Dilema Tata Kelola Sumberdaya Alam di

Environmental Governance Dilemma in Indonesia:
Marine Ornamental Fish eco-labeling Versus Traditional Fish Production
(Les Village, Tejakula District, Bali, Indonesia)

Humayra Secelia Muswar

Abstract
Les village’s fisher has specialized in catching ornamental fish since 1982 by using
potassium cyanide, after years the coral reefs were severely damaged. Awareness of fisher
emerged to change their fishing patterns became more environmentally friendly. In the
beginning 2000, the green movement was initiated by the NGOs began to change the condition
of Les’ fisheries system. Balinese traditional society and the fisher awareness had a big role to
control this protection road to the sustainable fisheries. In 2006, eco-labeling certification was
introduced to Les’ fisher. Eco-labeling is a market intruments towards to meet environmentally
conscious consumers needs. It has been applied for two years (2006-2008). This study aims to
contemplate wheter ornamental fish eco-labeling or traditional fish production that
advanteguoes for fisher community.

Marine Ornamental Fish Fisheries
Ikan hias laut (marine ornamnetal fish) adalah ikan laut yang dimanfaatkan untuk visual
(MAC Lini Indonesia). Habitat umumnya adalah terumbu karang. Indonesia adalah negara yang

mempunyai potensi terumbu karang terbesar di dunia. Fadel Muhammad, seperti yang dikutip
dalam Minapolitan Edisi Desember 2010, mejelaskan bahwa sebagai etalase terumbu karang
dunia Indonesia memilki 82 genera dan 590 spesies karang keras yang tersebar pada
74.748km2 dan setara dengan 18 persen luasan terumbu karang dunia. Namun, lebih dari satu
dekade belakangan, terumbu karang telah banyak terdegradasi oleh kegiatan manusia
(termasuk di dalamnya kegiatan penangkapan ikan yang destruktif, pengambilan terumbu
karang

untuk

bahan

material

bangunan,

bahkan

hancur


karena

jangkar

kapal)

(Sukarnoetal.1986;Reksodihardjo-Lilley&Lilley2007). Sumber penting dari kerusakan terumbu
karang di Buleleng, dan di seluruh wilayah Indo-Pacific pada umumnya, adalah aktivitas yang
terkait dengan perdagangan akuarium laut, dan terutama, penggunaan kalium atau natrium
sianida (selanjutnya disebut sebagai sianida) oleh nelayan untuk menangkap spesies ikan hias
(Rubec et al.2001) . Penggunaan sianida oleh nelayan memiliki efek samping berat bagi karang
dan spesies karang lainnya, dan telah berperan dalam menurunkan dan bahkan membunuh
seluruh sistem terumbu karang. Sianida telah menerima perhatian karena menimbulkan
kerusakan pada terumbu karang pada saat ekosistem terumbu karang berada di bawah tekanan
lingkungan lainnya (Hughes et al. 2010 dalam Frey 2014).

Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014

Nelayan ikan hias adalah orang yang aktif melakukan penangkapan ikan hias di laut,

dengan cara tangkap, pola tangkap, waktu dan alat tangkap yang cenderung berbeda dengan
nelayan ikan pada umumnya (nelayan ikan konsumsi) mengandalkan kondisi terumbu karang.
Berkes (2010) dalam Frey (2012) sebagimana yang telah dipublikasikan dalam buletin Marine
Science menguatkan hipotesis bahwa Desa Les, di Kecamatan Tejakula merupakan daerah
penangkapan ikan hias yang terumbu karangnya tengah mengalami dampak yang cukup parah
akibat penggunaan sianida. Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali
merupakan salah satu wilayah penghasil ikan hias laut di Indonesia.
The Assassement: Marine Ornamental Fish Trade
Interaksi masyarakat pesisir dan aktivitas pembangunan menurut Cicin-Sain and Knecht
(1998) dalam Putra (2002) dalam Muswar (2011) mengakibatkan kerusakan ekologi pada zona
pesisir dan sumberdaya pesisir. Ditambah dengan tingginya permintaan pasar dunia akan
pasokan ikan dan dengan disperitas harga ikan, menyebabkan terancam gulung tikarnya sektor
perikanan di sejumlah negara (Demersal edisi Desember 2010). Kedua hal di atas turut
menyumbang peranan dalam semakin tergerusnya sumberdaya pesisir. Berdasarkan data dari
United Nations Food and Agriculture Organization bahwa stok ikan dunia mengalami
kemunduran yang tajam, 48 persen telah dieksploitasi habis, 16 persen telah mengalami
kelebihan tangkap, dan 9 persen telah habis. Bukti empiris keilmuan seperti ini sering kali
diabaikan demi kepentingan politik dan kuota yang diatur lebih dari yang direkomendasikan.
Gambar pada halaman berikutnya merupakan penggambaran historikal sejarah produksi
perikanan ikan hias yang ada di Desa Les.

