Hubungan Kejadian Gejala Refluks Gastroesofageal dengan Konstipasi Fungsional pada Anak

(1)

TESIS

HUBUNGAN KEJADIAN GEJALA REFLUKS GASTROESOFAGEAL DENGAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK

HERLINA LOKA 117103037

IKA

PROGRAM SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KEJADIAN GEJALA REFLUKS GASTROESOFAGEAL DENGAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Oktober 2014


(3)

Judul Tesis : Hubungan kejadian gejala refluks

gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak

Nama Mahasiswa : Herlina Loka

Nomor Induk Mahasiswa : 117103037

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Supriatmo, MKed(Ped), SpA(K) Ketua

Dr. Johannes H. Saing, MKed(Ped), SpA(K) Anggota

Program Magister Kedokteran Klinik

Sekretaris Program Studi Dekan

Dr. Murniati Manik, Msc, SpKK, SpGK Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH NIP. 19530719 198003 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Salam sejahtera,

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan anugrahNya yang saya dapatkan selama menjalani pendidikan adaptasi dan kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini penulis juga menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Supriatmo, MKed(Ped), SpA(K) selaku pembimbing utama dalam penulisan tesis ini, yang telah memberikan bimbingan, bantuan, nasehat serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. dr. Johannes H. Saing, MKed(Ped), SpA(K) selaku pembimbing dua dalam penulisan tesis ini, yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji, SpA(K) selaku kepala divisi Gastroentero-hepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak yang telah memberikan bimbingan dan saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

4. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam


(5)

Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. dr. Hj. Melda Deliana, Mked(Ped), SpA(K) selaku Kepala Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

6. dr. Hj. Beby Syofiani Hasibuan, MKed(Ped), SpA selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Prof. dr.H. Aznan Lelo, PhD, SpFK selaku Ketua Divisi Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan, nasihat, masukan selama penelitian dan pembuatan tesis ini dari awal sampai akhir.

8. Prof. dr. Hj. Rafita Ramayati, SpA(K). dr. Yazid Dimyati, Mked(Ped), SpA(K) dr. Ade Rachmat Yudiyanto, MKed (Ped), SpA dan seluruh guru-guru staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang saya hormati dan saya sayangi yang telah sangat banyak membimbing serta membantu saya dalam menyelesaikan penelitian serta tesis ini.

9. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Prof. dr. H. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH selaku Dekan Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah


(6)

memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Adaptasi Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan

dan sarana untuk belajar dan bekerja selama mengikuti pendidikan.

11. dr. Wahyu Ningsih Lestari, dr. Looni Basra, dr. Indiana Aulia, dr. Nur Robbiyah, dr. Lidia Halim, dr. Jessica Ekaputri dan teman-teman lainnya yang telah membantu selama penelitian maupun penyelesaian tesis ini.

12. Seluruh teman sejawat, sarjana kedokteran, paramedis, dan seluruh karyawan / karyawati Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan dukungan dan semangat serta bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

13. Pak Habib, selaku pengurus panti asuhan Al-Washliyah Medan dan anak-anak asuh di panti asuhan Al-Washliyah yang telah memberikan kepercayaan, kesempatan dan kerjasamanya untuk melakukan penelitian di panti asuhan.

14. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Ungkapan rasa terima kasih yang tidak terhingga saya haturkan kepada kedua orang tua saya, ayahanda dr. Herman Loka dan ibunda Dra. Sri Liharsi, Apt. yang selalu dengan ikhlas mendoakan dan mendukung keberhasilan saya. Kepada adik saya, Lodewik Loka, SH, MKn yang telah membantu saya dan mendukung saya selama proses adaptasi. Kepada pasangan hidup saya, dr. Denny yang telah membantu dan selalu memberikan dukungan dan semangat kepada saya.


(7)

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan masukan saran yang bersifat konstruksional yang berharga untuk penyempurnaan tesis ini tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Medan, Oktober 2014


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. i

LEMBAR PERNYATAAN ……… ii

UCAPAN TERIMA KASIH ………... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ………... x

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR SINGKATAN ……… xii

DAFTAR LAMBANG ……… xiii

ABSTRAK ………. xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Definisi Konstipasi ... 5

2.2 Epidemiologi Konstipasi ... 6

2.3 Patofisiologi Konstipasi ………... 7

2.4 Penegakan Diagnosis Konstipasi ...……… 8

2.5 Tatalaksana Konstipasi ... 9

2.6. Hubungan kejadian refluks pada anak dengan konstipasi .... 10

2.7. Kerangka Konseptual ... 13

BAB III. METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Desain ... 14

3.2 Tempat dan waktu ... 14

3.3 Populasi dan sampel ... 14

3.4 Perkiraan besar sampel ... 15

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 16

3.6 Persetujuan/ informed consent ... 17

3.7 Etika Penelitian ... 17


(9)

3.8.1 Cara kerja ... 17

3.8.2 Alur penelitian ... 18

3.9 Identifikasi variabel ... 18

3.10 Definisi operasional ... 19

3.11 Pengolahan dan analisa data ... 19

BAB IV. HASIL ………... 21

BAB V. PERMASALAHAN ... 32

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

RINGKASAN ……… 42

SUMMARY ……….. 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

Lampiran ... 53

Lembar Penjelasan ... 54

Persetujuan Setelah Penjelasan ... 55

Kuesioner ... 56

Ijin Menggunakan Gastroesophageal Reflux Questionnaire ... 59

Ijin Komite Etik ... 60


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria Rome III sebagai diagnosis konstipasi fungsional pada anak

dan remaja ... 8

Tabel 2. Data demografik kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan kelompok anak tanpa konstipasi fungsional ... 23

Tabel 3. Perbedaan gejala refluks pada anak dengan konstipasi fungsional dan anak tanpa konstipasi fungsional ... 26

Tabel 4. Hubungan konstipasi fungsional dengan regurgitasi ... 27

Tabel 5. Hubungan konstipasi fungsional dengan muntah ... 27

Tabel 6. Hubungan konstipasi fungsional dengan isi refluks terasa asam.. 28

Tabel 7. Hubungan konstipasi fungsional dengan pyrosis ... 29

Tabel 8. Hubungan konstipasi fungsional dengan cegukan ... 29

Tabel 9. Hubungan konstipasi fungsional dengan sendawa ... 30

Tabel 10. Hubungan konstipasi fungsional dengan sakit menelan ... 30


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian ………. 13 Gambar 2. Alur Penelitian ... 18 Gambar 3. Profil penelitian ……… 22 Gambar 4. Gejala-gejala refluks yang dialami oleh kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan kelompok anak tanpa konstipasi fungsional... 25


(12)

DAFTAR SINGKATAN

pH : derajat keasaman

NASPGAN : North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition

PEG : Poli Etilen Glikol mmHg : milimeter air raksa PPI : Proton Pump Inhibitor H2 bloker : Histamin-2 bloker SD : standart deviasi

Kg : kilogram

Cm : centimeter OR : odd ratio

CI : confidence interval Tc : technetium containing 13 C : 13 carbon


(13)

DAFTAR LAMBANG

α : Kesalahan tipe I

β : Kesalahan tipe II

n : Jumlah subjek/sampel

P : Proporsi

P1 : Proporsi untuk kelompok I

P2 : Proporsi untuk kelompok II

Q : 1 – P

Q1 : 1 – P1

Q2 : 1 – P2

Zα : Deviat baku normal untuk α

Zβ : Deviat baku normal untuk β

P : tingkat kemaknaan


(14)

HUBUNGAN KEJADIAN GEJALA REFLUKS GASTROESOFAGEAL DENGAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK

Herlina Loka, Supriatmo, Johannes H. Saing, Atan Baas Sinuhaji, Ade Rachmat Yudiyanto

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara, RSUP. Haji Adam Malik Medan

Abstrak

Latar Belakang. Konstipasi dan refluks gastroesofageal merupakan masalah yang sering dijumpai pada masa anak-anak. Keterlambatan waktu transit kolon dapat menyebabkan anak-anak mengalami gejala refluks gastroesofageal.

Tujuan. Untuk menilai hubungan antara gejala refluks gastroesofageal dan konstipasi fungsional pada anak.

Metode. Studi cross-sectional dilakukan pada bulan Juni 2014 di panti asuhan Alwashliyah Medan. Sampel adalah anak berusia 6 sampai 18 tahun yang memenuhi kriteria Rome III. Anak tanpa konstipasi fungional yang matching dengan usia dan jenis kelamin yang sama dengan anak dengan konstipasi fungsional dipilih sebagai subjek penelitian. Anak dengan dan tanpa konstipasi fungsional diminta untuk mengisi Gastroesophageal Reflux Questionnaire (GERQ) untuk menentukan gejala refluks gastroesofageal. Data dianalisa dengan analisa kai-kuadrat.

Hasil. Terdapat 52 anak dalam studi ini termasuk 26 anak dengan konstipasi fungsional (grup I) dan 26 anak tanpa konstipasi fungsional (grup II), dengan 28 anak laki-laki dan 24 anak perempuan. Cegukan dan sendawa adalah dua gejala yang paling sering muncul pada grup I vs grup II, 80,8% vs 57,7% (P=0.211) and 73.1% vs 65.4% (P=0.244). Regurgitasi pada grup I vs grup II sebesar 42.3% vs 19.2% (P= 0.071). Kesulitan menelan pada grup I vs grup II sebesar 34.6% vs 11.5% (P=0.048).

Kesimpulan. Kesulitan menelan yang merupakan salah satu gejala dari refluks gastroesofageal berhubungan secara signifikan dengan konstipasi fungsional, sedangkan gejala yang lain tidak berhubungan secara sgignifikan.


(15)

THE RELATION BETWEEN SYMPTOMS OF GASTROESOPHAGEAL REFLUX AND FUNCTIONAL CONSTIPATION IN CHILDREN

Herlina Loka, Supriatmo, Johannes H. Saing, Atan Baas Sinuhaji, Ade Rachmat Yudiyanto

Department of Child Health, Medical School,University of Sumatera Utara, Haji Adam Malik Hospital, Medan

Abstract

Background. Constipation and gastroesophageal reflux are commonly found in the childhood. Delayed colonic transit time in children with functional constipation made the children experience gastroesophageal reflux symptoms.

