BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi konstipasi - Perbedaan Karakteristik Klinis Anak Konstipasi Fungsional Dengan Riwayat Keluarga Konstipasi dan Tanpa Riwayat Keluarga Konstipasi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi konstipasi
Kata konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti “bergerombol bersama” atau “berkerumun”, yaitu suatu istilah yang berarti menyusun ke dalam menjadi bentuk padat. Baru pada abad ke-16 istilah konstipasi digunakan pada keadaan ditemukan sejumlah tinja terakumulasi di
12
dalam kolon yang berdilatasi. Definisi konstipasi adalah suatu kesulitan atau keterlambatan defekasi atau buang air besar yang telah dialami selama
13
2 minggu atau lebih. Konstipasi dapat dibedakan atas konstipasi fungsional dan konstipasi yang disebabkan kelainan organik seperti penyakit hirschsprung atau malformasi anorektal yang menyebabkan sumbatan aliran tinja. Konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon
12 atau anorektal tanpa adanya kelainan organik yang mendasari.
2.2 Epidemiologi
Adanya riwayat keluarga ditemukan pada 28% hingga 50% anak konstipasi dan insidensnya lebih tinggi lagi dijumpai pada kembar monozigot
11
dibandingkan kembar dizigot. Konstipasi cenderung sama kejadiannya antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada usia di bawah lima tahun, dan lebih sering terjadi pada remaja perempuan usia di atas 13 tahun.
Puncak insidens terjadi pada usia saat dimulainya latihan buang air besar
14
(toilet training) yaitu 2 sampai 3 tahun.2.3 Etiologi dan patofisiologi
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persyarafan yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Konstipasi fungsional merupakan hasil dari abnormalitas fungsi kolon, rektum, komplek sfingter, dan faktor baik yang disadari atau tidak oleh sang anak. Ada dua kelompok konstipasi fungsional yang diketahui, yaitu tipe slow-transit dan tipe
15
outlet obstruction. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses
defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistem syaraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Bila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna akan berkontraksi secara refleks, selanjutnya sesuai kemauan. Otot puborektal akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami konstriksi. Bila konstriksi sfingter eksterna berlangsung cukup lama, refleks sfingter internus akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga
15 menghilang.
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu adanya riwayat darah dalam tinja, popok, atau toilet. Pengalaman nyeri saat buang air besar ini diduga menimbulkan penahanan tinja saat ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan (retensi) tinja yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorpsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan ini terus
16,17 berulang dan menyebabkan konstipasi.
Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka tinja (stool
bulking), kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan
faktor penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi berusia satu sampai tiga bulan adalah 8.5 jam, dan meningkat seiring bertambahnya usia. Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif juga merupakan predisposisi konstipasi, misalnya pada keadaan sakit, pasca bedah, kecelakaan, atau gaya hidup bermalas-malasan. Stres dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah ferkuensi defekasi, seperti liburan, ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi. Berikut adalah
1 penyebab tersering konstipasi berdasarkan usia.
16 Tabel 1.
Penyebab konstipasi berdasarkan usia.