1982. Berdasarkan sejarah yang dipaparkan oleh masyarakat, sebelum tahun 1982
hanya terdapat nelayan ikan pelagis (ikan konsumsi), belum ada nelayan ikan hias laut. Seiring
dengan banyaknya nelayan dari pulau Jawa yang mencari ikan di wilayah laut mereka, nelayan
asli Les mulai tertarik untuk mengikuti. Proses alkulturasi membuat budaya penagkapan yang
dibawa nelayan jawa diserap tanpa mengubah budaya asli Les. Awal penangkapan ikan hias
dilakukan dengan menggunakan jaring. 1990an. Ikan hias laut mulai mengalami komersialisasi.
Budaya penangkapan nelayan Jawa yang cenderung mengambil sebanyak-banyaknya untuk
meraup keuntungan sebesar-besarnya mempengaruhi nelayan Les. Nelayan mengeksploitasi
sumberdaya alam untuk memenuhi permintaan pasar (Bryant dan Bailey 2005). Menurut Frey
(2012) praktek perikanan seperti ini di Bali telah dilakukan sejak awal perang dunia kedua,
diinisiasikan oleh Jepang, hal ini diperkuat dengan penelitian oleh Pet-Soede et al. (2000);and
Elliott et al.(2001). Hingga tahun 2000an nelayan Les masih melakukan pola tangkap “sikathabis” (eksploitatif) tanpa memikirkan dampak ekologis terhadap terumbu karang habitat ikan
hias laut.

Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014

Tangkap Lebih
“over-exploitated fishing”


1982

1990an

Awal mula
penangkapan ikan
hias.
Menggunakan
peralatan jaring.
Ikan hias mulai komersil
dan terpengaruh nelayan
dari
Jawa
untuk
menggunakan
Potassium-sianida untuk
mempermudah
menangkap ikan hias

Pola tangkap

“sikat-habis” yang
cenderung
eksploitasi

Masa Transisi
Pola Tangkap

2000

Masa sertifikasi
ekolabeling

2001

Masa Transisi

2002

2005


Berdiri
kelompok
nelayan
khusus
untuk nelayan ikan
hias
“Kelompok
NelayanIkan Hias
Soansri”

Mulai muncul gerakan
penyadaran
tentang
perikanan yang ramah
lingkungan dari Yayasan
Bahtera Nusantara dan
Telapak untuk perikanan
yang ramah lingkungan.
(Nelayan
kemudian

kembali
menggunakan
jaring)

Marine Aquarium
Council
(MAC)
sebagai
lembaga
sertifikasi
masuk
membantu yayasan
Bahtera Nusantara
mencapai visinya.

Pola tangkap yang
berdasarkan
order
diterapkan
Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)

3 November 2014

2006

2008

MAC mensertifikasi
nelayan, pengepul,
dan para eksportir
ikan hias.

Program sertifikasi
MAC berakhir.
MAC kolaps oleh
karena keterbatasan
dana.