Objective. To assess the relation between symptoms of gastroesophageal reflux and functional constipation in children.

Methods. A cross sectional study conducted on June 2014 in an orphanage. Eligible samples were 6 until 18 years old children diagnosed with functional constipation on Rome III criteria. Children without functional constipation matched with age and sex of functional constipation children were obtained. Children with and without functional constipation were asked to fill gastroesophageal reflux questionnaire to determine gastroesophageal reflux symptoms. Data were analyzed by chi square analysis.

Results. We enrolled 52 children in the study including 26 children with functional constipation (group I) and 26 children without functional constipation (group II). There were 28 boys and 24 girls. Hiccup and belching were two major symptoms noted in group I vs group II, 80.8% vs 57.7% (P=0.211) and 73.1% vs 65.4% (P=0.244). Regurgitation in group I vs group II was 42.3% vs 19.2% (P=0.071). Difficulty in swallowing in group I vs group II was 34.6% vs 11.5% (P=0.048).

Conclusion. Difficulty in swallowing as one of the symptoms of

gastroesophageal reflux was significantly related with functional constipation, while others were not.

Keywords: gastro esophageal reflux, children, constipation


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak-anak. Konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan atau keterlambatan dalam pengeluaran tinja lebih dari durasi 2 minggu, dimana konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang sulit dan menyebabkan rasa sakit ketika dikeluarkan.1,2

Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4 Diperkirakan 0,3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7 Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10

Penyebab konstipasi fungsional masih belum jelas, diduga ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konstipasi fungsional seperti faktor herediter, faktor psikologis, gangguan hormon dan gangguan pola bakteri di usus. Faktor herediter berupa riwayat keluarga dimana hampir dua pertiga pasien mempunyai riwayat orang tua dengan kebiasaan buang air besar yang tidak normal, kebiasaan makan yang sedikit mengandung serat dan karbohidrat.


(17)

Faktor psikologis berupa rasa trauma akan rasa sakit pada saat defekasi, toilet training yang tidak tepat.4,9,11

Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12 Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rektal. Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training.13

Konstipasi dan gastroesofageal refluks adalah dua penyakit yang paling sering dialami pada anak-anak. Penyebab dari kedua hal diatas tidak jelas, tapi hal ini diduga disebabkan oleh karena faktor hormonal, neuronal dan psikogenik. Terjadinya gangguan pada masa transit di kolon menyebabkan terjadinya konstipasi dan mengganggu masa pengosongan lambung sehingga anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks.14-15

Studi di Turki pada tahun 2012 mendapati sebanyak 47,4% anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks. Pada studi ini anak dengan konstipasi dan dengan gastroesofageal refluks dilakukan pengukuran pH esofagus selama 24 jam dan didapati sebanyak 39,5% anak dengan konstipasi fungsional dan 42,5% anak dengan gastroesofageal refluks mengalami kelainan patologi refluks di bagian distal dari esophagus.16 Sebuah studi kasus di Virginia mendapati 17 dari 34 anak dengan konstipasi mengalami gastroesofageal refluks, dimana gejala refluks ini berkurang secara signifikan sampai hilang setelah konstipasi diatasi.17

Penelitian tentang gejala refluks pada anak dengan konstipasi fungsional belum pernah diakukan di Indonesia dan sering kali gejala gastrointestinal karena konstipasi tidak terdeteksi sehingga anak sering mengalami prosedur


(18)

yang tidak perlu. Atas dasar pemikiran ini maka penulis mencoba melakukan penelitian untuk meneliti gejala refluks pada anak-anak dengan konstipasi.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak?

1.3 Hipotesis

Ada hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak

1.4 Tujuan Penelitian

Menilai hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang gastrohepatologi anak, khususnya dalam hubungan gejala refluks dengan konstipasi fungsional pada anak

1.5.2. Di bidang pelayanan masyarakat : pada anak-anak dengan konstipasi fungsional adanya kecenderungan untuk terjadinya gejala refluks gastroesofageal, sehingga diharapkan orangtua lebih waspada agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut

1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian : memberikan masukan terhadap penelitian lebih lanjut pada anak yang mengalami konstipasi fungsional


(19)

di bidang gastroenterohepatologi anak secara khusus dan di bagian anak secara umum.


(20)

HUBUNGAN KEJADIAN GEJALA REFLUKS GASTROESOFAGEAL DENGAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK

Herlina Loka, Supriatmo, Johannes H. Saing, Atan Baas Sinuhaji, Ade Rachmat Yudiyanto

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara, RSUP. Haji Adam Malik Medan

Abstrak

Latar Belakang. Konstipasi dan refluks gastroesofageal merupakan masalah yang sering dijumpai pada masa anak-anak. Keterlambatan waktu transit kolon dapat menyebabkan anak-anak mengalami gejala refluks gastroesofageal.

Tujuan. Untuk menilai hubungan antara gejala refluks gastroesofageal dan konstipasi fungsional pada anak.

Metode. Studi cross-sectional dilakukan pada bulan Juni 2014 di panti asuhan Alwashliyah Medan. Sampel adalah anak berusia 6 sampai 18 tahun yang memenuhi kriteria Rome III. Anak tanpa konstipasi fungional yang matching dengan usia dan jenis kelamin yang sama dengan anak dengan konstipasi fungsional dipilih sebagai subjek penelitian. Anak dengan dan tanpa konstipasi fungsional diminta untuk mengisi Gastroesophageal Reflux Questionnaire (GERQ) untuk menentukan gejala refluks gastroesofageal. Data dianalisa dengan analisa kai-kuadrat.

Hasil. Terdapat 52 anak dalam studi ini termasuk 26 anak dengan konstipasi fungsional (grup I) dan 26 anak tanpa konstipasi fungsional (grup II), dengan 28 anak laki-laki dan 24 anak perempuan. Cegukan dan sendawa adalah dua gejala yang paling sering muncul pada grup I vs grup II, 80,8% vs 57,7% (P=0.211) and 73.1% vs 65.4% (P=0.244). Regurgitasi pada grup I vs grup II sebesar 42.3% vs 19.2% (P= 0.071). Kesulitan menelan pada grup I vs grup II sebesar 34.6% vs 11.5% (P=0.048).

Kesimpulan. Kesulitan menelan yang merupakan salah satu gejala dari refluks gastroesofageal berhubungan secara signifikan dengan konstipasi fungsional, sedangkan gejala yang lain tidak berhubungan secara sgignifikan.


(21)

THE RELATION BETWEEN SYMPTOMS OF GASTROESOPHAGEAL REFLUX AND FUNCTIONAL CONSTIPATION IN CHILDREN

Herlina Loka, Supriatmo, Johannes H. Saing, Atan Baas Sinuhaji, Ade Rachmat Yudiyanto

Department of Child Health, Medical School,University of Sumatera Utara, Haji Adam Malik Hospital, Medan

Abstract

Background. Constipation and gastroesophageal reflux are commonly found in the childhood. Delayed colonic transit time in children with functional constipation made the children experience gastroesophageal reflux symptoms.

Objective. To assess the relation between symptoms of gastroesophageal reflux and functional constipation in children.

Methods. A cross sectional study conducted on June 2014 in an orphanage. Eligible samples were 6 until 18 years old children diagnosed with functional constipation on Rome III criteria. Children without functional constipation matched with age and sex of functional constipation children were obtained. Children with and without functional constipation were asked to fill gastroesophageal reflux questionnaire to determine gastroesophageal reflux symptoms. Data were analyzed by chi square analysis.

Results. We enrolled 52 children in the study including 26 children with functional constipation (group I) and 26 children without functional constipation (group II). There were 28 boys and 24 girls. Hiccup and belching were two major symptoms noted in group I vs group II, 80.8% vs 57.7% (P=0.211) and 73.1% vs 65.4% (P=0.244). Regurgitation in group I vs group II was 42.3% vs 19.2% (P=0.071). Difficulty in swallowing in group I vs group II was 34.6% vs 11.5% (P=0.048).

Conclusion. Difficulty in swallowing as one of the symptoms of

gastroesophageal reflux was significantly related with functional constipation, while others were not.

Keywords: gastro esophageal reflux, children, constipation


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak-anak. Konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan atau keterlambatan dalam pengeluaran tinja lebih dari durasi 2 minggu, dimana konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang sulit dan menyebabkan rasa sakit ketika dikeluarkan.1,2

Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4 Diperkirakan 0,3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7 Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10

Penyebab konstipasi fungsional masih belum jelas, diduga ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konstipasi fungsional seperti faktor herediter, faktor psikologis, gangguan hormon dan gangguan pola bakteri di usus. Faktor herediter berupa riwayat keluarga dimana hampir dua pertiga pasien mempunyai riwayat orang tua dengan kebiasaan buang air besar yang tidak normal, kebiasaan makan yang sedikit mengandung serat dan karbohidrat.


(23)

Faktor psikologis berupa rasa trauma akan rasa sakit pada saat defekasi, toilet training yang tidak tepat.4,9,11

Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12 Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rektal. Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training.13

Konstipasi dan gastroesofageal refluks adalah dua penyakit yang paling sering dialami pada anak-anak. Penyebab dari kedua hal diatas tidak jelas, tapi hal ini diduga disebabkan oleh karena faktor hormonal, neuronal dan psikogenik. Terjadinya gangguan pada masa transit di kolon menyebabkan terjadinya konstipasi dan mengganggu masa pengosongan lambung sehingga anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks.14-15

Studi di Turki pada tahun 2012 mendapati sebanyak 47,4% anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks. Pada studi ini anak dengan konstipasi dan dengan gastroesofageal refluks dilakukan pengukuran pH esofagus selama 24 jam dan didapati sebanyak 39,5% anak dengan konstipasi fungsional dan 42,5% anak dengan gastroesofageal refluks mengalami kelainan patologi refluks di bagian distal dari esophagus.16 Sebuah studi kasus di Virginia mendapati 17 dari 34 anak dengan konstipasi mengalami gastroesofageal refluks, dimana gejala refluks ini berkurang secara signifikan sampai hilang setelah konstipasi diatasi.17

Penelitian tentang gejala refluks pada anak dengan konstipasi fungsional belum pernah diakukan di Indonesia dan sering kali gejala gastrointestinal karena konstipasi tidak terdeteksi sehingga anak sering mengalami prosedur


(24)

yang tidak perlu. Atas dasar pemikiran ini maka penulis mencoba melakukan penelitian untuk meneliti gejala refluks pada anak-anak dengan konstipasi.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak?

