BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Asal mula adanya korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan,

  akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi terlihat dengan adanya pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang

  55 fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.

  Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya semakin kompleks pada negara-negara Eropa

  56

  misalnya di negara Inggris. Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana ringan. Sedangkan Amerika baru mengakuinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan. Setelah itu banyak negara-negara yang mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia,

57 Swiss, dan beberapa negara di Eropa.

  55 56 Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35. 57 Ibid., hlm. 36

  Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah semakin luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset,

  58

  pemerintahan, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan dan pertumbuhan korporasi dapat menimbulkan efek negatif, sehingga kedudukannya mulai bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam kongres PBB VII pada tahun 1985 telah dibicarakan tentang jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Sebelumnya pertanggungjawaban korporasi secara kolektif telah dikenal dalam hukum adat

59 Indonesia. Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun 1988 tentang

  permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan bahwa, di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh, ada kewajiban mambayar denda atau kerugian kepada

  60 golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian .

  Hal tersebut didukung pula oleh Zainal Abidin yang menyatakan bahwa disebagian daerah di Indonesia dahulu kala dikenal hukum pidana adat yang mengancam pidana bagi keluarga atau kampung seseorang yang dipersalahkan 58 59 Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41. 60 Ibid., hlm. 41.

  61

  melakukan kejahatan. Jadi, hukum pidana adat Indonesia sudah mengenal pertanggungjawaban kolektif yang mirip dengan pertanggungjawaban korporasi pada zaman sekarang ini.

  Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tetapi merupakan akibat dari kecenderungan formalisme hukum (legal formalism ). Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya melalui peran pengadilan. Hakim di dalam sistem hukum common law melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang

  62 menciptakannya.

  Para hakim yang pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat korporasi dengan mengajukan pertanyaan apakah suatu korporasi dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. Berdasarkan pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab hanya pada kejahatan-kejahatan ringan. Konsep ini bertahan hingga akhir abad ke-19. Pada abad ke-19 berkembang suatu

  61 62 A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50.

  pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi, bahwa korporasi juga

  63 bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pengurus.

  Setelah munculnya pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi atas tindakan pengurus, para ahli mencari dasar pembenar perlunya korporasi dibebani pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Hal ini didasari alasan yang sedemikian rupa misalnya karena korporasi merupakan pelaku utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode

  64 yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pengurus korporasi.

  Selain itu, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilaman korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan. Sanksi pidana diperlukan dalam hal ini. Tindakan korporasi melalui pengurus-pengurusnya pada satu sisi sering kali menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari pengulangan

  65 tindakannya tersebut.

  Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak terlepas dari modernisasi sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harsu diakui bahwa semakin modern masyarakat itu akan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politiknya, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin terorganisasi, jelas, dan 63 64 Ibid., hlm. 99. 65 Ibid., hlm. 100. terperinci. Sekalipun cara-cara seperti itu mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dengan disertai persoalan-

  66 persoalan yang banyak pula.

  Selanjutnya, dikemukakan oleh A. Z. Abidin yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu: “pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Roling dimasukkan functioneel daderschaap, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi,

  67

  pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain- lain.” Selanjutnya dalam hukum positif diberbagai negara mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seperti di negara Belanda yang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam perkembangannya dicantumkan dalam Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb.

  377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, yang kemudian diubah isinya dalam Pasal 51 W.v.S. sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek hukum pidana umum, dengan menghapus Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten

  68 1950.

  Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi bagi Amerika Serikat adalah “to deter the corporation from permitting wrongfull acts”. Pada tahun 1909, Amerika Serikat menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat dimintai 66 67 Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 43. 68 A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 51. pertanggungjawaban pidana melalui putusan Supreme Courts dalam kasus New

  69 York Cental and Hudson Riwer R.R.v. United States.

  Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana dikenal sejak tahun 1951 yang dicantumkan dalam Undang-Undang penimbunan barang-barang.

  Akan tetapi mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam Pasal 17 ayat 1 UU No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi, dan Pasal 49 Undnag-Undang No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-Undang tindak pidana narkotika, Undang-Undang lingkungan hidup, Undang-Undang tentang psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan Undang-Undang tindak

  70

  pidana pencucian uang. Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum pidana.

