BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM HUKUM INDONESIA A. PENGERTIAN DAN UNSUR -UNSUR TINDAK PIDANA - Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Perbankan Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM HUKUM INDONESIA A. PENGERTIAN DAN UNSUR -UNSUR TINDAK PIDANA Pembentukan undang-undang kita telah menggunakan perkataan

  

“Strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita sebut sebagai “Tindak

  Pidana”di dalam KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Strafbaarfeit”tersebut.

  Pengertian tindak pidana belum ada kesatuan pendapat diantara para sarjana, dalam garis besarnya perbedaan pendapat tersebut terbagi dalam dua aliran atau dua pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Moeljatno, pandangan monistis adalah bahwa para sarjana melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana kesemuanya itu merupakan sifat dari perbuatan, sedangkan pandangan dualistis adalah membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dipidana orangnya, dan sejalan ini dipisahkan, maka

   pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.

  Berdasarkan pengertian dan pemisahan pandangan tersebut berikut ini akan disebutkan pendapat para sarjana berdasarkan pandangan mereka masing- masing sehingga jelas letak perbedaannya.

  1. Aliran Monistis Menurut Simon, Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel 28 Sudarto, Hukum Pidana, Jilid. I A-B, (Purwokerto : Fakultas Hukum Unsoed. Tahun. mengatakan bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

  Tindak pidana menurut E. Mezger adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Menurut Karni, Delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Dan menurut definisi pendek Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

  Jadi jelas sekali dari definisi-definisi tersebut diatas tidak adanya “pemisahan

   antara Criminal Act dan Criminal Responsibility”.

  2. Aliran Dualistis Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif, Strafbaarfeit adalah tidak lain dari pada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, selanjutnya menurut beliau bahwa menurut teori Strafbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

  Menurut Moeljatno, perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.“Pandangan golongan dualistis ini mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan

   sanksi ancaman pidana dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat”.

  Penggolongan pandangan para sarjana tersebut diatas juga merupakan penggolongan terhadap unsur-unsur tindak pidana yang terbagi menjadi dua yaitu:

  1. Aliran Monistis 29 30 Ibid, hal 26

  Menurut pendapat D. Simons, unsur-unsur Strafbaarfeit adalah:

  a. Perbuatan manusia

  b. Diancam dengan pidana

  c. Melawan hukum

  d. Dilakukan dengan kesalahan

  e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab Selanjutnya Simon menyebutkan adalah unsur objektif dan unsur subjektif. Yang disebut sebagai unsur objektif dari Strafbaarfeit adalah : a. Perbuatan orang

  b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

  c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu “ seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “Openbaar” atau “dimuka umum”.

  Unsur subjektif dari Strafbaarfeit adalah :

  a. Orangnya mampu bertanggung jawab

  b. Adalah kesalahan (dolus atau culpa) perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.” Menurut Van Hamel, “unsur-unsur Strafbaarfeit adalah :

  a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang

  b. Bersifat melawan hukum

  c. Dilakukan dengan kesalahan

  

  d. Patut dipidana.” 31 Menurut E. Mezger, “unsur-unsur tindak pidana” adalah : a. Perbuatan dalam arti yang luar dari manusia

  b. Sifat melawan hukum

  c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang

  

  d. Diancam dengan pidana.”

  2. Aliran Dualistis Menurut H.B. Vos, Strafbaarfeit hanya dirumuskan :

  1. Kelakuan manusia

  2. Diancam pidana dalam undang-undang Kemudian menurut Moeljatno, perbuatan pidana memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

  1. Perbuatan manusia

  2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

  3. Bersifat melawan hukum (syarat materil) Syarat formil tersebut harus ada, hal ini disebabkan karena : Adanya asas legalitas yang tersimpul dalam pasal 1 KUHP, syarat materil itu harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Selanjutnya Moeljatno berpendapat :

  “Bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat

  

  tidak orang yang berbuat.”

  32 33 Ibid

  Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah.

  Melakukan perbuatan pidana belaka atau disamping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan bertanggung jawab. Jika seseorang melakukan tindak pidana kejahatan dan harus masuk ke dalam persidangan. Hukum Acara Pidana akan memberi keterangan seperti: rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagaimana cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi, dengan lain perkataan: Hukum Acara Pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana alat-alat negara (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran.

  Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan menurut aturan- aturan hukum yang berlaku, dan si tersangka dalam sidang itu diberikan segala jaminan hukum yang telah ditentukan dan yang telah diperlukan untuk pembelaan.

  Lapangan kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan, penyelidikan, penahanan, pemasyarakatan dan lain-lain. Perkara pidana ialah perkara tentang pelanggaran atau kejahatan terhadap suatu kepentingan, umum, perbuatan mana di ancam dengan hukuman yang bersifat suatu penderitaan.

B. PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN A. Pengaturan Tindak Pidana Dalam Bidang Perbankan

  Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenal adanya istilah “tindak pidana perbankan” dan “tindak pidana di bidang perbankan”, tetapi di dalam kepustakaan hukum pidana dikenal adanya kedua istilah tersebut, meskipun belum terdapat adanya pengertian yang seragam terhadap masing- masing istilah“tindak pidana perbankan” dan “tindak pidana dibidang perbankan”.

34 Menurut Marulak Pardede pengertian istilah tindak pidana di bidang

  perbankan adalah tindak pidana yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang diubah menjadi Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998, sedangkan yang dimaksud dengan istilah tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang di atur dalam undang-undang yang sifatnya intern.

  Pengertian istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan yang telah diberikan oleh Marulak Pardede tersebut, maka dapat diketahui bahwa dalam pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan lebih luas dibanding istilah tindak pidana di bidang perbankan sudah termasuk tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang perbankan dan Undang- undang tentang Bank Indonesia.

35 Marwan Effendi memberikan pengertian istilah tindak pidana perbankan

  adalah tindak pidana sebagaimana dirumuskan di dalam Undang-Undang tentang perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, sedang tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang bersangkutan patut dengan tindak pidana lain yang terkait dengan perbankan, seperti KUHP, Undang-Undang tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Tindak 34 Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta) Tahun 1995,

  cetakan Pertama.Hal. 13 35 Marwan Effendi, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana (CV

  Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang tentang Lalu Lintas Devisa dan sistem nilai tukar dan lain sebagainya.

  Pengertian istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana dibidang perbankan adalah seperti tersebut diatas dapat diketahui bahwa menurut Marwan Effendi dalam pengertian istilah tindak pidana dibidang perbankan tidak dapat dikatakan lebih luas atau lebih sempit jika dibandingkan dengan pengertian tindak pidana perbankan, karena masing masing istilah tersebut memuat pengertian yang berbeda, yaitu dalam pengertian istilah tindak pidana perbankan memuat pengertian perumusan tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam Undang- Undang tentang perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, sedang dalam pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan memuat pengertian tindak pidana yang bersangkut paut dengan tindak pidana lain yang terkait dengan perbankan atau tindak pidana selain tindak pidana yang dirumuskan di dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia.

  Berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh merulak Pardede dan

   Marwan Effendi, menurut M. Sholehuddin , istilah tindak pidana perbankan

  tidak hanya mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Undang- Undang perbankan nomor 6 Tahun 2009, Peraturan Hukum Pidana Khusus, seperti Undang-Undang tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang tentang Lalu lintas

   Devisa dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Subversi.

  36 M. Sholehuddin, Tindak Pidana Perbankan ( PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun1997) hal, 11 37 UU Nomor 11 PNPS tentang Pembrantasan Kegiatan Subversi pada saat sekarang sudah

  Setelah dikemukakan adanya istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan beserta pengertiannya dalam kepustakaan hukum pidana, maka timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan tindak pidana” dibidang perbankan” dalam pasal 2 ayat (1) huruf g.

  Menurut penulis yang dimaksud dengan pengertian tindak pidana dibidang perbankan, tersebut adalah pengertian “tindak pidana dibidang perbankan’ yang diberikan oleh Marulak Pardede atau pengertian “tindak pidana di bidang perbankan” yang diberikan oleh M. Sholehuddin atau “ tindak pidana di bidang perbankan yang diberikan oleh seminar Tindak Pidana Bidang Perbankan, karena dalam ketiga pengertian yang dimaksud sudah termasuk tindak pidana seperti yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1992 yang diubah dengan UU No.

  10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 3Tahun 2004.

  Tindak pidana di bidang perbankan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crime against the

  

bank ). Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

  Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tindak pidana di bidang perbankan terdiri dari tiga belas (13) macam, namun dalam penulisan ini hanya membahas 4 (empat) macam tindak pidana dalam perbankan yaitu Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, Tindak Pidana yang berkaitan dengan 38 rahasia bank, Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank dan Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.

