BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998 - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuanga

BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998 Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama,

  bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan

   getirnya hidup di hotel prodeo.

  Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim

   Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).

  Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 47 Sugianto, Sejarah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta :

  Pusat Kajian Kepolisian dan Keamanan , 2009) hal.1 48 Ibid .hal. 4

  48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di era reformasi dengan adanya UU no.

  28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi Kolusi dan Nepotisme maka dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi

   mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.

  Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi.

  Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

  Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang 49 Ibid. Hal. 8 dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv) masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan / partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas

   korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.

  Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak

50 Lihat makalah Diego Vendey , Konstelasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

  

di Indonesia, Makalah ini disampaikan pada Seminar Evaluasi Hukum dan Politik 2011, Nasional

Demokrat, Medan Sumatera Utara.

  

  mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya. Misalnya , lembaga ini di desain menjadi lebih otonom dan independen . Eksistensi independensi dalam proses penegakan hukum merupakan suatu wacana yang imperatif sifatnya. Jika dilihat bagi Kepolisian dan Kejaksaaan akan sulit memaksimalkan pemberantasan korupsi selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status sub ordinasi kekuasaan eksekutif tertinggi, sehingga terkesan adanya suatu kekuasaaan otoriter yang permessif. Dari kajian sosiologis yuridis, gangguan optimal independensi penegak hukum justru dari lingkaran internal kekuasaan, sehingga selama masih ada hubungan sub ordinasi penegak hukum dan kekuasaan tertinggi eksekutif, kegamangan kehendak penegak hukum memberantas korupsi akan selalu minimal hasilnya

  Di Indonesia, akibat perilaku korupsi yang tersistematis, merata, dan hampir terstruktur melembaga di seluruh lapisan masyarakat, telah berimplikasi pada timbulnya krisis ekonomi, rusaknya sistem hukum dan terhambatnya pemerintahan yang bersih dan demokratis (democratic and clean government). Korupsi sudah menjadi akar dari semua persoalan yang dihadapai bangsa ini (the root of all evils). Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai suatu bentuk kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary

  ), sehingga diperlukan upaya luar biasa pula dalam penanganannya, baik dari

  crime

51 Sejarah Terbentuknya KPK , http://sejarah.info/2012/02/sejarah-terbentuknya-kpk.html

  segi partisipasi masyarakatnya, maupun kemauan politik (political will) dari negara

   pembentuk hukum, pemerintah dan seluruh aparatur penegak hukum.

53 Negara pasca-otoritarian pada dasarnya telah memberikan komitmen yang

  serius bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Ditandai dengan dikeluarkannya beberapa regulasi yang memberi legitimasi bagi langkah dan gerakan pemberantasan korupsi. Setidaknya dua undang-undang telah dibentuk untuk mendukung gerakan ini, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diamandemen menjadi UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Kedua peraturan perundangan tersebut telah secara tegas mengakui adanya sebuah kondisi darurat korupsi.

  Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak 52 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik,(Jakarta : Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, 2008), hal. 49-50. 53 Reformasi secara politik dengan mengundurkan dirinya Presiden Soeharto membawa perubahan hukum dan politik.

  sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa

   Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula dalam

  pembukaan (preambule) konvensi PBB antikorupsi (UNCAC, 2003). Konvensi yang yang telah di ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya menyatakan bahwa: .

  “ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by

  corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law

  ;” ("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum; ")

  Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan, apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia.

  Betapa tidak, sejak Soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana

54 Penjelasan UU No. 30 Tahun 2002

  

  pembangunan antara tahun 1989-1993 sebesar 30%. Beberapa data hasil survey dari berbagai kalangan, juga masih meperlihatkan tingginya korupsi di Indonesia.

  Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di tahun 2006, menggolongkan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya.

  (TI), selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000) selalu

  Transparency International menempatkan Indonesia dalam posisi 10 besar negara paling korup di dunia.

  Demikian halnya dengan survey TI tahun 2006, meski peringkat korupsi Indonesia sedikit lebih baik dengan nilai indeks 2,4, angka ini hanya mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005, menjadi negara terkorup ketujuh (dari 163 negara) di 2006. Bahkan laporan yang dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK), menyebutkan masih terjadi kebocoran dalam anggaran Negara.

  Melengkapi laporan BPK di atas, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuat catatan dan analisa terhadap trend korupsi di Indonesia 2004-2006.