Usia Penyebab konstipasi Neonatus/Bayi • Meconium plug
- Penyakit Hirschsprung • Fibrosis kistik
- Malformasi anorektal bawaan, ter masuk anus imperforate, stenosis ani, anal band
- Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction
- Hipotiroid congenital
- Alergi susu sapi
- Diabetes insipidus, renal tubular asidosis
- Retensi tinja
- Perubahan diet
Toddler (usia 2 – 4 tahun) • Fisura ani, retensi tinja
- Toilet refusal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Hirschsprung segmen pendek
- Penyakit saraf sentral atau muscular dengan hipotoni
- Medula spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord Usia sekolah • Retensi tinja
• Ketersediaan toilet terbatas
- Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis
- Preokupasi dengan kegiatan lain
- Tethered cord Remaja • Irritable bowel syndrome
- Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma)
- Diet • Anoreksia • Kehamilan • Laxative abuse Segala usia • Efek samping obat, perubahan diet, pasca operasi
• Riwayat operasi anal-rektum
- Retensi tinja dan enkopresis akibat distensi tinja kronis
- Perubahan aktifitas fisik, dehidrasi
- Hipotiroid
2.4. Faktor genetik dan riwayat keluarga pada konstipasi fungsional
Pada tahun-tahun belakangan ini penelitian mengenai etiologi dan patogenesis konstipasi pada anak telah difokuskan kepada faktor lingkungan, tingkah laku, dan faktor genetik. Faktor lingkungan yang mendasari terjadinya konstipasi fungsional mencakup kurangnya asupan serat dan cairan serta mobilisasi yang diduga sebagai penyebab. Faktor tingkah laku diduga bahwa pasien konstipasi tipe slow transit lebih sering berhubungan dengan stress psikososial, sehingga masalah psikologis sering dituding sebagai faktor penyebab, juga sering dijumpai konstipasi fungsional pada anak
18
dengan gangguan perilaku seperti autisme. Kemungkinan pengaruh genetik terhadap konstipasi telah diteliti pada beberapa studi. Dalam sebuah studi pada 686 saudara kembar, ditemukan 33 (4.8%) diantaranya mengalami gejala yang didiagnosis sebagai gangguan usus fungsional (functional bowel
disorders) yang salah satu diantara gejalanya adalah konstipasi, juga
ditemukan bahwa diagnosis tersebut lebih sering pada kembar monozigot
11
dibandingkan kembar dizigot. Studi lainnya juga pada saudara kembar di Virginia AS tahun 2007, yang membandingkan prevalensi irritable bowel
syndrome (IBS), diketahui bahwa salah satu gejala IBS adalah konstipasi.
Dari studi ini diperoleh hasil IBS lebih sering terjadi pada kembar monozigot dengan prevalensi 17.2% dibandingkan dizigot dengan prevalensi 8.4%
10 (P=0.030).
Pendapat umum yang telah berkembang sejak dahulu adalah bahwa konstipasi cenderung berkelompok atau menurun dalam keluarga. Konstipasi juga sering muncul sebagai gejala yang menyertai penyakit sindroma tertentu yang bersifat herediter. Fakta ini mengindikasikan adanya pengaruh faktor
19
genetik dalam etiologi konstipasi pada anak. Mekanisme penyebab yang mendasari belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa teori genetika telah diajukan. Perubahan polimorfisme fungsional pada gen yang mengatur protein reseptor serotonin atau serotonin reuptake transporter (SERT) diduga bertanggung jawab dalam terjadinya pelepasan 5-hidroksi triptamin (5-HT) yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya IBS, yang bisa muncul
20
sebagai diare atau konstipasi. Studi lainnya membuktikan bahwa selain α polimorfisme pada gen SERT juga terjadi polimorfisme pada gen alpha (
2A
α dan
2C ) adrenoceptor norepinephrine transporter yang berhubungan kuat
dengan gejala konstipasi dan skor keluhan somatik yang tinggi pada pasien
21
dengan gangguan gastrointestinal bawah fungsional. Kedua studi ini memperkuat hipotesis mengenai peran genetik dalam konstipasi fungsional.
Sebuah studi di Hongkong tahun 2007 yang meneliti 132 pasien konstipasi yang mendatangi klinik konstipasi kemudian diberikan kuesioner kepada 677 orang keluarga tingkat pertama (first degree relatives) diperoleh hasil bahwa konstipasi juga timbul pada 16.4% keluarga penderita, ini lebih
22
banyak daripada yang dijumpai pada kelompok kontrol (9.1%). Adanya riwayat keluarga menderita konstipasi berhubungan dengan peningkatan risiko konstipasi, dengan nilai Odds Ratio (OR) 2.02 jika satu orang anggota keluarga yang terkena, dan OR 3.99 jika setidaknya dua orang anggota
22
keluarga terkena. Studi lainnya yang dapat menjadi perbandingan yaitu pada anggota keluarga anak-anak yang menderita konstipasi fungsional berdasarkan kriteria ROME III, ternyata saudara kandung atau orangtua dari kelompok kasus lebih banyak menderita konstipasi daripada saudara kandung dan orangtua dari kelompok kontrol (32% dibandingkan 7% untuk
23 saudara kandung dan 42% dibandingkan 9% untuk orangtua).
Konstipasi yang bersifat familial mempunyai ciri klinis yang berbeda dari konstipasi fungsional pada umumnya, ini terlihat pada sebuah studi yang membandingkan 118 pasien konstipasi dengan riwayat keluarga juga menderita konstipasi dan 114 pasien konstipasi tanpa riwayat keluarga.