B. Jenis Tindak Pidana di Bidang Perbankan 1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan

  Tindak pidana di bidang perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank sebagai lembaga keuangan. Setiap orang yang ingin mendirikan bank, tentunya harus memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang.

  Pihak yang mendirikan bank, tetapi bank tersebut didirikan tidak berdasarkan atas syarat atau ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, pihak pendiri bank tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana di bidang perbankan

   kelompok ini dan Bank yang telah didirikan tersebut dinamakan bank gelap.

  Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, terdapat dalam Pasal 46, yang berbunyi: Ayat (1): “Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).”

  Ayat

  (2): “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseorangan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud 39 dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan

  Dikutif dari http:// click-gtg.blogspot.com/2009/03/tindak-pidana-bank.html, diakses perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.”

  2. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok

  Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, terdapat dalam Pasal 47 ayat (1),

  Pasal 47 ayat (2), dan Pasal 47A yang berbunyi: Ayat (1):“Barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).”

  Ayat (2):“Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).”

  Pasal 47A:“Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).”

  Terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, ada beberapa pengecualian sehingga pihak yang melakukan tindak pidana rahasia bank yang dikecualikan tersebut, tidak dipidana. Pengecualian tersebut adalah

  :

   1. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Perpajakan. 40 Pada awalnya berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, untuk kepentingan perpajakan, Menteri keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat . menyurat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak

  Ketentuan tersebut telah mengalami perubahan seiring dengan diubahnya

ketentuan dalam Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tersebut.

  

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan dalam Pasal 41 ayat 1 menjadi:

  “Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.”

  Dalam hal pembukaan rahasia bank tersebut, maka pembukaannya harus ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Sedangkan mengenai keperluan untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya, tidak diperlukan permintaan.Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, yang menjelaskan bahwa untuk kepentingan menjalankan peraturan perundang-undangan pajak, pihak pajak dapat langsung meminta keterangan atau bukti dari bank mengenai keadaan nasabahnya sepanjang mengenai perpajakan.

  2. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Penyelesaian Piutang Negara.

  Ketentuan mengenai pembukaan rahasia bank untuk penyelesaian piutang Negara merupakan ketentuan yang baru. Pasal yang mengatur untuk itu, yaitu Pasal 41A menyatakan bahwa:

  “Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah debitur.” Izin untuk pembukaan rahasia dalam rangka penyelesaian Piutang

  Negara tersebut dapat diperoleh apabila dilakukan permohonan tertulis oleh Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara serta Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.Permintaan tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau Panitia Urusan Piutang Negara, nama nasabah debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan.

  3. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Peradilan.

  Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Menteri keuangan dapat memberi izin, secara tertulis, kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka/ terdakwa pada bank. Selain izin dari Menteri Keuangan, juga harus ada permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan menyangkut perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, informasi dan keterangan dapat diberikan tanpa izin dari Menteri Keuangan. Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

  4. Pengawasan Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Kegiatan Perbankan.

  Pembukaan yang menyangkut data dari nasabah yang termasuk pula sebagai rahasia bank dalam hal untuk kelancaran kegiatan bank, terbatas dalam hal tukar menukar informasi antar bank. Tukar menukar informasi antar bank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank, antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu bank ke bank yang lain. Dengan demikian, bank dapat menilai tingkat resiko yang dihadapi sebelum melakukan transaksi dengan nasabah atau bank lain. Hal ini tercantum dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor

  7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

  Peraturan pelaksanaan dari ketentuan mengenai tukar menukar informasi mencakup pengaturan tata cara penyampaian dan permintaan informasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indikator secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan, dan masuk tidaknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet. Peraturan yang berlaku saat ini yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/120/KEP/DIR tentang Tata Cara Tukar Menukar Informasi Antar-Bank, tanggal 25 Januari 1995.

  5. Pembukaan Rahasia Bank Atas Permintaan Pemegang Rekening.

  Pembukaan rahasia yang tidak dikenakan pidana, bisa saja dilakukan atas permintaan nasabah penyimpan itu sendiri, bisa melalui diri nasabah itu sendiri maupun melalui kuasa hukum nasabah pemegang rekening. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44A ayat (1) Undang-Undang Nomor

  7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi:

  Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.”

