi, usia, dan berat badan

  28 pasien.

  Selain kortikosteroid terdapat agen farmakologik lain untuk merawat lesi likenoid oral yang dapat digunakan secara topikal ataupun sistemik seperti retinoid yang memiliki kandungan vitamin A dan berguna untuk mempercepat penyembuhan lesi. Retinoid dapat dipilih dalam perawatan lesi apabila kortikosteroid tidak berhasil. Topikal retinoid memiliki efek terapeutik dalam mengobati daerah hyperkeratotic likenoid, dan pengobatan sistemiknya dianjurkan dalam pengobatan likenoid dengan

  30

  lesi yang lebih parah. Selain itu, tacrolimus jugamerupakan pilihan obat yang diindikasikan secara topikal untuk mengontrol lesi dan efektif dalam penyembuhan likenoid tipe erosif, memiliki efek penetrasi yang baik terhadap kulit dan efek samping yang ditimbulkan adalah iritasi lokal. Cyclosporin adalah senyawa

  polypeptide yang dapat menghalangi produksi sitokin dan efektif digunakan secara

  topikal. Cyclosporin dapat menjadi pengobatan konvensional ataupun alternatif pada kontrol awal likenoid oral, tetapi pengobatan ini tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama karena memerlukan biaya yang mahal serta masih terdapat obat lain yang lebih tepat dalam penanganan lesi ini. Selain ketiga pilihan obat tersebut, juga terdapat bermacam obat-obatan golongan lain seperti azathioprine, dapsone,

  glycyrrhizin, interferon, levamisole, dan mesalazine yang dapat dipilih sebagai 28,29 perawatan farmakologik.

  Perawatan secara non-farmakologik yaitu biopsi, laser dan

  photochemotherapy PUVA. Secara umum biopsi dilakukan untuk menghilangkan

  daerah lesi yang beresiko tinggi menjadi sel dysplasia. Perawatan lanjutan seperti laser yang dapat dipilih adalah cryotherapy, CO

  2 laser dan ND:YAG laser.

  Photochemotherapy PUVA berguna terhadap pasien yang tidak merespon terapi

  farmakologik, beberapa studi mengindikasikan terapi ini karena memiliki efek

  28,30

  terapeutik dan merupakan terapi lebih lanjut dalam mengontrol lesi. Faktor predisposisi yang diduga sebagai penyebab lesi harus disingkirkan, apabila penyebabnya tambalan amalgam maka bahan tambalan harus diganti. Sementara likenoid yang disebabkan oleh obat-obatan, penggantian ataupun pemberhentian obat harus dilakukan untuk mengontrol lesi dan mencegah perkembangannya kearah

  8,20 keganasan.