1.3 Hipotesis

Ada hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak

1.4 Tujuan Penelitian

Menilai hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang gastrohepatologi anak, khususnya dalam hubungan gejala refluks dengan konstipasi fungsional pada anak

1.5.2. Di bidang pelayanan masyarakat : pada anak-anak dengan konstipasi fungsional adanya kecenderungan untuk terjadinya gejala refluks gastroesofageal, sehingga diharapkan orangtua lebih waspada agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut

1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian : memberikan masukan terhadap penelitian lebih lanjut pada anak yang mengalami konstipasi fungsional


(25)

di bidang gastroenterohepatologi anak secara khusus dan di bagian anak secara umum.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Konstipasi

Konstipasi berasal dari bahasa Latin “constipare” yang berarti ramai bersama.18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai dengan frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu, defekasi sulit dan disertai rasa sakit, ada periode defekasi dengan ukuran feses yang besar paling sedikit sekali dalam rentang 7 sampai 30 hari, atau dijumpai massa yang dapat teraba pada perut atau rektal pada pemeriksaan fisik.19 Konstipasi terjadi karena menghindari rasa sakit yang timbul pada saat membuang tinja, sehingga anak menunda pembuangan tinja.12 Konstipasi dapat bersifat akut ataupun kronik. Sebagian besar konstipasi bersifat akut dan tidak berbahaya.2

Menurut the North American Society for Pediatric Gastroenterology and

Nutrition (NASPGAN), konstipasi merupakan keterlambatan atau kesulitan

dalam melakukan defekasi yang terjadi selama dua minggu atau lebih sehingga dapat menyebabkan timbulnya stress pada pasien.5,9 Menurut kriteria Rome III, konstipasi fungsional pada anak apabila dijumpai setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis Irritable Bowel Syndrome, yaitu :20

a) Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang


(27)

c) Riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive posturing)

d) Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras e) Terdapat massa feses yang besar direktum

f) Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet

2.2. Epidemiologi Konstipasi

Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4 Diperkirakan 0,3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7 Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10

2.3. Patofisiologi konstipasi

Saluran cerna adalah organ panjang dan berbentuk seperti tabung yang dimulai dari mulut sampai anus. Tubuh mengolah makanan dengan menggunakan pergerakan dari otot disepanjang saluran cerna bersamaan dengan pelepasan hormon dan enzim. Usus manusia terdiri dari usus halus, usus besar dan anus. Usus besar berfungsi untuk menyerap air dan sebagian nutrisi yang tersisa yang telah diolah sebagian oleh usus halus. Usus besar kemudian mengolah sisa makanan dari bentuk cair menjadi bentuk padat yang dinamakan tinja.


(28)

Konstipasi terjadi ketika tinja berada dalam waktu yang lama di kolon sehingga kolon menyerap lebih banyak air yang menyebabkan tinja menjadi keras dan kering.2

Pada anak-anak, frekuensi pembuangan tinja bervariasi tergantung pada usia anak. Didapati penurunan jumlah pengeluaran tinja dari 4 kali sehari pada minggu awal usia kehidupan menjadi 1,7 kali sehari pada usia 2 tahun, dan 1,2 kali perhari pada usia 4 tahun yang berkorelasi dengan peningkatan massa tinja. Pada saat anak berusia 4 tahun pola buang air besar anak sudah sama seperti pada orang dewasa. Pada anak prapubertas, konstipasi lebih sering dijumpai pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 3:1, dan pada masa remaja perbandingan ini menjadi terbalik.21,22

2.4. Penegakan Diagnosis Konstipasi

Pemeriksaan fisik harus dilakukan yang meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dari palpasi abdomen sering didapati massa fekal yang besar diregio suprapubik. Pada rectal touché dapat dijumpai retensi fekal yang menyebabkan dilatasi rektum. Adanya rambut halus di daerah tulang belakang, tidak adanya refleks kremaster menimbulkan kecurigaan kelainan neurologik. Infeksi saluran kencing yang berulang dan bukti adanya obstruksi dapat terjadi pada anak dengan konstipasi. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar hormon tiroid dan elektrolit jarang dilakukan kecuali jika dicurigai adanya kelainan organik yang mendasari.12,23

Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan dengan kriteria ROME III yang berdasarkan pada gejala klinis20


(29)

Tabel1. Kriteria ROME III sebagai diagnosis konstipasi fungsional pada anak dan remaja 20

Gejala berikut harus muncul setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis Irritable Bowel Syndrome:

1. ≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu

2. Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1 minggu

3. Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive posturing)

4. Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras 5. Dijumpai massa fekal yang besar di rectum

6. Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet

Pemeriksaan radiologi seperti foto polos abdomen dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses, batas retensi feses dan menilai kelainan pada tulang belakang. Pemeriksaan radiologis ini juga dapat dilakukan pada anak yang tidak dijumpai massa feces di daerah suprapubik pada pemeriksaan abdomen, anak yang menolak dilakukannya rectal touché, anak obesitas dan anak yang masih mengalami gejala konstipasi walaupun telahdiobati dengan laksatif.23

Pemeriksaan colonic transit study dengan manometri untuk mengukur tekanan intraluminal dengan kateter merupakan pemeriksaan yang bersifat objektif, yang berfungsi untuk menilai tingkat keparahan konstipasi pada anak. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional.23,24

2.5. Tatalaksana Konstipasi

Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12 Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat


(30)

rumatan selama 2 sampai 5 hari sampai dijumpai pengeluaran tinja secara menyeluruh. Obat yang digunakan adalah minyak mineral (paraffin liquid) 15-30 ml/usia(tahun) dengan dosis maksimal 240 ml dalam sehari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) dapat diberikan dengan dosis 20ml/kgBB/jam dengan dosis maksimal 1000ml/jam, obat ini diberikan melalui pipa nasogastrik selama 4 jam dalam sehari. Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan melalui rectum berupa enema fosfat hipertonik (dosis 3 ml/kgBB 2 kali dalam sehari dengan dosis pemberian maksimal 6 kali sehari), enema garam fisiologis (dosis 600-1000ml), minyak mineral dengan dosis 120 ml.25

Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training. Anak dianjurkan untuk membuang air besar segera setelah makan pagi dan malam. Latihan ini dilakukan secara perlahan-lahan dalam waktu 10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa tertekan. Toilet training yang dilakukan secara teratur akan melatih reflex gastrokolik yang pada akhirnya akan menimbulkan reflex defekasi.13 Selain itu anak juga dianjurkan untuk banyak minum air putih dan mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Dimana serat dan air ini berguna untuk melunakkan tinja.13,25

2.6. Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak

Kolon adalah organ utama terjadinya patofisiologi dari konstipasi, dimana pada kolon terjadi penyerapan air.18,24 Impaksi dapat terjadi dibagian mana saja di kolon.24 Sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional mengalami


(31)

gangguan motilitas usus yang masih belum jelas. Sepertiga anak dengan konstipasi dan inkontinensia feces dapat berulang ataupun menetap sampai usia dewasa.26

Waktu normal transit di kolon pada anak sehat adalah 48 jam dan 24 sampai 100 jam pada orang dewasa.18,24,27 Gangguan waktu transit kolon terjadi pada 39 sampai 58% anak dengan konstipasi dan sebagian besar dari keterlambatan waktu transit terjadi di rectum.28

Saluran cerna mempunyai persarafan tersendiri yang terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari saraf simpatetik dan parasimpatetik. Pada awalnya sistem saraf enterik ini diperkirakan sebagai saraf sederhana yang berfungsi untuk melanjutkan sinyal-sinyal otak, tapi setelah penelitian lebih lanjut diketahui bahwa sistem saraf enterik ini berfungsi untuk memodulasi pergerakan, sekresi, mikrosirkulasi, respon imun dan inflamasi dari saluran cerna. Faktor intrinsik terdiri dari pleksus Auerbach, pleksus Schabadasch dan pleksus Meissner.24,29 Sistem saraf enterik mempunyai tubuh sel di ganglia pada myenterik atau pleksus submukosa yang berfungsi untuk melepaskan transmitter. Neurotransmitter seperti asetilkolin dan takikinin menyebabkan kontraksi pada saluran cerna sedangkan peptide vasoaktif usus, nitrit oxide dan adenosine trifosfate berfungsi untuk merelaksasi saluran cerna. Pada anak dengan pelambatan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik pada system saraf di dinding saluran cerna.30-34

Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi kontraksi dari lambung dan usus halus.35,36


(32)

Waktu pengosongan lambung dikoordinasi oleh saraf ekstrinsik, sistem saraf enterik, pleksus Auerbach dan otot polos saluran cerna. Lambung terdiri dari fundus dan antrum. Dimana fundus berfungsi untuk mengolah makanan dan membawa makanan ke antrum.29 Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa. Fungsi proteksi terhadap terjadinya refluks terjadi di spinkter bawah esofagus. Pada waktu istirahat tonus spinkter esofagus bawah berkisar 10-30 mmHg, dimana peningkatan tonus diatas 5-10 mmHg dari tekanan intragastrik dapat mencegah terjadinya refluks. Spinkter bawah esofagus mengalami relaksasi dengan adanya peristaltik di esofagus yang disebabkan oleh pelepasan nitric oxide.37


(33)

2.7. Kerangka Konseptual

: variabel yang diteliti

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian REFLUKS

 

Konstipasi Gangguan waktu

transit kolon

Gangguan waktu pengosongan


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional untuk menilai hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional dan tanpa konstipasi fungsional pada anak.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Panti Asuhan Alwashliyah di daerah Johor Medan selama 1 minggu pada bulan Juni 2014

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak-anak dan remaja yang mengalami konstipasi fungsional menurut kriteria Rome III. Populasi terjangkau adalah populasi target yang berusia 6 tahun sampai 18 tahun selama bulan Juni 2014. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(35)

3.4 Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji hipotesis untuk 2 proporsi kelompok independen38

n1 =n2 = (Z √2PQ + Z √P1Q1 + P2Q2 )2 (P1 – P2)2

n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok kontrol n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok

eksperimental

α = kesalahan tipe I = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%)  Zα=1,96

β = kesalahan tipe II = 0,2 (power 80%)  Zβ = 0,842 P1 = proporsi refluks pada anak dengan konstipasi = 0,47416 Q1 = 1 –P1 = 0,526

P2 = proporsi refluks pada anak sehat = 0,05 Q2 = 1 –P2 = 0,95

P = ½ (P1+P2) = 0,262 Q = 1- P = 0,738

Dengan menggunakan rumus diatas didapat besar sampel untuk masing masing kelompok sebanyak 16 orang. Anak dengan konstipasi fungsional sebanyak 16 orang dan anak tanpa konstipasi fungsional (kontrol) sebanyak 16 orang yang matching dengan usia dan jenis kelamin anak dengan konstipasi fungsional.