  Pada awalnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior, yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban suatu korporasi merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lain/pengurus (vicarious liability), dimana ia bertanggung jawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para pengurus. Doktrin ini diambil dari hukum perdata yang kemudian diterapkan dalam hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata 69 70 Ibid., hlm. 45.

  tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin respondeat superior. Dalam hal ini ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya

  71

  pertanggungjawaban korporasi, yaitu: 1.

  Pengurus melakukan suatu tindak pidana (commits a crime) 2. Tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (within a scope of employement)

3. Dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi (with intent to

  benefit corporation )

  Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan sebagai subjek hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi.

  Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan- kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu.

  72 Oleh karena itu, konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia.

  Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem hukum pidana di banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari 71 72 Mahrus Ali, op. cit., hlm. 100.

  abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya merupakan kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan

  73

  individualisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam konteks KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi munculnya Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

  “Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya”.

  Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Pasal 59 KUHP tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh seseorang/manusia, fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP. Secara lebih rinci Van Bemmelen menyatakan bahwa Pasal itu tidak membicarakan tindak pidana korporasi, tetapi hanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota

  74 pengurus atas suatu pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.

  Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan semakin melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil 73 74 Ibid., hlm. 65.

  Ibid., hlm. 66. kejahatan yang dilakukan. Begitu juga dengan kerugian yang dialami masyarakat

  75

  yang disebabkan oleh tindakan-tindakan korporasi tersebut. Oleh karena itu,dianggap tidak adil jika korporasi tidak dilekatkan hak dan kewajiban baginya seperti halnya manusia. Kenyataan inilah yang kemudian memunculkan tahap- tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Pada umumnya secara garis besar perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap.

a. Tahap Pertama

  Dimulai dari tahap pertama, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk

  

persoon ). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan

  korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Tahap ini merupakan dasar perumusan Pasal 51 W.v.S.

  76 Belanda atau Pasal 59 KUHP.

  Para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dahulu dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potetast, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Menurut Enschede, ketentuan universitas delinquere

  

non potest adalah contoh yang khas dari pemikiran secara dogmatis dari abad 19,

  dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Pada tahap pertama ini, pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-

  75 76 Ibid., hlm. 66.

  Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 52. kewajiban, yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan

  77 bertanggungjawab.

b. Tahap Kedua

  Tahap kedua, ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul sesudah perang Dunia I dalam perumusan Undang-Undang, bahwa suatu tindak pidana

  78

  dapat dilakukan oleh korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh pimpinan atau karena suatu korporasi maka tuntutan pidana dan pidananya dijatuhkan terhadap anggota pimpinan tersebut. Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan atau kepada mereka yang secara nyata memimpin

  79

  dan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Dalam tahap ini, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut. Dalam tahap ini, pertanggungjawaban korporasi secara nyata belum muncul.

  Contoh peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban

  80

  korporasi dalam tahap ini, misalnya: 1.

  Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, LN. 1951-2, Undang-Undang tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang kerja tahun 1948 No. 12 dari RI 77 untuk seluruh Indonesia. 78 Ibid ., hlm. 53. 79 Ibid ., hlm. 54. 80 Ibid., hlm., 54.

  Pasal 19 ayat (1) : jikalau majikan suatu badan hukum, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap pengurus badan hukum itu. Pasal 19 ayat (2) : jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan hukuman dijalankan kepada pengurus badan hukum yang mengurusnya.

  2. Undang- Undang No. 2 Tahun 1951, LN. 1951-3, Undang-Undang tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang kecelakaan Tahun 1947 No. 33 dari RI untuk seluruh Indonesia.

  Pasal 30 ayat (1) : jikalau perbuatan yang dapat dikenakan hukuman menurut Pasal 27 dilakukan oleh bdan hukum, maka yang dituntut di muka pengadilan dan yang dikenakan hukuman ialah anggota pengurus yang berkedudukan di daerah Negara RI atau jikalau anggota itu tidak ada wakil badan hukum itu yang berkedudukan di daerah RI.