2011

Meski

tanpa
sertifikasi nelayan
tetap
dapat
mengekspor hasil
tangkapan mereka

Sepanjang hampir dua dekade (1980an-2000an) adalah masa transisi dimana mulai
muncul gerakan penyadaran bahwa telah terjadi degradasi terumbu karang yang sangat
mengkhawatirkan. Penggunaan sianida menjadi solusi untuk menghasilkan tangkapan ikan hias
yang banyak, dengan waktu dan modal yang sedikit. Kerusakan terumbu karang yang terjadi
mengakibatkan ekosistem laut Les terganggu. Ekosistem merupakan bentuk hubungan timbal
balik antara komponen hidup (biotik) dan komponen tak hidup (abiotik) di suatu tempat yang
berinteraksi membentuk kesatuan yang teratur dan membentuk jaring-jaring kehidupan pada
berbagai tingkatan organisasi (Silalahi 2001; Adibowo 2007). Kerusakan satu mata rantai
ekosistem akan merusak jaring-jaring kehidupan rantai lainnya. Kerusakan terumbu karang,
dalam hal ini efek negatif dari penggunaan sianida dalam jangka waktu yang lama membuat
jaring kehidupan antara ikan-ikan hias dan biota lainnya terganggu. Akibat kerusakan terumbu
karang keberlimpahan dan keanekaragaman ikan hias akan menurun drastis. Kondisi kritis
membawa nelayan harus memutuskan sesuatu, memilih untuk terus melakukan ini demi

menghidupi keluarga atau merestorasi terumbu karang agar ikan hias kembali berlimpah
namun harus mengencangkan ikat pinggang sementara waktu. Bersama Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) lokal Bali, Yayasan Bahtera Nusantara dibantu oleh LSM Telapak Indonesia
nelayan Les melalui proses penyadaran. Tata kelola perikanan ikan hias laut ditransformasi
menjadi lebih ramah lingkungan. Pada awal pelaksanaan transformasi tidak semua nelayan
berpartisipasi.
2000an. LSM mulai mengenalkan praktek penangkapan tanpa sianida. Peralatan yang
digunakan adalah barrier (penghalang berupa jaring lebar sekitar 1,5m berpemberat batu) dan
jaring. Selain pada cara tangkap, penangan ikan pasca tangkap juga mengalami perubahan ke
arah ramah lingkungan. Kemampuan nelayan Les menerapkan perubahan perikanan menjadi
ramah lingkungan ini menyebar luas. Pada tahun 2005 kemudian Marine Aquarium Council
(MAC) turut membantu dan memonitor aktivitas ini. Setahun kemudian 2006 MAC sebagai
lembaga sertifikasi menggandeng pihak ketiga untuk menilai. MAC mensertifikasi nelayan,
pengepul, dan eksportir yang telah memenuhi standar. Ecolabeling kemudian secara resmi
diberlakukan. Hal ini menjadi poin penting yang membuat ikan hias Les mampu menembus
pasar internasional yang telah menjadi green consumer.
The Dilemma: Marine Ornamental Fish eco-labeling Versus Traditional Fish Production
Perubahan sosial merupakan perubahan pada sistem sosial yang berkembang dan yang
menjadi konsep dasar perubahan tersebut adalah perbedaan, perbedaan momen, dan berada
diantara sistem sosial yang sama (Sztompka, 1994). Komponen dan dimensi yang mungkin
berubah dalam suatu perubahan sosial adalah komposisi, struktur, fungi, batas, dan hubungan
antara sub-sistem dalam sistem sosial. Perubahan yang terjadi di Les merupakan perubahan
Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014