(36)

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi:

- Anak umur 6-18 tahun (sesuai usia kronologis)

- Memenuhi kriteria diagnostik Rome III: dijumpai setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis Irritable Bowel Syndrome:

o ≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu

o Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1 minggu

o Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive posturing)

o Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras o Dijumpai massa fekal yang besar di rectum

o Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet

Kriteria ekslusi:

- Anak yang sudah mendapat obat-obat pencahar, antasida, PPI, H2 bloker

- Anak dengan kelainan metabolik seperti sindrom Down, keganasan, kelainan elektrolit

3.6 Persetujuan / Informed Consent

Semua subjek penelitian sudah diminta persetujuan wali untuk dijadikan subjek penelitian


(37)

3.7 Etika Penelitian

Penelitian ini sudah disetujui Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Sumatera Utara

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1.Cara Kerja

1. Subjek penelitian dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik.

2. Subjek penelitian selanjutnya akan disurvei dengan wawancara langsung dan menggunakan kuesioner, dimana anak yang masih belum bisa menjawab kuesioner akan didampingi untuk menjawab kuesioner oleh wali anak.

3. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan kedalam subjek penelitian.

4. Subjek penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok anak yang mengalami konstipasi fungsional dan kelompok anak tanpa konstipasi fungsional (kontrol) yang dilakukan matching dengan usia dan jenis kelamin anak dengan konstipasi fungsional

5. Masing-masing kelompok dinilai gejala refluks (kembalinya isi lambung ke kerongkongan atau mulut), muntah, rasa terbakar dibagian belakang tulang dada, cegukan, sendawa dan rasa sakit pada waktu menelan makanan/minuman dalam 1 minggu terakhir


(38)

Gambar 2. Alur penelitian

3.9 Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Anak dengan/tanpa konstipasi fungsional Nominal

Variabel tergantung Skala

Gejala refluks (kembalinya isi lambung ke Nominal kerongkongan atau mulut)

3.10 Definisi Operasional

1. Konstipasi fungsional adalah kesulitan atau keterlambatan pengeluaran tinja yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih, tanpa disertai kelainan organik dan memenuhi kriteria Rome III.

2. Refluks esofageal adalah suatu keadaan dimana isi lambung kembali ke kerongkongan atau mulut.

Anak usia 6 sampai 18 tahun

Anamnesis, pemeriksaan fisik Wawancara

Kuesioner

Anak dengan konstipasi fungsional

Gejala refluks

Anak tanpa konstipasi fungsional


(39)

3. Pyrosis adalah suatu keadaan dimana anak merasa panas atau seperti terbakar di perut bagian atas.

4. Anak adalah orang yang berusia dibawah 18 tahun. Dalam penelitian ini digunakan anak yang berusia 6-18 tahun (berdasarkan usia kronologis) dengan konstipasi fungsional. Kontrol adalah anak tanpa konstipasi yang

matching dengan usia dan jenis kelamin anak dengan konstipasi

fungsional.

3.11 Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 17.0 dengan tingkat kemaknaan p value < 0,05 dan interval kepercayaan 95%. Uji kai-kuadrat untuk menilai hubungan gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak


(40)

BAB IV HASIL

Penelitian ini dilakukan di panti asuhan Alwashliyah di daerah Johor Medan, dari 127 anak yang ada di panti asuhan ini dilakukan skrining terlebih dahulu, dimana anak-anak yang berusia dibawah 6 tahun tidak dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang selanjutnya dilakukan wawancara langsung dan pemberian kuesioner. Dari 98 anak yang berusia antara 6 sampai 18 tahun dilakukan wawancara langsung dan kuesioner. Didapati sebanyak 26 anak dengan konstipasi fungsional dan 72 anak tanpa konstipasi fungsional. Dari 72 anak tanpa konstipasi fungsional dicari 26 anak yang matching dengan usia dan jenis kelamin yang sesuai dengan anak dengan konstipasi fungsional. (Gambar 1)


(41)

Gambar 3. Profil penelitian

29 anak dieksklusi karena berusia kurang dari 6 tahun 127 anak dibawah 18

98 anak berusia antara 6 sampai 18 tahun

Anamnesis Pemeriksaan fisik Wawancara Kuesioner

26 anak dengan konstipasi fungsional

72 anak tanpa konstipasi fungsional

26 anak tanpa konstipasi fungsional yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin anak konstipasi fungsional


(42)

Tabel 2. Data demografik kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan kelompok anak tanpa konstipasi fungsional

Karakteristik Demografi Konstipasi Fungsional (n=26)

Tanpa Konstipasi Fungsional (n=26) Usia, rerata (SD), tahun 13,12 (0,710) 13,12 (0,710) Jenis kelamin, n(%)

Laki-laki 14 (53,8) 14 (53,8)

Perempuan 12(46,2) 12 (46,2)

BB, rerata (SD), kg 40,28 (10,660) 40,30 (7,170) TB, rerata (SD), cm 148,57 (9,740) 148,76 (8,200) Suku, n (%)

Jawa 15 (57,7) 11 (42,3)

Batak 7 (26,9) 11 (42,3)

Padang 3 (11,5) 0 (0)

Banjar 1 (3,9) 0 (0)

Aceh 0 (0) 3 (11,5)

Banten 0 (0) 1 (3,9)

Massa feses, n (%)

Ada 20 (76,9) 0 (0)

Tidak ada 6 (23,1) 26 (100)

Frekuensi BAB, n(%)

1 kali sehari 0 (0) 26 (100)

3 hari sekali 26 (100) 0 (0) Konsumsi obat pencahar,

n(%)

Ada 0 (0) 0 (0)

Tidak ada 26 (100) 26 (100)

Konsumsi air minum, n(%)

<8 gelas sehari 17 (65,4) 13 (50) >8 gelas sehari 9 (34,6) 13 (50)

Tabel 2 menunjukkan data demografi kedua kelompok, anak dengan konstipasi fungsional dan anak tanpa konstipasi fungsional. Dari 52 anak yang menjadi subjek penelitian terdiri dari 26 anak dengan konstipasi fungsional, dan 26 anak tanpa konstipasi fungsional yang matching dengan usia dan jenis kelamin dengan anak konstipasi fungsional. Rerata usia 13,12 tahun (SD:0,710) pada kedua kelompok. Dengan 14 anak laki-laki dimasing-masing kelompok. Berat badan rata-rata untuk kedua kelompok hampir sama yaitu 40,28 kg (SD: 10,660) pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan 40,3 kg (SD: 7,170) pada kelompok anak tanpa konstipasi fungsional. Tinggi badan rata-rata


(43)

kedua kelompok juga hampir sama yaitu 148,57 cm (SD:9,740) pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan 148,76 cm (SD: 8,200) pada kelompok anak tanpa konstipasi fungsional. Suku Jawa menjadi suku mayoritas dimana sebanyak 57,7% pada anak dengan konstipasi fungsional dan 42,3% pada anak tanpa konstipasi fungsional, sedangkan suku Batak sebanyak 26,9% pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan 40,3% pada anak tanpa konstipasi fungsional. Dijumpai sebanyak 76,9% anak dengan konstipasi fungsional dengan massa feces, sedangkan tidak dijumpai anak dengan massa feces pada kelompok tanpa konstipasi fungsional. Pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional dijumpai 17 anak (65,4%) meminum air kurang dari 8 gelas dalam sehari, sedangkan 13 anak tanpa konstipasi fungsional (50%) meminum air kurang dari 8 gelas dalam sehari.

Gambar 4. Gejala-gejala refluks yang dialami oleh kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan kelompok anak tanpa konstipasi fungsional

0 5 10 15 20 25

Konstipasi Fungsional

Tanpa Konstipasi Fungsional


(44)

Gambar 4. Menunjukkan gejala-gejala refluks yang dialami oleh kedua kelompok, yaitu kelompok anak dengan konstipasi fungsional dan kelompok anak tanpa konstipasi fungsional. Pada anak dengan konstipasi fungsional, gejala regurgitasi dijumpai sebanyak 42,3% sedangkan pada anak tanpa konstipasi fungsional dijumpai sebanyak 19,2%. Cegukan dan sendawa merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional yaitu sebanyak 80,8% dan 57,7%, sedangkan pada anak tanpa konstipasi fungsional didapati sendawa (73,1%) menjadi gejala yang paling sering dijumpai diikuti dengan cegukan (65,4%).