  Pasal 30 ayat (2) : yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku pula dalam hal- hal jikalau badan hukum itu bertindak sebagai pengurus atau wakil dari badan hukum lain.

c. Tahap Ketiga

  Tahap ketiga, merupakan permulaan dari adanya tanggungjawab langsung dari korporasi, yang dimulai pada waktu dan sesudah perang dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya adalah jika misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan lain, bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan demikian, memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk

  81 menaati peraturan yang bersangkutan.

  Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

  82

  adalah: 1.

  Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Drt 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, yaitu: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap keduanya.

  2. Undang-Undang No. 6 tahun 1984 LN. 1984-28, yaitu UU tentang pos dalam Pasal 19 ayat (3).

  3. Undang-Undang lingkungan hidup Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)

  81 82 Ibid., hlm. 56.

  ., hlm. 57.

  4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1) tentang tindak pidana korupsi

  5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 4 ayat (1).

  Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat melakukan maupun mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana adalah orang dan/atau korporasi. Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana. Akan tetapi, pengaturan tanggung jawab langsung korporasi hanya terbatas dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP. Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama

  83

  dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian yaitu : a.

  Dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi misalnya : bigami, Perkosaan, sumpah palsu; b.

  Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara dan pidana mati.

B. Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

  Jika dilihat dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, pelaku untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi lebih 83 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penyediaan diperluas lagi cakupannya, yaitu bukan hanya perorangan saja melainkan juga terhadap korporasi, dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila terbukti melakukan korupsi. Pengaturan secara teoritis korporasi sebagai subjek dalam tindak pidana korupsi ditemukan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pembernatasan tindka pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti misalnya Pasal 1 butir (3) yang menyebutkan bahwa:

  “setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”.

  Dengan adanya perumusan Pasal 1 butir (3) tersebut, dapat diketahui bahwa subjek atau pelaku tindak pidana korupsi adalah orang perseorangan atau korporasi. Selain itu di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 disebutkan bahwa: 1.

  Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

  Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan sebagai berikut:

  “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Dari ketentuan tersebut di atas, membuktikan adanya perkembangan baru yang diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi.

  Selain itu, perumusan subjek tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dapat ditafsir bahwa di dalam pengertiannya termasuk korporasi sebagai pelakunya. Adanya kata “pemborong”, dapat ditafsirkan sebagai manusia atau juga korporasi, karena pekerjaan yang disebutkan dalam pasal tersebut dapat dilakukan oleh manusia maupun oleh korporasi.

  Demikian pula halnya dengan Pasal 20 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa: Ayat (1) : dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Ayat (2) : tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

  Menurut Sutan Remy Sjahdeni, makna orang-orang berdasarkan hubungan kerja dalam ayat (2) adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai

  84

  pengurus atau sebagai pegawai berdasarkan: a.

  Anggaran dasar dan perubahannya b. Surat pengangkatan sebagai pegawai c. Perjanjian kerja sebagai pegawai

  Orang-orang yang berdasarkan hubungan lain adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka itu antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan

  85

  atas nama korporasi berdasarkan : 1.

  Pemberian kuasa 2. Berdasarkan perjanjian dengan pemberi kuasa 3. Berdasarkan pendelegasian wewenang.

  Rumusan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi sama sekali tidak terkait dengan aspek pertanggungjawaban pidana, melainkan mengenai dasar teoritis penentuan tindak pidana korupsi oleh korporasi.

  Undang-Undang hukum pidana banyak yang tersebar di luar KUHP atau yang disebut hukum pidana khusus seperti Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK) jo. 84 85 Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hlm. 152.

  UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Untuk membentuk Undang-Undang pidana khusus harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti yang dikemukakan oleh Loebby Loqman, yang

  86

  intinya sebagai berikut: Bahwa suatu perbuatan itu harus diatur tersendiri dalam Undang-Undang pidana khusus disebabkan oleh karena : a.

  Jika dimasukkan kedalam kodifikasi (KUHP) akan merusak sistem kodifikasi tersebut; b.

  Karena adanya keadaan tertentu misalnya keadaan darurat; dan c. Karena kesulitan melakukan perubahan atau penambahan dalam kodifikasi, karena dalam hal tertentu dikehendaki adanya penyimpangan sistem yang telah ada sebelumnya. Dari kriteria tersebut di atas dihubungkan dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No.