sosial, khususnya bagi nelayan karena mengubah konsep dasar dari sistem sosial nelayan ikan
hias. Adapun komponen dan dimensi yang mengalami perubahan di Les adalah:
1) Dimensi Struktural
Dimensi struktural yang berubah dari Desa Les antara lain perubahan pada institusi
nelayan, akat tangkap nelayan ikan hias, cara tangkap nelayan ikan hias, mata
pencaharian utama nelayan, mata pencaharian sampingan nelayan.
2) Dimensi Kultural
Perubahan pada dimensi kultural terjadi dari proses penyadaran (afektif) dan pada ranah
kognitif pada nelayan ikan hias. Perubahan pola pikir dan cara pandang nelayan ikan hias
dalam memandang sumberdaya laut, interaksi antar pemangku kepentingan, modal sosial
yang berubah.
Faktor-faktor penyebab perubahan sosial tersebut antara lain:
1) Perubahan komposisi nelayan
Perubahan komposisi yang terjadi adalah jumlah nelayan ikan hias yang bertahan tetap
berprofesi sebagai nelayan ikan hias. Masa transisi membuat beberapa nelayan ikan hias
memeutuskan untuk beralih profesi. Perubahan pola tangkap yang terjadi juga turut
memangkas jumlah nelayan ikan hias di desa ini.
2) Perubahan struktur sosial
Terjadi perubahan struktur dalam masyarakat nelayan Desa Les, perubahan pola
tangkap mempengaruhi berubahnya instutsi nelayan. Nelayan ikan hias Les, sekatang
telah memilki institusi kelembagaan khusus. Dalam masyarakat, nelayan ikan hias
mengalami kenaikan nilai sosial (social climbing) yang berarti.
3) Perubahan fungsi sosial nelayan
Perubahan fungsi peran terjadi pada nelayan. Nelayan mengalami fungsi peran ganda
saat ini, selain sebagai penangkap ikan juga sebagai penjaga kelestarian laut.
Sebelumnya nelayan dianggap sebagai perusak sumberdaya alam.
4) Perubahan batas
Perubahan batas wilayah tangkap yang terjadi di Les adalah semakin menyempitnya
ruang gerak nelayan ikan hias untuk menangkap ikan.
5) Perubahan pada hubunguan sub-sistem.
Terjadi pula perubahan pola hubungan antar pemangku kepentingan perikanan ikan
hias. Hubungan patron klien menjadi lebih longgar.
Perubahan sosial tidak terjadi dengan sendirinya. Ada pihak tertentu yang mendorong
hal ini untuk terjadi. Dalam konteks nelayan ikan hias Desa Les, perubahan ini dimotori oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat. Robbins (2004) dalam bukunya “Political Ecology”
menyampaikan bahwa perubahan sosial dapat terjadi saat ada perubahan rezim pola
Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014

pengelolaan lingkungan dan perubahan lingkungan yang kemudian menghasilkan keuntungan
untuk kelompok masyarakat setempat untuk memperoleh keamanan dan pengakuan politik.
Perubahan sosial dan identitas lingkungan di suatu daerah mencerminkan degradasi dan
marginalisasi lingkungannya. Perubahan sosial di Les menggambarkan degradasi laut Les yang
sudah pada sampai titik yang mengkhawatirkan membuat nelayan ikan hias semakin
termarginalkan dengan keadaan tersebut. Hal ini membuat nelayan memutuskan sebuah
perubahan yang didampingi oleh LSM untuk memperbaiki keadaan. Nelayan memperoleh
keamanan dan pengakuan politik dari perubahan ini. Nelayan tidak lagi melanggar hukum yang
berlaku di Indonesia.
Konsep ecolabeling yang digagas MAC hanya bertahan 2 tahun dalam penerapannya.
Tahun 2008 MAC kolaps kekurangan dana untuk terus mensertifikasi. Dilema tata kelola ikan
hias Les mencuat setelah ecolabeling sebagai sertifikat telah tidak berjalan. Pengelolaan ikan
hias di Bali menaruh harapan besar pada pola pengelolaan yang diterapkan saat pelabelan ini
hangat. Selepas masa kehangatan itu, kemudian berkembang pertanyaan-pertanyaan
berikutnya. Muncul pertanyaan baru, bagaimana jika konsep perikanan ikan hias Les
dikembalikan kepada konsep perikanan ikan hias tradisional? Apakah dapat berjalan? Atau
bahkan menjadi lebih baik tanpa sertifikasi? Apakah ecolabeling tidak memiliki dampak besar
pada praktek perikanan Les? Apakah skema perubahan menjadi lebih baik (dengan tanpa
potas) tetap akan bertahan, walaupun eco-labeling sebagai instrument pasar tidak diberlakukan
lagi?
Akankah Produksi Perikanan Tradisional Akan Bertahan
Keberlanjutan, menurut Bell (1998) esensinya adalah sebuah pertanyaan seberapa lama
kita tetap melakukan ini. Dalam hal ini, berapa lama nelayan ikan hias akan tetap melaksanakan
perikanan yang ramah lingkungan ini. Praktek perikanan ramah lingkungan yang dilakukan
oleh nelayan Desa Les merupakan bagian dari proses menuju perikanan yang berkelanjutan.
Sanksi merupakan salah satu aspek yang dapat menguatkan pelaksanaan pengelolaan
berbasis masyarakat agar terus berkelanjutan. Sanksi juga merupakan indikator berjalan
tidaknya suatu aturan. Pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya laut Les, sanksi yang
diterapkan ada dua macam. Sanksi hukum berdasarkan hukum yang berlaku di negara
Indonesia, dan sanksi adat yang termuat dalam awig-awig Les. Berdasar pada wawancara
mendalam mengenai awig-awig Les, peraturan ini sempat mengalami masa diabaikan.
Revitalisasi awig-awig menjadi topik hangat yang diangkat kembali saat pengelolaan
laut Les mulai mengarah kepada perikanan yang ramah lingkungan walaupun masa sertifikasi
eco-labeling telah usai. Ada urgensi yang menguat untuk merevitalisasi sistem awig-awig ini.
Adapun aturan dan sanksi yang diberikan antara lain sebagai berikut:
Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014