  Dijelaskan bahwa pada tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, tahun 2005 terungkap 125 dan tahun 2006 terungkap 166 kasus korupsi. Meskipun jumlah kasus yang terungkap di tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan tahun 2005, tetapi kerugian negara meningkat cukup besar. Dari 161 kasus korupsi yang terjadi di tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun, lebih besar dibandingkan dengan tahun

   2005 dan 2004. 55 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi , 1999, hal. 296.

  Nasional 56 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Analisa Trend Korupsi Indonesia Tahun 2004-

  Dari 153 kasus yang terungkap pada tahun 2004, 125 kasus tahun 2005, dan 166 kasus tahun 2006, terjadi peningkatan kerugian negara yang cukup besar. Dari kasus yang terungkap pada tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun,

  

  lebih besar dibandingkan dengan Tahun 2005 dan 2004. Suatu hal yang ironis kemudian, mantan presiden Soeharto telah ditempatkan menjadi pemimpin negara paling korup sedunia. Berdasarkan laporan PBB dan Bank Dunia yang dikeluarkan September 2007, total uang yang dikorupsi oleh Soeharto diperkirakan sebesar US$

   15-35 miliar (Rp. 135-315 triliun).

  Korupsi yang meluas dan sistematis, terlihat dari intensitas korupsi pada sejumlah Lembaga Pemerintah di Daerah. Hasil penelitian dari Governance Assessment Survey (2006) yang dilakukan oleh Kemitraan dan PSKK UGM di 10

59 Propinsi dan Kabupaten, memperlihatkan adanya praktik korupsi di lembaga-

  lembaga pemerintahan. Yang mengkhawatirkan dari temuan penelitian tersebut adalah, praktik korupsi di lembaga penegak hukum cenderung lebih tinggi dibandingkan lembaga pemerintah lainnya. Jika demikian, sulit membayangkan upaya pemberantasan korupsi akan dapat dilakukan secara efektif jika lembaga penegak hukum yang ada justru lebih besar praktik korupsinya.

  2006 ”, 2006. Dapat diakses di http://www.antikorupsi.org.

57 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Analisa Trend Korupsi Indonesia Tahun 2004- 2006”, 2006, diakses di www.antikorupsi.org., tanggal 23 Mei 2007.

  58 “Majalah Berita Mingguan Tempo”, No. 31/XXXVI/24-30 September 2007, hal. 26-35. 59 “Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia (Governance Assessment Survey)”,

Kemitraan-PSKK UGM, 2006. Cakupan wilayah penelitian ini adalah di Propinsi; DIY, Jawa Timur,

  

Banten, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Riau, Gorontalo, dan Papua,

dan Kabupaten; Gunung Kidul, Kota Blitar, Kabupaten Lebak, Kabupaten Bima, Aceh Barat, Solok,

Kabupaten Bangka Tengah, Dumai, Pohuwato, dan Fak-Fak.

  Sebagai akibat dari masih tingginya korupsi di Indonesia adalah, jutaan warga terbelenggu dalam kemiskinan. Data BPS mencatat bahwa Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen), turun 0,13 juta orang (0,13 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret 2011- September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta

   orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011).

  Dampak lebih jauh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) negara Indonesia berada pada urutan 110 dari 173 negara di dunia. Suatu peringkat yang tergolong sangat rendah, hanya satu peringkat di atas Kamboja tetapi jauh tertinggal jika dibandingkan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Philipina, Malaysia dan Singapura.

B. Dampak Tindak Pidana Korupsi

  Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat.

  Melihat kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar 60

  www.bps.go.id/ saja jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi kini telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku korup yang kini semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama tiga tahun terakhir terdapat trend kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut catatan akhir tahun Indonesian Corruption Watch (24/1/07) pada tahun 2004 mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006

   meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun.

  Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr.

  H. Syafe'i Ma'arif, akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini.

   "Lalu apa yang tersisa? ", tanya Ma'arif.

  Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengemukakan korupsi telah sukses merambah seluruh aspek kehidupan sosial

  kemudlaratan 61 Dokumen annual report ICW ini di rilis pada tanggal 12 Desember 2007, yang memberi overview kasus-kasus korupsi serta penanganan terhadap kasus-kasus tersebut 62 Syafii Ma’arif, http://www.tempo.co/read/news/2011/11/29/078369040/Syafii-Maarif- Korupsi-Sudah-Jadi-Penyakit

  diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum, minimnya fasilitas militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan kerja, dana bantuan di-"sunat", ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan banyaknya

  

biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).

  Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan atau ekonomi suatu negara, meluasnya praktek korupsi di suatu negara mengakibatkan berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing.

  Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad

64 Kuncoro (2004) pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10

  Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro

  

  (2001) pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari 63 64 http://pukat.hukum.ugm.ac.id/ Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,

  Strategi, dan Peluang , (Jakarta : Erlangga, 2004) hal. 3. 65 Kuncoro, Ari. Bribery in Indonesia: Some evidence from micro-level data, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 40, No.3 ,2004 pp 329-354

  biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi perusahaan.

66 Sebuah penelitian menarik di Afrika menemukan bahwa produktivitas

  perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah membayar suap. Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya.

  Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya berupa penurunan omset penjualan. Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih "merugikan" dibandingkan pajak.

  Dalam tulisannya yang menarik berjudul "Why is Corruption So Much More Taxing Than Tax"(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil

  

  penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan bahwa korupsi lebih merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya. Karena ketiga 66

  diakses 2 juni 2012 67 Shang-Jin Wei, 2000. MIT Press, vol. 82(1), pages 1-11, February dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun investasi asing.

  Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. Penelitian Hines (1995) di AS

  

  menghasilkan hasil yang sama. Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. Karena berdampak negatif terhadap investasi padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi

   berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi.

  Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.

  Dampak korupsi yang paling dirasakan masyarakat adalah meningkatnya kemiskinan. Meningkatnya kemiskinan efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin adalah dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin dan dampak tidak langsung terhadap orang miskin Kemiskinan kronis (chronic poverty) Kemiskinan sementara (transient poverty) Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial (financial costs) Modal manusia 68 Shang-Jin Wei , Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor

   Lihat Annoyance, or Major Obstacle (Tshinghua : Centre for Economic Policy Research (CEPR, 1990) 69 Daniel Kaufmann & Pedro C. Vicente, 2011. Wiley Blackwell, vol. 23(2), pages 195-219, 07.

  (human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya modal sosial (loss of

   ). capital social

  Sebuah studi literatur yang dilakukan oleh Eric Chetwynd, Frances Chetwynd serta Bertram Spector di tahun 2003 dengan judul "Corruption and Poverty: A merupakan sebuah bahan berharga yang dapat

  Review of Recent Literature" menyediakan landasan teoritik untuk memahami isu ini.

  Kesimpulan utama dari studi tersebut adalah bahwa korupsi tidak bisa langsung menghasilkan kemiskinan. Namun, "korupsi memiliki konsekuensi langsung terhadap faktor-faktor tatakelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada

   akhirnya melahirkan kemiskinan”.

  Selanjutnya adalah efek dari kemiskinan itu sendiri adalah meningkatnya angka kriminalitas . Tingginya angka kriminalitas, korupsi menyuburkan berbagai jenis kejahatan yang lain dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Dengan mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain. 70 71 http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/dampak-korupsi-terhadap-eksistensi.html Chetwynd, E., Chetwynd, F. and Spector, B, Corruption and Poverty: A Review of

  2003 Recent Literature Tingginya angka kriminalitas (lanjutan) idealnya, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadahi (sufficient). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Kesejahteraan yang memadahi mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena kesulitan ekonomi.

  Pengaruh korupsi bagi pemerintah sendiri adalah demoralisasi korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia, korupsi merupakan ancaman dan duri bagi pembangunan. Korupsi mengabaikan aturan hukum dan juga menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak membantu negara-negara korup.

  merupakan garda depan yang behubungan

  dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh ke dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum yaiu; yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Transparency International membagi kegiatan korupsi di

   sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik.

  Kehancuran birokrasi (lanjutan) Menurut Indria Samego, korupsi menimbulkan empat kerusakan di tubuh birokrasi militer Indonesia: Secara formal, material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata sangat terbatas, padahal pada kenyataannya, TNI memiliki sumber dana lain di luar APBN. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan pengusaha menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama.

  Orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme militer pada sebagian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis, baik atas

   nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi.