Ditemukan bahwa penderita konstipasi yang memiliki riwayat keluarga cenderung memiliki usia awitan penyakit lebih muda, lebih banyak komplikasi seperti hemoroid, fisura anal, dan prolapsus rektal, juga lebih sering melakukan evakuasi dengan jari. Tidak dijumpai perbedaan dalam hal
9 gangguan psikologis, waktu transit kolon, dan hasil pengukuran manometrik.
Hasil studi ini cukup menarik namun belum dapat dijelaskan kemungkinan mekanisme penyebabnya dan masih harus dilakukan studi lebih lanjut yang dapat memperkuat hipotesis faktor riwayat keluarga pada konstipasi fungsional. Faktor etiologi dari konstipasi pada anak dan orang dewasa mungkin berbeda, namun belum ada studi kasus-kontrol yang besar yang sudah dilakukan, khusus untuk mencari prevalensi dan insidens konstipasi pada anggota keluarga tingkat pertama dari anak penderita konstipasi. Jika sebuah studi seperti ini dapat dilakukan dan dibandingkan dengan studi lain pada konstipasi dewasa, mungkin dapat diambil kesimpulan yang lebih tegas mengenai perbedaan etiologi genetiknya. Untuk itu diperlukan lebih banyak studi lainnya khususnya pada kelompok pediatrik untuk mengetahui faktor genetik atau familial tersebut pada konstipasi fungsional pada anak.
2.5. Diagnosis
Kriteria yang hingga saat ini masih digunakan untuk mendiagnosis konstipasi
17 adalah kriteria ROME III yang umumnya berdasarkan gejala klinis (Tabel 2).
17 Tabel 2.
Kriteria ROME III.
Kriteria ROME III untuk diagnosis konstipasi fungsional pada anak dan remaja
Gejala berikut harus muncul setidaknya satu kali per minggu selama setidaknya 2
bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan
> 4 tahun, dan tidak memenuhi syarat untuk kriteria diagnosis Irritable bowel
syndrome:≤ 2 kali buang air besar di toilet per minggu Setidaknya satu kali episode inkontinensia fekal per minggu
Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive
posturing) Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras Dijumpai massa fekal yang besar di rektum Riwayat feses yang besar yang menyumbat toiletPemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab organik yang mendasari. Berat badan dan tinggi badan harus diukur dan diplot ke dalam kurva pertumbuhan. Pada palpasi abdomen dapat ditemukan massa fekal yang bisa teraba di seluruh kolon, tetapi lebih sering dijumpai pada suprapubik dan midline, atau pada kuadran kiri atau kanan bawah. Inspeksi daerah perineum sering dijumpai material feses. Lokasi dan ukuran anus harus dinilai. Pemeriksaan rektal dengan jari
(rectal toucher/RT) wajib dilakukan. Tekanan anus yang rendah pada pemeriksaan RT menunjukkan adanya retensi fekal dengan inhibisi tekanan anus istirahat atau penyakit yang melibatkan sfingter ani interna dan eksterna. Sering dijumpai rektum yeng penuh dengan feses yang konsistensinya keras seperti batu atau bisa juga lembek. Bisa dijumpai fisura anal, stenosis anal, atau atresia ani dengan fistel perianal, atau ampula rekti yang sangat ketat yang mengindikasikan penyakit Hirschsprung. Bisa juga
17 dijumpai tumor yang menyumbat rektum namun hal ini sangat jarang.
Pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium jarang diperlukan kecuali jika dicurigai penyakit lain yang mendasari. Pemeriksaan darah yaitu kadar hormone tiroid atau adrenal, elektrolit dan kalsium, antigliadin, antitissue
transglutaminase (TTG), dan antibodi endomisial. Pemeriksaan kultur urin
17 juga dapat dilakukan.
Pemeriksaan radiologi berupa foto polos abdomen dapat berguna untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses, sampai sejauh mana, serta menilai abnormalitas tulang belakang spinalis. Pada anak dengan inkontinensia fekal tanpa adanya massa feses pada pemeriksaan abdomen dan RT, pada anak yang menolak pemeriksaan RT, anak dengan obesitas,
17 dan anak yang masih bergejala setelah pengobatan dengan laksatif.