Tabel 3. Perbedaan gejala refluks pada anak dengan konstipasi fungsional dan anak tanpa konstipasi fungsional

Gejala Refluks Gastroesofageal Konstipasi Fungsional (n=26) Tanpa Konstipasi Fungsional (n=26)

p value

Regurgitasi, n (%)

Ada 11 (42,3) 5(19,2) 0,071

Tidak ada 15 (57,7) 21 (80,8) Muntah, n(%)

Ada 5 (19,2) 3 (11,5) 0,703

Tidak ada 21 (80,8) 23 (88,5) Isi refluks terasa asam, n

(%)

Ada 7 (26,9) 3 (11,5) 0,159

Tidak ada 19 (73,1) 23 (88,5) Pyrosis, n(%)

Ada 5 (19,2) 0 (0) 0,051

Tidak ada 21 (80,8) 26 (100) Cegukan, n (%)

Ada 21 (80,8) 17 (65,4) 0,211

Tidak ada 5 (19,2) 9 (34,6) Sendawa, n (%)

Ada 15 (57,7) 19 (73,1) 0,244

Tidak ada 11 (42,3) 7 (26,9) Sakit menelan, n (%)

Ada 9 (34,6) 3 (11,5) 0,048

Tidak ada 17 (65,4) 23 (88,5) Batuk kronis, n (%)

Ada 12 (46,2) 6 (23,1) 0,08


(45)

Tabel 3 menunjukkan perbedaan gejala-gejala refluks pada anak dengan konstipasi fungsional dan anak tanpa konstipasi fungsional. Tidak terdapat hubungan regugitasi antara anak dengan konstipasi fungsional dan anak tanpa konstipasi fungsional (P = 0,071). Gejala-gejala refluks gastroesofageal yang lain seperti muntah, isi refluks terasa asam, pyrosis, cegukan, sendawa dan batuk kronis antara anak dengan konstipasi fungsional dan anak tanpa konstipasi fungsional tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan P > 0,05. Terdapat perbedaan yang signifikan pada gejala sakit menelan antara kedua kelompok dengan P = 0,048.

Tabel 4. Hubungan konstipasi fungsional dengan regurgitasi

Konstipasi Regurgitasi p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 11 (42,3) 15 (57,7) 0,071 2,2 0,889-5,447 Tidak 5 (19,2) 21 (80,8)

Tabel 4 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 11 anak (42,3%) dengan regurgitasi, sedangkan sebanyak 21 anak (80,8%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami regurgitasi sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan regurgitasi dengan nilai P = 0,071. Nilai OR diperoleh 2,2 dengan 95% CI berkisar antara 0,889 sampai 5,447. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya regurgitasi


(46)

Tabel 5. Hubungan konstipasi fungsional dengan muntah

Konstipasi Muntah p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 5 (19,2) 21 (80,8) 0,703 1,667 0,443-6,265 Tidak 3 (11,5) 23 (88,5)

Tabel 5 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 21 anak (80,8%) tidak mengalami muntah, sedangkan sebanyak 23 anak (88,5%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami muntah sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan muntah dengan nilai P = 0,703. Nilai OR diperoleh 1,667 dengan 95% CI berkisar antara 0,443 sampai 6,265. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya muntah.

Tabel 6. Hubungan konstipasi dan isi refluks terasa asam

Konstipasi Isi Refluks Terasa Asam p OR 95% CI Ada Tidak Ada

Ya 7 (26,9) 19 (73,1) 0,159 2,333 0,676-8,051 Tidak 3 (11,5) 23 (88,5)

Tabel 6 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 19 anak (73,1%) tidak mengalami isi refluks terasa asam, sedangkan sebanyak 23 anak (88,5%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami isi refluks terasa asam sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan isi refluks terasa asam dengan nilai P = 0,159. Nilai OR diperoleh 2,333 dengan 95% CI berkisar antara 0,676 sampai 8,051. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi


(47)

fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya isi refluks terasa asam.

Tabel 7. Hubungan konstipasi fungsional dan pyrosis

Konstipasi Pyrosis p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 5 (19,2) 21 (80,8) 0,051 - -

Tidak 0 26 (100)

Tabel 7 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 21 anak (80,8%) tidak mengalami pyrosis, sedangkan sebanyak 26 anak (100%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami pyrosis sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan pyrosis dengan nilai P = 0,051.

Tabel 8. Hubungan konstipasi fungsional dan cegukan

Konstipasi Cegukan p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 21 (80,8) 5 (19,2) 0,211 1,235 0,882-1,730 Tidak 17 (65,4) 9 (34,6)

Tabel 8 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 21 anak (80,8%) dengan cegukan, sedangkan sebanyak 17 anak (65,4%) anak tanpa konstipasi fungsional dengan cegukan sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan cegukan dengan nilai P = 0,211. Nilai OR diperoleh 1,235 dengan 95% CI berkisar antara 0,882 sampai 1,730. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya cegukan.


(48)

Tabel 9. Hubungan konstipasi fungsional dan sendawa

Konstipasi Sendawa p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 15 (57,7) 11 (42,3) 0,244 0,789 0,527-1,182 Tidak 19 (73,1) 7 (26,9)

Tabel 9 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 15 anak (57,7%) dengan sendawa, sedangkan sebanyak 19 anak (73,1%) anak tanpa konstipasi fungsional dengan sendawa sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi dan sendawa dengan nilai P sebesar 0,244. Nilai OR diperoleh 0,789 dengan 95% CI berkisar antara 0,527 sampai 1,182. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya sendawa.

Tabel 10. Hubungan konstipasi fungsional dan sakit menelan

Konstipasi Sakit Menelan p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 9 (34,6) 17 (65,4) 0,048 3,000 0,914-9,844 Tidak 3 (11,5) 23 (88,5)

Tabel 10 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 17 anak (65,4%) tidak mengalami sakit menelan, sedangkan sebanyak 23 anak (88,5%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami sakit menelan sehingga ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan sakit menelan dengan nilai P = 0,048. Nilai OR diperoleh 3,000 dengan 95% CI berkisar antara 0,914 sampai 9,844. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional


(49)

belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya sakit menelan.

Tabel 11. Hubungan konstipasi fungsional dan batuk kronik

Konstipasi Batuk Kronik p OR 95% CI

Ada Tidak Ada

Ya 12 (46,2) 14 (53,8) 0,08 2,000 0,885-4,520 Tidak 6 (23,1) 20 (76,9)

Tabel 11 menunjukkan pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 14 anak (46,2%) tidak mengalami batuk kronis, sedangkan sebanyak 20 anak (76,9%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami batuk kronis sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan batuk kronis dengan nilai P = 0,08. Nilai OR diperoleh 2,000 dengan 95% CI berkisar antara 0,885 sampai 4,520. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya sakit menelan.


(50)

BAB V PEMBAHASAN

Sebuah studi di Turki pada tahun 2009 mendapati bahwa pada anak dengan konstipasi fungsional sebanyak 58,9% membuang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu dengan sakit pada waktu mengeluarkan tinja sebanyak 39,8% dan 69,1% mengeluarkan tinja dalam ukuran yang besar. Pada studi di Turki ini juga dijumpai sebanyak 21,4% anak dengan massa feces di abdomen.39 Hal yang berbeda ditemukan pada penelitian ini dimana semua anak (100%) dengan konstipasi fungsional membuang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu, sedangkan untuk ukuran tinja dan sakit pada waktu pengeluaran tinja tidak ditanyakan dalam kuesioner. Pada penelitian ini juga dijumpai sebanyak 20 orang anak (76,9%) dengan konstipasi fungsional mempunyai massa feces di abdomen.

Konstipasi fungsional yang disebabkan oleh keterlambatan waktu transit kolon pada anak diperkirakan sebanyak 25 sampai 69% pada anak dengan konstipasi dan pertama kali dijabarkan pada tahun 1996.40 Sebelum tahun 1996 telah dilakukan banyak penelitian tentang anak dengan konstipasi kronis dan mengidentifikasi banyak kelainan pada persyarafan di kolon. Dengan ditemukannya laparoskopi pada awal tahun 1990 dilakukan biopsi otot dengan laparoskopi kolon pada anak dengan konstipasi yang berulang dan menunjukkan bahwa sepertiga anak mengalami kekurangan zat P pada akson yang berada pada otot yang mengelilingi kolon.41,42 Studi tahun 2002 mendapati


(51)

bahwa anak dengan konstipasi fungsional mempunyai gejala-gejala seperti keterlambatan pengeluaran mekonium, waktu timbulnya gejala pada awal masa bayi, pada waktu dimulainya pemberian makan atau pada waktu toilet training. Gejala yang paling sering adalah dijumpainya tinja keras yang jarang dan anak-anak tersebut walaupun mengalami konstipasi yang kronis tapi juga mengeluarkan tinja yang disertai dengan perut kembung atau nyeri perut sehingga konstipasi fungsional karena keterlambatan waktu transit kolon sering kali underdiagnosed, hal in disebabkan karena tinja yang dikeluarkan bersifat lunak.43

Pada penelitian ini ditemukan usia rata-rata anak yang mengalami konstipasi fungsional adalah 13 tahun. Hal ini tidak begitu berbeda dengan studi tahun 2013 yang mendapati bahwa anak dengan konstipasi fungsional berusia antara 8 sampai 12 tahun.44 Sedangkan hal ini tidak sesuai dengan studi tahun 2005 di Australia yang menyimpulkan bahwa puncak usia terjadinya konstipasi fungsional pada anak adalah setelah toilet training, dimana pengeluaran tinja yang keras menyebabkan anak merasa kesakitan pada waktu defekasi, yang kemudian menyebabkan timbulnya kebiasaan untuk menunda pengeluaran tinja.45 Penelitian di Turki juga mendapati bahwa usia rata-rata anak yang mengalami konstipasi fungsional adalah 4,2 tahun.46 Sedangkan ada suatu studi tahun 2010 yang tidak mendapati hubungan antara konstipasi fungsional dan usia.47

Pada penelitian ini kita mendapati bahwa dari total 26 anak yang mengalami konstipasi fungsional terdiri dari 14 anak laki-laki (53,8%) dan 12