  Turunnya kewibawaan pemerintah akan berdampak pada sistem politik dan sistem pemerintahan. Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan Dampak negatif terhadap suatu sistem politik. Korupsi Mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi. Contohnya ; lembaga tinggi DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat Lembaga Politik 72 73 Kuncoro,Op.Cit hal. 4 Indria Samego, TNI di Era Perubahan (Jakarta: Erlangga, 2000) hal. 42-44 diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan

   kelompok.

C. Kebijakan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.

  Pendayagunaan UU Nomor 20 Tahun 2001 termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan

   norma-norma sentral dari masyarakat .

  Perencanaan penanggulangan kejahatan diperlukan agar perundang- undangan pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dan berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum pidana, yang merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif, tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau eksekutif /administratif.

  Tahap kebijakan legislatif yang secara operasional menjadi bagian dari perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan pada tahap yang awal, juga 74 75 Ibid

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158.

  merupakan kebijakan perundang-undangan. Dalam pertimbangan Konggres PBB

  VIII/1990 dinyatakan antara lain: Newly formulated policies and legislation should

  

be as dynamic as the modes of criminal behaviour and should remain abreast of

changes in the forms and dimensions of crime. Oleh karena itu, kebijakan hukum

  pidana tahap formulasi semestinya mampu merespon terhadap perkembangan dan perubahan tindak kejahatan sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.

  Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana,

   pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana .

  Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan mendasari dan mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana inkonkreto. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor 76 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, (UNDIP : Semarang, 1990), hal. 2. yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa mendatang.

  Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena

   adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil .

  Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar

  

crime . Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah

   seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief.

  menyarankan dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal

  

  dan non-penal. Pengamatan Bambang Poernomo , kesulitan untuk menanggulangi 77 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

  

Pidana Penjara (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hal. 26. Di samping

pencelaan, penentuan tindak pidana berhubungan dengan fungsi hukum pidana: “…. The essential

function of the criminal law is to express and reinforce a society’s moral seriousness about certain

public rules of civilized behaviour”. Dalam Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Philosophy of Law

( Colorado: Westview Press, 1990), hal. 114. 78 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 4. 79 Bambang Poernomo, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi.

  

Seminar Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan Antisipasinya korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara melainkan sudah cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat untuk memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan, dan /atau lingkungan kelompok bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara illegal.

  Pada masa Orde Baru banyak terjadi peluang dan kelonggaran melalui peraturan dan kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat KKN. Hal ini memunculkan korporasi berperan besar dalam perekonomian di Indonesia, sejalan dengan kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan menghasilkan

   korporasi raksasa dan konglomerat yang menguasai dan memonopoli ekonomi .

  Sistem pengelolaan yang koruptif mengandalkan kemampuannya untuk memperbesar dan memperumit KKN, sehingga penanganannya berada di luar kapasitas individu dan institusi, termasuk hukum, yang akibatnya banyak kasus KKN

  

  gagal ditangani oleh hukum Masalah korupsi di Indonesia bukan faktor individu belaka, melainkan juga menyangkut pranata sosial dan sistem nilai yang sedang berada dalam disequilibrium, yang berarti masyarakat sedang mengalami

terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep.

  Kehakiman, 11 September 1999 ), hal. 3. 80 Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 12 Oktober 1999), hal. 3. 81 Cornelis Lay, Aspek Politik KKN di Indoensia, Seminar Nasional Menyambut UU Tindak Pidana Korupsi yang Baru dan Antisipasinya terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, Dep. Kehakiman, 11 September 1999), hal. 6.

  kondisi anomik. Dengan demikian, penanganannya tidak mungkin sporadis tetapi

   melibatkan seluruh sistem sosial, hukum, dan masyarakat secara keseluruhan .

  Dalam penanggulangan korupsi hendaklah jangan mengukur tingkat intensitas dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata, melainkan harus dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang berpengaruh, seperti: sifat kepemimpinan dapat menjadi teladan atau tidak, mekanisme pengawasan

  

  dapat berjalan efektif atau tidak, dll Oleh karena itu, penegakan hukum pidana dengan pendekatan yang legalistik yang berorientasi represif hanya merupakan pengobatan yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang ampuh untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, diperlukan pendekatan komprehensif, meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen dalam

   penyelenggaraan negara .