Pemeriksaan colonic transit study adalah pemeriksaan objektif untuk menilai tingkat keparahan konstipasi pada anak, namun tidak perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional dengan atau tanpa inkontinensia fekal. Pemeriksaan ini tidak akan merubah keputusan awal
17
seperti terapi apa yang akan diberikan.Manometri anorektal juga tidak perlu dilakukan pada anak dengan konstipasi fungsional. Fungsi utama pemeriksaan ini adalah sebagai evaluasi pada anak dengan konstipasi berat, untuk mengeksklusikan penyakit Hirschsprung. Juga berguna untuk menilai penyakit lain seperti defek spinalis dan achalasia anal. Pada pemeriksaan manometri anorektal dapat dijumpai peningkatan ambang rangsang terhadap distensi rektal dan menurunnya kontraktilitas rektal. Kelainan yang juga ditemukan yaitu kontraksi sfingter ani
15 eksterna dan otot pelvis bukannya relaksasi selama proses defekasi.
2.6. Penatalaksanaan
Tatalaksana konstipasi meliputi edukasi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi perilaku, obat, dan konsultasi.
2.6.1. Evakuasi tinja (disimpaksi) Massa tinja (fecal impaction) adalah skibala yang teraba pada palpasi region abdomen bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Dapat dilakukan dengan obat per oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2 sampai 5 hari hingga
16
terjadi evakuasi tinja secara sempurna. Obat per oral yang dapat digunakan adalah minyak mineral (paraffin liquid) 15 – 30 ml/usia (tahun) dosis maksimum 240ml per hari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) 20ml/kg/jam maksimum 1000ml/jam diberikan dengan pipa nasogastrik selama 4 jam per hari. Evakuasi dengan obat per rektal dapat dilakukan menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg 2 kali sehari maksimal 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000ml) atau 120 ml minyak mineral.
15 Pada bayi digunakan supositoria gliserin 2 – 5 ml.
2.6.2. Terapi rumatan Setelah proses evakuasi tinja berhasil dilakukan, terapi selanjutnya adalah rumatan yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan ini meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang
15 sempurna.
Anak dianjurkan untuk banyak minum air putih dan mengkonsumsi serat. Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang, dan melon banyak mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung dalam buah prune,
pear, dan apel dapat dikonsumsi dalam bentuk jus sehingga dapat
24
meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja. Jumlah serat yang dianjurkan dikonsumsi anak adalah 19 sampai 25 gram/hari. Pada kasus
24 konstipasi dianjurkan mengkonsumsi serat 25 sampai 38 gram/hari. Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan latihan berhajat atau toilet training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu terlalu terburu- buru, yang akan membuat anak semakin tertekan, berilah waktu 10 sampai 15 menit bagi anak untuk buang air besar. Toilet training yang dilakukan secara teratur akan mengembangkan refleks gastrokolik dan selanjutnya
24
akan membangkitkan refleks defekasi.Selain toilet training, latihan dan aktifitas fisik secara teratur membantu melatih otot-otot yang mengatur defekasi. Aktifitas fisik juga berguna untuk memperbaiki gerakan usus yang teratur, sehingga membantu feses melewati anus. Monitor terhadap pola defekasi dan penggunaan obat serta efek samping dapat diperoleh dari catatan harian yang dibuat oleh orangtua. Salah satu cara untuk menjaga kepatuhan terapi adalah menstimulasi anak
24 yang telah berhasil dalam kegiatan ini dengan memberikan hadiah.
Pemberian asam palmitat, prebiotik oligosakarida dan whey protein yang terhidrolisa sebagian dapat melunakkan feses tetapi tidak membuat perbedaan dalam frekuensi buang air besar. Probiotik seperti Bifidobacterium
lactis dan Lactobacillus reuteri telah terbukti dapat meningkatkan frekuensi
24 buang air besar setelah pemberian selama 3 sampai 4 minggu.
2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik klinis:
1. Frekuensi BAB
2. Nyeri perut
3. Konsistensi tinja
4. Usia awitan : Hal yang diamati dalam penelitian
Konstipasi Fungsional Faktor genetik
Riwayat konstipasi pada:
1. Orangtua
2. Saudara kandung
3. Saudara kembar Faktor tingkah laku
1. Stres psikososial
2. Gangguan perilaku Faktor lingkungan
1. Diet
2. Aktifitas fisik