(52)

tahun 2002 dan 2003, dimana pada studi tersebut menemukan bahwa konstipasi fungsional yang disebabkan karena keterlambatan waktu transit kolon pada anak tidak berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dan mempunyai kecenderungan untuk gejala menetap sampai masa remaja.48,49 Studi di Turki pada tahun 2009 dan 2013 juga menyimpulkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada anak dengan konstipasi fungsional tidak berbeda secara signifikan.39,46 Beberapa studi tidak mendapati hubungan antara jenis kelamin dengan konstipasi fungsional,50-53 sedangkan studi di Hong Kong pada tahun 2005 menemukan bahwa jenis kelamin perempuan lebih sering menderita konstipasi fungsional.54 Sedangkan studi tahun 2013 mendapati bahwa anak laki-laki lebih sering menderita konstipasi fungsional.44

Pada tahun 2002 dilakukan manometri kolon 24 jam pada anak yang telah mengalami appendectomi untuk mengetahui tentang aktivitas kolon bagian kanan, dan pada studi ini didapati bahwa konstipasi fungsional karena keterlambatan waktu transit kolon adalah suatu kelainan motilitas kolon yang spesifik.55 Dengan adanya manometri kolon 24 jam, hal ini memungkinkan untuk meneliti tentang aktivitas kolon bagian kanan, pada anak dengan konstipasi fungsional didapati pengurangan yang signifikan pada gelombang tekanan antegrad di kolon dibandingkan dengan anak sehat.56,57 Studi di Australia pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada anak dengan konstipasi fungsional tidak didapati peningkatan dalam batas normal pada aktivitas kolon yang terjadi selama waktu makan dan pada waktu bangun tidur.58


(53)

mengalami gejala-gejala gangguan saluran cerna atas seperti perut kembung, mual, muntah dan nyeri perut. Gangguan pada fungsi saluran cerna atas pada anak dengan konstipasi fungsional karena keterlambatan waktu transit kolon juga bisa ditemukan pada keterlambatan waktu pengosongan lambung, gangguan motilitas kandung empedu, dan gangguan pengeluaran hormon setelah makan. Beberapa studi mendapati hal ini terjadi karena peningkatan persepsi visceral atau karena gangguan relaksasi setelah makan pada bagian proksimal dari lambung.59-63

Gejala-gejala yang predominan pada anak dengan konstipasi fungsional dijumpai pada gastroesofageal reluks berupa mual, muntah, pyrosis, regurgitasi, muntah, nyeri tenggorokan, rasa asam atau pahit di mulut, sedangkan gejala-gejala diluar saluran cerna dapat berupa batuk kronis, suara serak, faringitis, bronkitis berulang, apnu. Frekuensi gejala-gejala diatas tidak diketahui secara tepat.64 Hal ini sesuai dengan penelitian ini dimana pada anak dengan konstipasi fungsional, ditemukan gejala-gejala berikut regurgitasi (42,3%), muntah (19,2%), isi refluks terasa asam (26,9%), pyrosis (19,2%), cegukan (80,8%), sendawa (57,7%), sakit menelan (34,6%) dan batuk kronis (46,2%). Studi pada tahun 2003 di Sumatera Utara mendapati gejala-gejala berupa muntah sebanyak 12,5%, mual (13,8%), pyrosis (5,6%), rasa asam di mulut sebanyak (10,6%) dan sakit menelan sebanyak (10%).65 Perbedaan ini bisa terjadi karena pada studi ini rujukan dalam perhitungan sampel digunakan rujukan dari studi di Turki, dimana bila kita menggunakan prevalensi refluks gastroesofageal di Indonesia yang sebesar 26% maka jumlah sampel yang dibutuhkan menjadi 45 orang per kelompok. Perbedaan angka prevalensi ini


(54)

terjadi karena perbedaan pola makan anak di Turki dan di Indonesia, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Gejala regurgitasi dijumpai sebanyak 11 orang (42,3%) pada anak dengan konstipasi fungsional sedangkan pada anak tanpa konstipasi fungsional dijumpai sebanyak 5 orang (19,2%). Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian di Turki yang mendapati sebanyak 47,4% anak dengan konstipasi fungsional mengalami regurgitasi dan pada studi kasus di Virginia mendapati sebanyak 50% anak dengan konstipasi fungsional mengalami regurgitasi.16,17 Cegukan dan sendawa merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional yaitu sebanyak 80,8% dan 57,7%, sedangkan pada anak tanpa konstipasi fungsional didapati sendawa (73,1%) menjadi gejala yang paling dijumpai diikuti dengan cegukan (65,4%).

Sebuah studi di Turki pada tahun 2009 menemukan bahwa pada anak dengan konstipasi fungsional didapati 11,7% anak mengalami gejala muntah, 29,6% mengalami gejala nyeri perut, mengompol dijumpai pada 6,9% anak.39 Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang didapat pada penelitian ini dimana 5 anak (19,2%) dengan konstipasi fungsional mengalami gejala muntah.

Studi di Belanda pada tahun 2001 menjelaskan bahwa terjadi gangguan relaksasi yang signifikan pada lambung bagian proksimal yang diikuti dengan relaksasi maksimal dan peningkatan volume maksimal selama relaksasi lebih rendah dari anak sehat. Hal ini bisa disebabkan karena peningkatan nilai persepsi basal dan persepsi mual selama distensi kolon pada anak dengan konstipasi fungsional karena keterlambatan waktu transit kolon.66 Hal ini diduga


(55)

karena retensi fekal mempengaruhi fungsi dari saluran cerna proksimal, supresi otot kolon karena defekasi selama 3 hari menyebabkan keterlambatan waktu pengosongan lambung yang signifikan.67 Keterlambatan waktu pengosongan lambung biasa dijumpai pada anak dengan konstipasi fungsional karena keterlambatan waktu transit kolon, hal ini menyebabkan waktu pengosongan lambung untuk makanan padat menjadi terlambat sedangkan waktu pengosongan lambung untuk cairan bisa terlambat atau normal.59,60

Pada penelitian ini walaupun jumlah anak yang mengalami regurgitasi sebanyak 42,3% tetapi tidak didapati hubungan yang signifikan dengan nilai P sebesar 0,071dengan nilai OR diperoleh 2,2 dengan 95% CI berkisar antara 0,889 sampai 5,447. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya regurgitasi. Studi ini juga mendapati pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 5 anak (19,2%) mengalami muntah, sedangkan sebanyak 3 anak (11,5%) anak tanpa konstipasi fungsional mengalami muntah sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan muntah dengan nilai P = 0,703. Nilai OR diperoleh 1,667 dengan 95% CI berkisar antara 0,443 sampai 6,265. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya muntah. Hubungan antara regurgitasi dengan konstipasi fungsional ini diduga disebabkan oleh karena terjadinya waktu paruh pengosongan lambung yang lambat pada anak dengan konstipasi fungsional yang kronik. Hal ini dibuktikan oleh sebuah studi di Brazil pada tahun 2013


(56)

dimana sebanyak 9% anak dengan retensi feces menunjukkan keterlambatan waktu pengosongan lambung yang mana akan mengalami perbaikan setelah konstipasi diatasi, sedangkan sebanyak 72,3% anak tetap mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung walaupun konstipasi sudah diatasi.44 Studi tahun 2001mendapati hubungan yang signifikan antara gejala-gejala saluran cerna atas seperti mual, muntah, nyeri perut dan cepat merasa kenyang pada anak dengan konstipasi kronik, yang mana gejala-gejala tersebut hilang setelah konstipasi diatasi.66 Studi di Indonesia pada tahun 2004 mendapati bahwa volume regurgitasi jarang dijadikan sebagai sumber permasalahan oleh orang tua dibanding frekuensi regurgitasi (9% vs 66%).68

Penelitian ini juga mendapati pada kelompok anak dengan konstipasi fungsional terdapat 19 anak (73,1%) tidak mengalami isi refluks terasa asam, sedangkan sebanyak 23 anak (88,5%) anak tanpa konstipasi fungsional tidak mengalami isi refluks terasa asam sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konstipasi fungsional dan isi refluks terasa asam dengan nilai P = 0,159. Nilai OR diperoleh 2,333 dengan 95% CI berkisar antara 0,676 sampai 8,051. Dengan interval kepercayaan OR yang mencakup nilai 1 maka konstipasi fungsional belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko ataupun faktor protektif terhadap terjadinya isi refluks terasa asam. Sebuah studi tahun 2000 menunjukkan bahwa beberapa, tapi tidak semua, isi refluks yang terasa asam pada anak sehat mencapai bagian proksimal dari esophagus. Waktu pembersihan dari asam lebih pendek di bagian proksimal daripada di bagian distal dari esophagus.69


(57)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini ditemukan bahwa semua gejala refluks gastroesofageal ditemukan lebih banyak pada konstipasi fungsional dibandingkan dengan tanpa konstipasi fungsional, namun secara statistik kejadian ini semua termasuk regurgitasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konstipasi fungsional; kecuali sakit menelan (P=0,048) dan hampir bermakna untuk kejadian pyrosis (P=0,051).

5.2 Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan yang lebih akurat antara konstipasi fungsional yang disebabkan oleh keterlambatan waktu transit kolon dengan waktu paruh pengosongan lambung dengan mengukur manometri kolon.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenwald BJ. Clinical practice guidelines for pediatric constipation. J Am Acad Nurse Pract 2010; 22:332-8

2. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Constipation in children. Diunduh dari: www.digestive.niddk.nih.gov. Diakses: September 2013

3. Blackmer AB, Farrington EA. Constipation in the pediatric patient: an overview and pharmacologic considerations. J of Pediatr Health Care 2010;24:385-99

4. Croffie JM, Fitzgerald JF. Idiopathic Constipation. Dalam: Walker, Goulet, Kleinman, Sherman, Sneider, Sanderson, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease, Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-4. USA. B.C. Decker Inc. 2004.h.1000-15

5. Kadim M. Konstipasi fungsional pada anak. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IV Ilmu Kesehatan Anak. Medan, 2010.h.635-38.

6. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arif S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku Ajar gastroenterology-Hepatologi. Jilid 1. Cetakan kedua. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.h.201-14.