  Subyek hukum dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah orang dan juga korporasi. Penentuan korporasi dapat sebagai pelaku korupsi, sehingga dapat dipertanggung jawabkan berkaitan dengan perkembangan korupsi. Pelakunya tidak terdiri dari seorang individu, melainkan merupakan kolaborasi dari beberapa orang, dan kedudukannya yang tidak hanya sebagai pejabat, namun merambah pada lingkungan keluarganya, 82 Yasonna H. Laoly, Kolusi: Fenomena atau Penyakit Kronis, dalam Aldentua Siringo-

  

ringo dan Tumpal Sihite, Menyingkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung

(Jakarta: Pustaka Forum Adil Sejahtera, 1996), hal. 34. 83 Soedjono dirdjosisworo, Fungsi perundnag-undnagan Pidana dalam penanggulangan (Bandung: CV Sinar baru, 1984), hal. 47. korupsi di Indonesia 84 Romli Atmasasmita, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke

  (Pidato Pengukuhan Guru Besar

  XXI : Suatu Orientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia Fak. Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 25 September 1999), Hal. 10 – 14. para pengusaha, yang besar kemungkinannya secara kelompok, yang dapat sebagai

  

  suatu korporasi. Demikian ini, ditengarai oleh I.S. Susanto , adanya keterlibatan birokrasi yang dengan kebijakan-kebijakannya memberikan peluang korporasi melakukan tindakan ilegal dan merugikan masyarakat maupun membiarkan dalam arti tidak mengambil tindakan terhadap korporasi yang merugikan masyarakat.

  Pasal 20 dalam UU tersebut menentukan hal-hal yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Terjadinya dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan yang lain, bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama.

  Penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya. Pidana pokok yang dapat dikenakan kepada korporasi adalah pidana denda. Kekurangannya tidak ada pengaturan khusus kalau korporasi tidak dapat membayar pidana denda, kalau menurut sistem KUHP bisa digantikan pidana kurungan pengganti denda, apakah korporasi bisa dipidana kurungan. Juga kekurangannya tidak adanya sanksi yang sesuai dengan korporasi misalnya sanksi berupa: “penutupan perusahaan/korporasi, pencabutan ijin usaha”.

  Sehubungan dengan subyek hukum sebagai pelaku, (Pasal 2) memperluas pengertian pegawai negeri, yang antara lain ditambahkan : orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga 85 Susanto, Kejahatan Korporasi Op. Cit. hal. 6. yang tidak wajar, pemberian ijin yang ekslusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 ditentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, serta ditentukan pula pidana penjara bagi pelaku yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, dapat dihindari keleluasan diskresi dari penuntut umum dalam menetapkan tuntutannya, juga hakim dalam penjatuhan pidana. Ini berarti mencegah atau mengurangi ketidak- adilan dalam penetapan tuntutan pidana dan besar kemungkinan terjadi disparitas pidana.

  Ancaman pidana minimum khusus ini tidak dikenal dalam induk dari ketentuan hukum pidana (dalam KUHP), namun direncanakan dianut dalam konsep KUHP yang akan datang. Hal ini didasari, antara lain pemikiran yakni guna menghindari disparitas pidana yang sangat menyolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya, dan juga untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan

  

  masyarakat indak pidana korupsi jelas menimbulkan akibat yang membahayakan dan meresahkan masyarakat, lebih khususnya keuangan dan perekonomian negara, atau dampaknya berwujud pada : citizenship of victim, the act threatens specific

86 Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 138.

   national interest, citizenship of the propetrator . Bagi pengembangan masyarakat,

corruption could undermine the extent to which growt benefits populace, thus

   ultimately retarding development . Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyitir

  Resolusi Konggres PBB VIII mengenai korupsi pejabat publik dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua program pemerintah, dapat mengganggu pembangunan, serta menimbulkan korban individual maupun kelompok

  

  Pidana mati pun dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi apabila dilakukan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini dijelaskan dalam UU No. 20 tahun 2001, yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

  Diintrodusir tindak pidana baru mengenai gratifikasi (Pasal 12B, 12C ). Yang diatur mengenai perbuatan yang dapat dihukum bukan gratifikasinya tetapi perbuatan menerima grafitikasi. Itu dianggap pemberian suap apabila gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara, berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dan penerima tidak 87 88 Bambang Poernomo, Op. Cit. hal. 8. 89 Susan Rose-Ackerman,Op.Cit. hal. 377.

  Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 69. melapor kepada KPK. Yang dimaksud gratifikasi adalah meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

  Perkara tindak pidana korupsi ini sebagai perkara prioritas, yang proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan aturan acara pidana lainnya tetap berlaku KUHAP ( UU No. 8 Tahun 1981) yang mendasari hukum acara pidana di Indonesia, kecuali hal-hal yang diatur sendiri dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Juga ada pengembangan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK di bidang elektronik dan telematika (Pasal 26A).

  Diatur mengenai sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap membuktikan dakwaannya. Hal ini ditentukan dalam Pasal 37, 37A, 38A, 38B UU No. 31 Tahun 19999 jo UU No. 20 tahun 2001.

  Sistem pembuktian seperti itu merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, jadi bukan terdakwa yang membuktikannya. Akan tetapi UU Korupsi menentukan terdakwa berhak melakukannya. Apabila ia dapat membuktikan bahwa tindak pidana korupsi tidak terbukti, tetap saja penuntut umum wajib membuktikan dakwaannya. Inilah yang disebut sistem pembuktian terbalik yang terbatas.

  Pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana berkaitan dengan gratifikasi dan tuntutan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi.

  Tidak kalah pentingnya, hal baru yang berupa perluasan tempat berlakunya UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 (Pasal 16), jadi memuat ketentuan yuridiksi ke luar batas teritorial (extra-territorial). Ini mempunyai relevansi dengan perkembangan tindak pidana yang bersifat transnasional dan global, khususnya terjadi pula pada tindak pidana korupsi. Dengan undang-undang tersebut berarti memperkuat daya-jangkaunya jika dihadapkan pada pelaku yang berada d luar batas teritorial.

  Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan tindak pidana korupsi yang sudah menjadi perhatian dunia internasional dan sifatnya sudah transnasional, misalnya berkaitan dengan kejahatan money laundering. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya the Organization for Economic Cooperation and Development Anti

  

Corruption Treaty (1998), the Convention on Combating Bribery of Foreign Public

  (1997), Konferensi Global Anti

  Official in International Business Transaction

90 Korupsi di Washington DC (1999) , dan juga Konggres PBB VIII mengeluarkan

  Resolusi mengenai Corruption in Government (1990), Konggres PBB IX menghasilkan Resolusi Action against Corruption (1995).

90 Romli Atmasasmita, Op.Cit. hal. 5-6

  Dalam UU Korupsi diperkenalkan adanya perangkat pendukung lainnya, seperti dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya (Pasal 27), dan juga UU tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 43). Telah dilaksanakan dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang merupakan lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam memberantas korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekusaan manapun. Lembaga semacam ini sudah dikenal lebih dulu di beberapa Negara, seperti : Independent Commission

  (ICAC) di Hongkong, Anti Corruption Agency/Badan Pencegah

  Against Corruption

  Rasuah di Malaysia, Corruption Practices Investigation Bureau di Singapura, sedangkan di Korea Selatan dikenal Korea Independent Comission Against

  Corruption .

  Di samping itu, UU memberikan tempat bagi partisipasi masyarakat untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, dan untuk ini, diberikan perlindungan hukum dan penghargaan bagi warga masyarakat yang berjasa (Pasal 41, 42).

  Peran serta masyarakat ini penting untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, yang juga harus berjalan seiring dengan upaya-upaya lain. Hal ini didasari pertimbangan pertama, korban korupsi yang utama adalah masyarakat, kedua, pemberantasan korupsi bukan monopoli aparat penegak hukum, perlu keterlibatan masyarakat, ketiga, gerakan sosial anti korupsi perlu dikembangkan dalam kultur masyarakat. Sehubungan dengan itu, khususnya masalah korupsi juga terkait rusaknya tatanan di bidang administrasi-birokratik, maka selain hukum pidana terdapat upaya-upaya pengaturan pemenuhan terhadap hukum (compliance with

  

law ) untuk mencegah pelanggaran hukum. Partisipasi masyarakat berfungsi sebagai

  pengawasan pula terhadap bekerjanya birokrasi dan keseluruhan aparat pemerintah maupun penyelenggara negara, untuk tertibnya pelaksanaan segala peraturan sebagai pemenuhan mereka terhadap hukum yang berlaku di lingkungan lembaganya.

Dokumen yang terkait

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

EFEKTIVITAS PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Purwokerto)

0 1 12

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserika

0 0 42

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM HUKUM INDONESIA A. PENGERTIAN DAN UNSUR -UNSUR TINDAK PIDANA - Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Perbankan Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 0 20

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

0 0 47