  6. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Ahli Waris Jika nasabah penyimpan telah meninggal dunia, maka ahli waris dari nasabah penyimpan tersebut berhak mengajukan permintaan untuk membuka keadaan keuangan nasabah penyimpan yang telah meninggal tersebut.Hal ini bisa saja untuk menyelesaikan hak dan kewajiban nasabah penyimpan di bidang keuangannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44A ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi: “Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutam berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.”

  7. Pembukaan Rahasia Bank Berkaitan Dengan Kewajiban Memberikan Laporan

  Pembukaan rahasia bank berkaitan dengan Pelaksanaan kewajiban bank dalam hal pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi: “Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia jasa keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.” 3.

   Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank

  Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) dan

  Pasal 48 ayat (2), yang berbunyi: Ayat (1): “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang- kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).”

  Ayat (2): “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).” 4.

   Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank

  Sehubungan dengan semakin banyak dan bervariasinya kegiatan dan usaha suatu bank, maka bank tersebut perlu untuk menjaga kepercayaan masyarakat dengan cara menggunakan dana nasabahnya secara bertanggungjawab yang diwujudkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang akan diumumkan langsung kepada publik melalui media massa, maupun diberikan kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas jasa keuangan.

  Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris,Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :

  a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;

  b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekeningsuatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut. Di ancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan palinglama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya

  Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

  Pasal 49 ayat (2) huruf a: “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan segaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang- kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

  Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) butir a dan b, istilah pengawai bank dalam pasal tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan ketentuan Pasal 49 ayat (2) butir a bahwa yang dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank, sedangkan dalam Pasal 49 ayat (2) butir b yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab tentang hal-

   hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.

  41

  Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

  Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang- kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

  Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari Pasal 284 KUHAP). Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat perhatian khusus. Kejahatan orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam bank terhadap bank (crimesagainst the bank). Kejahatan “orang dalam” dalam bentuk penipuan (fraud) dan selfdealing merupakan penyebab utama kehancuran bank karena bagian terbesar aset bank berbentuk likuid . Di Amerika Serikat misalnya

  

insider fraud merupakan 50% dari kejahatan yang terjadi pada

  

  perbankan. Kejahatan oleh “orang dalam” ini dapat dilakukan oleh pengurus dan atau pemegang saham dominan (pemegang saham pengendali) yang mempengaruhi pengurus bank.Kejahatan yang dilakukan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua cara. Pertama, dilakukan dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum.Kedua,

  

mismanagement berat berupa tindakan ceroboh yang oleh hakim pasti

   dikecualikan dari prinsip business judgement.

  Kejahatan “orang dalam” sangat erat kaitannya dengan dominasi terhadap kebijakan dan administrasi oleh seorang atau beberapa orang dan lemahnya pengawasan baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal (regulator). Di samping itu, berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan, yang menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan bank yang disebabkan

   oleh penipuan oleh orang dalam menjadi lebih tinggi.

  Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu Pertama. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan

42 Jonathan R. Macey and Geoffrey P. Miller, “Bank Failures, Risk Monitoring, and the

  Market for Bank Control ”,Columbia Law Review, (October 1988), hal.255 43 . 45 44 Ibi d

FDIC DOS Manual of Exam Policies Bank Fraud and Insider Abuse, Section 9.3

  KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian), dll.Pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank menjadi korban dari suatu tindak pidana misalnya kasus pembobolan BNI 46 New York oleh salah seorang mantan pegawainya dikenakan pasal362 KUHP (pencurian).

  Kedua, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Undang-

  Undang Nomor. 31 Tahun 1999. Ketentuan Undang-Undang Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah.UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.

  Ketiga , UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya

  diterapkan apabila Komisaris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank “orangdalam” atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya. Sebagai perbandingan di Malaysia setiap director atau pejabat bank dinyatakan bertanggung jawab secara pribadi apabila memberikan fasilitas kredit melampaui batas yang ditentukan atau diluar persyaratan yang telah ditetapkan atau bertentangan dengan pedoman atau perjanjian, dihukum lima tahun penjara

   ataudenda 5 juta ringgit.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Perbankan Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 92 94

Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 66 142

Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan Dalam Rangka Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

1 50 103

Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 49 145

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB II PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabu

0 0 45

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserika

0 0 42

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 200

0 1 29