7. Wyllie MD, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-2. WB Saunders, Philadelphia:1999

8. Constipation Guideline Committee of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (CGCNASPGHAN). Evaluation and treatment of constipation in infants and children: Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2006;43:e1-13

9. Croffie JM. Constipation in children. Indian J Pediatr2006;73:697-701 10. Dijk MW, Benninga MA, Grootenhuis MA, Nieuwenhuizen AM, Last BF.

Chronic childhood constipation: a review of the literature and the introduction of a protocolized behavioral intervention program. Patient Educ Couns 2007;67:63-77

11. Hong Li Z,Dong M, Feng Wang Z. Functional constipation in children : investigation and management of anorectal motility. World J Pediatr. 2008;4(1):45-8

12. Wyllie R. Functional Constipation. Dalam: Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia. Saunders Elsevier;2004.h.1565

13. Jurnalis YD, Sarmen S Sayoeti Y. Konstipasi pada anak. Cermin Dunia Kedokteran 2013;40:27-31

14. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ 2006;333:1051-5 15. Uc A, Hyman PE, Walker LS. Functional gastrointestinal disorders in

African American children in primary care. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2006; 42:270-4


(59)

16. Baran M, Ozgenc F, Arikan C, Cakir M, Ecevit CO, Aydogdu S, et al. Gastroesophageal reflux in children with functional constipation. Turk J Gastroenterol 2012;23:634-8

17. Borowitz SM, Sutphen JL. Recurrent vomiting and persistent gastroesophageal reflux caused by unrecognized constipation. Clin Pediatr 2004;43:461-6

18. Arnaud MJ. Mild dehydration: a risk factor of constipation? Eur J of Clin Nutr 2003;57:S88-95

19. Supriatmo. Praktis Klinis : Tatalaksana Konstipasi Fungsional. Disampaikan pada Kongres Nasional IV Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia (BKGAI). Medan. 4 – 7 Desember 2010. h.152-59

20. DiLorenzo C, Rasquin A, Forbes D, Guiraldes E, Hyams J, Staiano A, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders: child/adolescent. Dalam: Drossman DA, penyunting. Rome III: The functional gastrointestinal disorders. Edisi ke-3. McLean, VA: Degnon Associates, Inc, 2006. h.723-77

21. Nyhan WL. Stool frequency of normal infants in the first week of life. Pediatrics 1952;10:414-25

22. Weaver LT. Bowel habit from birth to old age. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1988;7:637-40

23. Loening-Baucke V. Constipation and fecal incontinence. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, Kay M, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders Elsevier;2011.h.127

24. Southwell BR, King SK, Hutson JM. Chronic constipation in children: organic disorders are a major cause. J Pediatr Child Health 2005;41:1-15 25. Taminiau J, Benninga M. Constipation and encopresis in childhood.

Dalam: Guandalini S, penyunting. Textbook of pediatric gastroenterology and nutrition. London:Taylor and Francis Group;2004.h.247-51

26. Khan S, Campo J, Bridge JA, Chiappetta LC, Wald A, DiLorenzo C. Long term outcome of functional childhood constipation. Dig Dis Sci 2007;52:64-9

27. Lewis LG, Rudolph CD. Practical approach to defecation disorders n children. Pediatr Ann 1997;26:260-268

28. Papadopoulou A, Clayden GS, Booth IW. The clinical value of solid marker transit studies in childhood constipation and soiling. Eur J Pediatr 1994;153:560-4

29. Altaf MA, Sood MR. The nervous system and gastrointestinal function. Dev Disabil Res Rev 2008;14:87-95

30. Porter AJ, Wattchow DA, Brookes SJ, Costa M. Projections of nitric oxide synthase and vasoactive intestinal polypeptide-reactive submucosal neurons in the human colon. J Gastroenterol Hepatol 1999;14:1180-7 31. Wattchow DAPA, Brookes SJ, Costa M. The polarity of neurochemically

defined myenteric neurons in the human colon. Gastroenterology 1997;113:497-506

32. Hutson JM, Chow CW, Borg J. Intractable constipation with a decrease in substance P-immunoreactive fibres: is it a variant of intestinal neuronal dysplasia? J Pediatr Surg 1996;31:580-3


(60)

33. Hutson JM, Chow CW, Hurley MR, Uemura S, Wheatley JM, Catto-Smith AG. Deficiency of substance P-immunoreactive nerve fibres in children with intractable constipation: a form of intestinal neuronal dysplasia. J Pediatr Child Health 1997;33:187-9

34. Stanton MP, Hengel PT, Southwell BR, Chow CW, Keck J, Hutson JM, et al. Cholinergic transmission to colonic circular muscle of children with slow transit constipation is unimpaired, but transmission via NK2 receptors is lacking. Neurogastroenterol Motil 2003;15:669-78

35. Hemingway DM, Finlay IG. Effect of colectomy on gastric emptying in idiopathic slow-transit constipation. Br J Surg 2000;87:1193-6

36. Pearcy JF, Van Liere EJ. Studies on the visceral nervous system. Am J Physiol 1926;78:64-73

37. Thomson MA. Development anatomy and physiology of the esophagus. Dalam: Wyllie RHJ, penyunting. Pediatric gastrointestinal and liver disease. Edisi pertama. Philadephia: Elsevier 2006.h.277-92

38. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008. h. 302-30

39. Aydogdu S, Cakir M, Yuksekkaya HA, Arikan C, Tumgor G, Baran M, et al. Chronic constipation in Turkish children: clinical findings and applicability of classification criteria. The Turkish J of Pediatr 2009;51:146-53

40. Benninga MA, Buller HA, Tytgat GN, Akkermans LM, Bossuyt PM, Taminiau JA. Colonic transit time in constipated children: does pediatric slow-transit constipation exist? J Pediatr Gastroenterol Nutr 1996;23:241-51

41. Hutson JM, Chow CW, Borg J. Intractable constipation with a decrease in substance P-immunoreactive fibres: is it a variant of intestinal neuronal dysplasia? J Pediatr Surg 1996;31:580-3

42. Hutson JM, Catto Smith T, Gibb S, Chase J, Shin YM, Stanton M, et al. Chronic constipation: no longer stuck characterization of colonic dysmotility as a new disorder in children. J Pediatr Surg 2004:39(6):795-9

43. Shin YM, Southwell BR, Stanton MP, Hudson JM. Signs and symptoms of slow-transit constipation versus functional retention. J Pediatr Surg 2002;37:1762-5

44. Fernandes VPI, Lima MCL, Camargo EE, Collares EF, Bustorff-Silva JM, Lomazi EA. Gastric emptying of water in children with severe functional fecal retention. Brazilian J of Medical and Biological Research 2013;46:293-8

45. Catto-Smith AG. Constipation and toilet training issues in children. Med J Aust 2005;182(5):242-6

46. Soylu OB. Clinical findings of functional and secondary constipation in children. Iran J Pediatr 2013;23(3):353-6

47. Rajndrajith S, Devanarayana NM, Adhikari C, Pannala W, Benninga MA. Constipation in children: an epidemiological study in Sri Lanka using Rome III criteria. Arch Dis Child Published Online First 2010


(61)

48. Milla P, Cucchiara S, DiLorenzo C, Rivera NM, Rudolph C, Tomomasa T. Motility disorders in childhood: working group report of First World Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2002;35:S187-95

49. Van Ginkel R, Reitsma JB, Buller HA, van Wijk MP, Taminiau JA, Benninga MA. Childhood constipation: longitudinal follow-up beyond puberty. Gastroenterology 2003;125:357-63

50. de Araujo Sant Anna AM, Calcado AC. Constipation in school-aged children at public schools in Rio de Janeiro, Brazil. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:190-3

51. Iacono G, Merolla R, D’Amico D, Bonci E, Cavataio F, di Prima L, et al. Gastrointestinal symptoms in infancy: a population-basd prospective study. Dig Liver Dis 2005;37:432-8

52. Uguralp S, Kataoglo L, Karaman A, Demircan M, Yakinci C. Frequency of enuresis, constipation and enuresis associated wit constipation in a group of school children aged 5-9 years in Malatya, Turkey. Turk J Med Sci 2003;33:315-20

53. Bakwin H, Davidson M. Constipation in twins. Am J Dis Child 1971;121:179-81

54. Ip KS, Lee WT, Chan JS, Young BW. A community-based stucy of the prevalence of constipation in young children and the role of dietary fiber. Hong Kong Med J 2005;11:431-6

55. DiLorenzo C, Hillemeier C, Hyman P, Loening-Baucke V, Nurko S, Rosenberg A et al. Manometry studies in children: minimum standards for procedures. Neurogastroenterol Motil 2002;14:411-20

56. Stanton MP, Hutson JM, Simpson D, Oliver MR, Southwell BR, Dinning P, et al. Colonic manometry via appendectomy shows reduced frequency, amplitude and length of propagating sequences in children with slow-transit constipation. J Pediatr Surg 2005;40:1138-45

57. King SK, Catto-Smith AG, Stanton MP, Sutcliffe JR, Simpson D, Cook I, et al. 24-Hour colonic manometry in pediatric slow tansit constipation shows significant reductions in antegrade propagation. Am J Gastroenterol 2008;103:2083-91

58. Hutson JM, Chase JW, Clarke M, King SK, Sutcliffe J, Gibb S, et al. Slow-transit constipation in children: our experience. Peditr Surg Int 2009;25:403-6

59. Reynolds JC, Ouyang A, Lee CA, Baker L, Sunshine AG, Cohen S. Chronic severe constipation: prospective motility studies in 25 consecutive patients. Gastroenterology 1987;92:414-20

60. Van der Sijp JRM, Kamm MA, Nightingale JMD, Britton KE, Granowska M, Mather SJ, et al. Disturbed gastric and small bowel transit in severe idiopathic constipation. Dig Dis Sci 1993;38:837-44

61. Penning C, Gielkens HAJ, Delemarre JBVM, Lamers CBHW, Masclee AAM. Gallbladder motility in severe idiopathic constipation. Gut 1999;45:264-8

62. Penning C, Delemarre JBVM, Bemelman WA, Biemond I, Lamers CBHW, Masclee AAM. Proximal and distal gut hormone secretion in slow transit constipation. Eur J Clin Invest 2000;30:709-14


(62)

63. Tack J, Piessevaux H, Coulie B, Caenepeel P, Janssens J. Role of impaired gastric accommodation to a meal in functional dyspepsia. Gastroenterology 1995;109:40-52

64. Yuksel F, Dogan M, Karatas D, Yuce S, Senturk M, Kulahli I. Clinical presentation of gastroesophageal reflux disease in children with chronic otitis media with effusion. J Craniofac Surg 2013;24(2):380-3

65. Supriatmo, Sinuhaji AB, Ramayati R, Daulay R Faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala refluks gastroesofagus pada anak usia

sekolah dasar. Diunduh dari:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6286. Diakses: Agustus

2014.