Aturan dan Sanksi Awig-Awig Les
Aturan

Sanksi

Dilarang menggunakan sianida untuk

Dapat

menangkap ikan hias

mengadakan

dikeluarkan

dari

upacara

desa

atau

pembersihan

dengan sesajen babi
Dilarang melakukan pengeboman

Dapat dikeluarkan dari desa

Dilarang menangkap ikan berlebihan

Penyitaan alat tangkap

Dapat ditarik garis besar, bahwa produksi perikanan ikan hias tradisional sesungguhnya
dapat memenuhi kriteria permintaan pasar (green consumer). Namun, sertifikasi pada lain sisi
merupakan aspek penting untuk menembus pangsa pasar. Sertifikasi yang terbaik seharusnya
dilakukan oleh pihak pemerintah, bukan pihak ketiga. Kalaupun harus pihak ketiga, harusnya
dari negri sendiri.

Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014

Sumber Pustaka
Adiwibowo, S (Editor). 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Bell, Micheal Mayerfeld. 1998. “An Invitation to Environmental Sociology”. United Kingdom:
Wiley-Blackwell.

Bryant, Raymond L dan Sinead Bailey. 2005. “Third World Political Ecology”. New York:
Routledge.

FAO Fisheries Departement. 2007. “FAO Guidelines for Ecolabeling of Fish and Fisheries Products
form Marine Capture Fisheries”. Paris: FAO.

Frey, James Barcklay. 2011. “A community-based approach to sustainable

Ornamental fishing on coral reefs, Bali, Indonesia”. Tidak dipublikasikan.

LINI. 2008. Laporan Pengelolaan Perikanan Kecamatan Tejakula 2006. Reef Check Foundation.
Muswar, Humayra Secelia. 2011. Dampak Pelabelan ramah Lingkungan (Ecolabeling) perikanan
bagi Nelayan Ikan Hias (Kasus Nelayan Ikan Hias Desa Les, Kecamatan Tejakula,
Kabupaten Buleleng, Bali). Tidak dipublikasikan.
Sztompka, Piotr. 1994. “The Sociology of Social Changes”. United Kingdom: Wiley-Blackwell.

Reksodihardjo-Lilley, G. & Lilley, R. 2007. Towards a sustainable marine aquarium trade: An
Indonesian perspective. SPC Live Reef Fish Information Bulletin. 17, 11.19.
Robbins, Paul. 2004. Political Ecology. United Kingdom: Blackwell Publishing

Tugas Makalah UTS (Prof. Endriatmo Sutanto)
3 November 2014