  20 tahun 2001, diketahui bahwa ada hal-hal yang khusus dalam Undang-Undang tersebut yang berbeda dengan KUHP misalnya masalah percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana dijatuhi pidana yang sama dengan pidana yang dijatuhkan pada pelaku delik, dan masalah korporasi sebagai subjek hukum pidana, dimana korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Semangat pemberantasan tindak pidana

  86 http://eprints.undip.ac.id/18651/1/ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf korupsi setelah reformasi ditandai dengan dibuatnya berbagai produk perundang- undangan sebagai berikut:

  87 1.

  Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi

  2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Perpu/013/1958 3. Undang-Undang No. 24/Prp/1960 dan keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967 tentang tindak pidana korupsi

  4. Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

  5. Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) 6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak

  Pidana Korupsi”, yang mengubah dan menggantikan undang-undang No. 3 Tahun 1971.

  7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 8. Undang-Undang No. 15 tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang

  No. 25 tahun 2003 tentang tentang tindak pidan pencucian uang 9. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

  Korupsi

  87

  10.Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang tindak pidana informasi dan transaksi elektronik Berdasarkan hal-hal di atas jelas bahwa dalam Undang-Undang

  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sudah sampai pada tahap ketiga yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Perumusan tindak pidana dalam Bab II Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berakibat bahwa tidak semua tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh korporasi, karena selain korporasi sebagai subjek hukum, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengenal subjek hukum berupa orang dan pegawai negeri. Adapun tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi yang dirumuskan di dalam Undang- Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo.

  Undang-Undang No 20 Tahun 2001 adalah: a.

  Pasal 2 ayat (1), “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” b.

  Pasal 3,

  “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” c.

  Pasal 5 ayat (1), Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.

  50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah): 1.

  Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

  2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena tau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya d.

  Pasal 6 ayat (1), Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp.

  150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: 1.

  Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

  2. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

  e.

  (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.

  100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) : a.

  Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang b.

  Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja dengan membiarkan perbuatan curang c.

  Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang d.

  Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang

  (2) Bagi orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang f.

  “Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).” g.

  Pasal 15 “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14.” h.

  Pasal 16

  “Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pas al 14.” Dengan adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi di dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka konsekuensinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

C. Latar Belakang Pengaturan Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

  Perubahan sosial, pembangunan, dan modernisasi saling berkaitan erat satu sama lain. Dikatakan demikian, karena pembangunan dan modernisasi yang dijalankan oleh suatu bangsa membawa serta perubahan sosial. Mengingat pembangunan di Indonesia saat ini diarahkan untuk meningkatkan proses industrialisasi, maka mudah dipahami bahwa Indonesia saat ini berada dalam tarikan kemajuan dunia usaha yang diikuti oleh peranan korporasi yang sangat besar. Akan tetapi, korporasi tidak hanya berhak dalam pencapaian tujuannya juga mempunyai kewajiban memenuhi peraturan tertentu di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan

  88 sosial.

  Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalam perkembangan dan perubahan dibidang kegiatan sosial ekonomi adalah penyimpangan perilakuk korporasi yang bersifat merugikan dan membahyakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas. Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan

  89 berbagai pihak.

  Dengan diterimanya korporasi sebagai salah satu subjek hukum disamping subjek hukum manusia alamiah (natuurlijke persoon), maka kajian tentang hal ini menjadi semakin menarik oleh karena kejahatan yang dilakukan korporasi berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenalnya atau sekaligus kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini adalah karena ketidaknampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, oleh tidak adanya atau lemahnya penegakan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial. Ketidaktahuan ini bukan saja dialami oleh masyarakat awam, bahkan aparat penegak hukum pun mengalami hal yang sama, 88 89 Hamzah Hatrik, op. cit., hlm. 24.

  Ibid., hlm. 28. sebagaimana dikemukakan dalam hasil penelitian Muladi dan Dwidja Priyatno di Kota Madya Bandung terhadap aparat penegak hukum yaitu: Hakim, Jaksa, Polisi dan pengacara berjumlah 42 (empat puluh dua) orang, dimana 42 responden tersebut tidak pernah menangani kasus pidana yang korporasi sebagai subjek tindak pidana. Banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini. Padahal dalam hukum pidana positif yang tersebar di luar KUHP sudah mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1955 (Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi) yang disusul dengan peraturan-

  90 peraturan lainnya yang mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana.

  Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di

  91 dalamnya.

  Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk kejahatan kerah putih (white

  

collar crime ), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang

  bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju seperti yang diajukan oleh Sheley dan Sutherland, dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan- 90 91 http://eprints.undip.ac.id/18651/1/ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang- undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran

  92 lingkungan hidup.

  Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oleh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di

  93

  masyarakat. Salah satunya yaitu tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara.

  Keterbatasan penafsiran antara pengurus dan korporasi telah membuat adanya celah hukum dan dapat berakibat seseorang termasuk korporasi lepas dari jerat hukum sebagai yang melakukan korupsi dengan berlindung dibalik korporasi untuk melakukan korupsi. keadaan ini telah membuat kasus-kasus potensial

  92 93 Hamzah Hattri, op. cit., hlm. 43.

  sebagai kasus korupsi yang berkaitan dengan korporasi tidak bisa diungkap ke

  94

  permukaan Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya, jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.

  Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius.

  Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan. Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejahatan yang diperbuat seseorang, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Selain itu, korporasi dengan 94 kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Edelhertz mengatakan bahwa tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara non fisik dan penyembunyian dan tipu muslihat untuk memperoleh uang atau harta benda dan memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Dengan demikian, motivasi korporasi melakukan berbagai bentuk pelanggaran di bidang ekonomi adlah untuk mencapai tujuan dan keuntungan yang menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, negara, dan

  95 lingkungan.

  Perkembangan yang terjadi berkaitan dengan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah adanya keterlibatan korporasi di dalamnya. Korporasi yang memperoleh dana dari pemerintah (negara), seringkali menggunakan dana tersebut untuk menguntungkan korporasi itu sendiri yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara.

  Sebelum dirumuskannya undang-undang No. 31 tahun 1999, korporasi tidak dilibatkan dalam tanggung jawab pidana atas tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, pidana dijatuhkan hanya kepada pengurus dan pidana yang dijatuhkan terkadang tidak sebanding dengan keuntungan besar yang telah diperoleh korporasi dan kerugian yang dialami negara maupun masyarakat. Selain itu, dipidananya pengurus tidak

  95 memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan mengulangi lagi tindakannya yang merugikan keuangan negara.

  Pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan formulasi (kebijakan legislatif), yang di di dalamnya menyangkut tentang defenisi korporasi, latar belakang pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, pengaturan pertanggungjawabannya, dan pengaturan model pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diharapkan dapat mencegah korporasi dari keterlibatan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan pidana terutama undang-undang tindak pidana korupsi dan juga dapat meminimalisir terjadinya kerugian negara akibat dari adanya tindak pidana korupsi.

  Korporasi sering menghindar dari tanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya dan melimpahkannya kepada pengurus. Sehingga kerugian yang timbul tidak dapat dipulihkan dengan sempurna. Sebagai suatu keseluruhan, korporasi merupakan pihak yang juga harus bertanggung jawab atas terjadinya korupsi, karena pelanggaran hukum itu dilakukan untuk memperoleh keuntungan bagi korporasi.

  Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan tidak seperti manusia tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.

  Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah.

  Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana.

Dokumen yang terkait

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN - Peranan Agrowisata Dalam Mendukung Pendapatan Asli Kabupaten Karo

0 0 19

Peranan Agrowisata Dalam Mendukung Pendapatan Asli Kabupaten Karo

0 0 16

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pariwisata - Kampung Ladang Outbound Camp Sebagai Wadah Alternatif Wisata Outdoor Di Kota Medan

0 1 11

Kampung Ladang Outbound Camp Sebagai Wadah Alternatif Wisata Outdoor Di Kota Medan

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Sungai - Analisis Total Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solid) Dan Total Zat Padat Trsuspensi (Total Suspended Solid) Pada Air Badan Air Khususnya Air Sungai

0 0 11

2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit - Analisis Determinan Pulang Atas Permintan Sendiri (Paps) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 22

KATA PENGANTAR - Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 0 15

Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 70

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gunung Berapi - Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 17

DAFTAR ISI - Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 12