66. Penning C, Vu MK, Delemarre JBVM, Masclee AAM. Proximal gastric motor and sensory function in slow transit constipation. Scand J Gastroenterol 2001;12:1267-73

67. Tjeerdsma HC, Smout AJPM, Akkermans LMA. Voluntary suppression of defecation delays gastric emptying. Dig Dis Sci 1993;38:832-6

68. Hegar B, Boediarso A, Firmansyah A, Vandenplas Y. Investigation of regurgitation and other symptoms of gastroesophageal reflux in Indonesian infants. World J Gastroenterol 2004;10:1795-7

69. Bagucka B, Badriul H, Vandemaele K, Troch E, Vandenplas Y. Normal ranges of continuous pH monitoring in the proximal oesophagus. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000;31:244-7

   


(63)

RINGKASAN

Berbagai penelitian tentang konstipasi pada anak-anak telah sering dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan penelitian mengenai gejala-gejala refluks gastroesofageal pada bayi baru lahir telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri, namun penelitian mengenai gejala-gejala refluks gastroesofageal pada anak-anak usia sekolah dan remaja masih jarang dilakukan. Data mengenai jumlah penderita refluks gastroesofageal di Indonesia belum diketahui secara pasti tidak hanya di Indonesia namun di negara-negara lain. Hubungan gejala-gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional telah dilakukan di beberapa negara sedangkan di Indonesia belum pernah dilakukan sama sekali. Gejala-gejala refluks gastroesofageal yang dijumpai seperti regurgitasi, muntah, regurgitasi asam, pyrosis, sendawa, cegukan, sakit menelan, batuk kronis sering diabaikan oleh penderita refluks gastroesofageal karena tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Diagnosa refluks gastroesofageal ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, gejala-gejala klinis, kuesioner dan beberapa pemeriksaan invasif. Kuesioner yang lazim digunakan adalah Gastro

Esophageal Refluks Quesionnaire dari Mayo Clinic untuk anak-anak, dan masih

ada beberapa kuesioner yang digunakan dan merupakan modifikasi dari kuesioner untuk orang dewasa. Kuesioner ini berisikan beberapa pertanyaan tentang gejala-gejala gastresofageal refluks. Pengobatan refluks gastroesofageal ini dilakukan berdasarkan gejala-gejala klinis yang terjadi.


(64)

Penelitian cross-sectional telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014 di panti asuhan Al-Washliyah di daerah Johor, Medan. Penelitian dilakukan pada subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan wawancara langsung dan kuesioner untuk mengetahui gejala-gejala refluks gastroesofageal pada anak dengan konstipasi fungsional dan pada anak tanpa konstipasi fungsional. Anak tanpa konstipasi fungsional dimatchingkan dengan usia dan jenis kelamin anak dengan konstipasi fungsional. Jawaban anak dengan konstipasi fungsional dibandingkan dengan anak tanpa konstipasi fungsional.

Dari penelitian ini ditemukan bahwa semua gejala refluks gastroesofageal ditemukan lebih banyak pada konstipasi fungsional dibandingkan dengan tanpa konstipasi fungsional, namun secara statistik kejadian ini semua termasuk regurgitasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konstipasi fungsional; kecuali sakit menelan (P=0,048) dan hampir bermakna untuk kejadian pyrosis (P=0,051). Gejala-gejala refluks terutama pada anak dengan konstipasi fungsional harus mendapat perhatian khusus, karena bila dibiarkan akan berakibat pada kondisi kesehatan anak, yang sebenarnya kondisi ini dapat hilang bila kontipasi fungsional diatasi.


(65)

SUMMARY

Some studies regarding constipation on children were frequently done in Indonesia and abroad, and some studies about gastro esophageal reflux symptoms especially in infants were done in Indonesia and abroad but only few were done in school-aged children and adolescent. The exact number of people suffering from gastro esophageal reflux was not known not only in Indonesia but also in other countries. The relation between symptoms of gastro esophageal reflux with functional constipation were done in some other countries but not in Indonesia. Gastro esophageal reflux symptoms suc as regurgitation, vomiting, acid regurgitation, pyrosis, hiccup, belching, difficulty in swallowing and chronic cough were underestimated because it was not affecting daily activities. The diagnosis of gastro esophageal reflux was based on anamnesis, clinical symptoms, questionnaire and some invasive methods. Questionnaire that frequently used was Gastro esophageal reflux Questionnaire (GER-Q) by Mayo Clinic for children and some others questionnaire that modified from adult’s questionnaire. This questionnaire was consist of symptoms of gastro esophageal reflux. Treatment for gastro esophageal reflux was done based on clinical symptoms.

Cross sectional study was done to assess the relation between symptoms of gastro esophageal reflux and functional constipation in children. This study was done on June 2014 at Al-Washliyah orphanage in Johor area, Medan. Subject fulfilled inclusion and exclusion criteria were enrolled in this


(66)

study and were interviewed and asked to fill questionnaire to know the symptoms of gastro esophageal reflux in children with functional constipation and children without functional constipation. Children without functional constipation were match with age and sex of children with functional constipation. The answer of the questionnaire were compared between children with functional constipation and children without functional constipation.

This study noted that symptoms of gastroesophageal reflux were noted more commonly in functional constipation compared with in non functional constipation, but statistically all symptoms including regurgitation was not significantly related with functional constipation except for difficulty in swallowing (p value 0.048) and almost significant for pyrosis (p value 0.051). Symptoms of gastro esophageal reflux especially in children with functional constipation needed to have special attention because if it was untreated, it may affected children’s health, which actually these condition might resolved if functional constipation was treated.


(1)

xiv 

4. Bagaimana bentuk tinja saat buang air besar ? a. Cair

b. Keras

5. Apa warna tinja saat buang air besar ? a. Kehitaman

b. Kekuningan

6. Apakah anda suka makan sayuran ? a. Suka

b. Tidak suka

7. Apakah anda suka makan buah-buahan ? a. Suka

b. Tidak suka

8. Jenis buahan apa yang anda suka ? Sebutkan ……… 9. Berapa gelas (aqua gelas) sehari anda minum air putih?

a. Kurang dari delapan gelas b. Lebih dari depalan gelas

10. Jenis minuman apa yang paling anda suka? Sebutkan ……… 11. Pada saat susah buang air besar , apakah anda mengkonsumsi obat

pencahar (obat memperlancar buang air besar)? a. Ya b. Tidak

12. Apakah setiap buang air besar selalu mengkonsumsi obat ?

a. Ya b. Tidak

13. Jenis obat apa yang anda minum ? a. Jamu-jamuan

b. Obat medis

c. Tidak minum obat tetapi mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan dan banyak minum

14. Apakah makanan yang anda makan sehari-hari lebih banyak protein dan Karbohidratnya (ikan, telur, ayam, nasi) dibandingkan sayur (serat)?

a.Ya b. Tidak

15. Seringkah anda mengkonsumsi obat-obatan seperti paracetamol bila sakit?

a. Ya b. Tidak


(2)

Keadaan Umum : Tampak sehat / sakit Kesadaran :

Pemeriksaan abdomen

 Palpasi : massa feses di kuadran kiri bawah : ada/tidak

3. Gejala yang dialami

Apakah anda mengalami muntah? YA

TIDAK

Apakah ada perasaan berpindah isi perut ke kerongkongan? YA TIDAK

Apakah yang berpindah ke kerongkongan rasanya asam? YA TIDAK

Apakah ada rasa terbakar dibagian belakang tulang dada? YA TIDAK

Apakah pernah mengalami cegukan? YA

TIDAK

Apakah pernah mengalami sendawa? YA

TIDAK

Apakah ada merasakan sakit pada waktu menelan makanan/

minuman dalam 1 minggu terakhir? YA

TIDAK

4. TINDAKAN

Bila mengalami gejala diatas, apakah usaha anda: a. Minum air putih : hangat / dingin

b. Minum obat anti muntah c. Minum obat maag d. Tidur

e. Berobat ke dokter


(3)

xiv 

Apakah anda selalu makan sayur dalam 1 hari? YA TIDAK


(4)

   


(5)

xiv 

 


(6)

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama lengkap

: dr. Herlina Loka

Tempat/tanggal

lahir :

Medan/ 9 November 1981

Alamat

: Jl. H.O.S. Cokro Aminoto No. 115 Medan

Nama Suami

: dr. Denny

Nama Anak

: -

Pendidikan

Taman Kanak-Kanak

: TK Methodist-3 Medan, tamat tahun 1988

Sekolah Dasar

: SD Methodist-3 Medan, tamat tahun 1994

Sekolah Menengah Pertama

: SLTP Methodist-3 Medan, tamat tahun 1997

Sekolah Menengah Umum

: SMU Sutomo-1 Medan, tamat tahun 2000

Dokter

Umum :

Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat

tahun 2005

Pendidikan

Spesialis

: Manila Adventist Medical Center,

Philippines, tamat

tahun 2010

Pendidikan Adaptasi Spesialis

: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakutas

Kedokteran USU Medan, tahun 2012

sampai

sekarang

Riwayat Pekerjaan

1. Dokter umum di RSU. Deli, Medan (tahun 2006)

2. Dokter umum di RSU Methodist, Medan (tahun 2006)